Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bunga Layu

Tw // pemerkosaan, perang

Fiksi, tidak ada kaitannya dengan sejarah yang asli.

Paman Al mengecap getir, duduk menatap kosong ke arah sebuah pohon. Tangannya dengan gemetar menyentuh bahu Gandi. Gandi bergeming, tidak tahu harus berbuat apa, menatap bingung ke arah pohon yang sama. Paman Al kemudian mengerjapkan matanya dan mengalihkan pandang memandang Gandi dengan mata berkaca-kaca.

"Saya tidak ingin mengingatnya." Paman Al berbisik lirih dengan pelafalan yang jelas. Gandi mengangguk menanggapinya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa di tempat ini dahulu adalah tempat eksekusi. Terlebih di pohon tua itu, tempat orang yang akan ditembak mati diikat. Juga sudah menjadi rahasia umum kalau paman Al adalah salah satu dari sekian banyak antek-antek eksekutor bengis pada masanya. Pohon tua itu salah satu saksi bisu sejarah kelam yang pernah terjadi di sini.

Paman Al kemudian berjalan tertatih kembali menuju gubuk tua miliknya dengan Gandi mengikuti di belakang. Masih terekam jelas di ingatan, ketika dia menekan pelatuk, membunuh rakyat sipil. Membunuh dan terus membunuh, dengan harapan dia bisa langsung menewaskan mereka dengan cepat tanpa membuat mereka merasa sakit. Paman Al melanjutkan hidup dengan rasa penyesalan yang luar biasa, terus mengingat ratapan para korbannya. Ratapan putus asa dan sorot mata ketakutan yang selalu berakhir dengan lubang di dada atau di kepala. Paman Al hanya melaksanakan perintah, tanpa bisa berbuat apa pun.

Kala itu paman Al pernah tidak tidur berhari-hari, ketika pelurunya melubangi paru-paru seorang ibu, yang disaksikan oleh anaknya. Begitu keji. Namun, kembali lagi, paman Al hanya melaksanakan perintah, tanpa bisa berbuat apa pun. Anak itu menjerit, memaki, menangis, meratap, paman Al tidak ingin mengingatnya, tetapi ingatan itu tidak pernah pergi dari kepalanya. Paman Al menyesal, teramat sangat menyesal.

Di lain waktu, paman Al juga pernah diperintahkan menembak agar korbannya menjadi cacat. Semakin bergetar tubuh paman Al saat ini, jantungnya berdegup kencang sekali, keringat dingin bercucuran, terlalu kelam.

"Paman," panggil Gandi sambil menyerahkan segelas air. Bibir paman Al menipis, tersenyum kaku.

"Lalu paman bertemu Sulis," bisik paman Al buru-buru, berusaha mengingat kenangan indah. Sorot matanya berubah sedikit lebih cerah. Gandi sudah mendengar tentang Sulis, paman Al menyebutnya hampir setiap waktu, Gandi mengangguk.

Sulis, gadis yang sangat cantik. Paman Al tadinya tidak tertarik pada siapa pun, hingga pada suatu hari matanya terhenti pada satu titik, wajah Sulis. Paman Al seketika jatuh cinta pada Sulis. Sulis membencinya, paman Al tidak menyalahkannya. Berhari-hari paman Al berusaha mendekati Sulis. Berhari-hari pula Sulis menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. Bahkan, seandainya Sulis bukan gadis yang santun tingkah laku dan perbuatannya, paman Al tahu gadis itu pasti sudah menonjoknya tepat di muka.

Sulis sangat ayu, menjadi bunga cantik yang menghiasi hidup kelam paman Al menjadi lebih menyenangkan. Paman Al awalnya jatuh cinta pada parasnya. Selanjutnya, paman Al semakin dibuat jatuh oleh lembut tingkah lakunya. Paman Al semakin menggila tiap hari menahan perasaan menggebu di dadanya. Di satu sisi, rekan-rekannya pasti akan menghinanya karena jatuh cinta pada Sulis. Di sisi lain, dia benar-benar tidak bisa menghapus kehadiran Sulis di kepalanya. Kehadiran seorang gadis yang sesaat menepikan perasaan bersalahnya pada orang-orang yang paman Al bunuh.

Hari berganti minggu, paman Al menemukan cara untuk berkomunikasi dengan Sulis tanpa diketahui atasan, rekan-rekannya, dan keluarga Sulis. Sulis tidak menggubrisnya, membencinya. Minggu berganti bulan, Sulis akhirnya menyadari kalau paman Al hanyalah seorang anak buah yang tidak bisa berbuat apa pun serta memegang senjata karena suatu keharusan. Sulis perlahan bersikap baik pada paman Al.

Bagai pungguk merindukan bulan. Perasaan yang membuncah di hati paman Al, rasanya terlalu jauh untuk menjadi akhir yang berbahagia. Keluarga Sulis membencinya, bahkan seluruh warga negara Indonesia membencinya. Di sisi lain, di mata negara dan rekan seperjuangannya, tidak mengindahkan Sulis. Paman Al tidak mungkin mengumumkan kepada siapa pun bahwa dia mencintai gadis itu. Oleh karena itu, saat ini, setelah 40 tahun berlalu, dia tidak henti membicarakan bahwa dia mencintai Sulis, termasuk pada Gandi, anak muda yang saat ini sedang mengerjakan tugas akhirnya, yang sepertinya sudah hafal semua ceritanya tentang Sulis.

Gandi sedang menyusun skripsi tentang sejarah. Sebenarnya yang mengetuk keinginannya adalah rasa penasaran semenjak dahulu terhadap kisah dari sudut pandang paman Al sebagai satu-satunya warga asing yang tinggal di desanya, dia penasaran dengan segalanya sehingga akhirnya setelah kuliah dia memiliki alasan mewawancarai paman Al.

"Dulu paman yang mengawasi mereka bertani," ujar paman Al. Gandi manggut-manggut dalam keremangan.

Paman Al masih ingat jelas bagaimana dia mengawasi rakyat sipil untuk bekerja bercocok tanam tanpa henti, setiap berhenti dia ditugaskan untuk menggertak mereka. Bengis memang, paman Al menyadarinya, tetapi dia juga berdiri di sana demi negaranya. Tua, muda, lelaki, perempuan, semua bekerja. Paman Al diam-diam mendoakan agar Sulis selalu sabar dan diberi kekuatan. Melalui sudut matanya, paman Al selalu memperhatikan Sulis.

Tahun 1940, paman Al ditarik kembali ke negaranya karena Nazi menginvasi. Masa itulah semakin banyak korban perang yang terus membayangi kepala paman Al hingga sampai saat ini. Ketakutan, kegigihan, kepasrahan, keberanian, semuanya paman Al pernah lihat. Tidak heran begitu banyak tentara yang mengalami PTSD pascaperang. Maju atau mati, era perang yang menyayat hati. Sejujurnya paman Al sudah pasrah untuk mati di masa itu, kekejaman demi kekejaman terus dia saksikan. Rekan seperjuangannya berganti, kebanyakan mati. Dia tahu suatu saat adalah gilirannya. Namun, takdir berkata dia harus hidup terus dengan menanggung semua trauma dan penyesalan itu.

Bertahun paman Al menanggung ingatan kelam itu. Pembantaian, penyiksaan, pengkhianatan. Setiap hari paman Al berharap dia tidak membuka mata lagi, berharap dia gugur bersama yang lainnya. Ingatan tentang wajah ketakutan anak yang ibunya dia bunuh membayanginya, kebencian yang dirasakan anak itu jauh lebih besar dibanding rasa kebencian yang dia rasakan saat rekan-rekannya gugur. Paman Al menyesal, dia semakin gentar memikirkan pihak mana yang benar pihak mana yang salah, di kepalanya hanya terpikir bahwa perang itu jahat.

"Tidak apa, Paman," ujar Gandi sambil mengambil gelas dari tangan paman Al yang gemetaran menumpahkan airnya.

"Saya kembali ke Indonesia setelah dua puluh tahun kemudian," jelas paman Al. Gandi mengangguk, tahu cerita itu.

"Susah nggak, paman?" tanya Gandi. "Masa bersiap sudah lewat ya?"

Paman Al bergidik ngeri. Dia tahu masa itu, Indonesia Masa Bersiap adalah masa di mana semua yang dianggap penjajah, pendukung penjajah, atau keturunannya dibantai untuk balas dendam atas apa yang terjadi sebelum merdeka. Paman Al tadinya tidak diterima oleh warga, tetapi ada seorang mantri yang berbaik hati menerima dan meyakinkan orang-orang kalau paman Al baik. Seorang mantri yang memberinya gubuk dan mengajarinya bercocok tanam. Kebanyakan warga lokal tidak mengingat bahwa paman Al adalah salah seorang yang pernah bertugas di sana.

"Mantri mengajarkan saya bahasa Indonesia, katanya kalau suatu saat saya diusir saya bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia."

Paman Al tidak bisa berbahasa daerah, padahal di tahun 1980 ini warga justru nyaris tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia. Paman Al tidak banyak berbicara dengan warga, kebanyakan tiap perbincangannya dia hanya menceritakan tentang Sulis. Paman Al kebanyakan melamun, bekerja seorang diri, bercocok tanam, mengambil air di sungai, dan berbicara hanya kepada mantri tersebut.

"Lalu kenapa Anda menetap di sini, Paman?" tanya Gandi. Kepala paman Al menunduk.

"Sulis," jawabnya pendek.

"Lalu kenapa mantri menerima Anda dengan sangat tulus?" tanya Gandi yang selama ini penasaran mengenai hal tersebut.

"Beliau membenci saya." Paman Al tersenyum. Gandi tertegun, bagaimana mungkin seseorang yang membenci paman Al membelanya dengan baik di masyarakat. Mata paman Al berkaca-kaca lagi. "Di akhir hayatnya, beliau bercerita, bahwa beliau ingin membalas kejahatan saya dengan kebaikan agar saya menyesal seumur hidup. Beliau ingin membunuh saya dengan kebaikannya."

Gandi tahu, mantri yang disebutkan itu sudah meninggal beberapa tahun lalu karena sakit.

"Kenapa?" tanya Gandi.

"Beliau ingin saya terus menyesali perbuatan saya dengan membuat saya hidup lebih lama," ujar paman Al. Gandi menghela napas. Bulir air mata turun dari mata paman Al. "Namun, beliau akhirnya berkata pada saya, bahwa beliau memaafkan saya."

Gandi membuang napasnya.

"Anda tahu kenapa?" tanya paman Al menatap Gandi dengan muram.

"Karena Sulis?" tebak Gandi. Paman Al menggeleng.

"Karena beliau adalah orang baik," jawab paman Al. "Dan itu membuat saya semakin menyesal."

"Karena Anda pernah menjajah Indonesia?" tanya Gandi. Paman Al bergidik.

"Karena mantri itu adalah anak yang ibunya saya tembak di depan matanya," jelas paman Al. Gandi tercengang, kemudian mendudukkan diri di kursi karena kaget. Gandi tahu, pasti setiap saat paman Al merasakan penyesalan yang menggerogotinya tanpa ampun. Gandi cukup salut, paman Al sama sekali tidak pernah mengakhiri hidupnya.

"Sudah wawancaranya, Gandi?" tanya paman Al lembut. "Saya masih berumur sekitar 20 tahun awal saat pertama datang ke sini, tidak banyak yang saya ingat, lalu saya dipanggil untuk berperang melawan Nazi. Setelah kami kalah, semua berjalan cepat, saya dibuang, diasingkan, saya menyelinap ke sebuah kapal lalu bersembunyi dan bersembunyi hingga tahun-tahun selanjutnya saya memiliki uang untuk naik kapal ke Indonesia, kembali ke tempat satu-satunya saya melihat suatu bunga cantik. Saya rasa ingatan saya tidak banyak membantu tugas Anda."

Gandi membalas tatapan paman Al dengan teduh. "Lalu bagaimana dengan Sulis? Anda tidak menceritakan mengenai bagian itu, apakah Anda bertemu dengannya saat kembali ke sini?"

"Sulis," paman Al berbisik lirih. Air mata yang mengalir di mata paman Al semakin deras. "Penyesalan paling dalam saya, tidak kabur membawanya pergi ke tempat yang aman. Bunganya rusak, jatuh, hancur. Terus digunakan oleh mereka hingga mati."

Paman Al terpuruk menangis ke arah dinding. Raungannya memilukan Gandi. Gandi diliputi rasa bersalah telah menanyakan hal tersebut, dilupakan sudah tugas wawancaranya. Gandi berlutut di sebelah paman Al yang meraung penuh penyesalan.

"Umur Anda berapa, Gandi?" tanya paman Al.

"Dua puluh dua tahun," jawab Gandi.

"Anda adalah anak Sulis, mantri yang memberitahu saya, Sulis merasa hina untuk menjadi ibumu, karena itu dia memberikanmu pada orang lain," ujar paman Al. Mata Gandi langsung membulat sempurna.

"Anda sedang terguncang," ujar Gandi gugup. Paman Al menggeleng, matanya menatap lurus ke mata Gandi. Mata yang sama seperti milik Sulis yang selalu di cintai. Wajah Gandi adalah cetak wajah Sulis dalam wujud laki-laki. Paman Al bersyukur setiap menatap Gandi selalu terbayang wajah Sulis, tidak perlu memikirkan siapa lelaki jahat yang merenggut kebahagian Sulis yang dia cintai.

"Tanyakan saja," ujar paman Al. Semua terhubung, paman Al tahu, rasa penasaran yang ada di sorot mata Gandi semenjak dahulu adalah takdir yang dibuat oleh Tuhan yang ingin memberitahu anak siapa Gandi sebenarnya. Paman Al memandang mata Gandi dengan sesak di dada yang tiada tara. Sosok Sulis masih hidup di mata anak muda itu.

Gandi awalnya tidak menerima kenyataan itu, dia anggap sebagai bualan lelaki tua yang terlampau sedih ditinggal orang yang dikasihi. Namun begitu dia memandang ke mata paman Al, dia mendapati kejujuran di sana. Kemudian Gandi terdiam tanpa mengatakan apa pun dan keluar dari gubuk tua itu meninggalkan paman Al yang menangis.

Itulah kisah paman Al. Nama aslinya tidak pernah tertulis di buku sejarah mana pun, perjuangannya tidak dinilai, kejahatannya terus dikenang orang, penyesalannya terus membayanginya. Sepeninggalan Gandi, paman Al masih terus menangis, seperti hari-hari sebelumnya, menyesali semuanya, serta merindukan Sulis. Di balik semua itu, ada sedikit kelegaan di dasar hatinya, Gandi jadi mengetahui siapa ibu kandungnya. Paman Al akan selalu melindungi Gandi dalam diam karena dialah satu-satunya keturunan Sulis, bunga yang dia kasihi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro