Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sahabat ... Untuk Selamanya

"Scorpio umumnya bersifat posesif dan cemburuan. Zodiak ini siap memberikan perhatian seratus persen kepada teman dan pasangannya, serta mengharapkan hal yang sama dari mereka. Scorpio tidak akan senang jika teman atau pasangannya terasa seperti membagi perhatian dan tidak benar-benar memperhatikan mereka. Terkadang, hal ini membuat orang merasa bahwa Scorpio terlalu obsesif dan mengontrol."

"Masalah lain yang menjadikan Scorpio sulit dicintai adalah karena mereka cukup pendendam. Mereka bisa mengingat kesalahan seseorang hingga waktu yang lama, meski mengatakan sudah memaafkan kesalahan tersebut. Hal ini pun bisa memperparah kondisi di kemudian hari."

Sumber : kumparan.com

***

"Ayo, Linda, cepatlah!"

"Iya, iya ini juga udah cepat," sahutku sambil berlari-lari kecil untuk mengimbangi langkahmu. Hari itu adalah hari pengumuman ujian akhir semester. Banyak siswa telah berkumpul di depan papan pengumuman untuk melihat nilai mereka masing-masing. Kau yang selalu bersemangat terus menarik tanganku. Sepertinya kau sudah tak sabar untuk segera mengetahui nilaimu.

Berdesakan dengan para siswa yang lain, kita berdua mulai membaca pengumuman itu. "Laurent ... Leo .... Lia ... LINDA ...." Napasku terhenti sejenak ketika menemukan namaku di sana. Mataku bergerak ke kanan untuk melihat hasil yang kudapat.

Aku menutup mulut tak percaya ketika kulihat nilai 85 di sana. Seulas senyum puas pun terbit menghiasi bibir.

"Rata-rataku 81! Bagaimana denganmu?" Suara nyaringmu mengagetkanku yang masih tak percaya dengan hasil yang kudapat.

"Aku dapat 85," sahutku masih dengan senyum mengembang.

"WAAAH!! Kau hebat sekali!" Dirimu yang memang selalu heboh memelukku sambil melompat-lompat. "Selamat!"

"I-iya, terima kasih," sahutku yang sudah hampir kehabisan napas karena pelukanmu begitu kuat.

"Ayo ke Kafe Boncos! Kita harus merayakan ini!" Tanpa membiarkanku bernapas, Kau menarikku keluar dari sekolah untuk menuju tempat nongkrong langganan kita.

Sebenarnya itu bukan kafe, melainkan warung yang menjual makanan ala kafe. Kita memang sengaja menyebutnya begitu biar terdengar agak keren. Mana sanggup kita yang menggantungkan hidup dari uang saku bisa jajan di kafe. Nama boncos juga sebutan yang kau berikan karena sang pemilik sering berkelakar jika ia boncos alias rugi ketika kita mencoba menawar.

Aku tahu, ia tidak benar-benar rugi. Mungkin untung sedikit.

Di kafe itu, aku memesan roti panggang dan cappuccino kesukaanku, sementara kau memesan es krim coklat dan green tea. Kita pun menikmati hidangan dengan ceria penuh canda dan tawa.

Sepulang sekolah dan beristirahat sejenak, aku menulis pengalaman hari itu di buku diary. Ya, aku memang punya kebiasaan untuk selalu mencurahkan isi hatiku di sana.

Dear diary,

Hari yang cerah. Aku sangat gembira karena berhasil naik kelas dengan nilai yang memuaskan. Prisca juga mendapat nilai yang cukup bagus. Ia begitu bahagia dengan tawa yang merekah sempurna. Di sebuah kafe, kami berbagi canda. Bersenda gurau, ekspresikan ceria. Melingsirkan penat barang sesaat. Dua tahun sudah aku bersahabat dengannya. Ku berharap semoga dia tetap ada di sana, dalam relung spesial dari sudut kalbuku. Sampai kapan pun ....

Oh ya, hari ini aku juga sempat melihat nilai Laurent. Dia mendapat nilai 92. Ah, cerdas sekali dia, ganteng pula. Seandainya saja aku bisa dekat dengannya .... Hehehe ...

Aku menulis kalimat terakhir sambil tersenyum-senyum sendiri seperti orang kurang waras.

Selepas libur semester, kita memulai tahun ajaran yang baru sebagai siswa kelas dua belas. Tahun terakhir sebelum mulai mengenyam jenjang perguruan tinggi. Meski aku dan kau kini tak sekelas lagi, kita masih sering menghabiskan waktu bersama di kafe boncos atau bertemu di kantin saat istirahat. Tak banyak yang berubah hingga suatu ketika, kau menceritakan perasaanmu padaku.

"Eh, kayanya aku suka deh sama Laurent. Dia orangnya cool banget. Pinter pula." Aku melihat matamu berbinar menerawang ke langit-langit kantin yang beratap seng. Tanganmu terkatup di dada diiringi senyum yang mengembang ceria.

Detik itu juga jantungku terasa berdebar sementara wajahku memanas. Meskipun begitu, kupaksakan seulas senyum tersungging di bibir.

"Wah, yang bener?"

"Iyaaa ... bantuin aku ya, biar dia bisa suka sama aku." Matamu berbinar menatapku.

"Tentu saja," sahutku masih dengan senyuman palsu. Tak ada jawaban lain yang bisa kusampaikan.

Hari itu, sama seperti hari-hari sebelumnya, aku menatap diary yang terbuka di hadapanku. Jemariku mulai bergerak menorehkan perasaan yang terpendam di dalam dada.

Dear diary,

Hari ini Prisca bilang kalau dia suka sama Laurent. Aku senang untuknya karena berani jujur pada perasaannya. Tapi aku juga kecewa pada diriku sendiri yang selalu takut untuk terbuka menceritakan isi hati. Meski mungkin akan sedikit terluka, aku berjanji untuk membantunya mendapatkan Laurent.

Aargh ... kenapa kami berdua harus menaruh hati pada orang yang sama?

***

Hari-hari berikutnya, kau selalu menitipkan surat beserta kado-kado kecil padaku. Karena sekelas dengan Laurent, aku jadi lebih mudah menyelipkan barang-barang itu ke dalam tas atau laci mejanya.

Aku pun ikut memberikan ide-ide agar pendekatanmu tidak terlihat terlalu frontal. Surat-surat pertama hanya berisi sapaan biasa dan gantungan kunci kecil. Berikutnya, agar membuatnya lebih penasaran, Kau memberikan surat berisi sapaan plus namamu yang disamarkan. Princess Leia begitu tulismu. Nama yang merupakan anagram dari namamu sendiri, Prisca Seline.

Selama proses pendekatanmu berlangsung, aku bertugas mengamati reaksi Laurent ketika menemukan surat-surat kecil itu. Aku pun melaporkan semuanya. Laurent yang pada awalnya mengernyitkan dahi, belakangan ini mulai tersenyum-senyum sendiri.

Ketika mendapat tanda-tanda bahwa rasa penasaran Laurent telah memuncak, aku pun mengatakan padamu untuk membuat sinyal kemungkinan pertemuan yang lebih kuat melalui surat berikutnya.

Dear Laurent,

Selamat karena kau berhasil meraih nilai tertinggi dalam UTS kemarin. Ini sedikit hadiah kecil dariku untuk mewarnai harimu. Semoga tak lama lagi kita bisa bertemu dan kau bersedia mengajariku. Huh ... nilai-nilaiku tak pernah tembus angka sembilan.

From,
Your (cute) future disciple

Ide menambahkan kata cute dan gambar itu jelas bukan dariku. Bersamaan dengan surat itu, kau juga memberikan sebuah pembatas buku bergambar star wars. Kalian berdua memang penggemar berat cerita futuristik itu.

Upaya itu rupanya berhasil, pada sore harinya, aku melihat status Laurent berisi tanggapan atas surat Prisca tadi.

Ya, Laurent bersedia menemuimu di halaman belakang sekolah pada pukul 14:00, setelah kegiatan belajar mengajar usai. Selamat, Prisca!

Setelah pertemuan itu, semuanya berjalan semakin mulus. Beberapa hari kemudian, Laurent tampak mulai dekat denganmu. Dalam beberapa kesempatan, kau menceritakan betapa gembiranya dirimu ketika Laurent bersedia mengajarimu tugas matematika, atau ketika lelaki itu menawarkan tumpangan pulang.

Semuanya memuncak ketika akhirnya kau menyampaikan bahwa kau dan Laurent resmi berpacaran. Aku pun menyampaikan selamat untukmu. Senyumku mengembang di bibir untuk menutupi pedih di hati. "Selamat, semoga langgeng terus ya," ujarku.

Dear diary,

Hari ini Prisca resmi jadian sama Laurent. Aku senang sekaligus khawatir. Senang karena sahabatku berhasil mendapatkan cintanya, sekaligus khawatir aku akan kesepian.

Selamat untukmu, hai sahabat. Tolong jangan lupakan aku ...

Hari-hari tampak bergulir seperti biasa, tetapi tidak bagiku. Kekhawatiranku semakin hari terasa semakin nyata. Aku merasa tersingkir ketika pada beberapa kesempatan, kau menolak ajakanku dan memilih untuk ke kantin bersama Laurent. Sebenarnya bukan menolak secara terang-terangan, tetapi kau selalu bilang kalau Laurent akan bergabung. Mengetahui hal itu, tentu saja aku terpaksa membatalkannya. Aku tak ingin hanya jadi obat nyamuk.

"Oh, ya udah, aku sendiri aja gapapa," sahutku tetap berusaha tersenyum.

Aku tahu, seharusnya hati ini bahagia untukmu, tapi tak bisa. Rasanya sulit sekali.

Setelah beberapa kali ajakanku selalu gagal, akhirnya aku menyerah. Melihatmu begitu lengket dengan Laurent membuatku merasa kian tersingkir. Apakah aku cemburu? Yah, anggap saja begitu.

Hari lepas hari, kebersamaan kita pun semakin jarang terjadi.

Orang bilang scorpio adalah zodiak yang paling pencemburu. Gengsinya tinggi plus tertutup dan pendendam. Mungkin itu memang benar. Ah, it really sucks being a scorpio.

Siang itu aku menatap Kafe Boncos, warung sederhana yang menjadi saksi persahabatan kita. Kau tampak di sana berdua bersama kekasihmu.

Hatiku pedih. Rasanya seperti teriris-iris. Dengan langkah cepat, aku pun segera berlalu.

Dear diary,

Apa yang terjadi padaku? Seharusnya aku bahagia untuknya, tetapi kenapa hati ini seperti tak mau diajak kompromi. Rasanya begitu pedih ketika melihatnya menghabiskan hari-hari bersama Laurent. Sementara aku? Hanya bisa terdiam sendiri di sudut sunyi.

Sesakit inikah rasanya dikhianati?

Tanpa terasa kertas diary-ku mulai basah oleh tetesan air mata. Malam itu aku tertidur dengan diary dalam pelukan.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mencoba bangkit dari keterpurukan. Meski canggung, aku menggabungkan diri bersama Ratna dan Bianca. Mereka sebenarnya menerimaku dengan baik, tetapi dasar aku cewek scorpio yang tertutup, sulit sekali rasanya untuk bisa terlibat dengan pembicaraan mereka.

Aku merasa harga diriku seperti terluka ketika salah satu dari mereka bertanya. "Tumben, ga sama Prisca?"

Aku tahu, itu hanya pertanyaan basa-basi tanpa maksud apa pun. Tapi entah kenapa hatiku terasa sakit.

Aku hanya mengangguk pelan.

Walaupun awalnya terasa berat, aku menolak menyerah. Perlahan, aku mulai bisa bergaul bersama kedua kawanku yang baru. Meski—harus kuakui—rasanya tak seerat persahabatanku denganmu, setidaknya mereka bisa sedikit mengobati sepi di hati.

Hari-hari berlalu. Komunikasiku denganmu semakin jarang terjadi dan aku lebih sering bergabung bersama Ratna dan Bianca. Setelah cukup dekat ternyata mereka asyik juga.

Pada suatu kesempatan, aku sengaja menolak ketika kau mengajakku ke Kafe Boncos. "Maaf, aku sudah ada janji dengan Ratna dan Bianca," sahutku. Meskipun itu benar, dalam hati sebenarnya aku hanya ingin memberimu sedikit pelajaran karena telah mengabaikanku selama ini.

Aku tetap meninggalkanmu mematung di depan pintu kelas meski sudah jelas, kau kecewa.

Bahkan saat berulang tahun, aku sengaja merayakannya hanya bersama Ratna dan Bianca. Aku tahu, kau merasakan perubahan sikapku. Beberapa kali kau mulai mencoba mengajakku bicara tetapi aku menanggapinya dingin.

Siang itu, sepulang sekolah tiba-tiba kau menarik tanganku. Dengan mata yang basah, kata maaf pun terlontar dari bibirmu yang gemetar. Namun, entah kenapa aku justru menarik tangan, melepasnya dari genggamanmu, mantan sahabatku.

"Ga perlu minta maaf. Ga ada yang salah. Apa ngabisin waktu sama pacar sendiri itu salah? Rasanya enggak." Begitu jawabku lalu pergi.

Dalam perjalanan, batinku memberontak. Apa yang kau lakukan? Dulu kau berharap dia kembali, kini ia sudah meminta maaf. Lalu apa lagi yang kau minta?

Meski perasaanku kalut, aku tidak berbalik dan terus melangkah. Biar saja, biar dia merasakan dulu sakitnya dikhianati ...

Keesokan harinya, aku mendengar berita bahwa kau telah putus dengan Laurent. Apakah aku jahat jika setitik rasa ini bersorak. Dalam hati aku berharap agar persahabatan kita bisa kembali, tetapi kenyataan tak selalu seindah angan. Hati ini telah terluka .... Terlalu dalam tuk disembuhkan dalam jeda sehari dua hari.

Dear diary,

Ada apa denganku? Prisca sekarang sudah putus dengan Laurent. Dia juga sudah berusaha mengajakku bicara. Seharusnya kami bisa kembali bersahabat. Tapi ... kenapa aku begitu keras kepala? Kenapa hati ini, yang pernah terluka, begitu sulit untuk disembuhkan?

Kubiarkan dia mengemis maaf dariku. Kutinggalkan kala dirinya menangis, memohon agar aku mengampuninya. Ah, kenapa aku jadi begitu jahat? Meski dalam lubuk hati yang terdalam aku juga berharap persahabatan kita kembali, entah mengapa, gengsi ini terlalu angkuh tuk ditaklukan.

Prisca ... maafkan aku.

Sambil menulis, aku berjanji dalam hati untuk menemuimu esok pagi. Aku bertekad semuanya harus kembali seperti dulu.

Namun, takdir benar-benar mempermainkanku. Keesokan paginya, aku mendengar kabar bahwa kau mengalami kecelakaan parah hingga harus dirawat di rumah sakit. Mereka meneleponku karena nomorku adalah nomor terakhir yang kau putar. Rupanya semalam kau mencoba menghubungiku, tetapi aku tak sadar karena ponselku tak pernah aktif saat malam.

Mendengar kabar itu, hati ini perih bak tersayat seribu sembilu. Saat itulah aku tersadar, bahwa ternyata kau masih tinggal di sana, di relung spesial dalam sudut kalbuku. Tangisku luruh, menyesali betapa jahatnya aku, telah abaikan maafmu selama ini.

Saat itu juga, aku memutuskan untuk bolos sekolah dan segera pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaanmu. Setibanya di sana, kaki ini berlari secepat kilat menyusuri lorong-lorong putih bersih tuk mencari keberadaanmu.

Kuhampiri tubuh lemahmu yang kini terbaring tak sadarkan diri. Bermacam alat medis yang menempel di tubuhmu membuat hati ini terasa pedih nyeri. Aku pun bersimpuh di sisimu penuh derai air mata.

"Maafkan aku ...." Hanya itu yang sanggup terucap dari lidahku yang kelu. Kulihat sebutir air mata mengalir dari sudut matamu yang terpejam, lalu, terdengar suara "biiiip ..." panjang menunjukkan bahwa detak jantungmu telah sirna.

Semuanya terasa bak mimpi ketika para perawat langsung mengusirku keluar. Entah prosedur apa yang hendak mereka lakukan untuk mengembalikan sahabatku. Ya, kau masih sahabatku. Yang terbaik yang pernah ada. Kumohon, kembalikan sahabatku ....

Tatapku kosong dan tubuhku ringan bak melayang. Aku melihat sanak keluargamu menangis pilu, abaikan keberadaanku.

Ya, aku memang bukan siapa-siapa bagi mereka, apalagi setelah berhari-hari kuabaikan maafmu. Mungkin mereka membenciku sekarang. Tapi ku tak peduli. Aku hanya butuh maafmu.

Pak dokter keluar dari ruangan dengan raut sedih. Dari reaksi sanak keluargamu, aku tahu bahwa kau tak tertolong lagi. Hati ini terasa pecah bak terhantam palu godam. Aku pergi tuk mencari sudut sepi. Ku menangis sepuasnya, melampiaskan perih yang tak terhingga. Entah berapa lama sudah aku terduduk di situ. Dalam dimensi lain di luar realitas.

Hingga waktu juga yang akhirnya menuntutku pulang. Kembali ke rumah dengan kosong, hampa tak berjiwa.

Dear diary,

Aku merasa hancur. Mengapa takdir begitu jahat? Ketika aku berniat memperbaiki segalanya, kenapa dia justru sudah harus pergi? Aargh ... apakah ini karmaku karena menyimpan dendam terlalu lama?

Tuhan, ampuni aku .... Ajari aku memaafkan bahkan sebelum kata maaf sempat terucap.

Malam itu, aku terlelap begitu saja, terbuai mimpi ke alam yang lain. Di sana, kau masih hidup, ceria seperti sedia kala. Kita tertawa menghabiskan waktu bersama. Oh, betapa ku ingin tetap di sana, di alam mimpi yang begitu indah.

Kau menyodorkan tangan untuk bersalaman "Sahabat?" tanyamu.

"Untuk selamanya," sahutku sambil merengkuhmu erat seolah tak ingin terlepas lagi.

Hingga tiba waktu kita tuk berpisah, kau berjanji telah memaafkanku dan berpesan agar aku kembali menjalani hidup dengan bahagia. Tubuhku terasa menghangat dan jiwaku pun tenang. Ku terbangun dengan senyum mengembang, meski air mata haru kembali menetes.

Terima kasih sahabat. Kuharap kau pun bahagia di alam sana.

-The End-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro