Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09.

Suara denting piano terdengar saat waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Alunan nada yang dimainkan acak, seperti sedang berlatih. Siapa lagi pemainnya jika bukan Davio.

Sembari mencomot apel di atas meja makan, Sachio mendekati adiknya yang sedang fokus bermain. Ia kemudian duduk di lengan sofa dekat piano milik ayahnya, membuat pemuda 14 tahun itu menoleh merasakan kehadirannya.

"Ada tugas, Yo?" tanya Sachio lalu mengigit apel.

Adiknya itu kembali memainkan piano dengan melodi yang cukup familiar. Davio memang suka bermain piano sejak usia 8 tahun, tapi jika pagi-pagi seperti sekarang sudah bermain, berarti ada tugas dari guru seni musiknya di sekolah.

"Latihan buat UAS, Kak. Besok suruh bawain satu lagu," katanya.

Sachio mengangguk mengerti. "Mau bawain apa? Prelude in G Minor?"

"Emangnya mau bunuh diri?"

Sachio tertawa kencang demi mendengar jawaban adiknya. Mereka berdua tahu karya milik Rachmaninoff itu luar biasa susah dibawakan kendati sekelas pianis ahli pun. Meskipun begitu, Sachio sangat tahu juga jika Davio jatuh cinta pada piano pertama kali setelah menyaksikan resital piano yang membawakan Prelude in G Minor di Berlin tujuh tahun yang lalu.

Saat itu mereka sedang liburan keluarga ke Jerman. Ayah tiba-tiba mengajak mereka ke sebuah acara resital piano di sana. Latar belakang Ayah yang suka bermain musik khususnya piano adalah sebab utama. Usia Sachio 10 tahun kala itu, sedangkan Davio 7.

Mereka beberapa kali datang ke pertunjukan musik semacam itu di Indonesia, tapi resital di Berlin kala itu benar-benar berbeda. Megah, mewah, dan spektakuler. Pulang ke Indonesia, Ayah menyetem piano yang sudah lama ia anggurkan sebab Davio ingin coba memainkannya.

Hasilnya tidak mengecewakan. Tiga tahun les piano dan tujuh tahun berlatih mandiri membuat adiknya kerap kali menjadi juara saat ikut lomba. Sekarang lesnya sudah berhenti karena sibuk sekolah. Bukan Ayah yang minta, tetapi Davio sendiri yang ingin fokus ke akademik.

Sachio mengerti dahulu ayahnya hidup di bayang-bayang kejaran prestasi akademis. Bisa dilihat dari jalan yang diambil ayah dan saudaranya semuanya berorientasi pada pekerjaan dan penghasilan tetap, karir mapan dan pasti. Tidak ada satu pun yang mengambil jurusan seni meskipun Sachio tahu om dan tante-nya pasti memiliki bakat; seperti Ayah yang terampil bermain piano.

Maka dari itu, Ayah benar-bener memberi pilihan terbuka apa pun yang dipilih kedua anaknya sekarang.

Ayah bilang dahulu kakeknya yang mirip dengan Sachio itu juga memberi kehendak bebas untuk memilih apa pun. Akan tetapi, keluarga besar yang semuanya cemerlang di bidang akademis—entah itu keluarga buyut dari Opa maupun Oma—membuat mereka akhirnya menjadikan capaian akademis sebagai tujuan akhir pula.

Bagi mereka saat itu seni hanyalah pelengkap hidup. Mereka terdoktrin dengan lingkungan keluarga yang menunjukkan bahwa prestasi akedemik adalah kunci kesuseksan. Beruntung mereka berdelapan memang sepintar itu. Jika pergi ke rumah Oma, lemari kaca besar di ruang keluarga itu penuh dengan piala dan sertifikat ayah dan saudaranya.

"Kak Cioo, ini adek-adek kamu udah dateng." Ibun tiba-tiba berseru dari teras rumah. "Masuk aja kalian berdua. Ada Kak Cio sama Davio di dalem."

"Iya, Tante." Suara Saga dan Rio di depan sana terdengar.

Mereka berdua tampaknya semangat sekali pergi jalan-jalan. Padahal tadi malam sepakat untuk berkumpul jam sembilan, tetapi baru jam delapan dua bocah itu sudah ada di rumahnya.

"Saga kapan datengnya?"

"Kemarin pagi."

"Mamah, Ayah, sama Mba Senja sehat?"

"Sehat, alhamdulillah hehe," kata Saga. Tanpa melihat, Sachio tahu bocah itu sedang menjawab pertanyaan ibunya sembari cengengesan.

Tidak berhenti sampai situ, Ibun juga melempar pertanyaan pada Rio. Sepertinya semua tante di dunia ini memang suka mengabsen keadaan keluarga.

"Kamu, Yo. Ayah Ibu sehat?" tanya Ibun lagi.

Padahal Ibun dan Tante Reina juga acapkali bertemu kalau sedang ada arisan.

"Sehat, Tan."

Sekitar 5 menit kemudian, Sachio masih mendengar interogasi singkat yang ibunya lakukan di teras rumah. Bertanya macam-macam hal pada dua keponakannya sebelum akhirnya penampakan Saga dan Rio muncul di ruang keluarga.

"Ih, bagus," ujar Saga kemudian, langsung fokus pada Davio yang mulai memainkan Cornfield Chase milik Hans Zimmer. Itu lagu dari soundtrack film favorit Ayah; Interstellar.

Kali ini semua orang di ruang keluarga itu terdiam, tertegun sejenak dengan permainan musik adiknya. Bahkan Saga Rio yang baru saja datang lalu duduk di sofa. Sachio memandang jari Davio yang semakin cepat menari di atas tuts dengan flow sesuai dan imbang. Ia tersenyum tatkala sampai di bagian yang paling ditunggu-tunggu.

Beberapa menit tersihir, Davio mengakhiri permainannya dengan satu ketukan ringan. Tepuk tangan dari Sachio, Saga, dan Rio adalah adalah yang pertama terdengar, tapi kemudian yang paling keras adalah tepuk tangan Ayah yang tiba-tiba sudah berdiri di depan gawangan pintu ruang keluarga.

"Kalau denger itu Ayah berasa balik muda terus punya cita-cita jadi astronot menjelajah luar angkasa," kata lelaki itu mendekat, lalu mengusap kepala Davio bangga. Ayah pasti senang anaknya itu telah memainkan Cornfield Chase favoritnya tanpa cela.

Sebenarnya Sachio juga bisa main piano sedikit-sedikit. Hanya tidak seambis Davio yang ingin bisa memainkan semua karya Chopin dan Mozart.

Rio tiba-tiba menyeletuk, "Kenapa dulu nggak jadi astronot aja, Om?"

Sachio tertawa terbahak-bahak sebab pertanyaan Rio yang tak terduga.

"Iya, padahal seru we're going up like NASAAA," timpal Saga kemudian.

Ayah terkekeh, ikut duduk di sofa sebelah keponakannya. "Enak tinggal di bumi. Selain itu Om jompo nggak kuat tinggal di pesawat luar angkasa. Biar Om Aji aja yang jadi astronot. Habis kerja di Lapan, nanti terus ke NASA."

Sachio tertawa mendengar jawaban ayahnya. Tentu saja itu asbun semata—atau keinginan sesaat setelah menonton Interstellar. Sachio tahu sejak kecil Ayah bercita-cita jadi dokter. Tidak berhasil karena keadaan tidak mendukung, akhirnya lelaki itu menikahi seorang dokter saja.

"Om Aji kerjanya apa ya kalau di Lapan? Bikin roket atau cuma neliti bintang di langit?" Kali ini Davio yang bertanya.

"Tanya aja langsung ke Om Aji kalau ketemu. Kalian kalau mau jadi astronot siapa tahu bisa dikasih petuah biar bisa persiapan mulai sekarang. Yang penting harus rajin olahraga biar badannya sehat." Ayah berbicara seolah-olah bocil di sekitarnya itu sudah kelas 3 SMA macam Senja yang sudah harus menentukan tujuan hidup.

"Tadi dianter siapa kalian berdua?"

"Ayah." Rio yang menjawab.

"Udah sarapan?"

"Udah, di rumah."

"Pakai apa?"

"Soto."

Ayah mengangguk mengerti.

Tadi malam Davio tidak ikut menginap seperti rencana. Katanya, ada banyak tugas kelas 3 SMP yang perlu dikerjakan jikalau hari Minggu ini dibuat bersenang-senang di luar rumah.

Jujur saja Davio itu lebih disiplin dibanding Sachio. Kalau jadi Davio, Sachio tentu saja memilih menginap dan tetap bermain di hari Minggu. Tugas sekolah itu urusan belakangan.

"Nanti jadi Ayah yang mau anter kita ke bioskop? Atau Ibun?" tanya Davio kemudian.

"Ayah bisa. Masih nanti jam sembilan kan? Rei sama Yishan belum keliatan."

Sachio mengangguk. "Iya, emang harusnya nanti, Yah. Nunggu Rei ma Yishan dateng. Saking semangatnya mereka dateng satu jam lebih awal."

Dua orang yang dimaksud hanya nyengir. Sachio tidak tahan untuk merangkul dan mencubit pipi Saga yang berada di dekatnya. Kalau saja ada kontes anak SMP terlucu, kedua sepupunya itu pasti akan menang. Mereka benar-benar seperti anak kecil polos di matanya.

"Yaudah Om mau panasin mobil dulu. Itu kalian kalau mau baca buku ada di sana banyak. Main PS atau nonton TV juga boleh. Atau main piano tuh minta ajarin Kak Piyo."

Saga dan Rio tersenyum, berseru, "Siap, Om!"

Sachio terkekeh. Anak sekecil itu tentu saja kesenangan jika disuruh bermain game.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro