Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🔹 Anak Ajaib 🔹

    Mereka bilang aku anak ajaib.

    Entah sejak kapan julukan itu menyebar luas hingga usiaku delapan belas tahun. Apa mungkin sejak Ayah membawaku ke sini? Atau sejak aku membuat sakit asam urat Opung Boru berangsur sembuh? Atau yang lebih epik saat seekor kucing pincang jadi bisa lari-larian mengejar ikan asin yang Kak Anju bawa?

     Namarsahala, katanya—atau Marsahala. Padahal itu julukan yang tersemat untuk para raja-raja zaman dahulu seperti Sisingamangaraja karena kesaktiannya. Memang apa yang ajaib dari jago memijat dan mengurut? Apa yang ajaib dari membebat luka kaki si kucing liar?

   Tidak ada.

   Akan tetapi, bagi orang-orang aku akan selalu menjadi "anak ajaib Amang", bukan Inang.

    Aku lupa bagaimana parasnya. Atau tawanya. Yang aku ingat hanya dekapannya yang begitu hangat dengan usapan halus tangan yang sering membelai wajahku.

    Dulu, Amang adalah perantau. Orang Batak punya kebiasaan merantau. Mereka adalah perantau yang tangguh. Mereka tidak akan pulang sebelum sukses dan berhasil. Ketangguhan itu didasari 3 falsafah hidup, yaitu hamoraon (kekayaan), hasangapon (kehormatan di dalam status sosial), serta hagabeon (berketurunan sukses). Untuk mencapai falsafah itu, para orang tua tidak akan segan melepas anaknya merantau untuk meraih pendidikan tinggi dan bekerja keras di luar sana.

    Amang dulu merantau ke pulau Jawa ketika usianya dua belas tahun. Masih belia. Kebetulan, Amang punya kakak laki-laki di Jawa Barat yang sudah berkeluarga. Amangtua mempersilakan adiknya untuk tinggal di rumah istrinya di Jawa Barat.

    Dulu, Amang pernah meledek Amangtua yang katanya, "Ho sukanya sama orang jawa ya, Haha. Ndang olo sama sepupu kita?" Maksudnya, kamu sukanya sama orang Jawa ya, Kak? Nggak mau sama sepupu kita?

    Dalam kebudayaan Batak, menikahi sepupu itu memang diperbolehkan. Namanya Pariban, karena Amangtua laki-laki, maka dia diperbolehkan untuk menikahi anak perempuan dari adik laki-laki Opung Boru.

    Seperti kena getah dari ucapannya, Amang justru jatuh cinta dengan Inang. Kalau istri Amangtua yang kupanggil Inangtua berasal dari keluarga biasa, Inang atau ibuku justru keluarganya masih punya kebudayaan jawa yang begitu kuat. Kata Inang, keluarganya njaweni. Ayahnya kupanggil Eyang Kakung, ibunya kupanggil Eyang Uti.

    Lebih sering di Jawa membuatku lebih akrab dengan Yangkung dan Yangti ketimbang dengan Opong Doli dan Opong Boro. Pekerjaan Amang dan Inang membuat kami tidak bisa seenaknya mondar-mandir Jawa Tengah-Sumatra Utara.

    Dulu, Yangti pernah bilang panggil Inang dengan Ibu saja. Namun, karena bagi kami Ayah adalah porosnya, maka dengan mempertimbangkan banyak hal, Amang meminta aku dan Kak Anju memanggil ibu Inang.

    Semua berubah saat usiaku sepuluh tahun, Inang meninggalkan aku yang saat itu sedang pentas seni budaya di sekolah bersama adik kecil di perutnya.

   Kesedihan yang begitu pekat selalu tampak di balik mata Amang. Mungkin Amang seperti aku dan Kak Anju. Saat di rumah, di setiap sudutnya akan selalu terbayang Inang. Inang yang sedang menyapu, Inang yang sedang memasak, Inang yang makan bersama Amang, aku, dan Kak Anju, Inang yang senam poco-poco di ruang keluarga, Inang yang main bajak laut gara-gara anak Amangtua main ke rumah, bahkan Inang yang hamil besar anak ketiga. Semua masih terekam jelas.

   Mungkin karena itu Amang membawa aku dan Kak Anju ke kampung halaman di Sumatra Utara. Katanya, sekolah di sini juga bagus-bagus, jangan khawatir, Ra.

   Aku lebih mengkhawatirkan kondisi dan perasaannya. Apakah dia tidur nyenyak? Apakah dia masih sering menangis di tengah malam secara diam-diam? Atau yang lebih parah, apakah Amang masih sering tidur sambil memeluk foto Inang yang masih remaja?

   Semua hanya menjadi tanda tanya besar yang sering terlontar saat bicara dengan Kak Anju saja. Karena sejak saat itu, Amang lebih pendiam. Walau kasih sayangnya masih terasa sama, hangatnya masih membuatku merasa menjadi anak paling bahagia di dunia bahkan tanpa seorang ibu, Amang bagiku tetaplah sosok yang tidak tersentuh sejak kepergian Inang.

      "Marhara ayo makan! Anju dan Amangmu sudah di sini!"

    "Oh iya sebentar, Opung! Marhara rapikan buku dulu!"

    Sore itu, ketika radio di kamarku dalam rumah Balon menyuarakan musik Hip-hop, aku merapikan tumpukan jurnal di atas meja. Segera, aku melesat ke ruang makan sebelum menyesal karena melihat sosok itu.

   Iya itu. Sosok itu. Seorang lelaki yang malas sekali kusebut namanya karena sering mengataiku "dukun cilik". Bukan cilik umur, tapi badan.

    Sosok itu duduk di hadapan Kak Anju, diapit dua orang tuanya yang semringah menerima sambutan Opung Doli dan Opung Boru.

   Bah, lihat wajahnya. Songong sekali!

   Lihat, lihat! Ketika melihatku, tatapannya berubah tak mengenakan.

   Siapa "dia" hingga bisa bersikap seperti itu?

  
    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro