Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

34. Tutup Mata

Nova pulang dari jalan-jalan bersama teman satu jurusannya. Begitu tiba di kamar, ada Gita yang menjawab salamnya. Terlihat perempuan itu menatap resah pada Gita yang duduk sambil mengetik chat di game.

"Ada apa sih, Nov kok aneh banget lihat aku?" tanya Gita heran melihat gelagat Nova yang baru masuk sudah menatap lama padanya.

"Anu Git, tadi aku habis ketemu sama dia," kata Nova yang ragu-ragu antara memberitahunya atau tidak. Kalau tidak dikasih tahu takutnya Gita nanti malah akan tersakiti karena dibohongi, tapi jika dikasih tahu juga makin merasa sedih.

"Dia siapa maksudnya, Nov, nggak paham deh," bingung Gita.

Mengalihkan pandang ke layar laptopnya sejenak, Gita mengetikkan pesan balasan yang dikirimkan oleh Reval. Laki-laki itu sedang online dan meminta maaf padanya untuk pertemuan kapan hari yang gagal. Gia yang mencoba untuk menutup mata, menerima permintaan maaf dari Reval meskipun ia tahu kenyataannya. Gita hanya ingin tahu sejauh mana laki-laki itu akan berbohong padanya.

Nova duduk mendekat di hadapan Gita masih dengan gelagat aneh yang membuat Gita makin penasaran.

"Gini, Git, tadi aku pas jalan ketemu sama pacar kamu Reval."

Padahal Gita sedang mengetik balasan pesan dengan Reval, tapi malah Nova membahas tentang lelaki itu. Jadi ia menoleh ke arah Nova yang mengunci bibir seolah enggan untuk mengatakan sesuatu. Sepertinya hal itu bukan sesuatu yang baik, tebak Gita dalam hati.

"Iya kenapa sama Reval. Emangnya ketemu di mana?"

"Kamu jangan marah ya kalau aku kasih tahu ini."

Gita mengulas. "Iya iya nggak marah. Emang kenapa sih kok kayaknya horor banget sih." Gita mencoba santai.

"Tadi aku ketemu Reva lagi jalan sama temen kamu. Siapa yang biasanya ke sini, siapa tuh namanya. Emi kan?"

Mendengar nama Emi disebut, Nova heran Gita supaya baik-baik saja. Membuat Nova kaget juga.

"Oh emang sama Reval lagi jalan di mana?"

Nova mengernyitkan kening. "Kok kamu nggak kaget sih, Git dengar Reval sama Emi jalan berdua. Kamu nggak marah gitu apa gimana?"

Gita menggeleng. "Nggak sih, soalnya kemarin aku juga ketemu mereka berdua di warnet berduaan lagi. Sekarang lihat, aku malah lagi chat sama Reval. Dia minta maaf saat kejadian kapan hari yang kita batal jalan malam-malam."

Nova melirik pada layar laptop. "Kamu maafin gitu aja, Git? Udah tahu yang terjadi kayak gini kamu juga santai banget sih."

"Maunya sih gitu loh. Tapi aku pikir lagi kayaknya percuma juga denger penjelasan dia yang omong kosong. Mending diam dan tinggalin aja. Emang kayaknya dia bukan yang terbaik buat aku. Buat apa juga marah-marah capek ujung-ujungnya juga dia bakal manis-manisin aku minta maaf tapi nggak yakin juga bakalan berubah."

"Tapi selingkuhnya sama teman dekat kamu sendiri loh. Kamu kok nggak marah sama Emi?"

"Udahlah biarin aja aku mau coba tutup mata aja sama hubungan mereka yang diam-diam di belakangku. Nanti  aku ambil keputusan, biarin aja mereka bersama dan aku yang mundur. Buat apa bertahan sama laki-laki yang nggak bisa hargain aku juga."

"Gila, kamu disakitin tapi malah tenang kayak gini. Tapi nggak papa sih, mending kayak gitu tahu boroknya sekarang dan putus aja udah."

Gita tertawa terbahak. "Nah makanya daripada capek-capek, lepasin aja. Masih ada yang lain kok dari Reval. Mending cari yang pasti aja."

Nova setuju. Ia berdiri dan lega telah memberitahu apa yang tadi dilihatnya. Nova pun berganti baju meninggalkan Gita di kamar. Dua teman lainnya sedang menonton TV di bawah, sementara Gita melanjutkan chat dengan Reval. Laki-laki itu mengajak kita mojok di room miliknya.

Selain permintaan maaf, Reval juga merencanakan ulang pertemuan untuk menebus janji yang mangkir kemarin. Gita menyanggupi saja seolah-olah ia sudah terperdaya dengan bujuk rayu. Mode perempuan berhati lembut yang memaafkan kesalahan kekasihnya.

Namun Gita minta pertemuan itu di hari Minggu saja malam Senin, karena malam minggu besok Gita ingin pulang ke rumah. Ia merindukan ibunya, Sofi, janda kembang yang tak pernah gagal masak enak.

***

Mata kuliah hari Sabtu hanya ada satu saja sebelum dzuhur sudah selesai, makanya setelah dzuhur Gita bersiap pulang dengan naik bus. Membawa ransel berisi baju ganti, Gita berjalan dari kosan hendak menuju halte. Dalam perjalanan itu Gita mampir sejenak membeli es serbuk rasa leci untuk ia minum sambil jalan kaki menuju halte  yang jaraknya memang lumayan.

Asyik menikmati es yang ia sedot dalam kantong plastik sambil jalan, Gita dikagetkan dengan motor Pratama yang berhenti di depannya.

"Eh, ngagetin aja," kata Gita yang sontak menghentikan langkah saat melihat motor Tama mendekat ke arahnya. Ia langsung berhenti menghadang langkah Gita.

"Mau ke mana? Pulang? Kok bawa ransel segala," tanya Tama melihat tas  yang dibawa oleh Gita.

Menurut Tama, iasanya perempuan itu saat kuliah memakai tas selempang sementara ransel digunakan hanya saat Gita pulang.

"Iya aku mau pulang. Minggir ih aku mau jalan ke halte."

"Sama aku aja sini bareng. Ada helm kan di kos?" tawar Tama.

"Tumben nawarin aku pulang, biasanya mana peduli," sindir Gita membuat Tama hanya diam sambil mengedarkan pandang tak mau menatap Gita.

"Ah buruan napa ambil helmnya.
Tawaranku cuma sekali nih nggak mau ya udah!"

Nada arogan Tama membuat Gita tertawa karena dalam mimpinya kemarin Tama bukan orang yang judes seperti ini. Laki-laki itu adalah sosok yang lembut. Ah kenapa juga Gita membandingkan Tama di versi yang berbeda.

"Ada kok tapi masak balik pulang ke kos kan capek. Ini udah tengah jalan loh bentar lagi nyampe," keluh Gita.

"Ah ngerepotin aja. Cepet naik aku antar lagi ke kos buat ambil helm."

Gita mengangguk sambil naik ke boncengan Tama. Tanpa santainya motor Tama berbelok menuju kos.  Begitu sampai, Gita langsung turun dan mengambil helm yang memang ia sedia di kamar untuk ia pakai saat keluar sama Reval.

"Lah kok balik lagi?" tanya Yuni teman beda kamar yang sedang memasak beras dan berpapasan dengan Gita turun dari tangga.

"Iya ambil helm nih soalnya mau bareng sama Tama pulangnya."

"Oh kirain nggak jadi pulang biar aku ada temennya di sini," kata Yuni yang dibalas cekikikan oleh Gita.

Gita berjalan keluar kos sambil memakai helm. Ia lihat Tama masih nangkring atas motornya menunggu dirinya datang. Gita langsung naik ke jok motor milik Tama.

"Udah nih ayo jalan!" kata Gita menepuk pundak Tama.

Motor berjalan keluar dari area kost, lewat jalan pintas yang lebih dekat ketimbang jalanan halte tadi. Tidak masalah Tama akan lewat jalan manapun yang penting sampai di rumah dengan selamat. Ia jadi hemat ongkos karena tidak perlu mengeluarkan biaya naik bus.

Tangan Gita yang tadinya berpegangan pada jaket Tama kini ia lepaskan dan sedikit memeluk pinggang laki-laki itu, membuat Tama kaget dan melirik ke perutnya di mana tangan Gita berada di sana.

Jantungnya berdebar saat Gita malah memegang langsung pinggangnya, melingkari hingga perut. Dulu saat ia pernah memboncsng Gita, perempuan itu hanya mau sekadar berpegangan pada jaketnya saja.

Tama tidak menegur. Ia malah kesenangan sampai senyum-senyum di balik helmnya. Ia terus melanjutkan jalan namun kali ini dengan kecepatan yang dikurangi seolah ingin lebih lama merasakan pelukan Gita. Seumur-umur tidak pernah sedekat ini.

"Nanti mampir sebentar ya aku mau beli pulsa."

Tama menatap pantulan Gita dari spion, membuka kaca helmnya sedikit menoleh ke belakang dan menjawab, "Iya kenapa nggak beli di sana tadi?"

"Lupa c

"Dasar nenek-nenek gitu aja lupa c

"Oh enggak dong aku masih remaja ke mana-mana. Lagian pulsa aku juga nggak habis-habis banget cuma biar nanti kalau di rumah nggak repot keluar beli pulsa."

Tama terkekeh mendapati Gita yang sewot dengannya. Seperti inilah yang Tama suka saat bersama dengan perempuan itu. Saat dirinya saling bertengkar karena dengan begitu ia bisa dekat dengan Gita. Tetangga yang sejak kecil selalu bersamanya tapi tidak pernah akur satu sama lain.

Tama menghentikan motor di salah satu counter. Gita turun begitu pula dengan Tama. Saat Gita mengisi pulsa di countr, Tama mampir di toko sebelahnya membeli air minum dingin. Begitu ia selesai membayar dan tidak menemui Gita di konter rupanya perempuan itu malah sudah berdiri di dekat penjual cilok.

"Loh udahan beli pulsanya kok cepet?"

"Belum lagi diisiin aku beli pentol dulu laper soalnya."

Tama melirik pada mbak-mbak konter yang tengah mengisi pulsa Gita. Terlihat mbak-mbak tersebut mengeja nomor Gita untuk ia ketikan ke ponsel guna mengisi pulsa.

"Kamu lapar? Mau mampir beli makan dulu apa gimana?" tawar Tama membuat Gita merasa terdengar ditraktir bukan bayar masing-masing

Tama tahu pikiran Gita. "Iya aku traktir."

Gita kegurangan. Ciloknya kemudian ia bayar lalh membayar pulsa. Setelah itu kembali ke motor milik Tama.

"Bilang kek kalau lapar. Emangnya kamu nggak makan?"

"Pagi aja tadi aku bikin mie habis itu aku kuliah siang. Sampai zuhur ini kan langsung pulang belum sempat makan."

Menggelengkan kepala. "Ya kan cumr
A mie aja emangnya kenyang. Ini mau makan apa kamu, bakso, soto, mie ayam apa makan di warteg?" tawar Tama sebelum motor benar-benar melaju tapi keduanya sudah naik ke atasnya.

"Bakso aja deh," putus Gita.

Tama menoleh. "Udah beli cilok mau makan bakso. Lama-lama bulat deh kamu nanti."

Gita hanya terkekeh. Motor melaju dan Gita langsung menggigit ujung plastik ciloknya, menikmati cilok sambil Tama mencari warung bakso. Belum tiba di tempat makan Gita sudah menghabiskan ciloknya. Untynya ia hanya beli sedikit jadi nanti Saat makan bakso tidak akan kekenyangan.

Tibalah di warung bakso yang memang dikenal enak dan murah. Baik Gita maupun Tama pernah ke sana. Lokasinya tidak jauh dari rumah mereka.

Gita memesan dua porsi bakso dan dua minuman. Gita memesan es jeruk sementara Tama yang pesan es teh.

"Ngomong-ngomong kita udah kenal berapa lama, tapi kayaknya baru sekarang deh kita makan berdua di warung kayak gini. Aneh nggak sih?" tanya Gita

Tama mengedarkan pandangan sejenak pada warung bakso yang biasanya ia datang sendiri  atau bersama teman dan adiknya.

"Liatnya aneh aja kayak nggak normal banget. Kita akur dari tadi, malah sekarang pergi ke sini berdua."

Gita mengangguk. "Emang kamu nggak capek tengkar terus. Masa tiap kita ketemu berantem terus?

Tama mengangguk. "Iya juga sih tapi kalau nggak tengkar kayak biasanya tuh gak seru, Git."

Obrolan keduanya berhenti saat datang minuman mereka. Gita sudah fokus menuangkan sambal, kecap dan saus ke dalam kuah baksonya. Mengaduk dan menyerupurut kuah sebelum menikmati mi serta pentolnya.

"Tam," panggil Gita.

"Hmm," jawab Tama karena ia sedang mengunyah.

"Aku kayaknya pengen putus sama Reval deh."

Tama yang sedang menelan kunyahan bakso langsung tersedak, terbatik-batuk. Smpai Gita secara reflek langsung menyodorkan gelas bersamaan dengan tangan Tama. Keduanya tengah memegang gelas tersebut. Sentuhan dua tangan membuat Gita dan Tama bergeming. Namun tersadar saat Tama terbatuk
Tama langsung  menarik mendekatkan gelas tersebut untuk menyeruput tanpa perlu menggunakan sedotan.

"Kenapa emangnya kok putus? Bukannya kalian mau serius ya sampai mau ngenalin ke orang tua masing-masing?"

"Iya awalnya gitu tapi lama kelamaan aku tahu kalau dia selama ini suka sama temanku."

"Teman yang mana?"

"Emi, tau kan temenku yang biasanya jalan pulang sama aku.c

"Loh Reval sama Eminada hubungan?"

Gita mengganggu." Iya dan aku juga tahu baru-baru ini. Selain aku lihat pakai mata kepalaku sendiri, Nova juga lihat mereka jalan berdua."

"Kamu nggak tanya dulu ke mereka. Mungkin aja nggak sengaja ketemu bagaimana?"

Gita menggeleng. "Enggak, aku enggak perlu tanya mereka berdua daripada dapat jawaban yang cuma buat menghibur aku aja. Nggak mesti kan mereka bakalan jujur. Aku lebih baik udahan aja daripada dipaksain tapi malah dikhianatin."

Tama menganggukkan kepala. "Bagus deh kalau gitu emang dia cowok nggak bener."

"Kamu kok kayaknya seneng banget sih aku mau udahan sama Reval. "Kesel ya karena aku nggak dengerin kamu sejak awal kalau Reval di game juga sering godain cewek-cewek?"

Tama terbatuk-batuk. "Ah enggak kok. Mana ada aku kelihatan senang, cuma aku bersyukur aja kamu sadar sebelum waktunya."

"Ye Emangnya aku pingsan dasar kamu tuh!"

Tama tertawa begitu pula dengan Gita. Obrolan mereka berhenti karena sudah menghabiskan bakso masing-masing. Setelah selesai Tama membayar makanan, mereka kembali melanjutkan perjalanan pulang.

"Tam!" panggil Gita saat mereka hendak sampai rumah sekitar lima menit lagi.

"Apa?" tanggap Tama setengah berteriak karena suaranya tidak terdengar Gita.

"Makasih baksonya sama tumpangannya."

"Iya santai aja. Senin kalau kamu balik ke kos bareng aku aja. Aku berangkat pagi kok soalnya kuliah aku jam pertama."

"Enggak deh soalnya besok aku udah balik ke kos."

"Oh ya udah besok-besok lagi kalau mau pulang kabarin aja biar aku barengin kamu nggak repot naik bus."

"Iya."

Motor berhenti di depan rumah Gita, ia pun turun. "Aku masuk dulu ya, Tam. Makasih buat semuanya."

Tamapk Gita .elambaikan tangan sejenak dan berjalan masuk ke rumah.

Tama masih diam di sana melihat pintu rumah Gita terbuka dan perempuan itu masuk ke dalamnya. Menghilang tapi masih menyisakan debar yang menggila di dada Tama. Rasanya seperti mimpi saja ia akur dengan perempuan itu. Bahkan lambaian tangan Gita saja membuat Tama tidak bisa berkata-kata menjawab.

Ada apa sih ini, bingung Tama.

_____________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro