Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[☀️] 12 - Cahaya Dari Mata

cahaya cerah
dari matamu
sanggup menerangi
hari-hariku

☀️

"Masa sih?" Ibu tertawa mendengar cerita Surya. "Ya ampun."

"Beneran, Bu," balas Surya sambil menyeringai. "Namanya juga kucing."

Surya baru bercerita soal kucing yang dia lihat sedang bersantai di atas gerbang saat dia pulang sekolah tempo hari. Dia baru menjilati badannya saat Surya membuka gerbang. Kaget, si kucing melompat sampai menabrak pohon. Adegan itu sebenernya nggak selucu itu, tapi cara Surya bercerita membuat Ibu tertawa ngakak.

Mata Ibu berseri-seri. Surya rela menceritakan aib kucing nggak berdosa lainnya untuk membuat Ibu tertawa.

"Ibu suka banget sama kucing, bahkan waktu kecil sempet miara satu."

Surya sudah jutaan kali mendengar cerita soal Tembong, kucing putih yang punya satu corak bulat hitam di punggungnya, yang pernah dipelihara Ibu. Dia menyukai cerita Ibu. Cara Ibu bercerita seolah-olah Surya juga ada di sana, bermain bersama Tembong.

"Iya, si Tembong, kan?"

"Inget aja kamu." Ibu menyeringai. "Ibu udah pernah bilang soal Mbong yang ngejar tupai sampai manjat pohon?"

"Udah. Yang habis itu kesengat lebah, kan?"

"Iya!" Ibu tertawa. "Astaga, Ibu kasian sama Mbong, tapi pengin ngetawain juga. Habis, bandel banget, sih. Akhirnya mulutnya bengkak semingguan."

Surya bisa membayangkan. Kalau saja Ayah nggak alergi kucing, mungkin mereka sudah memelihara sepuluh kucing sekarang. Ayah memang jarang ada di rumah, tapi hidungnya yang peka bisa mendeteksi bulu kucing, bahkan setelah rumah dibersihkan dengan cermat. Ibu nggak mau ambil risiko Ayah sakit parah.

"Jangan salahin Ayah," kata Ibu saat melihat ekspresi kosong Surya. "Biar bagaimanapun, suatu hari nanti, hanya akan ada kalian berdua."

Lidah Surya kelu mendengar kalimat Ibu. Sepertinya, satu-satunya yang nggak bisa merelakan kepergian Ibu "suatu hari nanti" itu hanyalah Surya. Ibu sudah, Ayah juga, meski dengan berat hati. Mereka pasrah.

"Jangan sedih dong, Mataharinya Ibu." Ibu menjawil pipi Surya. "Ibu senang dengan kehidupan Ibu."

"Kenapa dulu Ibu ngasih nama aku Surya Bagaskara? Dua-duanya kan, artinya matahari."

"Ibu emang pengin punya anak yang namanya berarti matahari. Ayah sama Ibu ngumpulin nama yang bagus. Berdebat, enaknya Surya atau Bagaskara aja, kan sama-sama bagus. Akhirnya pakai Surya aja, biar gampang. Tapi nyari nama belakangnya susah, terus pakai Bagaskara, deh."

"Jadi, karena nggak punya ide?" Surya mendengus.

"Tapi kamu beneran Mataharinya Ibu, Sur." Ibu tersenyum. "Maafin Ayah dan Ibu, ya. Gara-gara kami, kamu jadi nggak bisa ngelakuin banyak hal."

"Aku nggak ingin banyak hal, kok. Aku cuma mau Ayah sama Ibu sehat terus."

Ibu tersenyum. "Kadang, apa yang kita mau nggak bisa jadi kenyataan. Dan kadang, kita butuh itu untuk jadi kuat. Hidup nggak akan manjain kita dengan memberikan yang kita mau."

Surya menghela napas. Ibu benar. Tapi Surya nggak minta banyak. Dia cuma minta Ibu sehat. Itu aja, tapi sepertinya permintaan itu terlalu banyak.

Oven berdenting. Ibu berdiri.

"Oh, lasagna udah mateng, tuh. Kamu yakin nggak mau jemput Ghea? Katanya selesai jam 1, kan?"

"Biarin pulang sendiri aja. Ghea udah gede." Surya ikut berdiri. "Aku aja yang ngeluarin."

Selagi Ibu masih ada, Surya mau menikmati masakan Ibu sebanyak-banyaknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro