Syarat Mendapat Restu Mahesa
Apapun yang akan kita lalui, seberat apapun badai menerjang. Jangan pernah kau lepaskan genggaman tangan kita. ~Isyana Queen Samboja~
****
"Terima kasih."
Sadewa menepuk pundak ketiga sahabatnya secara bergantian. Sedangkan Isyana, dia memeluk Della dan Mega begitu erat.
Tak ada yang bisa mereka berdua lakukan tanpa bantuan mereka semua. Ini adalah ujian keduanya, dan mereka yakin bahwa keduanya bisa melewati masalah ini secara bersama.
"Sans aja, Wa. Lo kayak sama siapa aja sih," ucap Juna dengan tersenyum.
"Lo yakin nganter Isyana sendirian?" tanya Pandu khawatir.
Sadewa bisa melihat raut wajah kekasih dan teman-temannya begitu khawatir padanya. Namun dia tak akan mundur. Sadewa sudah bertekad untuk mendapatkan hati Papa Mahesa bagaimana pun caranya.
"Gue yakin, sans aja kalian. Paling nanti gue diusir!"
"Gila, lo selow banget sih," celetuk Bima.
"Gue takut lo digebukin sama bokapnya Isyana," ujar Pandu khawatir.
"Gak bakal, tenang aja. Sekali lagi, thanks yah."
"Gue juga mau bilang makasih buat kalian. Tanpa kalian, gue gak bakal bisa ketemu sama Queen," ucap Sadewa tulus pada Della dan Mega.
Benar memang, tanpa kedua gadis itu, dia tak akan bertemu dengan sang pujaan hatinya saat ini. Banyak orang yang terlibat akan pertemuannya kali ini, dan Sadewa bersyukur. Karena semua sahabat dan teman kekasihnya mendukung hubungan mereka.
Setelah selesai berpamitan, Sadewa menghampiri Isyana yang sedang menatapnya khawatir.
"Kenapa sih?"
"Aku takut papa bakal ngapa-ngapain kamu," ujar gadis cantik itu dengan mata berkaca-kaca.
"Ngapa-ngapain gimana?" goda Sadewa.
"Sadewa!" kesal Isyana. Gadis itu tak menyangka jika kekasihnya setenang ini. Bahkan bisa dipastikan saat ini, dirinya begitu ketakutan dengan papanya.
Sadewa mengajak Isyana naik ke mobil yang tadi dia bawa. Keduanya memakai seatbelt lalu perlahan mesin mobil dinyalakan.
Sadewa meraih tangan Isyana dan digenggamnya.
"Kamu percaya aja sama aku, yah?"
Melihat mata Sadewa yang yakin, Isyana hanya bisa mengangguk. Dia berusaha untuk percaya pada Sadewa bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Lalu ini, mobil siapa?" tanya Isyana penasaran.
"Ini mobil milik Juna," sahut Sadewa sambil tertawa kecil.
Dia mengingat perdebatannya tadi pagi dengan Juna. Sejujurnya Sadewa sudah ingin memakai motornya sendiri, namun karena paksaan Juna dan yang lain. Akhirnya Sadewa menerima permintaan sahabatnya itu.
Sadewa melajukan mobilnya dengan mantap. Tak ada keraguan di wajahnya. Lelaki itu sepertinya sudah memantapkan hati dan jiwanya untuk melakukan semua ini malam ini.
Akhirnya, mobil yang dikemudikan Sadewa mulai memasuki pelataran rumah Isyana. Di teras rumah, Mahesa sedang membaca koran dengan ditemani secangkir teh.
Mahesa memperhatikan mobil yang berhenti di depannya. Seingatnya, mobil yang dibawa oleh kedua sahabat temannya itu berbeda. Seketika Mahesa bangkit saat melihat seseorang yang baru saja keluar dari pintu kemudi mobil itu.
Ayara yang baru saja keluar tak kalah terkejut. Wanita paruh baya itu segera menghampiri suaminya agar tak melakukan hal tak terduga. Sedangkan Isyana, dia sudah merasakan debaran jantungnya yang berdegup kencang. Dia begitu takut melihat wajah papanya yang memerah menahan amarah.
Dengan pasti, Sadewa menggenggam tangan kekasihnya dan membawanya mendekat ke posisi Mahesa dan Ayara.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Mahesa dengan sorot mata tajam ke arah lelaki yang masih terlihat tenang.
"Saya kesini mengantarkan Isyana pulang, Om. Kami baru saja selesai jalan-jalan," sahut Sadewa tanpa ada keraguan dan ketakutan dalam dirinya.
Tentu saja ucapan Sadewa membuat Mahesa dan Ayara terkejut. Sedangkan Isyana, dia semakin mengeratkan genggaman tangannya dengan Sadewa, kekasihnya.
"Apa kamu lupa, bahwa saya tidak mengizinkan kamu untuk menemui putri saya!"
"Saya masih ingat om."
"Lalu kenapa kamu melanggarnya?"
"Karena saya ingin om melihat bahwa kami memang saling mencintai."
"Cinta? Hahahaha." Mahesa tertawa meremehkan.
"Di dunia ini tak ada orang hidup hanya dengan cinta. Semua tetap kembali pada uang." Sindir Mahesa.
"Saya tau om, lalu bagaimana saya bisa mendapatkan restu, Om?" tanya Sadewa pelan.
Mahesa masih menatap marah lelaki di depannya. Namun melihat ucapan Sadewa yang pelan namun sorot mata tegas. Membuat lelaki paruh baya itu berpikir.
Tanpa kata, Mahesa berbalik dan masuk ke dalam rumah. Ayara yang melihatnya mencoba tersenyum ke arah dua anak muda di depannya itu.
"Masuklah, Nak!" perintah Ayara.
Sadewa mengangguk, lalu dia mengulas senyuman tipis ketika wajahnya saling berpandangan dengan sang kekasih.
Mempererat genggaman keduanya, segera Isyana dan Sadewa melangkahkan kaki mengikuti Mahesa di depannya. Keduanya segera duduk di sofa yang berada di depan Mahesa.
Lelaki paruh baya itu masih dengan wajah angkuh, namun emosinya sudah tak setinggi tadi.
"Apa kamu yakin ingin mendapatkan restu saya?" tanya Mahesa dengan senyum meremehkan.
"Saya yakin om, saya akan melakukan apapun untuk mendapatkan restu, Om," ucap Sadewa mantap.
"Saya minta kamu bisa sukses di usia muda. Membuka usaha atau memiliki penghasilan sendiri dengan hasil kerja keras kamu." Mahesa mengatakannya dengan tegas.
Ucapan papanya tentu saja membuat jantung Isyana berdegup kencang. Dia tak menyangka sang papa begitu memikirkan uang hingga bersikap seperti ini pada kekasihnya.
Isyana juga menyadari jika Sadewa bukan lelaki kaya raya. Namun dia tak peduli itu, dia hanya cinta dan menerima Sadewa apa adanya.
Karena kepintaran dan prestasi Sadewa itulah. Yang membuat Isyana semakin jatuh cinta pada lelaki tampan di sampingnya ini.
Tetapi, Isyana harus menelan pil pahit. Ketika sang papa memberikan syarat seperti ini. Gadis itu menyadari bagaimana kekasihnya mendapatkan uang dengan les privat. Dia juga tau berapa uang saku yang diberikan kedua orang tua lelaki itu.
Namun saat ini, dia hanya bisa diam dan berdoa, semoga kekasihnya tak mundur dan meninggalkannya hanya karena sang papa. Pikiran Isyana pecah, saat dia mendengar ucapan papanya lagi.
"Kalau kamu bisa dan berhasil, restu saya akan kamu dapatkan," sambung Mahesa.
"Tetapi…." Mahesa menggantung.
Isyana sudah ketar-ketir. Dia takut ucapan selanjutnya dari bibir sang papa membuat mereka harus merasakan sakit hati kembali.
"Jika kamu gagal, kamu harus meninggalkan putri saya," ucapnya tegas.
"Sedangkan jika kamu menerima syarat dari saya, kamu dilarang bertemu putri saya sampai kamu bisa membuktikan bahwa kamu bisa menghasilkan uang dengan hasil kerja keras kamu."
"Kamu bersedia?" Mahesa mengulurkan tangannya dengan tegas.
Sadewa terdiam. Ternyata tebakannya benar. Lelaki di depannya pasti meminta agar dia memiliki penghasilan sendiri agar putrinya tak kesusahan ketika bersamanya.
Dengan mantap Sadewa menerima uluran tangan itu, dan menjabat tangannya dengan mantap.
"Saya menerima syarat dari, Om."
Isyana menoleh, dia menangkap perkataan kekasihnya yang begitu mantap. Bahkan gadis itu tak menangkap celah keraguan sedikitpun. Di satu sisi dia bahagia, karena Sadewa mau memperjuangkan dirinya, tetapi di sisi lain. Isyana khawatir sang kekasih gagal melaksanakan syarat dari sang papa.
"Nggak apa-apa, aku yakin kita bisa." Sadewa menggenggam tangan Isyana dengan erat.
Saat ini keduanya berada di teras rumah Isyana. Gadis itu mengantarkan sang kekasih untuk pergi meninggalkan rumahnya.
"Aku takut, Wa."
"Kita harus yakin, Queen."
Melihat tatapan mata sang kekasih. Isyana mengangguk dan segera menghambur ke pelukan Sadewa. Meyakinkan hati dan pikirannya. Jika dia percaya dan yakin bahwa mereka bisa melalui semua ini bersama-sama.
~Bersambung~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro