36 // Anak Kecil Kepo.
Wenda duduk di depan televisi, memeluk satu stoples kripik kentang favoritnya. Garis senyumnya turun, saat melihat adegan sedih dari drama yang dia tonton.
Wenda meraih ponselnya di atas meja hanya sekadar melirik jam digital pada layar benda canggih miliknya.
Sudah menunjukkan pukul delapan malam, akhir-akhir ini Chandra sering pulang telat.
Wenda mencoba menghubungi nomor Chandra, tetapi dia urungkan saat rungunya mendengar deru mesin mobil Chandra memasuki carport rumah mereka. Wenda berlari ke pintu utama, membuka pintu, menyambut Chandra yang lelah seharian bekerja. Sungguh istri idaman, ya.
Chandra tersenyum saat mendapati Wenda di ambang pintu, tangannya terentang lebar. Wenda menghambur masuk ke pelukan Chandra, sudah cukup peka dengan kode si bapak.
Chandra menggoyangkan tubuh Wenda dalam pelukannya ke kanan ke kiri. "Tadi pulang dari butik, naik taksi?" tanya Chandra kemudian.
"Nggak, tadi diantar mami."
"Mami mampir?"
"Nggak, cuma ngantar doang."
Chandra mengangguk-anggukan kepalanya. Mereka berjalan melewati ruang depan, berhenti di ruang tengah, duduk di sofa menghadap televisi yang masih menyala.
"Kamu nonton drama, tumben ditinggalkan cuma buat nyambut aku doang. Biasanya kalo udah nonton drama nggak mau diganggu."
"Habisnya dari tadi aku nggak punya temen ngobrol, nungguin kamu lama pulangnya," rengek Wenda.
"Kenapa nggak ngajak Chabe ngobrol lagi?" Chandra membenahi poni Wenda. Chandra mendekatkan wajahnya ke wajah Wenda, menyatukan hidung mereka.
"Chabe mangap-mangap aja. Pecicilan dia, keluar masuk rumah nanas. Nanti rumah nanasnya aku ganti jadi bengkuang biar tahu rasa."
Chandra tertawa, ada-ada saja ucapan Wenda, dikira itu ornamen rujak buah. "Aku mau mandi dulu, kamu udah makan?"
Wenda mengangguk. "Aku udah makan, nungguin kamu lama," cibir Wenda.
Tangan Chandra mengusak kepala Wenda dengan sayang. Chandra meninggalkan Wenda, bergegas menuju kamarnya dan membersihkan diri.
Ada sesuatu yang bergetar di samping tempat Wenda duduk, diliriknya di sisi kirinya, ada ponsel Chandra tergeletak di sana, mungkin terjatuh dari saku celana Chandra saat duduk tadi.
Ponsel Chandra terus bergetar, ada nomor dengan nama hanya satu huruf yang tertampil di sana, Wenda meraih ponsel itu mengangkat sambungan telepon.
"Halo," sapa Wenda.
Wenda menjauhkan layar ponsel dari telinganya, detik angka masih berjalan, itu berarti sambungan telepon masih terhubung.
"Halo, selamat malam," ulang Wenda, "eh, putus?" Wenda menyimpan ponsel Chandra di atas meja depannya.
Pada popup muncul satu chat, Wenda bisa membacanya meski tidak membukanya.
Lima menit kemudian, Chandra duduk di samping Wenda, tangannya yang lembab dia tangkupkan di pipi Wenda. Dengan iseng ibu jari dan telunjuknya mencubit kecil pipi Wenda.
"Aw, Chan! Mulai deh, isengnya kumat," gerutu Wenda.
"Salah sendiri, kenapa punya pipi kayak gini, bikin gemes aja kayak bayi panda," ujar Chandra yang masih memainkan pipi Wenda.
Wenda menyingkirkan telapak tangan Chandra dari pipinya. "Chan, tadi ada telepon dari S."
Mata Chandra membesar karena terkejut. "Kamu angkat telepon dari dia?"
"Iya, kenapa? Aku lancang, ya?" lirih Wenda takut-takut melihat ekspresi Chandra.
Chandra tersenyum. "Nggak apa-apa, kok. Aku agak heran aja, biasanya kamu mana peduli angkat telepon di handphone aku, sampe meledak pun mungkin bakal kamu liatin doang," jelas Chandra.
"S itu siapa? Tadi dia kirim chat juga, katanya besok dia sampai Jakarta."
Chandra bergegas meraih ponselnya di atas meja, memeriksa chat yang di maksud Wenda.
"Chan," panggil Wenda lagi.
"Kenapa, Sayang?"
Chandra memang menyahuti panggilan Wenda. Namun, matanya fokus pada ponsel, jarinya lincah mengetik sesuatu membalas pesan yang Wenda tidak tahu dari siapa.
Wenda diam, tidak lagi berusaha menarik perhatian Chandra. Lima menit Wenda bertahan, duduk di ujung sofa, memperhatikan Chandra yang masih berbalas pesan. Sesekali senyum tipis terukir di bibir Chandra.
Chandra mendongak, manik kelamnya bertemu dengan milik Wenda. Chandra membaringkan tubuhnya, kepalanya bersandar di tangan sofa. Chandra berbaring miring, tangannya menepuk-nepuk sisi kosong, isyarat agar Wenda bergabung.
"Sini, kok diem aja. Kalo anak kecil diem aja di pojokan, pasti pup di celana. Kamu nggak lagi pup kan?"
Wenda mendelik tajam, tidak terima disamakan dengan bocah yang sedang buang air. Dia merangkak mendekat ke arah Chandra, berbaring membelakangi Chandra, lengan Chandra sebagai bantalnya. Chandra menghidu aroma rambut Wenda, lengannya melingkar di pinggang Wenda.
"Itu tadi temen aku," ucap Chandra mencoba menjawab pertanyaan Wenda yang sempat menggantung.
"Cowok apa cewek?" tanya Wenda penuh selidik.
"Cowok, namanya soni. Inget nggak yang aku pernah cerita punya temen kakaknya tatto artist? Ya, dia itu."
"Kok aneh. Kayak cewek caranya ngomong."
Chandra memajukan wajahnya, menatap Wenda lekat. "Kamu sempet ngobrol?"
Wenda menggeleng. "Nggak, tadi aku sempet baca cara ketikan chat-nya. Dia sebut aku kamu. Kan biasanya kalo sesama cowok bro, sob, gitu, gue, gua, lo, atau lu."
Chandra terkekeh, mengeratkan pelukannya. Mencium pipi Wenda. Lucu sekali rasanya kalau punya istri curigaan seperti ini.
"Suka-suka dia, Sayang. Nggak semua cowok harus mutlak panggil lo gue, nggak boleh aku kamu."
Wenda berbalik menjadi menghadap Chandra. "Kenapa kamu kasih nama kontaknya cuma huruf S. Kenapa nggak jelas-jelas."
"Ini aku berasa di todong pertanyaan sama anak paud lho. Kepo banget sih, anak kecil. Dari tadi tanya terus."
Chandra mencubit pipi Wenda, sejurus kemudian wajahnya sudah mendekat ke wajah Wenda. Sepertinya hari ini pipi Wenda adalah mainan yang menyenangkan bagi Chandra.
Chandra menggigit pelan pipi Wenda, membuat Wenda terkikik kegelian. Wenda menyembunyikan wajahnya di dada Chandra. Tidak mau kalah, Chandra masih menggoda Wenda dengan mencium apa saja yang bisa bibirnya raih, dari telinga, pelipis, leher bahkan punggung tangan Wenda yang dia gunakan menutupi wajahnya.
"Ampun ... ampun. Iya, nggak kepo-kepo lagi. Udah, Chan. Geli," rengek Wenda dengan wajah memerah karena terlalu banyak menahan tawa.
Tangan Chandra terulur, menghapus peluh di dahi Wenda. "Kamar, yuk! Bobo, anak kecil nggak boleh bobo malem-malem."
"Aku bukan anak kecil, ya. Bentar lagi mau 19 tahun."
"Masa, sih? Kemarin aku pegang masih kecil, nggak sampe satu genggaman aku."
"Ish! Apaan, sih." Wajah Wenda kembali memerah. Chandra terkekeh saat kepalanya ditoyor Wenda.
Wenda bangkit dari posisinya, merangkak naik duduk di perut Chandra. Tangannya meraih ujung piama, jika dilihat dari gerakannya Wenda hendak membuka piamanya.
"Kan ... kan ... mulai agresif lagi." Tangan Chandra mencekal tangan Wenda. Chandra tertawa pelan saat melihat Wenda kembali mencoba menggodanya.
Wenda berdecih. "Dasar lemah, gitu doang aja nyerah," cibir Wenda.
"Chabe ... tolongi ini mami lo nakal lagi," teriak Chandra pada aquascape di ujung sana.
"Aku noona-nya bukan mami!"
Tanjung Enim, 21 November 2020
Republish, 10 Maret 2021
Hei, Ini sudah tanggal 2. Sudah chat admin order pasangan ajaib? Atau cekout di shopee?
Jangan sampe ketinggalan lagi, ya. 🥰
Salam Sayang
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro