07.
Rencananya Sachio hendak mengambil kudapan di lantai bawah. Tahu-tahu ia sudah terlibat obrolan bapak-bapak di sekitarnya. Om Arjun memanggilnya, bertanya sedang melakukan kegiatan apa di atap rumah. Sachio menjawab apa adanya, rapat untuk rencana berkemah. Para bapak itu akhirnya jadi nostalgia. Sachio ikut mendengarkan, duduk di samping Ayah, menyeruput es kelapa muda milik ayahnya karena haus—es klamud mereka belum datang.
"Kalau ngomongin kemah, gue paling inget pas Hikam maagnya kambuh. Jujur waktu itu gue bingung banget harus ngapain. Bayangin di bukit malem-malem, gerimis, terus dia ngeluh perut sakit mana mual muntah-muntah." Om Malik yang mengawali nostalgia siang hari itu.
Yang dibicarakan hanya terkekeh. Om Hikam mencomot tempe mendoan di depannya, berujar, "Itu gue beneran kayak mau mati sih."
"Lo mah tiap maag kambuh juga bilangnya kayak mau mati," timpal Om Arjun, menatap kembaran di sebelahnya. Sachio tertawa, menatap kedua Om-nya yang punya hubungan love-hate relationship itu. Mereka itu setiap bertemu lengket seperti kena lem, tetapi tetap saja yang paling gaduh. "Anehnya udah ngerasain sakit gitu, nggak kapok-kapok. Heran gua disuruh makan yang bener susah banget."
Ayah yang kali ini bertanya, "Masih suka kambuh sekarang, Kam?"
"Kaga. Sekarang gantian gue yang pusing. Senja nih susah dibilangin buat makan tepat waktu. Sama punya maag juga kayak gue."
Om Aji yang memakan cemilan di tangan tersenyum. Adik kedua Ayah itu berkata, "Kalau Bunda jahat pasti dah bilang, rasain deh kalian semua. Susah kan jadi orang tua?"
"Iya lagi." Om Jilan yang sejak tadi asyik mendengar akhirnya bersuara.
"Anak lo dua kan anteng semua itu, Jil. Apalagi Yishan buset kalem bener." Om Hikam kembali berbicara. "Curang emang. Padahal dulu lo yang paling berandalan, tapi anaknya kalem anteng alus padaan. Keknya ngikut bini lu semua, ya."
Itu satu hal yang baru Sachio ketahui dari para om-nya. Yang ia tahu Om Jilan itu baik, suka tersenyum, dan loyal pada keponakannya. Tidak ada wajah-wajah berandalan seperti yang dikatakan Om Hikam. Mendengar cerita masa lalu mereka seperti sekarang benar-benar menyenangkan. Ia jadi tahu bagaimana kehidupan Ayah dan saudaranya dahulu.
Penasaran, Sachio akhirnya bertanya. "Kalau Ayah dulu berandalan nggak, Om?"
Ayah menoleh mendengar pertanyaannya, tertawa. "Silakan dijawab, saudara-saudara."
Papa dari Kak Luna dan Rei yang pertama menjawab, "Ayah kamu mah diam-diam menghanyutkan, Ci. Tiba-tiba udah ikut acara ke mana-mana, tiba-tiba Om dimintai tolong buat anterin pergi lomba."
"Paling rajin deh serumah. Rajin belajar, rajin beres-beres rumah," lanjut Om Jilan.
Ayah bersedekap dada, membanggakan diri.
"Berandal sih nggak, itu jobdesk Om Jilan soalnya. Tapi kalau galak ... wah kamu harus tahu, Ci. Anak Oma yang paling galak tuh dua orang. Om Arjun sama ayahmu," cerita Om Hikam yang langsung mendapat tampolan ringan dari ayah Rio itu. "Serius.... Om Malik Mas pertama di keluarga aja kalah. Kalau urusan maju marah-marah, Arjuna ma Ananda orangnya."
"Pantes ya...."
Om Arjun mengernyitkan dahi. "Pantes kenapa?"
"Di rumah Ayah juga suka marah-marah."
Adalah Om Hikam yang tertawa paling kencang setelah mendengar ucapannya. Lelaki itu hampir tersedak, sebelum akhirnya minum es di depannya lalu lanjut berkata, "Nggak kaget. Sering dimarahin ya kamu? Om udah menghadapi ayah kamu 21 tahun lamanya, Ci. Kita sekamar dan Om kena semprot mulu dulu tiap hari."
"Yeee, gue ngamuk juga ada alasannya ya," ujar ayahnya tidak terima.
Om Aji di sebelah Om Malik geleng-geleng kepala. "Orang paling rajin sekamar sama orang malesan ya kayak gitu tuh. Tapi keren sumpah selama itu akur-akur aja. Om Hikam nih ya malah lebih sering berantemnya sama Om Arjun."
"Iyalah gue ngalah terus. Untung habis itu gue kuliah di luar kota, udah tenang hidup gue. Aman jaya sentosa."
"Ah masa? Siapa yang tiap hari homesick nelponin gua tiap malem? Katanya kaga bisa tidur sebelum denger celotehan gue?" ujar Om Hikam sembari menaikkan sebelah sudut bibirnya berniat menggoda.
Demi mendengar hal itu, Sachio ikut tertawa. Ia menoleh ke Ayah yang agaknya tersipu malu—menandakan bahwa ucapan Om Hikam benar.
Bukannya apa-apa. Ayah itu memang tsundere sekali. Ia jadi teringat saat ia study tour SMP. Alih-alih bilang jujur kangen pada Sachio, ayahnya itu justru memakai alasan Ibun yang rindu untuk mengajak video call. Setelah koneksi tersambung, hanya ada Ayah. Ibun sama sekali tidak muncul.
"Bukannya lo yang nangis-nangis kangen sama gue waktu itu ya? Pas gue habis selesai UAS semester dua?" Ayah mengelak, mencari counter untuk mematahkan tuduhan kembarannya.
Om Jilan tiba-tiba tertawa. "Oh waktu itu! Sumpah gue kalau keinget itu cuma bisa geleng-geleng kepala. Malem itu....."
Sachio serta lima saudara di ruangan itu mendengarkan cerita Om Jilan dengan seksama.
"Gue kan rencana tidur sama Hikam ya. Mas Arjun lagi ngelembur di toko soalnya harbolnas jadi gua nggak ada temen. Mau mabar sama Zidan tapi dia lagi belajar sama Ajik Lala. Pergilah gue ke kamar Hikam. Nah pas gue masuk, gue liat dia nangis, ngusap pipi cepet-cepet pas gue dateng. Kagetlah gue, kirain dia ada masalah apa. Mana gue tanyain malah sok-sokan ngantuk mau tidur. Paginya, tiba-tiba Ananda udah sampe rumah. Beneran yang tiba-tiba kaga bilang-bilang kalau mau pulkam. Bunda sampe bingung nggak kabar-kabar jadi belum belanja apa-apa buat masakin Ananda yang baru balik. Habis itu baru tahu gue dia naik pesawat shubuh-shubuh demi Hikam yang lagi kangen."
Ayah terkekeh, sedangkan Om Hikam membuang muka. Sachio tahu empat kembar itu dekat dan saling terikat, tapi Ayah dan Om Hikam punya keterikatan khusus yang tidak tampak. Mungkin tumbuh karena sejak kecil mereka adalah teman sekamar.
Kali ini Ayah bercerita dari sudut pandangnya. "Hikam awalnya nggak nangis. Dia nelpon nanyain, 'lo kapan pulang, Nan?' Gue jawab, 'paling seminggu lagi, soalnya ada urusan organisasi.' Tiba-tiba dia bilang lagi, 'Nan, masa gua tiba-tiba kangen banget sama lo? Maaf ya gue sering bikin lo kesel dulu, maaf ya kalau gue banyak salah, maaf kalau gue belum jadi saudara yang baik buat lo.' Terus nangis gila tuh bocah. Bayangin gue lagi jauh dari rumah tiba-tiba ditelpon kayak gitu apa nggak khawatir ada apa-apa?"
Sachio hanya bisa tertawa mendengar segala cerita ayah dan saudaranya.
"Eh sumpah gue itu lagi galau, jadwal bulanan jadi nggak ngerti tiba-tiba ngelantur ngomong begitu."
"Jadwal bulanan, emang mens lo?" timpal Om Arjun tertawa, kemudian berkata, "Beneran waktu itu gue juga heran liat Nanda tiba-tiba di rumah. Kayak toko gue cuma di deket-deket, tapi yang balik ke rumah duluan Ananda."
Om Aji tersenyum, tahu betul tingkah laku kedua kakaknya. "Ya begitulah Mas Hikam dan Mas Nanda. Deket salah, jauh juga salah."
Lain dari lima yang sedang berbicara, Om Malik hanya terkekeh mendengar cerita adik-adiknya, memilih diam mengenang masa-masa lampau.
Sejujurnya Sachio sering kagum pada papa dari Kak Luna itu. Menjadi anak pertama dari delapan bersaudara bukanlah hal yang mudah. Terlebih kehilangan sosok Ayah saat adik-adiknya belum dewasa. Akan tetapi, melihat bagaimana hubungan mereka sekarang, Sachio tahu Om Malik berhasil melakukannya. Sebagai anak pertama—juga cucu lelaki pertama, tentu saja Sachio harus belajar banyak dari Om Malik Adhitama.
Beberapa detik kemudian, suara Kak Luna di tangga kayu membuat atensi enam orang teralih. "Cio, bapaknya udah di depan. Minta tolong ambilin klamud-nya, ya," katanya.
Tepat setelah itu, bel rumah Oma berbunyi. Menandakan kurir yang mengantar minuman sungguhan sudah sampai. Sachio beranjak dari sofa ruang tamu itu, berdiri untuk mengambil traktiran es kelapa muda segar dari Kak Luna dengan tidak sabar.
Bersambung.
ananda; jilan; hikam; arjuna
malik; aji
zidan adhitama
abiella adhitama (lala)
IDK, GIGGLING. Sion Jisung 02L tapi disini yang satu jadi om, yang satu jadi ponakan. It's okey, just ✨ fiction ✨ xixi. If you need deskripsi tambahan kayaknya next aku kasih penjelasan dikit asal mula keluarga Adhitama.
And yeah, congratulation for your debut, NCT Wish. Jadi, siapa bias kalian di unit neo baru dan terakhir kita ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro