Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26 // Rasa Strawberry.

Wenda mendorong pintu rumahnya dengan lunglai. Ada yang menggangu pikirannya sejak dari butik tadi, langkahnya dibawa memasuki ruang tengah. Berjalan menuju kamar. Chandra belum pulang dari kerja, Wenda tahu itu.

"Eh, Neng Wenda. Udah pulang?" sapa seseorang yang baru saja muncul dari dapur.

"Iya, Bi. Bibi belum pulang?" balas Wenda.

"Belum, Neng. Bibi lagi nyiapin makan malam buat Neng Wenda sama Mas Chandra."

"Ya, udah. Wenda ke kamar dulu ya, Bi."

Bi Yati, wanita paruh baya yang dipilihkan mami sebagai ART untuk Wenda dan Chandra. Wenda masuk ke kamar, melemparkan tubuhnya ke kasur. Pandangan Wenda memperhatikan gorden kamarnya yang tertiup angin, pendar dari luar jendela sudah mulai berubah kekuningan.

Chandra pasti udah dalam perjalanan pulang.

Wenda bangkit dari posisinya, tiba-tiba dia mengingat sesuatu. "Tadi di kampus, Chandra bilang mau jemput di butik. Kok, gue lupa sih. Malah pulang duluan," gumam Wenda yang langsung meraih tasnya yang tadi dia lempar asal.

Wenda menghubungi nomor Chandra, dering ke lima baru tersambung.

"Iya, Wen. Ini aku baru masuk mobil. Tunggu bentar lagi, ya. Aku jemput kamu."

"Chan," lirihnya, "aku lupa, sekarang aku udah di rumah. Kamu langsung pulang aja."

"Oh, gitu. Ya, udah, kamu mau dibawain apa?"

"Nggak usah, Bi Yati udah masak. Kamu cepetan pulang aja," cicit Wenda.

"Kenapa? Kangen ya? Pengin cepet ketemu aku."

Tidak ada jawaban dari Wenda, suara Chandra di seberang sana masih memanggil nama Wenda.

"Halo, Wen? Masih di sana?"

"Iya, kamu cepet pulang aja. Hati-hati di jalan," tandas Wenda mematikan sambungan telepon.

Wenda beranjak dari tempat tidur menuju ke kamar mandi. Membersihkan diri, mengguyur tubuhnya dengan air dingin mungkin bisa mengurangi beban pikirannya.

Setelahnya, Wenda duduk di atas tempat tidurnya, membuka aplikasi sosial media miliknya. Matanya seperti ada yang meniup, semakin lama semakin kian berat dan Wenda sudah terbuai dalam tidurnya.

-o0o-

"Sayang," panggil Chandra yang sejak ruangan depan memanggil Wenda, tetapi tidak ada sahutan.

Mata Chandra menangkap Wenda yang terbaring di atas tempat tidur dengan posisi tengkurap, tangan kanannya masih memegang ponselnya. Chandra membalik tubuh Wenda, membenahi posisi tidurnya. Menarik selimut hingga dada Wenda. Singkat, Chandra meninggalkan jejak bibirnya di dahi, kedua mata, puncak hidung, dan terakhir bibir Wenda.

"Lama nungguin aku, ya? Sampe ketiduran gini," gumam Chandra.

Chandra bergegas masuk ke kamar mandi. Mengurus tubuhnya yang terasa lengket berkeringat seharian. Lima belas menit sudah, urusan Chandra sudah selesai. Diliriknya Wenda di tempat tidur, masih terlelap nyaman di bawah selimut.

Chandra memutuskan ke ruangan pribadinya, ada sesuatu yang harus dia kerjakan. Chandra menekuri buku catatannya, meneliti apa yang ada di layar laptopnya yang menyala. Sejurus kemudian telinga caplangnya menangkap sayup-sayup suara memanggilnya.

Chandra melirik jam digital di sudut kanan bawah layar laptopnya. "Baru jam delapan, nggak mungkin kan itu hantu. Kecepatan keluar atau gimana itu setan," ucap Chandra asal.

"Chan." Suara itu terdengar lagi, Chandra menghela napas lega. Itu suara Wenda yang memanggilnya.

"Di markas, Sayang!" teriak Chandra agar Wenda mendengar.

Markas. Ya, markas. Chandra menyebut ruangan yang sedang dia tempati ini adalah markasnya. Mau disebut ruang kerja, terlalu melenceng rasanya, mengingat dalam ruangan ini tidak hanya tempat bekerja, tetapi juga tempatnya bermain game dan ada berbagai alat musik sebagai hobinya.

Wenda mendorong pintu pelan, terlihat wajahnya yang masih mengantuk. Chandra terkekeh sejenak, kemudian merentangkan sebelah tangannya untuk mengajak Wenda bergabung.

"Eh?" Chandra terkesiap saat Wenda sudah mengambil posisi duduk di pangkuannya, menyandarkan kepalanya di dada bidang Chandra.

"Kenapa?" tanya Chandra kemudian.

Wenda hanya menggelengkan kepalanya pelan.

"Ada masalah?"

Wenda kembali menggeleng, tangan Chandra sudah mengusap lembut punggung Wenda.

"Butuh sesuatu?"

Untuk ketiga kalinya Wenda menggeleng tanpa suara.

"Sudah makan?"

Sekali lagi cuma geleng-geleng nggak ngomong, dapat hadiah gelas cantik, nih, Wen.

"Belum," jawab Wenda singkat.

Wenda berdiri dari posisinya, pindah duduk di kursi sebelah Chandra.

"Mau makan?" tanya Chandra memutar kursinya menghadap ke Wenda.

"Nanti aja, masih belum lapar. Kamu ngerjain apa?"

"Oh, ini lagi ngerjain presentasi buat dibawain besok."

Wenda mengangguk-angguk, tangannya meraih ponsel Chandra di atas meja. Membuka game yang ada di ponsel Chandra lalu memainkannya. Bosan dengan game pada ponsel, Wenda beranjak ke sudut kanan ruangan. Di mana ada set gaming di sana, Wenda sudah duduk di kursi gaming menghadap layar hitam.

"Chan, gimana nyalainnya, aku mau main di sini," ucap Wenda.

Chandra mendekat ke tempat Wenda berada, menyalakan perangkat game miliknya.

"Sekalian orangnya pakein senjata yang bagus," pinta Wenda.

Chandra sedikit menunduk, tangan kirinya bertumpu pada meja, sementara matanya fokus menatap layar monitor, tangan kanannya sibuk mengeklik mouse menyetel senjata, baju perlindungan pada karakter game-nya.

Secara tiba-tiba, lengan Wenda melingkar di pinggang Chandra. Chandra yang terkesiap, matanya memperhatikan gerak-gerik Wenda. Rasanya aneh saja jika tidak ada sesuatu. Chandra melepaskan pelukan Wenda, diangkatnya tubuh Wenda, bergantian dia yang duduk di kursi dan Wenda di pangkuannya.

"Kamu kenapa? Nggak mungkin kalo nggak ada apa-apa."

Chandra membenahi posisi duduk wenda. "Aku kenal kamu tuh udah lama, Wen. Aku paham sama tingkah kamu. Kalo udah manja gini, pasti ada sesuatu yang mau dipinta, atau ada yang kamu pikirkan."

Chandra memicingkan matanya. "Atau ... kamu lagi ngelakuin kesalahan?"

"Enak aja!" sungut Wenda.

"Ya, habisnya apa, Sayang. Kamu jangan nyuruh aku nebak bahasa kalbu kamu. Aku nggak paham. Cerita dong."

"Emang aku semanja itu ya?"

Kening Chandra mengkerut, senyum jahilnya tercetak kemudian. "Iya! Kamu tuh manja banget, apa-apa serba aku, Chan mau ini, Chan nggak bisa, Chan bantuin ini, Chan aku mau dipeluk, Chan aku mau dicium."

Wenda berdecih tidak terima. "Yang terakhir karangan kamu itu, mana ada aku gitu."

Chandra mendekatkan wajahnya, mengecup singkat pipi Wenda. "Kalo ada apa-apa bilang, ya. Cerita ke aku. Jangan diem aja terus nanti kamu uring-uringan nggak jelas. Aku kan bingung."

"Aku mau cerita, tapi pindah ke sana lagi," tunjuk Wenda pada kursi yang tadi dia duduki.

"Ya udah turun. Jalan ke sana."

"Gendong," ucap Wenda dengan wajah memelas.

"Katanya nggak manja. Tapi jalan ke sana minta gendong."

Wenda terkekeh saat tubuhnya sudah diangkat dan berjalan ke tempatnya semula. Chandra mendudukkannya di kursi.

"Sekarang cerita," kata Chandra sembari mengambil posisi duduk di sebelah Wenda.

"Kamu ... kenal sama cewek namanya Yuan Shanshan? Kata Joy, papi pasti kenal sama orang tuanya. Soalnya pengusaha juga."

"Yuan Shanshan ... nggak kenal. Kenapa?"

"Dia juga pelanggan di butik mami."

"Ya, terus?" Chandra bertanya penasaran.

"Aku pernah dapat cerita dari Joy, dia satu SMA sama Joy. Shanshan itu suka gangguin hubungan orang. Awas ya nanti kalo kamu genit sama dia," ancam Wenda.

Chandra tergelak. "Aku kan nggak kenal sama dia, Sayang. Orangnya juga nggak tahu yang mana."

"Dia satu jurusan sama kamu, kakak tingkat kita."

"Oh, gitu. Iya nanti aku tulis di jidat aku. Yang bernama Yuan Shanshan nggak boleh deketin aku."

"Chandra! Aku serius juga," rengek Wenda.

"Iya. Iya, aku nggak akan deket-deket kalo ada dia." Chandra mengusak puncak kepala Wenda, "masih mau cerita? Aku mau ngerjain presentasi lagi, nih."

"Udah nggak, kamu lanjutin aja."

Chandra melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Wenda sibuk sendiri entah apa yang dia kerjakan.

"Chandra! Ini apa?" Wenda terpekik melihat empat sachet benda yang terbungkus plastik berwarna dari dalam laci meja kerja Chandra.

"Oh, itu. Kan aku udah bilang, aku punya itu."

"Buat apaan kamu nyimpan pengaman?"

"Buat aku tiup, Wen. Terus nanti aku pajang di dalam ruangan ini, atau bila perlu aku gantung di kamar kita."

Wenda tergelak geli mendengarnya. Dikira ini balon ulang tahun apa ya? Mana pake niat digantung di dalam kamar.

Wenda meraih satu bungkus berwarna merah, membolak-balik kemasan segiempat itu di depan hidungnya.

"Kamu ngapain ngendus itu, Sayang."

"Penasaran aja, ini ada gambar stroberi. Nggak mungkin kan rasanya stroberi, kan nggak dimakan, mungkin aromanya kali ya?"

Chandra mendekatkan wajahnya. Berbisik di telinga Wenda dengan suara sedikit memberat.

"Kalo penasaran, dicoba dong. Mau nggak?" ucap Chandra sensual dengan mengecup daun telinga Wenda sekilas.

"Kita mau coba? Yang rasa strawberry," sambung Wenda.

Tanjung Enim, 12 November 2020
Republish,03 Maret 2021

Salam sayang ♥️
RinBee 🐝

Happy weekend semuanya. Mau tanya dung, misal nih. SNY mau dicetak. Adakah yang mau ikutan PO kali ini? Komen dong.
241222

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro