02 // Perdebatan
Wenda masih berada di ruang keluarga rumah Chandra. Dia duduk bersila di karpet bulu, telapak tangannya yang satu dia simpan di dahi dengan siku yang bertumpu di meja. Otaknya masih belum bisa mencerna dengan baik atas ide gila Chandra.
"Chan," panggil Wenda, matanya memperhatikan sosok pria di hadapannya, yang dengan santai berbaring di sofa panjang memainkan sebuah game pada ponsel canggihnya.
Chandra mengalihkan perhatiannya, dia memutar bola matanya ke samping, melirik Wenda yang sedang menatapnya. "Ya, kenapa?"
"Gue lagi mimpi, 'kan? Gue nggak akan terlibat dengan ide gila lo. Gue nggak harus nikah sama lo, 'kan?"
Chandra mengulurkan tangannya yang panjang, mencubit pipi Wenda. "Lo nggak mimpi, Wen."
"Chan, please. Jangan bawa gue dalam hal ini."
"Segitu nggak maunya lo nikah sama gue, Wen?"
"Ya lagian, lo ngajak anak orang nikah asal comot aja. Kayak ngambil permen karet di rak depan Indoapril," cerca Wenda.
Chandra bangkit dari berbaringnya, duduk menghadap Wenda. Kedua lengan dilipat di depan dada. "Beri gue alasan, kenapa lo nggak bisa?"
"Kita masih terlalu muda, Chan. Kita masih 18 tahun. Lagian lo masih belum ada pekerjaan." Wenda menyakinkan Chandra. "Rumah tangga nggak segampang itu."
Chandra menarik napas, mengembuskan perlahan. "Sebelum gue berniat menikah muda dengan Sonya, gue udah mikirin ini. Setelah gue menikah, papi akan kasih gue pekerjaan di perusahaannya."
Chandra melanjutkan ucapannya. "Papi bilang, sebelum gue benar-benar bisa menggantikan papi. Gue harus banyak belajar terlebih dahulu. Dan itu dimulai dari bawah."
"Terus gue gimana?" Suara Wenda terdengar frustrasi. "Gue cuma di rumah aja, gitu? Gue, 'kan juga pengin berkarir, Chan. Lagi pula gue tadi cuma asal ngomong, kok. Gue masih mau kuliah."
"Please, bantuin gue, Wen. Apa lo mau gue nikahin cewek yang nggak gue kenal sama sekali, untuk gantiin posisi Sonya? Lagi pula, walaupun kita udah nikah, kita masih bisa kuliah, kok. Di Jakarta banyak universitas yang nerima mahasiswa sudah nikah."
Wenda tertunduk dalam, Chandra bergerak merubah posisi duduknya menjadi bersila di atas karpet. Kini Chandra dan Wenda sudah berhadapan dengan meja sofa sebagai pembatas di antara mereka.
"Tolong gue, Wen. Gue nggak mau buat malu mami dan papi. Atau lo mau kita bikin perjanjian?" Chandra menawarkan sebuah ide lagi.
"Perjanjian? Maksudnya gimana, nih?"
Kembali Chandra menarik napas panjang. "Semacam wedding agreement. Kita tulis semua perjanjian hitam di atas putih, termasuk pernikahan kita akan berakhir dalam waktu yang kita sepakati."
Pupil mata Wenda membesar, ide Chandra kali ini lebih gila dari sekadar mengajaknya menikah menggantikan Sonya. "Lo gila? Itu pernikahan suatu hal yang sakral. Bukan untuk jadi bahan permainan. Gue nggak setuju perjanjian semacam itu," hardik Wenda dengan kilatan marah di matanya.
"Ya, terus lo maunya gimana? Emang lo nggak keberatan nikah terus ngabisin sisa hidup lo sama gue, gitu?"
"Ya nggak apa-apa, itu lebih baik ketimbang harus mempermainkan pernikahan," celetuk Wenda sukses membuat Chandra tersenyum.
"Mami ... Wenda mau nikah sama aku," teriak Chandra sambil beranjak hendak mencari keberadaan maminya.
Tangan Chandra ditarik Wenda hingga terjerembab kembali ke posisi duduk. "Bukan gitu maksud gue. Ma-maksud gue, nggak baik mempermainkan pernikahan."
"Tadi gue tanya. Lo nggak keberatan hidup sama gue. Terus lo jawab apa, hayo?"
"Ya, maksudnya. Hmm ... nggak tahu, ah! Pusing gue jadinya."
Chandra tergelak. Dia tak dapat menahan tawanya. Wenda cemberut melihat tingkah sahabatnya yang terus menertawakannya. Wenda meraih bantal sofa, tangannya terayun memukul kepala Chandra dengan benda tersebut.
"Terus ketawa lo, gue pukul sampe otak lo geser, mau lo," geram Wenda.
Chandra masih terus tertawa, pukulan Wenda tak dia hiraukan. "Wen, kasar banget, sih. Ingat, Wen. Gue calon suami lo."
"Apa lo bilang!" teriak Wenda, tangannya sudah bersiap hendak memukul kepala Chandra.
"Iya. Iya. Ampun, Wen."
Wenda duduk bersebelahan dengan Chandra, tubuhnya merosot pada sandaran sofa. Bantal yang tadi dia gunakan sebagai senjata memukul Chandra, kini dia peluk dengan erat.
"Chan, misalnya nih. Ini misalnya aja. Kalo gue setuju dengan ide gila lo. Nanti Abang-abang gue gimana? Orang tua gue gimana?" Wenda melirik Chan dengan ekor matanya, "Nggak mungkin, 'kan. Gue tiba-tiba nikah sama lo, tanpa sepengetahuan mereka."
Chandra memutar tubuhnya menjadi menyamping menghadap Wenda. "Tenang aja, nanti gue dan orang tua gue datang ke rumah lo, buat ngelamar lo."
Wenda mengangguk-angguk. "Ya, tapi ... kapan?"
Chandra mengangkat alisnya. "Cie, yang nggak sabar dilamar sama gue."
Wenda kembali geram dengan semua yang diucapkan Chandra. Jari telunjuknya dia gunakan untuk menyentil dahi Chandra. "Ngomong apa sih, lo. Heran!"
Chandra tersenyum, posisinya masih menyamping menghadap Wenda. Mengulurkan tangannya mengacak poni Wenda.
"Gue masih waras, Wen. Gue sadar untuk mempersunting anak gadis orang, bukan perkara sembarangan." Chandra mengulum senyum, seringai tipis terlukis di wajahnya. "Ya ... walaupun, gue nggak pernah nganggep lo itu anak gadis."
"Maksud lo, apaan!" berang Wenda yang sudah bangkit dari posisinya, mengayunkan kembali bantal sofa yang tadi dipeluknya. Pukulan telak kembali diterima Chandra di kepalanya.
"Ini contohnya. Anak gadis itu harus anggun, Wen. Gadis tapi suka banget main kekerasan."
"Ngomong lagi, lo? Gue pukul kepala lo sampai gegar otak sekalian," tantang Wenda.
Chandra memegang perutnya, menertawakan Wenda mungkin menjadi hal yang paling menyenangkan baginya. Meskipun gadis itu sudah sangat kesal dibuatnya.
Gelak tawanya sudah berakhir. Chandra meraih pergelangan tangan Wenda, disingkirkannya bantal dari genggaman Wenda.
Wenda berdiri di depan Chandra, dengan posisi Chandra masih duduk di sofa. Chandra menatap lurus ke dalam manik mata gelap Wenda. "Lo dengerin gue, ya."
Ibu jari Chandra bermain membentuk pola abstrak di punggung tangan Wenda. "Nanti, gue dan orang tua gue akan melamar lo, meskipun ini di luar rencana, tapi lo percaya sama gue. Gue nggak akan sembarangan bertindak. Dengan cara baik-baik gue akan minta ke orang tua lo, untuk memindahkan tanggung jawab mereka atas lo ke gue."
Wenda tertegun dengan ucapan Chandra barusan. Tujuh tahun mengenal sosok Chandra, baru kali ini dia merasa tersentuh. Chandra yang sekarang di hadapannya, bukan lagi anak kelas lima SD yang dia kenal dulu. Kini sosok itu sudah menjelma menjadi pria dewasa, sudah berani mengemban tanggung jawab lebih besar.
"Ekhem." Mami berdeham, membuat Wenda melepaskan genggaman tangan Chandra di pergelangan tangannya.
"Wen, makan malam di sini aja, ya," ajak mami.
Wenda mengangkat pergelangan tangan kirinya di depan dada, meneliti arloji yang dia kenakan. Sudah menunjukkan pukul lima sore. "Kayaknya, Wenda pulang aja, Mi. Takut bunda nyariin. Tadi pamit cuma sama Kak Dhika, bunda lagi keluar," jawab Wenda.
"Ya udah deh. Chan, Kamu antar Wenda pulang, ya."
Chandra menyambar kunci motornya di atas meja. "Siap laksanakan, Komandan."
"Eh, jangan pakai motor. Antar pakai mobil, kan udah punya SIM. Ini udah sore, takutnya hujan di jalan."
Chandra menggaruk tengkuknya. "Baru 1 minggu dapat SIM, jadi masih suka lupa, Mi. Ya, udah, kalo gitu aku ambil kunci mobil dulu di kamar."
Chandra berlari menaiki anak-anak tangga menuju kamarnya di lantai atas.
"Wen," panggil mami.
"Iya, Mi?"
"Kamu tenang aja, ya. Nggak usah dipikirkan. Mami akan bicarain dulu ini sama papi. Kamu nggak mesti terlibat di sini. Biar mami cari solusi lain," ungkap mami, senyum teduh membingkai di wajahnya yang ayu.
Wenda hanya mengangguk. Lidahnya kehilangan fungsi untuk sekadar menjawab sepatah kata. Ada sesuatu tak terima di hatinya. Namun, tak dapat dia suarakan.
***
"Sudah ... sampai!" Chandra berseru saat mobil CR-V hitam-hadiah kelulusan dari papi-berada di halaman rumah Wenda.
Sepanjang perjalanan pulang Wenda hanya diam, Wenda memikirkan apa yang mami katakan tadi.
Bagaimana, kalau mami punya solusi untuk Chandra? Berarti gue nggak akan nikah sama Chan?
Bagaimana kalo mami punya calon buat Chan?
Pertanyaan itu yang sejak tadi berputar-putar di pikiran Wenda, sangat menggangu.
"Dia malah ngelamun. Woi, Wen?" panggil Chandra menyentak lamunan Wenda.
"Y-ya? Udah sampe, ya?"
"Ngelamunin apa, lo? Jangan bilang udah menghayal tentang malam pertama lo, ya?"
Mata Wenda berkilat. "Sembarangan aja kalo ngomong!"
Chandra tergelak sesaat. "Ya, udah, turun gih."
Wenda hanya mengangguk. Dia membuka pintu mobil, lalu turun.
Chandra menurunkan kaca mobil, "Bye, calon istri," goda Chandra.
"Nyebelin," teriak Wenda.
Tanjung Enim, 21 Juli 2020
Re-publish, 31 Agustus 2020
Re-publish, 4 February 2021
Salam
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro