10.
"Kamu udah cocok jadi bapak dua anak, Kak. Udah kayak ayahnya Saga sama Rio."
Sudah berapa kali Sachio mendengar kalimat itu keluar dari mulut ayahnya setelah ia sedang bersama Rio dan Saga. Selain ketua geng bocil, bapak dua anak adalah sebutan yang Ayah beri untuknya. Sachio tahu ia memang tampak mengayomi dan menyayangi, tapi memangnya ia sudah setua itu sehingga cocok menjadi ayah kedua sepupunya? Ayah itu ada-ada saja.
"Berarti Ayah kakek dua cucu kalau gitu," katanya kemudian.
Ayah tertawa kencang. Lelaki paruh baya itu memang gemar sekali membuat Sachio kesal.
Tetapi kadang Ayah ada benarnya sih. Pernah suatu saat ia mirror photo bersama Rio yang sedang main ke rumah. Di sana Sachio sadar ia sungguhan seperti papah muda yang habis mengambil rapot anak di sekolah-Ayah yang bilang.
"Kalau sering ngomong gitu terus nanti anak kamu jadi pengen cepet nikah loh, Mas," ujar Ibun pada Ayah kemudian. Wanita paruh baya itu sedang mengisi botol dalam dispenser di dapur.
Sachio agaknya tersipu karena Ibun tiba-tiba membahas tentang menikah. Telinganya memerah, lalu ia cepat-cepat berkata, "Nggaklah. Nggak mau nikah cepet-cepet."
Ibun tersenyum melihat reaksinya, tahu ia sedang salah tingkah. "Iya, Ibun tahu, Kak. Belajar yang rajin dulu, ya. Sekolah, lulus, habis itu kuliah, kerja, mapan, baru berkeluarga."
Sachio kadang lupa jika hidup berjalan secepat ini. Perasaan baru kemarin ia lulus SD dan mencari SMP. Baru kemarin ia merayakan ulang tahun ke-15 tahun di Gili Trawangan bersama keluarganya. Siapa sangka sekarang ia sudah akan 17 tahun. Siapa sangka Ibun akan menyebut perihal kuliah, kerja, dan berkeluarga.
Kalau bisa, Sachio ingin selamanya jadi anak kecil Ayah dan Ibun. Tidak perlu menjadi besar dan tua, memikirkan hal-hal yang memusingkan layaknya orang dewasa.
"Ini botol minumnya dibawa." Ibun berjalan mendekat, memberi botol air putih yang telah disiapkan sebelumnya. "Jangan jajan sembarangan. Kalau haus minum air putih. Adek jangan lupa suruh minum juga. Jangan sering-sering beli minuman di luar. Kebanyakan gula, nggak sehat."
"Paling cuma beli americano," kata Sachio lalu nyengir.
Ibun hanya geleng-geleng kepala, tahu sekali jawaban itu akan keluar. Sama halnya seperti Ayah, Sachio itu lumayan suka kopi. Bedanya Ayah tidak mungkin mengonsumsi kopi banyak-banyak karena penyakitnya. Kalau tidak sakit, Sachio duga Ayah sudah jadi maniak kopi sejak masih balita.
"Mas Cioooo, ni dua manusia udah sampee!"
Suara Rio di luar tiba-tiba terdengar. Tentu saja yang dimaksud adalah Rei dan Yishan yang terlambat datang hampir setengah jam.
Sachio segera keluar rumah, menyambut dua orang yang ditunggu-tunggu sejak tadi.
Rei di teras merangkul Yishan, berseru, "Sebelum fitnah membesar, gue cuman mau kasih tahu. Marahnya ke Yishan aja. Dia yang bikin telat soalnya baru bangun jam 9 pagi. Jangan marah ke gue."
Yishan menangkup kedua tangan di depan dada, memberi tampang bersalah serta ekspresi semelas mungkin. "Mohon maaf, ya, adek-adek. Nggak ada yang bangunin tadi di rumah. Baru bangun pas Rei dateng jemput."
Sachio terkekeh mendengar klarifikasi Yishan. Ia kemudian mengedarkan pandang, menemukan motor terparkir di dekat garasi rumah. Itu motor milik Rei. Rumah Rei cukup jauh sehingga ia pergi naik motor, menjemput Yishan lalu baru berangkat ke rumahnya.
"Kata Om Jilan dia begadang. Habis shubuh tidur lagi. Mana nggak bilang orang rumah suruh bangunin," lanjut Rei, geleng-geleng kepala.
Yishan tetap dengan posisinya, menangkup tangan di depan dada. Sudah ikhlas jika dia dimarahi bocil-bocil yang telah menunggu lama.
Sachio hanya bisa tertawa menatap Yishan sekarang. Siapa coba yang bisa marah pada pemuda dengan muka semelas itu? Anak kucing saja kalah kasihan.
"Main game ya lo, Kak? Apa binge-watching anime?" tanya Davio yang duduk di sofa teras rumah.
"Padahal yang nyuruh jangan begadang tadi malem Kak Yishan," ujar Saga kemudian.
Rio segera menimpali, "Iya. Aku kirim chat di grup jam sembilan aja udah disuruh tidur sama Kak Yishan. Katanya buruan tidur takutnya besok kesiangan dan ngantuk. Padahal jam sembilan mah masih waktunya seneng-seneng. Sekarang dia sendiri yang kesiangan."
Yishan nyengir. "Nanti traktir es krim deh sebagai permintaan maaf."
"NAH GITU!" seru Rei menepuk bahu Yishan tanda reaksi setuju dan senang. Saga, Rio, dan Davio juga tidak jauh berbeda. Bersorak-sorai seolah baru saja dihadiahi PS terbaru.
Lagi-lagi Sachio tertawa. "Good job, Shan. Nggak papa lanjutin telat aja biar kita di-traktir terus."
Yishan berjalan mendekat, duduk di sofa teras. Pemuda itu kemudian bersandar memeluk Davio, masih setengah mengantuk habis bangun tidur. "Lo kenapa nggak nelpon gue deh, Mas?"
"Janjiannya kan jam sembilan. Belum waktunya ya engga gue telpon lah."
Davio yang disandari berkata, "Udah gue chat jam delapan, Kak. Gue ngabarin kalau Rio Saga udah dateng. Tapi lo centang satu kirain emang udah bangun tapi AFK."
"Nah tuh. Hape lo aja nggak hidup."
Pemuda 15 tahun itu nyengir, garuk-garuk kepala yang tidak gatal. "Iya sih hape mati lagi di-charge."
Sejurus kemudian, Ibun datang dan menyapa keponakannya yang sudah lengkap akan pergi. Seperti biasa, basa-basi itu diulangi untuk ke sekian kali. Mungkin bagi Sachio terdengar seperti kata basa-basi. Tapi menanyakan kabar keluarga lain tentulah bukan sekedar hal biasa dan remeh temeh; itu bentuk tindakan peduli.
"Udah makan semua kan? Rei sama Yishan juga udah sarapan?"
"Yishan belum, Tan," jawab Rei.
Demi mendengar hal itu, Yishan segera menyikut perut Rei di sebelah, membuat pemuda yang terkena sikutan itu mengaduh. Sachio yang berdiri di sebelah Ibun di gawangan pintu hanya bisa terkekeh.
"Udah kok, Tan. Tapi cuma sedikit soalnya cepet-cepet," kata Yishan.
"Kalau mau makan dulu nggak papa, lho. Tante ada banyak nasi sama ada sate di dalem."
Yishan menggeleng, menolak dengan halus. "Udah mau berangkat, Tante. Lagian udah kenyang sebelumnya juga makan roti panggang dibuatin Mami."
Ibun mengangguk mengerti pada akhirnya.
"Kak Cio, kalau ada apa-apa langsung hubungin Ayah atau Ibun, ya. Sebenernya nanti jam dua ada acara kalau misal nggak bisa jemput, nanti Ibun kabarin deh. Jadi pulangnya pakai Grab atau Gojek aja."
Sachio mengangguk mengerti.
"Mau jalan-jalan berdua sama Ayah, ya?" selidiknya menggoda.
Ibun tertawa. Suaranya begitu merdu masuk ke telinga. "Nggak, Kak. Ayah mau ketemu sama temen lamanya. Jadi Ibun diajak."
Sachio ber-oh ria. Sebenarnya mau jalan-jalan berdua pun tidak masalah. Ibun itu supersibuk di rumah sakit sehingga hari Minggu benar-benar waktu di mana kedua orang tuanya libur bersama. Lebih baik jika mereka bisa menghabiskan waktu berdua.
Suara mobil yang dihidupkan Ayah di samping rumah membuat Sachio segera berpamitan pada ibunya. Sepupunya yang lain mengikuti. Salim pada Ibun sebelum masuk ke mobil.
"Bye-bye, Bun," kata Sachio dan Davio bersamaan setelah Ibun mengecup kepala meraka masing-masing.
"Adek-adeknya dijaga, ya, Kak Cio!"
"Ay-ay, Captain!"
Sachio merangkul adiknya, untuk kemudian masuk dalam mobil Ayah yang sudah keluar di depan rumah.
Sachio duduk di sebelah kursi kemudi Ayah, sedangkan Davio bertiga bersama Rei dan Yishan di jok tengah. Sisanya, duo Rio dan Saga itu asik dengan dunia mereka di jok belakang. Dua bocah itu punya agenda tersendiri di sana; mabar Mobile Legend.
"Udah siap semuanya?" tanya Ayah di kursi kemudi.
Mereka berenam serempak menjawab, "SIAP!!"
Bersambung.
Punten baru updatee. Kemarin sibuk nugas jadi belum sempet ngetik huhu. Kalau rame besok atau nanti aku double update.
Selamat sahur dan semangat puasanya, yah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro