Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04 // Lamaran Dadakan

Chandra bergumam sendiri, kakinya menghentak-hentak lantai. Tangannya sibuk menari di atas keyboard dan mouse. Matanya terfokus pada monitor gaming berukuran 32 inc di depannya.

Sudah sekitar dua jam dia bermain game online di dalam kamarnya. "Akh, Sial! Kalah lagi." Chandra melepas headset yang sejak tadi membekap telinganya.

Tangannya dilipat di depan dada, masih memperhatikan layar monitor yang menyala. Chair gaming berwarna kombinasi merah hitam itu sedikit dia dorong ke belakang, agar menjauh dari monitor. Posisi duduknya merosot, kursinya dia putar hingga berbalik membelakangi komputernya.


Suara derap langkah dari high heels tertangkap di rungu Chandra. Suaranya semakin mendekati kamarnya. "Mami?" gumam Chandra.

Chandra menebak pelaku penghasil suara itu adalah maminya, tapi dia ragu, pasalnya mami kemarin pagi pamit akan ke Bandung menemui kolega di sana selama tiga hari. Sementara ini belum juga 2x24 jam.

Namun, tebakannya benar! Mami membuka pintu kamar Chandra, tersenyum berjalan ke arah Chandra yang masih setia duduk di kursi game-nya.

Bola mata Chandra membulat. "Kok, Mami udah pulang. Katanya tiga hari di Bandung."

Mami duduk di sofa menyilangkan kakinya. "Sini, dong. Ada yang mau mami bicarakan." Mami menepuk sisi kosong sofa. Chandra mendekati keberadaan mami.

"Ada apa, Mi?"

"Kamu tahu nggak? Mami ke Bandung ketemu siapa?"

"Kolega Mami?"

Mami menggeleng, dia menarik garis senyum tipis. Chandra memicingkan matanya menatap mami. "Jangan bilang, Mami ketemu sama temen Mami, terus berniat jodohin aku sama anaknya temen Mami."

Mami terkekeh sejenak. "Mami ketemu sama keluarga Sonya," ucap mami sontak membuat Chandra berdiri dari posisi duduknya.

"Serius? Terus Sonya ada di sana, Mi?"

Mami berdeham singkat. "Sonya sudah berada di Inggris, orang tuanya mendukung keputusan Sonya untuk belajar di sana." Mami mengeluarkan kotak kecil bludru berwarna merah tua dari tas tangannya. "Mereka juga mengembalikan ini." Mami memberikan cincin pertunangan Chandra dan Sonya.

Chandra kembali terduduk di sofa, dia mengacak rambutnya kasar.
Mami menepuk pundak Chandra. "Sebelumnya, mami udah bicarakan ini sama papi." Mami menjeda ucapannya. "Sepertinya ... kita harus secepatnya melamar Wenda," tandas mami.

Chandra menoleh ke kanan, mulutnya terbuka. Matanya berbinar. "Mami serius?"

"Serius dong, papi juga setuju. Lagi pula, Wenda jadi mantu mami atau nggak. Udah mami anggap kayak anak perempuan mami sendiri." Seulas senyum teduh meluncur dari bibir mami.

"Makasih, Mi. Makasih banyak. Nanti aku juga mau bilang makasih buat papi."

"Eh, kok? Seneng banget? Jangan-jangan kamu emang suka sama Wenda? Tapi nggak berani bilang takut merusak persahabatan, iya bener?"

Chandra tertawa terbahak. "Mami apaan, sih. Ya, nggak lah. Aku sama Wenda emang murni cuma temen, Mi. Ya, aku seneng, aja. Daripada aku harus dijodohkan sama anaknya temen Mami atau papi, yang nggak aku kenal. Mending sama Wenda."

Mami mengelus puncak kepala Chandra. "Mami sama papi, nggak sekolot itu, Chan. Main jodoh-jodohan. Tapi by the way, Wenda setuju nggak, nih?"

"Hmm ...." Chandra bergumam. "Insyaallah setuju, Mi," ucap Chandra sedikit ragu. "Tapi, Mi. Kapan kita akan datang ke rumah Wenda?"

"Gimana kalau malam ini? Lagian papi hari ini akan pulang cepat dari kantor."

Chandra mengangguk paham. Senyum tipisnya masih membingkai di wajahnya, tidak sabar memberi tahu Wenda tentang kabar ini.

***

Chandra meraih benda canggih yang dia simpan di atas nakas. Jam digital di layar ponselnya menunjukkan pukul 13.20 WIB. Chandra menghubungi Wenda, nada dering tersambung menyeruak dari speaker benda pipih itu.

"Ya, Chan." Suara Wenda terdengar di nada sambung ke lima.

"Wen, lo di mana?"

"Di rumah, kenapa emang?"

"Lo, udah bilang ke ortu lo? Dan abang-abang lo?"

Empat hari sejak ide gila Chandra tercetus, Wenda dan Chandra belum bertemu lagi.

"Hmm ... udah, sih. Tapi lo gimana? Mami dan papi lo udah dapat calon, ya? Buat ... gantiin Sonya."

"Iya, Wen. Mami udah ada calon buat gue. Gue seneng banget, Wen. Akhirnya lega pikiran gue."

"Oh, gitu. Selamat ya, Chan. Buat kalian." Suara Wenda terdengar melemah di ujung sana.

"Kok, kalian? Emang lo nggak seneng? Emang lo nggak mau nikah sama gue."

Hening! Tidak ada jawaban dari ujung sana. "Wen? Lo masih di sana?"

"Maksudnya gimana, Chan?"

Chandra terkekeh. "Kita akan nikah, Wen. Mami dan papi setuju sama ide gue, ya meski lo bilang ide gila."

"Iya, ide lo emang luar biasa gila!" hardik Wenda.

"Wen, nanti malam gue sama ortu gue mau silaturahmi ke rumah lo." Chandra mendekatkan bagian bawah ponselnya ke depan bibirnya. "Buat melamar lo," bisik Chan.

"Secepat itu? Tapi gue belum siap-siap, Chan. Lagian lo ngelamar anak orang atau bikin tahu bulat, sih!"

"Ya udah, lo siap-siap gih. Sampai ketemu nanti malam, calon istri."

Tidak ada jawaban, atau sekadar teriakan geram dari Wenda. Seperti saat pertama kali Chandra menggodanya dengan menyebutnya 'calon istri'. Sambungan telepon terputus begitu saja.

***

Malam bersejarah bagi keluarga Wenda dan Chandra akan terlukis sebentar lagi. Chandra dan kedua orang tuanya sudah berada di ruang tengah rumah Wenda. Dua keluarga itu menyatu duduk di sofa.

"Ibu, Bapak, kedatangan kami ke mari, ingin menyampaikan niat baik putra kami, hendak melamar Wenda putri Bapak dan Ibu. Kami berharap banyak, lamaran kami malam ini diterima dengan baik."

Ayah dan bunda kompak menatap Wenda yang duduk di ujung sofa. Wenda mengangkat kepalanya, matanya menatap Chandra yang di hadapannya, Chandra duduk tegap dengan tangan terkepal di atas pahanya. Kentara sekali sedang gugup.

Ayah berujar, "Kami sekeluarga menerima niat baik Bapak dan Ibu. Hanya saja ... semua kembali lagi pada putri kami. Karena yang akan menjalani ke depannya mereka berdua."

"Gimana, Wen? Kamu terima tidak lamarannya?" Bunda bertanya pada Wenda yang sudah kembali tertunduk.

"Gimana, Wen?" Mami ikut bertanya.

Wenda mendongak. "Iya, Wenda terima lamarannya."

"Alhamdulillah," ucap mereka kompak. Air muka lega tergambar jelas di wajah Chandra.

Papi menarik garis bibir melengkung ke atas. "Oh, iya. Saya sedikit menambahkan, walaupun mereka sudah menikah, Wenda dan Chandra akan tetap melanjutkan pendidikannya. Dan untuk urusan kuliah mereka, biar jadi tanggung jawab saya. Chandra juga harus banyak belajar."

Suasana hangat antara dua keluarga tercipta di sana. Para ayah sibuk membahas seputar pekerjaan. Sementara para ibu sibuk membahas konsep pernikahan yang akan dipakai.

"Oh, iya, Jeng. Kalian mau pakai adat apa buat acara resepsinya?"

Di antara yang lain, mami terlihat sangat antusias melebihi dari yang lain. Bahkan dari calon mempelai itu sendiri.

"Kalo kita, apa maunya anak-anak aja," jawab bunda.

"Wen, kalian mau pakai adat atau konsep modern?" Mami meminta pendapat Wenda.

"Wenda terserah aja, Mi. Pakai yang buat Sonya aja nggak apa-apa kok, Mi."

Mami menyipitkan matanya. "Jangan dong, Sayang. Gimana kalau besok kamu ke butik mami, minta antar Chan, ya."

"Iya, Mi."

"Pokoknya, mami akan rancangkan sendiri gaun pengantin spesial buat kamu. Buat mantu mami yang cantik."

Wenda tersipu malu mendengar penuturan mami. Ponselnya tiba-tiba bergetar, ada pesan masuk.

Dibukanya aplikasi chat berwarna hijau. Wenda mengernyitkan dahi, untuk apa Chandra mengiriminya pesan, saat jarak di antara mereka hanya di batasi oleh meja.

Chan-chan :
Ciyee, mantu mami yang cantik.

Wenda menatap Chandra tajam saat membaca pesannya. Sementara Chandra menunduk menahan kekehan.

Mata lo baru sembuh katarak?
Baru sadar kalo gue cantik.
Bersyukur lo, dapet gue yang cantik jelita ini.

Chandra menggigit bibir dalamnya, menahan tawanya mati-matian agar tidak meledak. Jika bukan dalam suasana formal mungkin dia sudah melancarkan aksi meledek Wenda.


Tanjung Enim, 26 Juli 2020
Re-publish. Sept. 02. 2020
Re-publish. Feb. 06. 2021

Salam
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro