Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15.

Akhir pekan kembali datang. Bak anak panah yang diluncurkan dari busur, waktu melesat begitu cepat. Hari ini hari Jumat. Sachio akan pergi kemah esok hari. Kemudian, pekan depan sudah masuk pekan UAS.

Hari ini juga ia dan para sepupunya sibuk mengurus persiapan untuk kemah. Sachio dan Senja baru saja sampai setelah berbelanja bersama trio Davio, Rio, dan Saga. Dua sepupunya yang rumahnya paling jauh itu datang tadi jam dua siang diantar Tante Raline sebelum akhirnya pergi berbelanja jam empat.

Mereka belanja di swalayan hampir dua jam, lalu selesai pukul 6 sore. Sagara dan Rio berniat menginap di rumah Sachio untuk memudahkan manuver di esok hari. Kemudian Senja seperti biasa akan menginap di rumah Kak Luna.

"Berarti besok udah harus kumpul di rumah lo jam tujuh ya, Ci. Nanti gue naik mobil Kak Luna bareng Rei terus jemput Yishan sekalian."

Sachio mengangguk. "Jangan lupa checklist barang yang dibawa."

"Oke."

Mereka duduk sebentar di depan teras setelah menaruh belanjaan ke dalam. Tidak banyak yang mereka beli. Kebanyakan bahan makan dan kudapan ringan. Sebenarnya rencana pergi hanya berdua, tapi Rio dan Sagara memaksa ingin ikut. Davio juga akhirnya Sachio ajak.

"Besok pas di tempat camping mandinya di mana?" celetuk Saga kemudian. Bocah 12 tahun itu berdiri di gawangan pintu rumah.

"Di kali kalau kamu mah," jawab Senja asal.

Saga manyun. "Mbak mah sukanya gitu."

"Kalau mandi di kamar mandi lah, Dek. Masa gitu aja nanya?"

"Ya siapa tahu kan mandinya beneran di sungai."

"Ya emang. Khusus kamu mandinya di sungai. Sama ikan nanti."

Sachio hanya terkekeh. Senja itu suka sekali membuat kesal adiknya. Pasalnya Saga juga sangat lucu jika sudah sebal. Jika jadi adiknya, Sachio juga akan menjahili Saga setiap hari.

"Senja, mau gue anter ke rumah Kak Luna sekarang atau nanti?" tanyanya kemudian, bertepatan Ibun yang datang ke ruang tamu dekat mereka untuk mengambil sesuatu di sana.

"Ajak makan dulu, Kak. Ini makan malamnya udah jadi. Ayo masuk sini makan dulu," kata Ibun kemudian.

Harum masakan Ibun menyapa hidung Sachio. Dari bau yang dihidu ia bisa menebak ibuya memasak ayam kecap malam ini. Perutnya yang sejak tadi berbunyi segera mengintruksi diri untuk masuk ke rumah. Tidak lupa mengajak sepupunya untuk masuk ke dalam juga.

Davio dan Rio yang sejak tadi sibuk di kamar akhirnya keluar. Sejak tadi mereka berdua sibuk mengatur barang-barang yang akan dibawa. Adiknya itu kemudian bertanya sebelum duduk di salah satu kursi ruang makan, "Ayah belum pulang, Bun?"

"Belum, masih ada urusan di percetakan. Kenapa nyariin Ayah terus dari tadi?"

Davio menggeleng. "Nggak. Aku cuma nanya."

"Yaudah sini pada makan dulu. Tante udah buat ayam kecap sama sop."

Detik selanjutnya mereka sudah sibuk di meja makan. Suara denting sendok yang beradu dengan piring menjadi latar belakang suasana. Sebenarnya Ibun jarang sekali masak untuk makan malam. Lebih sering Ayah yang melakukan. Jadwal pulang Ibun biasanya jam enam malam, tapi hari ini wanita pulang itu lebih awal. Mungkin rumah sakit sedang tidak seramai biasanya.

Alhasil hari ini Sachio bisa menyicip makan malam buatan ibunya yang sangat lezat. Meski buatan Ayah juga tidak kalah enak. Mereka berdua sama-sama jago memasak. Skill itu menurun pada Davio. Adiknya itu suka memasak sejak kecil. Rasa masakannya juga luar biasa untuk seusianya. Jika dipikir-pikir, sepertinya Davio itu jago semua hal.

"Besok kalian berangkat jam berapa?"

Sachio yang menjawab pertanyaan ibunya, "Jam tujuh kumpul, Bun. Habis itu berangkat dari rumah."

"Pakai mobil siapa selain Ayah?"

"Kak Luna. Tapi paling nanti Om Jilan ikut juga ke sana. Kata Yishan kemarin, si Ivan nangis mau ikut, tapi dia masih kecil kan jadinya nggak dibolehin nginep. Paling dateng ke sana buat anter kakaknya terus main bentar."

"Oh berarti besok Yishan pergi bareng Om Jilan?" tanya Senja.

Sachio berpikir sejenak. "Belum pasti sih. Besok konfirmasi aja sebelum jemput. Siapa tahu nggak jadi ikut."

Ibun mengangguk mengerti setelah mendengar penuturan anaknya.

Beberapa menit kemudian meja makan kembali hening. Hanya ada suara denting sendok beradu dengan piring. Masing-masing fokus pada makanan mereka. Masakan ibunya memang luar biasa enak. Selain itu, mereka juga lapar sehabis memutari swalayan selama dua jam lamanya.

"Tante, ayam kecapnya enak banget." Rio tiba-tiba menyeletuk, membuat Ibun di tempat duduknya tersenyum senang.

"Sop-nya juga mantep, Tan." Sagara ikut memberikan jempolnya, lalu lahap memasukkan sendok ke mulut.

"Ibun emang paling jago kalau buat sop. Kaldunya kerasa banget soalnya dagingnya pasti direbus lama. Kalau Ayah jagonya bikin bumbu bebakaran sama panggang. Restoran aja kalah rasa. Harusnya buka restoran sih pasti laris manis," cerita Davio, memuji masakan Ayah dan Ibun dengan sangat antusias. 

"Kalau lo jago masak apa, Dek?" tanya Sachio.

Pemuda itu tampak berpikir sejenak. "Apa ya? Nasi goreng paling. Rasanya lumayanlah."

Bohong. Nasi goreng buatan Davio luar biasa enak. Hampir menyamai cita rasa buatan Ayah.

"Kalau Kakak?" tanya Sachio lagi.

"Kak Cio jago buat seblak," katanya mantap. "Besok harus pada cobain soalnya Kak Cio yang bakal masak."

Sachio terkekeh. Padahal ia hanya membuat seblak sekali karena ngidam malam-malam saat itu. Ia membagi seblak buatannya itu pada Davio yang belum tidur. Ia tidak menyangka jika adiknya akan sangat menyukai makanan buatannya. Entah masakannya memang seenak itu atau Davio hanya berbohong untuk membuatnya senang.

"Kalau mau nambah ambil aja, ya. Tante bikin masakannya lebih banyak dari biasanya. Senja juga ayo makannya yang banyak. Tambah nasinya," ujar Ibun pada Senja yang sejak tadi fokus pada makanannya.

Sachio di kursinya terkekeh. Semua orang perlu sekali merasakan bagaimana jadi anak Ibun yang suka sekali disuruh menambah porsi saat makan. Kalau tidak begitu, biasanya mereka wajib makan 4 sehat 5 sempurna. Lauk atau sayur mayur ditinggal sekali pasti akan membuat ibunya langsung merentet panjang lebar.

Selain menjadi dokter bedah, ibunya merangkap pekerjaan menjadi ahli gizi di rumah.

"Mba Senja diet kah?" tanya Rio.

"Oh ya?" Ibun menimpali.

Perempuan yang duduk di dekat Sachio itu tersenyum lalu menggeleng. "Nggak, Tante. Makannya emang sedikit-sedikit. Nggak bisa langsung banyak."

Seolah mengerti sesuatu, Ibun mengangguk mengerti.

Davio yang justru bertanya, "Karena asam lambung ya, Mba?"

Senja hanya mengangguk mengiyakan.

Semua orang juga tahu kalau Senja punya GERD. Enam bulan yang lalu sepupunya itu sempat masuk rumah sakit. Maka dari itu saat mendengar Om Hikam punya sakit yang sama kemarin membuat Sachio tidak kaget. Like father, like daughter.

"Nanti kalau misal laper mau makan lagi bilang aja, Senja. Kalau malu, itu suruh Cio ambilin juga gapapa. Eh, tapi ini mau ke rumah Naluna ya?"

Senja mengangguk. "Kak Luna barusan ngabarin kalau lagi di luar, Tante. Jadi mungkin nunggu dia pulang sekalian nanti jemput katanya."

Sachio menyeletuk, "Berarti nggak jadi gue anter?"

Senja menggeleng.

Malam itu, Kak Luna datang ke rumah pukul setengah delapan untuk menjemput Senja, bersamaan Ayah yang pulang dari percetakan.

Trio itu tidur di kamar Davio. Satu ranjang besar untuk bertiga. Sachio mengobrol dengan mereka hingga pukul sembilan sebelum akhirnya beranjak untuk mengerjakan satu tugas sekolahnya yang belum tuntas.

Seperti bocah pada umumnya, mereka belum juga tidur hingga pukul sepuluh malam. Main dan mengobrol ke sana kemari. Sachio tahu karena kamarnya dan Davio bersebelahan. Beruntung adiknya itu mengingatkan dua bocil untuk segera tidur sehingga saat Sachio mengecek pukul sebelas, mereka bertiga sudah terlelap.

Mau bagaimanapun mereka harus bangun pagi agar tidak terlambat berangkat keesokan hari.

Bersambung.




Terima kasih yang masih sabar menunggu cerita ini update. Maaf sebulan ini fokus sempro dulu. Sekarang udah selesai hehe. Semoga besok bisa update lagi yaa <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro