Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 // Mandiri

"Yakin kalian mau nempatin di sana?" tanya mami yang sudah berulang kali memastikan.

"Yakin, Mi. Capek, ah, Mi. Dari tadi nanya itu-itu aja," protes Chandra.

Chandra dan Wenda memutuskan untuk belajar mandiri dengan memulai hidup terpisah dari keluarga Chandra maupun Wenda. Mereka akan menempati di salah satu rumah milik orang tua Chandra.

Mami yang sangat berat melepas anak dan menantu kesayangannya berulang kali meyakinkan, bahwasannya tinggal jauh dari orang tua tidak segampang yang mereka pikirkan.

"Ya udah, deh. Mami cuma pasrah aja. Mami bakalan rindu sama menantu mami ini." Mami beranjak dari duduknya menghampiri Wenda, memeluknya erat.

"Nanti Wenda sering-sering main ke sini, Mi," hibur Wenda pada mertuanya.

"Oh, iya, Wen. Gimana kalau kamu sama mami aja di butik? Biar mami bisa ketemu sama kamu terus," tawar mami.

"Mi, itu istri Chandra ya. Bukan pekerja rodi." Chandra memperingatkan mami.

"Apaan, sih, Chan. Nggak mungkinlah! Karyawan aja mami pekerjakan dengan layak. Masa menantu sendiri dijadiin pekerja rodi." Mami tidak terima dengan ucapan Chandra.

Tangan mami menyingkirkan poni Wenda dari dahinya. "Gimana, Sayang? Lagian nanti kalau Chan udah mulai kerja, kamu sendirian di rumah. Nanti kamu kesepian. "

Wenda bingung, matanya melirik Chandra. "Kok ngeliatin gue!" seru Chandra.

"Tenang, Sayang, nggak akan ganggu kuliah kamu," ucap mami menyakinkan Wenda yang belum juga mengiyakan.

Chandra merapatkan telapak tangannya di sisi garis bibirnya, "Wen, minta bayaran yang tinggi," bisik Chandra pada Wenda yang berada di sofa seberangnya.

"Oh, tentang bayaran nih ceritanya," timpal mami.

"Eh, nggak Mi. Bukan gitu." Wenda salah tingkah. Benar! Wenda tidak berpikiran ke sana.

"It's okay, anggap aja Wenda pegawai part time mami. Untuk jadwal kerja terserah Wenda, yang penting nggak ganggu kuliah dan quality time kalian."

"Iya, Mi. Wenda mau," sahut Wenda.

"Aaah ... senengnya, nanti mami tunjukin rancangan mami terbaru, mami juga ajarin kamu tentang desain." Mami berseru senang, tubuh Wenda dipeluknya.

"Lumayan buat tambahan biaya hidup kita, Wen," celetuk Chandra.

"Aww! Sakit, Mi." Mami melemparkan bantal sofa, mengenai kepala Chandra.

"Jadi suami kok nggak ada harga dirinya," cibir mami.

"Lah, emang salah, Mi?"

"Salah dong! Uang suami, uang istri juga, tapi uang istri ya mutlak punya istri. Kamu bertugas menuhi kebutuhan hidup, bukan Wenda."

Chandra menggaruk tengkuknya, niat bercanda malah dapat siraman rohani.

***

Chandra dan Wenda kebingungan, saat kunci yang diberikan mami tidak bisa membuka pintu rumah di hadapan mereka. Sekitar sepuluh menit yang lalu mereka berada di depan sebuah rumah yang terletak di perumahan elite itu.

"Yakin, Chan? Ini rumahnya?"

"Dari alamat yang mami kirim, ya di sini."

"Atau mami salah kasih kunci?" Wenda memastikan. "Lo juga, masa nggak ingat alamatnya."

Chandra menghela napas berat. "Gue belum pernah ke sini, Wen. Gue nggak tahu kalo papi beli rumah di sini. Milih rumah ini juga random. Karena gue pikir dekat sama kampus dan kantor papi."

Apa? Dia pilih random? Begini nih, orang kaya kebanyakan kontrakan, eh, rumah.

"Ini rumah, apa Upin Ipin, sih. Kembar seirias. Kiri sama kanan mirip semua," celetuk Wenda mengomentari rumah-rumah yang ada di sana.

Wenda terus saja mengomel. "Ini rumah nggak ada penghuni atau gimana, sepi banget."

Chandra menyibukkan diri dengan ponselnya. Menghubungi mami rasanya lebih baik ketimbang harus berdiam diri, atau lebih parah menggerutu seperti perempuan cerewet di sampingnya.

"Halo, Mi. Ini alamatnya benar? Griya Indah V-11." Chandra menyebutkan alamat dan blok yang dia lihat pada akrilik tertempel di samping pintu.

"Hah? Kok V-11, yang benar Griya Indah blok C-11, Chan."

"Tadi mami kirim alamatnya V-11. Gimana sih, Mi," protes Chandra pada mami di seberang sana.

"Ya maaf, Sayang. Jari mami meleset. Habisnya kenapa juga itu huruf C sama V harus deket-deketan. Tolong kasih tahu harus social distancing."

"Pake nyalahin huruf. Salahin aja itu jari Mami kenapa jempol semua."

Terdengar suara kekehan mami di seberang sana. "Udah kamu sana cari lagi alamatnya, mami masih ada kerjaan. Jagain mantu mami, ya." Mami menutup panggilan telepon secara sepihak.

Heran, ini yang anaknya siapa sih? Wenda mulu yang disebut, yang di khawatirin.

"Wen, ayo. Kita sala—" Loh? Bini gue mana? Perasaan tadi di sini.

Mata Chandra menyapu sekitar, mencari keberadaan Wenda yang tiba-tiba sudah tidak ada lagi di jangkauannya. Chandra menghela napas lega saat netranya menemukan sosok yang dicari. Wenda sedang berjongkok di depan seekor kucing yang mengendus-endus kakinya.

"Wen, jangan dipegang kucingnya." Chandra memperingatkan Wenda.

Wenda mendongak menangkap keberadaan Chandra yang sudah berdiri di sampingnya. "Gimana, Chan? Mami salah kasih kunci?"

"Salah kasih alamat," seloroh Chandra mengoreksi dugaan Wenda.

"Ke mana ... ke mana ... ke mana. Kuharus mencari ke mana. Kekasih tercinta. Tak tahu di mana. Lama tak datang ke rum—"

Malah nyanyi dangdut!

Chandra berdecak memperhatikan tingkah Wenda yang tiba-tiba bernyanyi lengkap dengan goyangan ala biduan acara sunatan.

"Buruan ... buruan, kita cari rumahnya lagi, bukan malah asik goyang," ujar Chandra menghentikan kegiatan wenda. Chandra merangkul bahu Wenda menuju mobilnya.

"Lagian ini salah blok doang, Wen. Bukan alamat palsu kayak judul lagu itu."

Wenda menyengir, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Chandra memutar mobilnya kembali ke jalanan yang tadi mereka lewati, mencari rumah dengan blok C-11. Cukup jauh terlewati, dari C ke V.

Wenda merapatkan duduknya, tangannya melingkar di lengan kiri Chandra, sementara Chandra masih fokus pada jalan.

"Sebutin mau apa? Kalo udah gini pasti mau minta sesuatu," sindir Chandra yang sudah hapal luar kepala kebiasaan Wenda.

"Chan," panggil Wenda dengan posisi yang masih sama.

"Hmm."

"Nanti kalo lo udah mulai kerja, terus nanti kalo gue udah pulang dari kuliah atau dari butik mami, gue pasti sendirian di rumah nunggu lo pulang."

"Iya, terus kenapa?" sela Chandra memotong ucapan Wenda.

"Gue boleh adopsi kucing nggak? Buat nemeni gue biar nggak boring, kayak kucing yang tadi tuh, lucu banget, 'kan."

"Nggak, Wen. Lo alergi bulu, emang mau kayak waktu itu? Dua minggu bersin-bersin mulu gara-gara gendong kucing."

"Tahu, ah. Nyebelin, ish!" Wenda melepaskan rangkulannya di lengan Chandra, bergeser kembali ke tempatnya semula.

Wajah Wenda menghadap kaca jendela mobil, merajuk permintaannya tidak dikabulkan. Chandra mengulurkan tangan kirinya mengusap surai hitam wenda, tangan kanannya masih mengendalikan stir mobil.

"Nanti kita cari peliharaan lain, ya," bujuk Chandra, sementara Wenda masih acuh tak acuh dengan tawaran Chandra.

Chandra masih sibuk mencari rumah blok C-11, mobilnya berjalan pelan menyusuri jalan aspal di perumahan itu.

"Blok C-6 ... C-8 ... tiga lagi," gumam Chandra meneliti tiap-tiap blok yang ada di depan halaman tertempel pada papan kecil berdekatan dengan kotak surat.

"Oke. Welcome home, Griya Indah Blok C-11!" seru Chandra semangat saat yang dia cari sudah ditemukan. "Yuk turun, Wen. Udah sampai, nih."

Wenda masih bergeming, tangannya dilipat di depan dada menatap Chandra dengan tatapan datar tak suka. Helaan napas berat diembuskan Chandra, meskipun semua permintaan Wenda selalu dia turuti, tapi tidak untuk kali ini.

Chandra membuka pintu di samping kanannya, turun dari mobil kemudian memutari mobil membukakan pintu untuk Wenda.

"Ayo, turun," ajak Chandra.

Wenda masih tidak merespon sama sekali ajakan Chandra. Chandra mendekat ke arah Wenda hendak meraih tangan wenda. Namun, belum terlaksana Wenda sudah mendorong keras tubuh Chandra hingga terhuyung ke belakang.

Ngambek beneran ini bayi besar.

Chandra membuka pintu belakang, mengeluarkan semua bawaan Wenda.
"Udah dibilang cuma mau ngecek doang, mau lihat-lihat dulu. Ini kenapa dia bawa makanan banyak banget, sih. Dikira mau piknik," gerutu Chandra.

Chandra menenteng semua kantong plastik berisi camilan milik Wenda, Chandra sampai geleng-geleng kepala dengan dua kantong plastik berisi penuh snack, minuman, susu, dan masih minta dibelikan makanan di restoran cepat saji yang mereka lewati tadi.

Chandra berjalan ke teras rumah, sudah ada Wenda menunggu di sana dan ... seorang anak perempuan.

Tanjung Enim, 20 September 2020
Re-publish. 20 Februari 2020

Salam sayang ♥️
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro