33 // Diajari apa?
Chandra menekan bel berulang, belum juga ada pergerakan dari pintu besar yang ada di hadapannya. Sudah sekitar lima menit yang lalu Chandra berdiri di teras rumah Joy. Mengetuk, menekan bel agar tuan rumah tahu dan membukakan pintu untuknya.
Tangannya bergerak meraih ponsel di
saku celananya.
"Halo, Sayang. Aku udah di depan ini. Mencet bel dari tadi nggak dibukain juga. Kamu masih di sana, 'kan?"
"Oh, tunggu bentar. Kita turun."
Chandra kembali menunggu di teras rumah Joy. Tidak lama kemudian pintu di hadapan Chandra bergerak tertarik ke dalam, tapi bukan Joy yang keluar melainkan sang ART.
"Maaf, Mas. Kita tidak mau kredit barang apa pun," ucap wanita paruh baya di hadapan Chandra.
Chandra mengerutkan keningnya, dia meneliti penampilannya dari atas hingga bawah. Tidak ada yang aneh, Chandra mengenakan kemeja krem dengan kancing yang dibiarkan terbuka, memperlihatkan kaus putih di dalamnya.
"Mas, mau izin demo memasak, 'kan?"
"Eh? Bu-bukan, Bi," sanggah Chandra.
"Oh, mau nawari selang gas? Maaf, Mas. Kita sudah ganti, yang ada SNI, 'kan?"
"It-itu, Bi. Aku bukan sales panci atau pun mau nawarin regulator gas, ak—"
Ucapan Chandra terpotong, suara Joy menginterupsi percakapan mereka. "Bi, itu temen aku. Suaminya Wenda."
Wanita itu mengalihkan pandangannya ke Chandra, melihat dengan teliti. "Oh, suami Mbak Wenda. Kirain tadi sales panci, berdasi tak bergaji," celetuk ART Joy.
Ya, bego banget itu sales kalo kerja nggak digaji. Mending cari kerjaan lain.
"Suami Mbak Wenda ganteng, Mbak Wenda juga cantik," puji sang bibi sembari berlalu pergi.
Sang bibi sudah meninggalkan mereka, Chandra mendekatkan wajahnya ke wajah Wenda, jarinya terulur mengambil sesuatu dari bawah mata Wenda.
"Kangen banget ya sama aku? Bulu mata kamu sampe jatuh gini," goda Chandra seraya mengusap kepala Wenda, lalu membenahi tali tas yang melorot dari bahu Wenda.
"Wah, bener-bener ini pasutri nggak tahu diri. Ingat waktu dan tempat oi," sindir Joy yang masih berdiri di ambang pintu.
"Loh? Lo masih di sini, Joy?" Chandra bercanda, memperlihatkan wajah pura-pura terkejut.
"Ini rumah gue, ya. Kalo gue nggak di sini mau ke mana? Rumah batu Patrick Star?"
"Ke rumah Jaffran." Wenda menimpali.
"Kalau itu, biarkan menjadi rencana masa depan kami," ucap Joy bangga.
-o0o-
"Sayang, aku sudah selesai. Kamu mandi sana," ujar Chandra yang baru saja keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya.
Chandra dan Wenda sudah berada di rumah mereka sejak satu jam yang lalu. Wenda masih sibuk menekuri ponsel di tangannya seruan Chandra tidak dia hiraukan.
"Kamu akhir-akhir ini susah banget disuruh mandi." Chandra kembali berujar. Tangannya menggosok rambut basahnya dengan handuk kecil.
Chandra membuka lemari, mencari sesuatu yang akan dia kenakan. Mulai dari pakaian dalam, kaus, dan celana pendek favoritnya. Di balik pintu lemari yang terbuka sebelah, Chandra menoleh ke tempat tidurnya. Wenda masih duduk bersila menatap layar ponsel, seolah benda canggih itu lebih menyenangkan.
"Wenda ...." Suara panggilan Chandra kembali menggema.
"Iya," jawab Wenda singkat.
Wenda membuka satu per satu kancing blouse-nya dengan satu tangan, melepaskannya hingga menyisakan tanktop hitam yang masih dia kenakan. Matanya masih terpaku tidak beralih dari layar ponsel.
Tidak lama kemudian ponsel Chandra berdering nyaring. Chandra menoleh, mendapati Wenda yang sudah menyodorkan ponsel yang sejak tadi dia pegang.
"Handphone kamu ada telepon. Buruan angkat, Chan. Aku masih butuh buat liat itu."
Chandra mengernyit. "Jadi dari tadi kamu pake ponsel aku? Ponsel kamu mana?"
"Buruan angkat dulu ini," pinta Wenda dengan nada merengek seperti layaknya anak kecil.
"Kamu aja yang angkat, ini aku mau pakai celana dulu," ucap Chandra sembari menarik celana melewati kaki jenjangnya berhenti di pinggang.
Wenda mengangkat telepon. "Halo?" Wenda meneliti layar ponsel yang menampilkan deretan nomor yang belum tersimpan. "Innalilahi wainna ilaihi rajiun."
Chandra bergegas menghampiri Wenda. "Siapa yang meninggal?" tanya Chandra panik.
"Teleponnya ... mati." Wenda menyengir.
Chandra menghela napas, jantungnya sudah mau copot. Dia pikir ada yang meninggal. Namun, ternyata Wenda hanya bergurau saja. Ponsel Chandra kembali berdering sesaat kemudian.
Wenda mengangsurkan kembali ponsel itu. Chandra menerimanya, menggeser ikon hijau. "Halo," sapa Chandra yang tidak ada sahutan kemudian terputus sendiri.
Chandra membuka matanya lebar-lebar, dia tidak salah lihat, 'kan? Layar ponsel masih berada pada histori yang sejak tadi Wenda lihat. Wenda membuka situs video dewasa.
"Ini apa, Wenda?" Chandra memperlihatkan layar ponsel ke depan wajah Wenda.
Wenda menyengir salah tingkah, dia bangkit dari posisinya berdiri di atas tempat tidur, mengalungkan tangannya di leher Chandra, memajukan wajahnya, membubuhkan satu ciuman singkat di bibir Chandra.
"Nggak usah ngerayu biar nggak kena marah, ya. Nakal banget, sih. Kamu ngapain buka situs dewasa, Sayang?"
"Penasaran, pengin liat, pengin ... nyoba," desis Wenda.
"Aku udah mandi, jangan aneh-aneh, ya," tandas Chandra melepaskan belitan tangan Wenda di ceruk lehernya.
"Nanti kan bisa mandi lagi," celetuk Wenda.
"Wen, aku mau tanya sesuatu," ucap Chandra yang sejak tadi dia tahan, "seharian di rumah Joy, kamu diajari apa?"
Wenda terkekeh, dia kembali mengalungkan lengannya, mengambil alih semua yang biasa Chandra lakukan sebagai pihak pendahulu.
"Mandi, Wenda. Cuci sana ini kepala. Kamu kebanyakan gaul sama komplotannya Jaffran jadi nakal, ya."
-o0o-
Chandra duduk di tempat tidur, bersandar pada kepala tempat tidur. Jarinya lincah di atas touchscreen ponselnya. Wenda keluar dari kamar mandi, kemudian duduk di meja riasnya, melakukan skincare rutinnya.
Selesai dengan kegiatannya, Wenda merangkak menaiki tempat tidur, menelusup masuk ke pelukan Chandra, mengeratkan pelukannya, bersandar nyaman di dada Chandra.
"Kayaknya ada yang aneh sama kamu," ujar Chandra yang masih merasa ganjil dengan semua tingkah Wenda sejak tadi.
Wenda tersenyum miring, dengan gerakan cepat merangkak naik ke tubuh Chandra.
"Allahu Akbar! B-berat badan kamu, Sa-sayang," rintih Chandra, tetapi tidak diindahkan Wenda. Dia justru meraih wajah Chandra untuk dia bubuhkan ciuman. Kening Chandra semakin berkerut.
Ini bukan Wenda. Itu komplotannya Jaffran pasti udah nyuci otak polos bini gue.
Ponsel Chandra kembali meminta perhatian, nomor yang sama tertampil di sana. Chandra mengangkat panggilan telepon, Wenda terus melancarkan aksinya. Mengusap wajah Chandra dengan gerakan menggoda.
"Sayang, bentar. Aku mau telepon dulu."
Chandra menyingkirkan tangan Wenda, melepaskan pelukan, berjalan keluar kamar.
"Ah, Capek gue. Udah kayak cewek murahan. Udah dari tadi godain, kepancing nggak. Ngehindar, iya! Gue juga sih yang bego. Diajarin apa sama Joy, ikut aja," gerutu Wenda pada diri sendiri.
Tanjung Enim, 20 November 2020
Republish,08 Maret 2021
Haloooowwww... Selamat hari Sabtu. H-1 Pasangan ajaib open PO. 🥳🥳🥳😘😘
Bagaimana? sudah berapa tabungan untuk peluk Wenda Chandra?
Yang mau tanya-tanya perihal cetak, ada apa aja di versi cetak. (Yang jelas gak ada bonus park Chanyeol, ya.)
Silakeuun drop komentar terbaik kalian. 😘
31122022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro