Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05.

Satu-satunya tempat yang bisa membuat Sachio bangun pagi dengan mudah adalah rumah Oma. Seperti halnya hari ini, Sabtu hari libur yang cerah dengan suara burung berkicau yang menyambut harinya. Teras rumah Oma yang penuh dengan tanaman hias dengan bunga warna-warni itu tampak sangat cantik. Ia duduk di atas sofa teras, menghirup udara segar pagi hari sembari memeluk bantal di pelukannya.

Tadi malam Sachio tidur di rumah neneknya. Jumat sore ia ditelpon Oma sebab wanita itu butuh bantuan untuk menyortir obat-obatan kadaluwarsa. Oma sudah cukup tua untuk melihat expired date di kemasan obat meskipun sudah memakai kaca mata. Bisanya obat yang kadaluwarsa itu ia buka satu-satu dari kemasan untuk dibuang ke saluran pembuangan, kemudian kemasannya ia rusak hingga tidak tampak lagi nama obatnya.

Jika ditanya apa fungsinya, Oma bilang agar tidak ada yang menyalahgunakan obat-obatan itu jika langsung dibuang ke tempat sampah. Sachio mengerti sebab beberapa tahun yang lalu gempar berita seseorang yang bunuh diri dengan obat kadaluwarsa yang ditemukan di tempat sampah. Berita lain menyebutkan bahwa ada oknum tidak bertanggungjawab yang menjual obat palsu yang asalnya diambil dari obat-obatan yang dibuang dengan tidak benar.

Kemudian, khusus untuk antiobiotik, Oma menyuruhnya membawa obat ke faskes terdekat untuk diproses secara khusus agar tidak membahayakan lingkungan. Sebagai anak IPA, ia tahu antibiotik dapat menyembuhkan juga membahayakan secara bersamaan. Antibiotik dapat membunuh bakteri, tetapi jika tidak dibuang dengan benar dapat mencemari lingkungan sehingga menimbulkan resistensi.

"Cio, mau sarapan pakai apa? Itu ada tempe sama sayur sop buatan Tante Aya kalau mau. Tadi dianter Om Aji pas kamu masih tidur. Tapi kalau mau soto atau sate bisa nunggu biasanya ada mamang lewat di depan."

Sachio mengangguk mengiyakan. Ia masih dalam mode bengong dan setengah mengantuk menatap wanita usia lanjut yang sedang menyiram beberapa tanaman hiasnya dengan botol kecil. Oma suka mengira ia tidak suka masakan yang sudah tersedia, padahal dia tidak makan karena belum lapar.

Di rumah Oma, Sachio selalu ditanyai apa makanan yang disukai untuk kemudian disediakan. Coba jika di rumah, Ayah akan memelototi jika dengan lantang ia bilang tidak mau makan karena makanannya tidak enak. Jarang sih hal itu terjadi sebab Ayah dan Ibun tahu sekali makanan kesukaan kedua anaknya.

Melihat Oma tampak kesusahan menyiram air di pot yang menggantung agak tinggi, Sachio bangkit berdiri. "Ada Cio, Oma. Harusnya minta tolong Cio. Masa punya cucu disuruh makan tidur doang," katanya, mengambil alih botol bekas yang dipegang neneknya.

Botol itu dipakai untuk menyiram pot yang lebih kecil. Selainnya, biasanya disiram menggunakan selang atau penyiram air yang agak besar.

"Biasanya Senja yang bantuin Oma Sabtu pagi-pagi, tapi dia lagi sibuk," ujar Oma menyebut nama sepupunya.

Senja itu anak pertama Om Hikam, salah satu kembar Papa. Perempuan itu cucu kedua di keluarga Adhitama, sedangkan Sachio cucu ketiga. Jarak usia mereka hanya berbeda 6 bulan. Senja kelas tiga SMA sekarang, sedang pusing persiapan masuk universitas. Mereka sekolah di berbeda tempat karena rumahnya jauh. Beda dengan sepupu lainnya yang masih satu daerah. Makanya sepupunya itu hanya menginap di rumah Oma saat hari libur saja.

"Cio kan juga bisa. Masa Senja aja yang disuruh bantuin siram tanaman," katanya tidak terima.

Oma tertawa. Mungkin pikir neneknya itu Sachio kekanakan sekali cemburu hanya karena tidak disuruh menyiram tanaman.

"Nanti Rei sama Yishan jadi dateng?" tanya Oma lagi. Wanita yang rambutnya telah berubah putih seluruhnya itu duduk di sofa, membiarkan Sachio menggantikan pekerjaannya.  

"Jadi, bentar lagi juga paling dateng mereka. Kak Luna juga mau ke sini."

Oma tampak mengernyitkan dahi. "Naluna juga mau ke sini? Ada acara apa kalian? Tumben kumpul-kumpul. Biasanya cuma bertiga yang main."

Bertiga yang disebut Oma itu merujuk pada Sachio, Rei, dan Yishan. Mereka yang sering bersama sebab satu sekolah. Tapi kalau ada acara tertentu sepupu yang lain juga mereka ajak bersama-sama.

“Mau rapatin sesuatu, Oma. Kita mau kemah bareng. Awalnya bocil-bocil itu yang minta, Sagara sama Rio. Davio juga sih kadang ikut berisik ngajakin. Cio sama Senja ditanyain mulu sampai pusing. Yaudah terus kita mau ajak Kak Luna yang besar sekalian.” Sachio menjelaskan sembari menyiram pot-pot itu dengan air.

Omong-omong, Sagara adalah adik Senja, anak kedua Om Hikam. Rio sendiri anak Om Arjun, kembar Ayah yang lain. Jadi Oma punya anak kembar empat bernama Arjuna, Jilan, Hikam, dan Ananda. Yang Sachio sebutkan itu sudah urut waktu lahir mereka. Jujur, ia sering kagum dan heran sebab mereka berempat adalah kembar tapi tidak tampak kembar sama sekali.

“Dulu Ayah, om sama tante kamu itu emang suka kemah bareng. Awalnya di atap tempat biasa kalian main di atas rumah, terus akhirnya sering kemah berdelapan di gunung.” Oma tiba-tiba bercerita. Sachio kemudian duduk di dinding pembatas teras, mendengarkan dengan seksama. “Kalian kalau mau kemah bisa ke atap rumah Oma dulu. Belum pernah kan kalau tidur bareng di atas? Kalau mau kemah yang jauh boleh, tapi harus ajak orang dewasa lain. Kalau cuma Kak Luna kurang, nanti pusing ngurus kalian yang kecil-kecil.”

Sachio mengangguk mengerti. Bagaimanapun mereka kemah bersama anak kecil. Kalau hanya Kak Luna, Senja, Sachio, Rei, dan Yishan tidak masalah mau kemah di tempat sejauh apa pun. Sayangnya mereka pastinya pergi bersama Davio, Sagara, dan Rio.

Oma agaknya ingin tahu lebih lanjut rencananya dengan yang lain sehingga bertanya, “Siapa aja emang yang ikut, Cio?”

“Berdelapan kayaknya. Kak Luna, Senja, Cio, Rei, Yishan, Piyo, Saga, sama Rio. Livan mau diajak tapi masih SD,” jawabnya.

“Yaudah nanti dibahas dulu aja. Kalau mau kemah di luar boleh, tapi jangan jauh-jauh. Yang deket-deket sini aja dulu,” nasihat Oma lagi.

Sachio hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia perlu rapat bersama sepupunya yang lain untuk membahas ulang lebih detail rencana mereka.

“Biasanya Senja kalau hari Sabtu kapan sampai sini, Oma?”

Oma tampak berpikir sejenak. “Nggak nentu, dateng sesuka dia.”

Baru saja dibicarakan, sekonyong-konyongnya suara mobil datang terdengar di indera pendengaran Sachio. Mobil itu berhenti tepat di depan rumah, membuatnya menatap Oma, mencari tahu siapa gerangan yang datang dengan mobil di depan sana.

“Kayaknya Senja,“ ujar neneknya.

Sachio mengernyitkan dahi. “Senja naik mobil?”

“Sama Om Hikam biasanya.”

Detik selanjutnya suara pagar dibuka membuat Sachio menoleh ke arah suara. Ia tersenyum, melambaikan tangan ketika mendapati Sagara berdiri di sana.

Pemuda 12 tahun dengan kaus putih dan tas hitam tercangklong itu tersenyum lebar. Sepupunya yang baru saja masuk SMP itu ganti melambaikan tangan, berjalan mendekat. “Mas Ciooooo!” serunya.

Sachio memeluk pemuda itu, menepuk bahunya beberapa kali sebab gemas sebelum akhirnya Saga beralih menemui Oma. Senja yang melewatinya menepuk bahu menyapa, salim pada Oma, lalu ikut duduk di pembatas teras di sampingnya.

Jika Yishan dan Livan itu 11 12 macam adik kakak, Senja dan Sagara itu berbanding terbalik seperti langit dan bumi jika orang melihatnya untuk pertama kali. Sagara sosok yang sangat ceria, beda dengan Senja yang tampak jutek dan tidak ramah. Hal itu lebih kepada orang asing, sebab jika pada orang yang dikenal Senja berbeda jauh. Perempuan itu hanya malas senyum, tetapi sebenarnya sangat baik dan peduli.

"Cucunya Pak Jepri pagi-pagi udah di sini,” kata Om Hikam. Sachio nyengir, salim pada lelaki itu. Ia tahu Om Hikam lebih suka menyebut dirinya “cucu Pak Jepri” alih-alih “anak Pak Ananda” sebab mukanya lebih mirip kakeknya daripada ayahnya.

Om Hikam merangkulnya. “Gimana kabar Ayah sama Ibun, Ci? Adekmu?”

“Sehat semua, Om. Alhamdulillah,” jawabnya. “Tante Raline nggak ikut ke sini?”

Lelaki kembaran ayahnya itu menggeleng. “Biasa ibu-ibu, sibuk arisan.”

Sachio terkekeh mendengarnya.

Sejurus kemudian Oma dan Om Hikam terlibat obrolan panjang, entah membahas apa. Mereka masuk ke dalam rumah, istirahat di dalam. Sagara tidak nampak di mana-mana, sepertinya sedang di kamar mandi.

Senja berpindah duduk di atas sofa teras, memeluk bantal di sana. Sepupunya itu menutup mata dan bersandar para bahu sofa, sepertinya tadi malam begadang. Tampak dari mata yang sedikit berkantung.

“Cielah ada orang sibuk. Tadi malem begadang buat belajar ya lo?”

Senja berdeham. “Gue saranin mending lo siapin kelas dua belas dari sekarang, Ci. Biar beban kelas 12 kaga banyak.”

Sachio tidak tertarik dengan saran tersebut. “Kelas sepuluh sebelas mah waktunya bersenang-senang.”

“Yee dibilangin juga.”

Sachio bangkit berdiri, menaruh botol bekas di tangannya. Ia jadi lupa tadi ia berniat membantu Oma menyiram tanaman.

Thanks,” kata sepupunya itu ketika melihat ia mengambil selang tak jauh dari tempatnya duduk.

“Apaan?”

“Itu tugas gue.”

“Oma udah nge-rekrut gue jadi santai aja. Lo fokus aja sama kegiatan dan agenda kelas dua belas,” kata Sachio. Ia tahu akhir SMA memang memusingkan itu. Dahulu saat ia berada di kelas sembilan saja terasa berat, apalagi ini kelas dua belas di mana mereka tidak lagi mencari sekolah, tetapi universitas.

Setelah memasang selang dan menghidupkan kran, air memancar membasahi tanaman Oma yang cantik. Ada banyak tanaman dan bunga yang sering Sachio lihat, tetapi ia tidak tahu namanya. Ia hanya tahu bunga mawar dan puring sebab Ibun juga menanam di rumah.

“Mereka kapan dateng deh?” tanya Sachio kemudian.

“Makanya punya hape itu dibuka, Ci. Kita chat-chatan di grup dari tadi nyariin lo tapi kaga muncul-muncul. Dikira masih ngebo di rumah Oma soalnya Piyo bilang lo akhir-akhir ini lo suka bangun telat.”

Tertawa terbahak-bahak, Sachio kemudian berujar, “Ya kan hari libur?”

“Tapi Piyo bilangnya pas nggak libur. Jadi asumsi kita pas libur lo bakal bangun jam 10,” kata Senja membuat Sachio kembali tertawa. Lebih karena membayangkan adiknya itu pasti kesal sekali karena harus membangunkannya setiap pagi.

“Katanya sekarang lagi on the way.” Senja berkata setelah melihat ponsel. “Tunggu aja. Bentar lagi dateng. Tapi Kak Luna telat soalnya masih di kampus buat bimbingan.”

Sachio mengangguk, lanjut menyiram tanaman di setiap sudut halaman depan rumah Oma.

Bersambung.


ananda's another twin; hikam adhitama

hikam's first child; senja

senja's lil bro; sagara

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro