04.
"Hujan terus seharian ini. Berhenti siang, terus mau sore hujan lagi. Malem pun masih hujan. Seharian ini aku nanganin dua pasien kecelakaan masa, Mas. Semuanya jatuh dari motor pas hujan sampai perlu operasi." Ibun yang sedang mencuci piring di dapur bercerita pada Ayah. Sachio yang baru saja selesai makan malam di meja makan mendengar mereka berdua mengobrol sembari menyesap coklat hangat buatan ibunya. "Mana anak sekolah semua. Belum 17 tahun. Makanya Kak Cio itu jangan dikasih motor kalau belum waktunya."
Sachio garuk-garuk kepala mendengarnya. Padahal kan kecelakaan bisa terjadi pada siapa pun, tidak hanya anak di bawah umur. Meski benar adanya anak di bawah umur rentan kena sebab kemampuan kognitif mereka belum sebagus orang dewasa.
"Operasinya lancar?" Ayah balik bertanya, mengambil air dingin di kulkas lalu menegaknya.
"Lancar. Operasi kecil aja, Mas. Cuman tadi ada satu operasi besar juga, batu ginjal. Kak Cio, banyakin minum air putih sama makan buah-buahan. Itu buah yang Bunda kupas dimakan, adeknya juga disuruh habisin. Pasien Bunda masih umur 20 sakit batu ginjal karena kurang konsumsi serat," ujar Ibun lagi.
Sejujurnya Sachio kenyang dengan nasihat Ibun setiap hari. Apa pun penyakit pasien yang ditangani Ibun di rumah sakit pasti tidak lupa diceritakan pada orang rumah, berakhir memberi nasihat panjang lebar, mengingatkan untuk menghindari ini itu. Ya, seperti halnya ibu-ibu di dunia ini.
Sachio menimpali. "Udah, Bun. Aku selalu makan buah, Piyo juga. Buah yang Ibun kupas kan selalu habis tiap hari."
"Itu Ayah yang banyak makan."
"Mana ada, aku juga banyak makan, ya," ujarnya tak terima.
Ibun menggelengkan kepala. Agaknya pusing melihat kelakuan suami dan anaknya. Wanita yang selesai menyuci piring itu segera mengeringkan tangan, bertanya suatu hal, "Kerjaan kamu gimana, Mas? Jadi ada acara bedah buku pekan depan?"
Ayah mengangguk, mencomot pisang di tengah meja makan. "Jadi, udah meeting tadi. Bedah buku terus lanjut acara lomba sekalian buat baksos. Pekan depan diusahain dua-duanya selesai. Tadi aku juga udah ketemu Pak Revan. Weekend besok katanya bisa hadir di bedah bukunya. Jadi bakal ada dua acara besok. Bedah buku di toko pusat, habis itu lanjut ngisi undangan di kampus."
"Kampus kita?"
Ayah mengangguk membenarkan.
Sachio tersenyum menatap ayah dan ibunya. Mereka berdua itu hebat sekali. Dedikasi Ibun untuk membantu orang sakit yang luar biasa sejak dahulu, kemudian Ayah yang menggerakkan jiwa sosialnya lewat perusahaan. Ia tahu sekali penerbit yang Ayah dirikan bukan penerbit biasa. Terbitan buku mereka kebanyakan mengangkat isu kemiskinan dan kaum marjinal.
Kata Oma, jiwa sosial Ayah sudah ada sejak masih bayi. Tak heran jika sejak dahulu Sachio sering kali diajak ke acara bakti sosial bahkan menghadiri acara besar lembaga yang bergerak di bidang sosial. Ayah bahkan sering menjadi relawan di kegiatan yang diselenggarakan oleh UNICEF. Iya, lembaga cetusan PBB itu.
"Pengen dateng deh. Aku suka buku Pak Revan yang terbit kemarin."
"Weekend kan? Ayo bedah buku date, Yang."
Mendengar obrolan itu, Sachio hanya bisa memutar mata jengah. Pasutri di depannya ini memang suka sekali unjuk keromantisan di hadapan anak-anaknya. Tapi demi Tuhan Sachio senang dan sanggup melihatnya setiap hari. Mempunyai orang tua harmonis dan saling-menyayangi merupakan sebuah privilege tersendiri. Sebab ia tahu, banyak anak di dunia ini yang tidak dapat merasakan hal itu.
"Adek udah ke kamar, ya?"
"Tadi katanya ngerjain PR. Kayaknya udah tidur sekarang," jawab Ayah.
"Udah setengah sepuluh juga. Kamu masih ada tugas nggak, Kak Cio?" tanya Ibun. Sachio hanya menggeleng sebagai jawaban. "Yaudah langsung tidur. Jangan begadang, Kak. Nonton series sama main game boleh kok, tapi tahu waktu juga. Nggak sehat kalau setiap hari begadang."
"Iya, Ibun cintaku. Semoga nggak begadang hari ini."
"Kok semoga?"
"Iya iyaaaa....."
Wanita yang selesai membereskan dapur itu berkacak pinggang, lalu duduk di kursi meja makan sebelah Ayah. "Untung kemarin Ayah udah nyuci pakaian, ya. Jadi seharian hujan gini nggak masalah soalnya pakaiannya udah pada kering. Aduh badan Ibun pegel banget hari ini."
Ayah terkekeh, mencium pipi wanita di sebelahnya. "Habis ini langsung tidur, istirahat."
"Pelanggaran!" seru Sachio yang melihatnya.
Ayah malah mencium wanita di sebelahnya kembali. "Iri ya nggak punya orang yang bisa dicium?"
Ibun malah tertawa. Wanita itu melangkah ke arahnya, memberi kecupan ke kepalanya sebelum pergi ke kamar. "Nggak papa nggak ada yang dicium, yang penting ada yang cium Kak Cio."
Sachio nyengir. Alih-alih lanjut kesal pada Ayah, ia justru tersipu hanya karena ucapan ibunya.
***
Malam hari kamar Sachio begitu hening. Ia asik menonton channel YouTube dan mendengar suaranya lewat earpod. Hanya tontonan random sebab ia sedang malas melanjutkan series yang sedang ia tonton. Beberapa detik kemudian suara ketukan di pintu kamarnya terdengar. Waktu di jam tangannya menunjukkan pukul sebelas malam. Ayah dan Ibun pasti sudah tidur sehingga ia bisa menduga itu Davio yang mengetuk.
"Masuk aja, Yo. Nggak dikunci," serunya dari dalam kamar.
Pintu kamar terbuka. Alih-alih Davio adiknya, Sachio melotot kaget ketika melihat Ayah yang masuk. Lelaki itu bersedekap dada. Sachio nyengir, kebiasaannya ketika ketahuan melakukan sesuatu yang tidak benar.
"Katanya nggak ada tugas? Kok belum tidur? Udah jam sebelas. Kalau tidurnya nanti-nanti, kamu malah nggak ngantuk terus begadang lagi. Besok kamu sekolah, Kak. Nanti terlambat bangun kayak tadi pagi," ujar Ayah, mengomel seperti biasa. Jika dipikir-pikir, ucapan Ibun sering ia anggap nasihat, tapi ucapan Ayah selama ini selalu ia sebut sebagai omelan. Mau bagaimana lagi, Ayah itu lebih cocok disebut mengomel daripada menasihati.
"Iya, ini mau bobo, Yah. Ini tadi mau tidur, tapi Ayah dateng duluan." Alibi Sachio terdengar begitu basi.
"Sekarang tidurnya, buruan. Ayah tunggu," kata lelaki itu lagi. Kali ini pria itu mendekat ke ranjangnya, lalu duduk menyandar di kepala ranjang di sana. Sachio baru sadar ayahnya membawa e-reader di tangan yang kemudian dibuka lelaki itu untuk dibaca.
Sachio mengernyitkan dahi. "Ayah ngapain di sini?"
"Memastikan kamu tidur dan nggak begadang."
Tawa Sachio pecah demi mendengar hal itu. Ia mematikan iPad yang tadinya ia pakai untuk menonton, lalu bergerak naik ke ranjangnya. "Bohong. Ayah diusir Ibun kan?"
"Enak aja. Demi kamu Ayah tinggal Ibun tidur sendiri terus nungguin kamu biar enggak begadang lagi."
Sachio terkekeh, memeluk guling di depannya. Ia tidur di sebelah Ayah yang kali ini fokus pada bacaannya. Sebenarnya ia belum ingin tidur, tapi mau bagaimana lagi. Ayah sepertinya berniat menenaminya tidur sungguhan.
"Udah sikat gigi belum, Kak?"
"Udah."
"Yaudah buruan tidur. Ayah ganti lampunya, ya," kata Ayah lalu mengganti lampu yang menyala menjadi lampu tidur. Lampu kuning ber-watt kecil di atas nakas itu menyala dekat Ayah sehingga membantunya untuk tetap membaca buku digital di tangannya.
Sudah jarang Ayah menemaninya tidur seperti ini. Jika Davio adiknya mungkin lain cerita.
Sachio jadi teringat dahulu selalu ditemani Ayah sebelum tidur. Lelaki itu pasti akan menceritakan dongeng pengantar tidur yang bermacam-macam. Ia ingat Ayah pernah bercerita tentang kisah seorang pilot yang pesawatnya jatuh di gurun sahara dan bertemu pangeran cilik dari sebuah planet kecil. Setelah dewasa ia baru tahu cerita itu berasal dari novel berjudul Le Petit Prince milik Antoine de Saint-Exupéry yang sangat terkenal.
Memeluk guling dengan pencahayaan kamar yang remang membuat mata Sachio mulai mengantuk. Ia sering berasumsi begadangnya selama ini karena memang tidak bisa tidur, tapi rupanya distraksi dari alat elektronik juga sangat berpengaruh. Bukan karena ia tidak bisa tidur, melainkan karena ia tidak ingin tidur.
Sachio sudah akan masuk dunia bawah sadar, sebelum akhirnya suara ketukan pintu kamarnya terdengar. Ia mengernyitkan dahi, menoleh ke Ayah yang sama-sama menatapnya, clueless siapa yang mengetuk pintu kamar malam-malam. Ibun maupun Davio bisa saja berdiri di depan kamar sekarang.
"Masuk, nggak dikunci," kata Sachio kemudian.
Pintu terbuka dan menampilkan Davio yang masuk kamar setengah mengantuk. Adiknya itu berhenti sejenak ketika menyadari ada Ayah di dalam kamarnya.
Sebelum Davio mengeluarkan suara, Ayah sudah bertanya lebih dahulu. "Kok belum tidur, Dek?"
Davio terdiam sejenak, tampaknya masih linglung sehabis bangun tidur. "Udah, Yah. Tapi barusan kebangun. Nggak bisa tidur lagi, terus mau tidur sama Kak Cio."
"Yaudah, sini tidur bareng Kak Cio. Ayah temenin."
Sachio menyambut kedatangan adiknya, membuang guling yang ia pakai agar tempat tidur king size itu lebih lapang. Pemuda 14 tahun itu merebahkan diri di antara Ayah dan dirinya. Tidak perlu waktu lama bagi Sachio untuk menjadikan adiknya guling. Ia peluk pemuda yang membelakanginya itu segera.
"Mimpi buruk lagi, Yo?"
Davio mengangguk samar. Sachio tahu sebab beberapa waktu ini adiknya itu mengeluhkan hal yang sama.
Ia menepuk-nepuk pelan kepala adiknya. "Tidur aja. Ada gua sama Ayah kalau setannya masih ganggu berarti kurang ajar berani sama orang tua."
"Emang mimpi buruk gara-gara setan?" katanya lebih karena skeptis mendengar ucapannya.
"Iyalah. Makanya jangan lupa doa."
Ayah menarik selimut, lalu membentangkan ke arah mereka berdua. "Tidur, jangan ngobrol," katanya. Pria paruh baya itu kemudian duduk di pinggir kasus seperti semula, melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi.
Sachio tersenyum, mengeratkan pelukan pada Davio yang sepertinya akan tumbuh lebih tinggi darinya.
Setelah Ayah dan Ibun, tentu orang yang Sachio sayangi adalah adiknya. Agaknya semua orang di rumah ini juga menyayangi pemuda itu melebihi apa pun. Sering sakit saat kecil lalu pernah hampir hilang nyawa dua kali adalah salah satu alasannya.
Akan tetapi, tanpa alasan itu pun Sachio akan tetap menyayangi satu-satunya adik yang ia punya dalam hidupnya.
Bersambung.
ananda's first child; cio
cio's lil bro; piyo
Demi, aku nulis part ini tanggal 8 Februari pagi dini hari. Aku mention Le Petit Prince karena itu salah satu novel favoritku dan cocok banget kalau jadi dongeng anak kecil. Terus, pagi harinya tiba-tiba keluar loker Sion di Wish Station dan ada Le Petit Prince..... Jujur sangat kaget dan terkejut. Merasa wah karena tiba-tiba bisa samaan sksks.
Udah sih gitu aja, aku cuma mau cerita xixi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro