17.
Suara gemeletuk kayu bakar yang dilahap api menjadi latar belakang suara malam ini. Waktu menunjukkan pukul 11 di ponsel Sachio. Mereka baru saja makan malam dengan membuat seblak, dilanjut dengan memanggang daging dan sate. Lalu, sebagai makan penutup penutup, mereka membakar jagung dan marshmello di api unggun.
Mereka bersila di atas karpet lebar yang terbentang antara dua tenda, menatap kayu bakar yang menyala sebagai tontonan. Suara jangkrik dan air sungai yang bergemericik menjadi suara tambahan lain pada malam hari ini. Suara yang sudah jarang Sachio dengarkan kecuali saat kemah sekolah.
Sachio masuk ke tenda untuk mengambil barang. Setelah keluar, ia mendekat ke Davio dan memberi jaket pada adiknya. Hawa semakin dingin saat malam. Mereka perlu memakai jaket untuk menghangatkan diri.
“Nggak kedinginan.” Davio menggelengkan kepala saat Sachio mengulurkan jaket.
“Anginnya kenceng. Pake biar anget, Dek,” tegasnya. “Jangan sampe sakit. Masih ada UAS pekan depan.”
Davio menatap Sachio sebentar, lalu akhirnya menerima jaket itu tanpa berkomentar lagi. Satu hal yang ia suka dari Davio; adiknya itu selalu mendengarkan ucapannya tanpa banyak protes.
“Tadi Ayah chat,” cerita adiknya kemudian.
“Chat apa emang?”
“Nggak tahu. Cuma manggil dek. Terus nggak dilanjut lagi. Padahal udah dijawab.”
Sachio terkekeh. Ternyata dengan Sachio maupun Davio, Ayah selalu tidak jelas. Sachio tahu lelaki itu rindu dengan kedua anaknya, tapi caranya menunjukkan hal itu selalu lucu. Tiba-tiba mengirim pesan singkat, tiba-tiba minta foto, tiba-tiba mengajak video call. Apa susahnya mengetik, Cio Piyo lagi apa? Ayah kangen.
Memang dasar Ayah tsundere.
Kali ini suasana berubah ramai. Tawa Rei dan Yishan yang paling terdengar. Dua sepupunya itu sedang melihat kamera, menertawakan entah apa di sana. Rio di sebelah Rei tampak berbaring dengan paha Rei sebagai bantalan. Bocah 12 tahun itu memainkan ponselnya, memotret langit yang penuh bintang.
Mereka jauh dari perkotaan sehingga tidak banyak polusi cahaya yang ada. Langit terlihat lebih jelas. Bintang bersinar begitu cantik. Layaknya kanvas hitam yang ditaburi glitter, pemandangan di atas sana adiwarna.
Entah bagaimana tepatnya, tetapi tiba-tiba mereka memasuki sesi nostalgia. Kak Luna yang mengawali cerita. “Yishan, Rei, kalau kalian tahu nih. Dulu pas masih bocil kalian tuh suka banget berantem,” terang perempuan itu. Sepertinya terdorong bercerita karena melihat Rei dan Yishan yang asik sendiri sejak tadi.
“Gue inget banget, ya. Dulu waktu lagi pada kumpul di rumah Oma, kalian ditinggal main berdua ... terus tiba-tiba udah saling potong rambut sampai botak."
Sachio terkekeh. Ia tahu cerita kali ini. Saat membuka album di rumah Oma, foto dua balita dengan rambut pitak sana sini mencuri perhatiannya. Oma kemudian bercerita panjang lebar tentang Rei dan Yishan yang saling memotong rambut dengan gunting.
Rambut Rei masih bisa diselamatkan karena hanya terpotong sedikit, tapi Yishan paling parah sehingga oleh Om Jilan dibotak sekalian.
Rei yang menjadi bahan cerita hanya cekikikan.
Yishan kebalikannya. Ia mendumal, "Paling parah potongan Rei di rambut gue. Gue sampe dibotakin Papi waktu itu gara-gara pitaknya banyak banget."
Rei tertawa terbahak-bahak. "Sumpah gue nggak inget sama sekali, tapi Mama sering cerita dulu. Katanya rambut Yishan dibotakin Om Jil kayak mau naik haji."
"Njir...."
"Berapa tahun lo udah haji, Kak?" Davio di sebelahnya menambah-nambahi.
"Yishan dua bulan udah haji bok...."
Kali ini mereka tertawa terbahak-bahak karena jawaban Kak Luna yang tiba-tiba. Saking lucunya, Sachio sampai menyandar pada Davio karena tidak kuat. Ia memegang perut. Lelucon itu masih saja lucu terdengar di telinganya.
"Eh stop kocak habis makan. Perut gue sakit gegara ketawa." Senja yang duduk di sebelah Saga tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.
Yishan yang diledek tampak pasrah. Meski habis makan malam, tenaga pemuda itu sudah habis dibuat bermain seharian ini. Ia tidak ada tenaga untuk mengomel lebih panjang.
"Yang dibotak cuma Kak Yishan? Kak Rei engga dibotak?" Rio yang penasaran bertanya.
"Punya Rei nggak terlalu pitak, jadi cuma dirapiin sama Om Malik, Cil. Kalau rambutnya Yishan udah parah banget, pitaknya di mana-mana. Nggak bisa diselamatkan jadi dibotak. Habis kejadian itu mereka kalau deket harus dalam pengawasan. Soalnya pasti ada-ada aja kelakuannya," terang Kak Luna.
“Kelakuan Yishan doang itu mah,” celetuk Rei.
Yishan berdecak. Pemuda itu ingin marah, tapi yang keluar dari mulutnya justru berbeda. “Terserahlah. Ngantuk gue.”
Sachio terkekeh. "Sampai sekarang juga masih kayak Tom and Jerry.”
Sachio tahu mereka tidak sungguhan bertengkar. Sungguhan bertengkar pun tetap membuat mereka mabar dan main bersama pada akhirnya.
"Dek, kalau udah ngantuk mending tidur di dalem. Di sini dingin," ujar Senja pada Saga yang sejak tadi tak terdengar suaranya. Sachio baru menyadari adik sepupunya itu sudah tidur membelakangi mereka di atas lapisan karpet dengan bantal di sebelah Senja. Padahal baru beberapa menit yang lalu Sachio melihat bocah itu masih duduk—meskipun sangat mengantuk.
Saga bergumam tidak jelas sebagai jawaban, masih membelakangi mereka.
“Kan, tidur beneran. Kamu nanti di tinggal sendirian di sini loh kalau semua orang udah tidur,” kata Senja lagi.
Bocah itu menggeliat, menggaruk rambut. Respon yang sering terjadi jika anak kecil diganggu tidurnya. Tidak lama kemudian adik sepupunya itu terlentang sembari menutup wajah dengan tangan, menjawab, "Nggak mau. Nanti sendirian di tenda.”
“Astaga....”
Rio yang melihat hal itu tertawa. Dua bocah sepantaran itu tampak sangat berbeda sekarang. Saga sudah sangat mengantuk, sedangkan Rio masih membuka mata lebar seolah siap begadang sampai jam dua malam.
"Ayo, kakak temenin mau nggak, Ga?" Tiba-tiba Davio menawarkan diri.
Sachio tersenyum. Sisi lain dari Davio yang tidak bisa ia lihat tanpa Saga dan Rio. Davio bahkan menyebut dirinya kakak saat mengajak bicara Saga. Lucu sekali adiknya.
"Tuh ditemenin Kak Piyo, Dek. Bangun buruan, nanti kamu masuk angin kalau bobonya di sini.”
Saga bergumam tidak jelas lagi entah bicara apa. Namun, pemuda yang memakai jaket tebal itu akhirnya bangkit perlahan. Matanya menyipit antara setengah tertutup setengah terbuka. Pemuda itu memeluk bantal dan mengucek mata, berdiri menunggu Davio.
“Dah ngantuk banget itu,” celetuk Kak Luna.
Sachio terkekeh melihat bocah 12 tahun itu. Saga itu memang lebih cocok jadi anak SD dibanding anak SMP.
"Yo, kamu nggak bobo sekalian? Udah ngantuk kan? Bobo sana bareng bertiga. Udah mau jam dua belas malem juga," ujar Kak Luna pada Rio yang sejak tadi rebahan sembari menaruh kepala di paha Rei.
Rio tampak berpikir sejenak. Sachio tahu adik sepupunya itu sudah menyusun rencana besar begadang sampai jam tiga pagi. Melakukan hal menyenangkan apa pun saat malam camping. Sayangnya bestfriend-nya sudah KO duluan bahkan saat belum tengah malam.
“Nggak ngantuk, tapi pasti capek kan, Yo? Bobo biar besok bisa main lagi. Ini kita juga mau bobo sebentar lagi,” ujar Sachio kemudian. Entah ucapannya itu bisa dibuktikan atau tidak nantinya.
Setelah dibujuk, adik sepupunya itu akhirnya bangkit, memilih untuk mengikuti Saga dan Davio untuk tidur di dalam tenda. Meski tidak mengantuk, badan mereka pasti lelah sehabis main air di sungai. Sachio saja pegal-pegal sejak tadi.
“Lucu banget mereka,“ celetuk Kak Luna.
Sisa lima orang yang berada di luar tenda. Senja mengambil camilan, membuka untuk dimakan bersama. Sachio sendiri mengambil jagung bakar yang masih ada, melahapnya sampai habis karena ternyata perutnya masih lapar.
Rei tiba-tiba berkata, “Harusnya bawa genjrengan terus Yishan nyanyi di depan.”
“Kenapa jadi gue?”
“Orang kasmaran biasanya suaranya jadi bagus.”
Kak Luna tiba-tiba berdeham kencang. Perempuan itu sok batuk berkali-kali seolah tenggorokannya gatal. “Anjay bocil kelas 1 SMA melaju cepat sat set tiba-tiba punya doi. Kita yang tua kalah, Nja.”
“Anjir engga, Kak. Rei jangan dipercaya.”
Kalau hanya berlima seperti sekarang, mulut mereka memang jadi lancar berkata kasar.
“Gue liat, ya. Kemarin lo di kantin berdua makan siang,” goda Rei lagi. Seperti biasa Rei-Yishan gelut never ending saga.
Sachio yang masih menikmati jagung bakar tak tahan untuk ikut bertanya, “Yang waktu itu ngobrol bareng di depan kelas juga, Rei?”
“Iya, Mas. Orang yang sama kayak waktu itu.” Rei meletup-letup jika agendanya menggoda Yishan.
“Cuma temen itu. Berapa kali gue harus bilang. Kenapa sih pada gak percaya?”
Senja yang kali ini angkat suara. “Temen apa temen....?”
Yishan sudah lemas. “Udahlah. Mending gue tidur di dalem,” ujar pemuda itu, bangkit berjalan menuju tenda. Hanya saja gagal menyembunyikan senyuman.
Rei yang melihat hal itu heboh sendiri. “Kan beneran. Salting anjir si Yishan.”
Mereka menertawai salting Yishan yang tidak bisa ditutupi itu. Sachio hanya geleng-geleng kepala, melihat Rei yang mencoba menarik Yishan keluar dari kemah.
Di saat yang lain sibuk membujuk Yishan agar kembali bergabung, Sachio memisah diri. Ia bergerak mendekatkan ke api unggun, menatap kayu bakar yang lama kelamaan habis dilahap api. Suara gemerisik daun di pepohonan terdengar, begitu juga gemericik air sungai di bawah sana, bersahut-sahutan dengan suara gemeletuk api unggun di hadapannya.
Sachio menghela napas panjang.
Entah mengapa perasaannya mendadak tidak enak.
Bersambung.
HEHEHEHE.
Ada apa ya habis ini.....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro