06.
Angin semilir berhembus menerpa rambut Sachio yang sedang duduk di rooftop rumah Oma. Cuaca yang mendung membuat mereka tidak kepanasan meski waktu menunjukkan pukul 10 pagi sekarang. Matahari di atas sana malu-malu memunculkan diri; atau lebih tepatnya, gumpalan awan hitamnya mencegahnya untuk menampakkan eksistensi.
Rumah Oma semakin ramai ketika siang. Gelak tawa renyah banyak orang terdengar dari lantai bawah. Sachio tidak menyangka jika para om-nya, juga Ayah, akan berkunjung hari ini. Kedatangan Om Hikam adalah salah satu alasan mereka berkumpul. Om Hikam itu supersibuk sehingga jika pria itu datang berkunjung ke rumah Oma, itu adalah kesempatan Ayah dan saudaranya berkumpul bersama setelah sekian lama. Sama halnya saat Om Zidan atau Tante Lala yang tinggal di luar kota datang ke sana.
"Jadinya gimana? Mau nggak kalian kemahnya di rooftop aja?" Senja yang duduk di atas bantal malas jumbo menghadap laptop menatap Sagara, Rio, dan Davio. Di sebelahnya Yishan membuka tablet, membantu Senja untuk membuat rundown acara dan rencana pengeluaran untuk diberikan kepada para orang tua. Mereka berdua itu ahlinya persuratan.
Kalau Sachio tidak akan seribet itu. Tapi Kak Luna bilang (didukung Senja), jika ingin minta izin dari orang tua, harus ada effort yang diberi. Muncullah ide membuat proposal untuk para orang tua. Jujur, Kak Luna itu memang si paling sistematis di keluarga.
Kali ini angin kembali berhembus sejuk. Sachio merebahkan kepala di lengan sofa, menatap atap rooftop rumah Oma yang sebagiannya ditutupi dengan kanopi fiber. Ada tanaman rambat di atasnya.
Rooftop luas itu dahulunya dipakai untuk jemuran ketika anak-anak Oma yang luar biasa banyak itu masih satu rumah. Lantai itu dulunya semen biasa yang diberi sofa dan meja untuk nongkrong mereka saat sedang gabut.
Setelah mereka menikah dan punya keluarga masing-masing, rooftop itu direnovasi. Setengah lantainya dipasangi rumput sintetis yang kemudian diberi sofa dan bantal malas. Setengahnya lagi dipasangi keramik jika butuh kegiatan untuk masak dan memanggang. Tanaman hias Oma tidak absen ditaruh di beberapa sudut agar lebih sejuk.
Rooftop itu adalah ide Oma karena tahu cucunya banyak sehingga membuat tempat yang proper untuk ruang bermain mereka.
"Hari ini harus fix tempat sama waktunya. Bentar lagi udah mau UAS. Kalau nggak satu dua pekan ini ya berarti bulan depan setelah UAS," lanjut Senja kemudian. Sejak tadi perempuan itu yang memimpin jalannya diskusi.
Tadi Senja maupun Sachio baru menjelaskan panjang lebar usulan Oma untuk berkemah di rooftop saja. Tapi melihat raut mereka dan respon yang sejak tadi diam, Sachio tahu bocil-bocil itu tidak setuju. Rei dan Yishan sih akan ikut-ikut saja keputusan mereka, sebab mereka berdua tahu agenda perkemahan ini diadakan karena trio bocil yang meminta.
"Sacil, kamu maunya kemah di mana?" tanya Senja pada adiknya.
Sacil itu panggilan untuk Sagara. Akronim dari Sagara Bocil. Kata Senja, Sagara itu terlalu keren untuk jadi nama panggilan adiknya.
Yishan menimpali, "Kalau nggak mau nggak papa, bilang aja. Nanti kita coba cari tempat deket-deket sini."
Tampak berpikir sejenak, adik sepupu Sachio itu menjawab, "Kita maunya kemah di alam," ujar Saga kemudian, manyun menatap kakaknya agar berbelas kasihan mengabulkan keinginannya.
Sachio terkekeh. Jujur ia juga ingin berkemah di tempat yang baru alih-alih hanya di atas rooftop rumah Oma.
Kali ini Senja ganti menatap dua Yo—Riyo dan Piyo, meminta jawaban. Rio yang sejak tadi sibuk bermain rubik di sebelahnya menjawab, "Sama, mau kemah di alam aja. Lebih enak juga. Nanti kalau di sini udah jam 12 disuruh tidur Oma. Sebelum tidur, suruh sikat gigi dulu. Kemah macem apa itu."
Sachio terbahak-bahak, menarik Rio untuk dipeluk karena gemas. Pemuda yang sebaya dengan Saga berbeda 3 bulan itu kembali fokus pada rubiknya yang hampir selesai.
Rio itu teman main Davio, anak Om Arjuna kembar Ayah yang lain seperti yang pernah Sachio ceritakan sebelumnya. Pemuda itu anak tunggal. Satu sekolah dengan Davio, tetapi beda tingkatan. Davio kelas sembilan, sedangkan Rio kelas tujuh. Baru masuk SMP beberapa bulan yang lalu.
"Tapi bener juga. Nanti pasti suruh bobo cepet, nggak boleh berisik," timpal Rei di sofa lain ikut terkekeh.
"Ya kan, Kak? Nggak bisa buat kayu bakar juga. Dimarahin Oma kalau di rooftop nanti dikira ada kebakaran sama tetangga," ujar Rio lagi, senang karena ada yang paham maksud penolakannya.
Sachio terkekeh lagi, mengerti bocil satu SMP itu sedang mengejar esensi kemah sesungguhnya layaknya anak pramuka.
Senja ganti menatap Davio, "Piyo?"
"Ngikut deh, Mba," timpal Davio yang sejak tadi menyandar pada Yishan.
Sama halnya Sachio yang sering kali dipanggil Mas Cio—kecuali oleh adiknya, Senja juga punya panggilan Mba. Berbeda dengan cucu pertama Adhitama, Naluna, yang dipanggil dengan Kak. Jika ditanya alasannya, mereka juga tidak tahu. Tiba-tiba panggilan itu ada dan menjadi kebiasaan mereka.
"Tapi kalau bisa kemah di luar rumah, kayaknya lebih seru," lanjut adiknya kemudian.
Sachio tersenyum, mengerti sekali jika adiknya itu akan mengikuti keinginan Rio dan Saga. Bukan karena tidak punya pendirian, tetapi Davio akan memilih jalan yang menyenangkan kedua adik sepupunya.
Meski anak terakhir, Rio dan Saga sudah seperti adik bagi Davio. Terlebih Rio yang sehari-hari bertemu karena rumah mereka cukup dekat sehingga sering saling menginap dan bermain bersama.
Jika diingat-ingat, Davio itu bungsu tetapi tidak seperti anak bungsu. Ayah dan Ibun memperlakukan adiknya seperti halnya anak terakhir, terlebih alasan sering sakit dahulu membuat perhatian tercurah sempurna. Tetapi aih-alih tumbuh menjadi anak manja, Davio sama saja seperti dirinya. Bahkan sepanjang yang ia ingat, Sachio itu lebih manja dibanding Davio di hadapan kedua orang tuanya.
"Yaudah, di luar aja, tapi yang deket sini gausah di gunung bukit segala," ujar Rei kemudian. "Gue inget kemarin Kak Luna nunjukin tempat kemah deh. Tapi lupa apa namanya."
"Luar kota?" tanya Sachio.
Rei menggeleng. "Deket-deket sini kok."
"Yaudah ini mah nunggu Kak Luna aja nggak sih?" ujar Yishan kemudian.
Beberapa detik kemudian, panjang umur, Kak Luna yang menjadi bahan pembicaraan tiba-tiba muncul dari lantai bawah. Perempuan yang mencangklong tas itu tersenyum lebar, menyapa tujuh adiknya yang sudah menunggu dari lama. Sachio pernah dengar kuliah semester akhir itu memusingkan, tetapi Kak Luna sepertinya sangat menikmati studinya. Atau perempuan itu tampak bahagia sekarang karena bertemu para sepupunya saja.
"Hello, my brothers and my sister!"
"KAK LUNA!" Rio dan Saga adalah yang paling vokal menyambut.
Akan tetapi yang paling excited tidak lain dan tidak bukan adalah Senja. Bagaimana tidak? Sejak tadi perempuan itu menghadapi adik sepupunya yang laki-laki semua. Sachio, Rei, dan Yishan tentu saja tidak dihitung sebab yang susah diajak kerjasama adalah tiga bocil itu.
"OMG, Kak Luna! Kok lama banget baru sampai jam sepuluh lebih?" tanya Senja.
"Sorry banget, ya, adek-adek. Tadi habis cek tempat buat kemah. Udah dapet, udah tanya-tanya harga sewa juga. Deket sungai jadi bisa sekalian main air, bisa berenang, bisa mancing. Pokoknya seru deh!"
Sachio menatap sepupunya tidak percaya. "Sumpah beneran, Kak?!"
"Beneran, Ci. Udah aman masalah tempat. Nggak jauh, deket sini. Pasti dibolehin deh. Oma juga bakal setuju."
Kak Luna selalu begitu. Lebih sering memberi aksi dibanding ucapan. Di saat mereka sedang pusing diskusi menentukan tempat, perempuan itu bahkan sudah langsung mengecek TKP. Sat set. Tipikal anak dan cucu pertama keluarga.
"Real kah? Yang kemarin ditunjukin ke gue bukan?" tanya Rei pada kakaknya.
"Bukan, beda lagi. Jalanan SMP-nya Dapiyo ma Rio terus lurus terus mentok. Deket-deket sana lah," jawab Kak Luna, membuat yang empunya nama menoleh, untuk kemudian saling memandang. Agaknya mereka berdua tahu tempat yang dimaksud Kak Luna.
Yishan tampak berpikir, seolah mengingat kepingan memori di otak. "Oh gue tahu kayaknya. Tapi kan biasanya rame buat kemah anak sekolah, Kak?"
"Udah cek sekalian tadi, Shan. Pas banget dua pekan ke depan nggak ada bookingan dari sekolah."
"Wow? We're lucky."
"Yeah."
Kak Luna kemudian mengeluarkan hape dari saku celana, memberikan pada adiknya. "Tolong pesenin es kelapa muda dong, Rei. Delapan, ya. Tadi gue udah beli di jalan, tapi nggak tahu kan ada om-om di rumah, jadi klamud-nya dikasih ke om-om."
"Yaah, padahal haus," ujar Saga kemudian, menatap sepupunya sedih karena harus menunggu lama untuk minum es kelapa muda.
Terkekeh, Kak Luna mencubit pipi adik sepupu di sebelahnya itu. "Cil, how are you? Kamu beberapa minggu nggak keliatan tambah gembul aja pipinya."
"Gembul mana sama pipi Mas Cio?"
Sachio reflek menekan pipinya dengan satu tangan. "Mana ada?!"
Rei dan Yishan yang paling kencang menertawakannya.
Bersambung.
ananda's another twin; arjuna adhitama
arjun's only child; rio
HEHEHE MAKASIH SMTOWN MEMBUAT BANYAK MOMEN ANTARA DREAMIES DAN WISHIES <3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro