Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Menanti Chat


"Seandainya mesin waktu Doraemon benar-benar ada, aku akan meminjamnya untuk kembali ke masa lalu. Bukan untuk mengulang kenangan indah dulu, melainkan menghapus semuanya tanpa ada yang tersisa."

÷÷÷


"Saya pesan Stark paket satu."

"Saya pesan yang paket dua."

"Saya minumnya aja, Justice Juice."

"Mohon maaf, menu-menu itu sudah lama tidak ada. Sekarang kami hanya menjual menu-menu yang ada di sini," kata seorang pramusaji sambil membantu membuka buku menu di atas meja.

"Kalau Avenger Lunch?" tanya salah satu dari 4 rombongan pemuda berpenampilan santai.

"Itu juga sudah tidak ada."

"Kenapa? Padahal 2 tahun lalu saya ke sini, menu-menu itu masih ada. Bahkan, menurut saya kedai ini cukup kreatif dengan menamakan menu-menu makanan menyerupai tokoh-tokoh super hero terkenal," keluh pelanggan itu panjang lebar. Ia melirik buku menu di atas meja. Yang tertera di sana hanya menu biasa yang bisa ia dapatkan di kafe-kafe mana pun.

Rombongan pemuda itu bangkit. Mereka jadi tidak berselera untuk makan siang di kafe ini. Padahal awalnya mereka berharap bisa bernostalgia ke masa-masa 2 tahun lalu saat mereka masih kuliah. Mereka sering mengajak teman-teman sekolahnya untuk nongkrong di tempat ini. Menyantap makan siang atau malam bersama-sama sambil menikmati etalase pajangan robot-robot mini di salah satu sudut kafe. Atau sekedar membicarakan kesamaan hobi tentang segala hal yang berhubungan dengan mesin dan robot di tempat yang pas. Namun, suasana kafe ini tidak lagi mendukung.

"Pemiliknya udah bukan pak Galang ya, Mba? Kafenya jadi beda dari yang dulu." Salah satu dari mereka berpendapat.

"Iya, deh kayaknya." Temannya ikut menyahut sambil memindai pandangannya ke sekitar. "Biasanya di tembok ini ada mural berupa coretan-coretan komponen robot Iron Man, tapi sekarang udah nggak ada. Jadi nggak seru."

Pramusaji yang masih berada di dekat mereka tidak bisa merespons apa pun. Keluhan seperti itu sudah sering ia dengar. Namun, setiap kali ia menyampaikannya pada anak pemilik kafe ini, ia selalu diminta untuk mengabaikannya saja.

"Di sini tempat buat makan, bukan buat ngomongin robot-robot nggak penting itu!" Suara Saga terdengar menginterupsi. Semua mata kini memperhatikannya. "Nggak akan ada lagi robot di kafe ini!"

Salah satu dari 4 pemuda itu menunjuk Saga. "Lo anaknya pak Galang, kan? Kenalin, nama gue Fajar, mahasiswanya pak Galang waktu beliau masih ada." Ia mengulurkan tangan ke arah Saga, namun Saga hanya menatapnya dengan tidak suka.

"Kalian bisa keluar sekarang! Di sini bukan tempat nongkrong buat mahasiswa-mahasiswanya pak Galang!" kata Saga angkuh. Kenyataannya, Saga paling benci bila ada yang mengingatkannya pada sosok papanya.

Rombongan pemuda itu saling tatap dengan bingung. Menurut Mereka, tidak seharusnya Saga memperlakukan pelanggan seperti itu.

Mereka membubarkan diri dengan kesal karena pengusiran Saga. Hal ini membuat Citra yang memperhatikan putranya dari meja kasir merasa sedih. Ia tidak menyangka kepergian suaminya 2 tahun lalu menjadikan Saga seperti sekarang ini. Saga tidak lagi punya mimpi sejak ditinggal pergi oleh super hero-nya sejak kecil.

Saga kini menoleh pada pramusaji yang masih berada di dekatnya. Ia memberi teguran singkat, kemudian menghampiri mamanya untuk memberi salam karena ia baru saja tiba.

"Saga, gimana kalau kita ubah konsep kafe ini seperti 2 tahun lalu? Mama pikir itu ide yang bagus. Karena Mama sadar sejak kita mengubah konsep menjadi seperti sekarang, kafe kita jadi nggak seramai dulu."

"Aku nggak setuju!" Saga menyahut cepat. "Aku lebih suka konsep yang sekarang!"

Citra memperhatikan Saga dengan tatapan prihatin. Sesungguhnya ia tahu bahwa mimpi putranya tentang segala hal yang berhubungan dengan mesin dan robot masih begitu tinggi. Walau segala keburukan yang pernah dilakukan Galang di masa lalu, walau kini Saga teramat membenci papanya, Citra sangat berharap Saga tidak membenci dunia robot dan mesin walau papanya lah yang pertama kali mengenalkan Saga akan semua hal itu.

"Aku pergi antar pesanan dulu." Saga meraih plastik putih yang berada di dekat kasir, berisi makanan yang siap diantar ke tempat tujuan.

Beginilah kebiasaan Saga setiap hari. Membantu mengantar pesanan makanan ke alamat-alamat di sekitar kafenya. Walau sudah ada pegawai yang bertugas mengantar makanan, sesungguhnya membantu mengantar pesanan hanya alasan Saga agar tidak berlama-lama berada di tempat yang selalu mengingatkannya akan sosok papa juga robot-robot kegemarannya.

Selesai mengantar salah satu pesanan, Saga tiba-tiba saja menepikan vespanya ketika melihat sebuah rumah yang tidak asing baginya.

Saga membuka kaca helmnya, kemudian mengambil sesuatu dari saku jaket jinsnya. Yaitu sebuah foto yang baru didapatnya satu jam yang lalu.

Saga mengangkat foto itu, berusaha mencocokkan potongan gambar pada foto dengan pemandangan langsung di depan matanya. Ia menemukan begitu banyak kemiripan rumah di dekatnya dengan yang tampak dalam foto. Pagar tinggi warna abu-abu, juga nomor rumah yang tertera di sana. Semua sangat serupa.

"Jadi, ini rumah wanita simpanan papa dulu?"

Setelah sekian lama si pelaku pengirim paket misterius hanya memberi potongan-potongan gambar lokasi keberadaan papa dengan wanita simpanannya, kini Saga akhirnya menemukan tempat tinggal wanita itu.

Diperhatikannya keadaan rumah itu yang tampak sepi dari luar. Pikiran Saga tiba-tiba saja jadi negatif. Ia mulai menebak apakah rumah mewah ini adalah hasil dari memeras harta papanya?

Cukup lama berkutat dengan pikiran negatifnya, Saga semakin membenci sosok papanya yang dengan tega melukai hati mamanya. Saga ingat jelas hari itu, hari di mana mamanya menemukan bukti kedekatan papa dengan wanita lain. Mama langsung jatuh pingsan hingga kondisinya kritis.

Saga mulai memikirkan cara untuk memberi pelajaran pada wanita simpanan papanya. Tidak adil bila hanya mamanya yang terluka.

Secara kebetulan, Saga melihat seragam khas SMA Nusa Cendekia berada di antara baju-baju yang tergantung di tiang jemuran rumah itu. Saga tidak mungkin salah. Rok lipit tartan krem-hitam yang dipakai siswi di sekolahnya setiap hari Selasa sampai dengan Jumat.

Apa wanita itu punya putri yang bersekolah di Nuski? Bila benar begitu, Saga merasa rencananya akan terasa semakin mudah.

***

Selin menggenggam ponselnya sepanjang hari. Ia menanti dengan tidak sabar chat dari Saga. Karena ia yakin, Saga menerima suratnya siang tadi.

"Mama perhatiin, kamu senyum terus sejak pulang sekolah. Ada apa, sih?" tanya Risa pada putrinya yang sedang duduk di sofa ruang kerjanya di dalam rumah.

Selin tersenyum lebar, memperlihatkan sebelah gigi gingsulnya yang manis. "Mama percaya, nggak, kalau Selin berhasil ngajak kak Saga kenalan?" tanyanya berbangga diri.

Risa berjalan menghampiri, kemudian duduk di sebelah putrinya. "Memangnya kamu tahu yang mana orangnya?" tanyanya ragu.

Selin menggeleng, namun masih tersenyum lebar. "Selin cuma tahu motor vespanya."

"Terus kamu ngajak kenalannya gimana?"

"Selin tempel nomor hp Selin di motornya. Sekarang Selin lagi nunggu dia kirim chat." Selin terkekeh di ujung kalimatnya.

"Kamu yakin dia simpan nomor kamu? Kalau ternyata malah dibuang, gimana?"

"Nggak mungkin," sahut Selin percaya diri. "Karena cuma hari ini Selin nggak temuin surat dari Selin di sekitar motornya. Berarti kak Saga terima surat dari Selin."

"Kamu ini PD banget ngajakin cowok kenalan duluan!" Risa mengacak rambut Selin gemas.

Selin tersenyum semakin lebar. "Selin jadi penasaran. Apa kak Saga sebaik dan seramah om Galang?"

"Sayang," Risa membelai sayang rambut panjang Selin, kemudian memeluknya. "Mama bangga punya putri yang cantik paras juga hati seperti kamu. Bahkan kamu masih ingat pesan dari om Galang buat kamu."

Selin membalas pelukan mamanya tak kalah erat. "Om Galang udah baik banget sama Selin. Dia selalu bikin Selin ketawa sejak kecil. Sekarang gantian, biar Selin yang bikin om Galang tersenyum di atas sana."

"Om Galang pasti sekarang lagi tersenyum karena niat baik kamu." Risa mencium puncak kepala Selin, kemudian membelainya. "Mama akan selalu dukung kamu. Kasih tahu mama kalau kamu butuh bantuan, ya Sayang."

"Makasih, Ma." Selin selalu tenang berada dalam dekapan sang Mama. Baginya, ini adalah tempat terbaik untuk membuat hatinya sejuk dan damai.

Risa melepaskan pelukannya ketika melihat Shakira berdiri di pintu ruang kerjanya yang terbuka setengah.

"Hai, Shakira. Sini masuk," sapa Risa hangat sambil bangkit dari duduknya. Ia lalu menoleh kembali pada putrinya. "Kamu keluar dulu, ya. Mama sudah ada pasien."

Selin ikut bangkit, lalu ikut menyapa gadis seusianya yang sedang berjalan mendekat sambil tersenyum manis. "Hai, Sha."

"Hai juga, Sel."

"Makin ceria aja, nih," goda Selin.

"Iya, dong. Berkat nasehat-nasehat dari dokter kesayangan." Shakira tertawa sambil melirik Risa yang juga ikut tertawa.

"Kalian satu sekolah lagi, kan?" tanya Risa sambil menatap Selin dan Shakira bergantian.

"Iya, Ma. Tapi sekarang kita beda kelas. Shakira kelas 10 IPS 2. Jadi kita jarang ketemu deh," jawab Selin yang disambut senyuman oleh Shakira.

"Ya sudah, kamu keluar dulu sana. Mama mau kerja," usir Risa secara halus pada putrinya.

"Iya, Iya, Selin keluar sekarang," jawabnya pura-pura marah. "Bye, Sha. Sampai ketemu besok di sekolah."

Shakira membalas lambaian tangan Selin, kemudian menuruti Risa yang memintanya duduk santai di sofa.

"Tante senang kamu kelihatan banyak kemajuan. Kamu jadi lebih sering tersenyum dan kelihatan nggak ada beban. Pertahankan, ya. Jangan pikirkan hal-hal yang mengganggu pikiran kamu."

"Iya, Tan. Belakangan ini aku tidurnya juga jadi teratur. Rasanya badan dan pikiran jadi segar pagi harinya. Memang nggak salah aku konsultasi sama Tante selama ini."

"Tante senang dengar kamu ceria begini. Jadi, sudah nggak ada yang ganggu pikiran kamu, kan?"

Risa adalah dokter psikiater. Selain praktek di rumah sakit umum di dekat rumahnya setiap 2 hari dalam seminggu, Risa juga membuka sesi konsultasi pada hari tertentu di rumahnya. Dan biasanya pasien yang ia terima adalah pasien yang sudah ia kenal baik. Seperti Shakira contohnya.

Shakira mulai konsultasi dengannya sejak mengalami gangguan psikis akibat perceraian orang tuanya saat gadis itu masih SMP. Risa dengan sukarela membantu mengobati psikis Shakira yang merupakan teman sekelas Selin.

Risa turut senang melihat perkembangan yang pesat akan kondisi Shakira yang rutin berkonsultasi dengannya seminggu sekali.

***

Selin berbaring di kasur sambil memeluk ponselnya. Pada akhirnya ia tertidur pulas karena lelah menunggu chat dari seseorang yang tak kunjung datang.

Keesokan paginya, ketika alarm ponselnya berbunyi, hal yang pertama kali ia lakukan adalah mengecek chat masuk. Ia langsung mengubah posisi menjadi duduk begitu menyadari ada sebuah pesan WA yang masuk dari nomor tidak dikenal.

Kesadaran Selin langsung terkumpul penuh. Dengan semangat, ia membuka chat yang disertai gambar sebuah buku catatan yang dikenalinya.

081789101 : Buku lo jatuh

Selin panik. Ia segera mengambil tas sekolahnya untuk memastikan buku catatannya yang seingatnya ia bawa ke sekolah kemarin, tapi kini sudah tidak ada.

Selin menatap sekali lagi foto yang menampilkan sebuah buku kecil berwarna biru. Sudah jelas buku itu adalah miliknya karena Selin dapat membaca namanya sendiri di sana.

"Jangan sampai kak Saga baca isi buku itu!" ucapnya pada diri sendiri.

Setelah membalas chat itu, Selin bergegas mandi dan bersiap-siap berangkat sekolah. Ia harus mengambil buku itu sebelum Saga membacanya.

Selin A. : Jangan dibaca, Kak! Aku jemput buku itu ke kelas Kakak pagi ini juga.

TBC


Selin bakal ketemu Saga nggak ya di part selanjutnya? Nggak sabar nunggu interaksi keduanya? Samaaaaa :")

Makasih untuk sambutan kalian buat cerita ini. Kuusahakan update sesuai jadwal (Rabu & Sabtu). Doain aja biar semuanya lancar.

Btw, terima kasih untuk ini... <3

Salam,
pitsansi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro