03.
"Our life starts with The Big Bang and will end with Big Crunch. Analoginya semesta tuh kayak karpet yang dibentangin buat makhluk hidup tinggal, terus nanti pas kiamat tinggal digulung. Masuk akal nggak sih?" ujar Rei tampak tertarik setelah tadi mendapat intermezzo dari guru Fisika perihal salah satu teori kiamat yang disebut dengan Big Crunch.
"Teori ya tetep teori, Rei. Besok noh kalau udah kiamat baru ilmuwan bisa neliti. Kalau belum dicabut nyawanya sih." Sachio cekikikan karena ucapannya sendiri. Lagipula memang benar sehebat apa pun sebuah teori terdengar, tetap saja itu hanyalah sebuah teori sebelum ada bukti yang membenarkan.
"Mending lo cepet beres-beres. Yishan udah nungguin kita dari tadi," lanjut Sachio. Ia tidak mau tambah pusing mendiskusikan pelajaran. Matahari sudah lengser ke barat dan otaknya sudah penuh terjejali materi sejak tadi pagi.
"Mendung nggak sih, Mas?"
Sachio menatap keadaan luar lewat jendela. Hujan sudah berhenti sejak jam sembilan pagi tadi, tetapi langit masih mendung. Cahaya matahari enggan mengintip sedikit pun hari ini. "Iya, tapi semoga nggak hujan deh."
Jam dinding menunjukkan pukul dua siang ketika Sachio dan Rei mencangklong tas ke pundak. Sekolah sudah selesai lima belas menit yang lalu. Mereka berdua keluar setelah mengerjakan piket kelas secara cepat dan singkat-jadwal piket mereka sama. Di depan kelasnya, Yishan sepupunya yang sejak tadi menunggu tampak sedang mengobrol dengan seorang siswi kelas sebelah.
Omong-omong, sepupu Sachio itu banyak. Ayah yang memiliki delapan saudara adalah alasannya. Lelaki itu anak kedua dari delapan bersaudara, tetapi lahir bersamaan dengan tiga kembar. Jadi jika dihitung dengan urutan lahir, Ayah sebenarnya anak kelima di keluarga karena ia lahir paling akhir di antara saudara kembarnya. Jadi dapat disimpulkan Ayah punya satu kakak, tiga saudara kembar tak identik, serta tiga adik. Semua saudaranya laki-laki, kecuali adik bungsunya yang merupakan anak perempuan satu-satunya di keluarga. Namanya Tante Lala.
Sachio satu sekolah dengan dua sepupunya. Pertama, Rei yang merupakan anak kedua Om Malik, kakak Ayah; kedua, Yishan yang merupakan anak pertama Om Jilan, salah satu saudara kembar Ayah. Rei satu kelas dengannya, sedangkan Yishan yang terpaut jarak 2 tahun adalah adik kelasnya.
Dahulu ia terlambat masuk Sekolah Dasar agar hanya sekelas dengan Rei. Hal lucu tapi jika dipikirkan sekarang sepertinya itu pilihan tepat karena teman dekatnya di kelas sekarang adalah sepupunya. Mereka sering belajar dan mengerjakan tugas bersama sehingga perihal kegiatan belajar sekolah jadi terasa lebih mudah.
"Jadi pergi kan?" tanya Yishan padanya setelah selesai berbincang dengan temannya.
Alih-alih menjawab pertanyaan, Rei di sebelahnya malah menatap Yishan dengan jahil. "Shan, lo baru masuk SMA kemarin udah nyari cewek aja. Siapa itu tadi? Pacar lo, ya?"
"Pacar apaan. Temen gue itu."
"Masa?"
"Beneranlah."
"Nggak papa kok kelas 10 punya pacar, biar semangat sekolah. Nanti gue bantu bilang ke Om Jilan deh kalau mau go public, pasti bakal direstui. Kemarin pas Kak Luna punya pacar gue juga yang bantu bilang ke Papa." Rei masih semangat merecoki.
Yishan berdecak. "Lo jomblo jadi rese banget, Rei. Mending lo yang cari pacar sana," kata pemuda itu, setengah pundung tapi jatuhnya malah lucu.
Tawa Sachio pecah demi mendengar percakapan kedua sepupunya, merangkul Yishan yang tampak begitu kesal. "Udah, udah. Lagian jomblo ngatain jomblo. Lucu."
"Bercanda, Shan. Jangan ngambek."
"Nggak."
Sachio terkekeh. Kali ini merangkul Rei dan Yishan di kanan dan kirinya. Kedua sepupunya itu kadang memang seperti Tom and Jerry. Yang satu suka sekali menganggu, yang satu mudah tersulut. Tetapi kalau sudah klop dengan bahasan sesuatu, mereka bisa mengobrol panjang dan lebar secara serius. Jika sedang dalam mode Tom and Jerry, Sachio biasanya yang akan menengahi, walau tidak jarang menikmati sambil tertawa sebab mereka begitu lucu di matanya.
Adik kandung Sachio memang cuma satu, tapi seperti kata Oma, para sepupunya juga patut ia kasihi dan sayangi. Mereka teman main Sachio sejak kecil. Bertahun-tahun mereka melakukan hal menyenangkan, melewati suka dan duka bersama-sama. Bukan hanya Rei dan Yishan, tetapi juga sepupunya yang lain, yang lebih besar maupun lebih kecil darinya.
"Anjir hujan....." Rei berkata setelah hujan turun dengan sekonyong-konyongnya.
Murid-murid yang tadinya di luar koridor segera berlarian mencari tempat berteduh. Beberapa mengeluarkan payung, mengingatkan Sachio pada payung lipat milik Ayah yang ada di dalam tasnya. Mereka bertiga yang masih ada di lantai dua hanya menghela napas. Agenda mereka bermain basket di sore hari agaknya harus dibatalkan karena cuaca yang tidak mendukung.
"Lapangan indoor itu nggak bisa dipakai kah?" tanya Yishan.
"Udah di-booking, ada jadwal tanding kelas sebelah," jawab Sachio. Rencananya mereka memang akan pakai lapangan outdoor, tapi siapa yang tahu hujan turun kembali.
Rei di sebelah Sachio melipat tangan di atas dinding pembatas lantai dua, menatap hujan di hadapannya. "Males balik ke rumah. Ngapain, ya, enaknya....."
Sama-sama termenung, ketiganya dikejutkan oleh ponsel Yishan yang tiba-tiba berbunyi. Sachio menoleh, menemukan bahwa Om Jilan-lah yang menelpon. Alih-alih menjawab panggilan papinya, Yishan malah menatap ke arah mereka berdua sembari tersenyum lebar. "Mau nggak main ke rumah gue?"
***
Beberapa bulan lagi umur Sachio beranjak 17 tahun. Ia sudah request pada Ayah untuk dibelikan motor sebagai hadiah. Kemudian, ia akan cari SIM lalu pergi ke sekolah naik motor sendiri sehingga tidak akan merepotkan Ayah dan Ibun jika ia terlambat seperti tadi pagi. Sebenarnya tanpa umur 17 tahun pun ia bisa diam-diam pergi ke sekolah menggunakan motor Ibun di rumah, tetapi Ayah itu taat peraturan sekali. Ia hanya boleh memakai motor di rumah, tetapi untuk pergi ke jalan besar tanpa urgensi pasti akan dilarang.
Selain itu, peraturan sekolah juga cukup ketat. Murid di bawah umur yang membawa motor ke sekolah akan diberi sanksi. Jika tidak ada peraturan itu, pasti Rei sudah berkali-kali berangkat ke sekolah dengan motor sendiri. Meski sudah dilarang Om Malik atau Kak Luna, sepupunya itu suka nekat. Kalau Sachio sih tidak bisa. Nanti bisa-bisa ia tidak diberi makan satu pekan lamanya oleh Ayah-bercanda.
"Cio, Rei, kalian belum dijemput? Mau nunggu jemputan atau mau bareng Om sekalian?" tanya Om Jilan setelah menurunkan kaca mobil. Di sebelah kursi kemudi, ada Livan adik Yishan melambaikan tangan. Bocah umur 9 tahun itu menyapa mereka, "Halo, Mas Cio, Mas Rei!"
Sachio dan Rei ganti melambaikan tangan.
Yishan dan Livan itu punya kepribadian yang mirip, atau memang karena adik kakak. Kedua anak Om Jilan itu sangat kalem dan penurut. Yishan walaupun suka bertengkar dengan Rei, di rumah ia sangat anteng. Sachio sering kali berpikir rumah mereka pasti sangat tenteram. Beda dengan Ayah dan dirinya yang suka sekali berdebat.
Demi Tuhan, jika ada kontes anak paling penurut maka Sachio akan menyuruh Yishan maju karena selama bertahun menjadi teman bermain, pemuda itu jarang melakukan hal-hal yang membuat orang tua mengamuk. Atau mungkin Om Jilan saja yang tidak pernah tersulut. Om kembar yang satu itu murah senyum pada siapa pun. Sachio tidak pernah takut.
"Kita bertiga mau main ke rumah, Pi." Yishan yang menjawab. "Sekalian ikut mobil Papi, ya. Mau basketan tadi tapi malah hujan jadinya mau main ke rumahku aja."
"Yaudah masuk. Pas banget tadi Mami baru masak sesuatu. Nanti makan dulu."
Sachio bersorak-sorai dalam hati, tersenyum melirik Rei di sebelahnya. Keuntungan memiliki sepupu banyak, jika sudah bosan dengan masakan rumah, ia bisa pergi ke rumah sepupu satu ke rumah sepupu yang lain dan menyicipi masakan rumah mereka. Kalau ingin nongkrong pun biasanya mereka bergantian menjadikan rumah masing-masing menjadi tempat bertemu. Kendati basecamp utama tempat mereka main tetap rumah Oma.
Bagi Sachio, rumah Oma itu seperti tempat pulang jika rumah sendiri terasa menjengahkan. Ia sering kali pergi ke sana jika sedang bertengkar dengan Ayah. Oma akan memberinya ruang untuk menyendiri, kemudian mengajaknya bicara perihal apa yang terjadi. Jika ditanya siapa orang yang paling ia sayangi selain keluarga intinya, Oma adalah orangnya.
"Mau mampir beli jajan ke swalayan dulu nggak kalian bertiga? Kalau mau mampir gapapa, nanti Om yang traktir. Lama nggak jajain kalian."
"Serius, Om? Kita beli apa pun dibayarin Om Jilan?" tanya Sachio yang duduk di jok tengah paling pinggir.
Rei meninju lengannya pelan. "Ya kaga apapun-lah, Mas."
Om Jilan di kursi kemudi terkekeh, tersenyum hingga matanya habis.
Salah satu kelebihan Om Jilan selain kepribadiannya yang murah senyum adalah, saudara kembar tak identik Ayah itu juga sangat royal. Lebih-lebih kepada para keponakannya.
Bersambung.
ananda's twin; jilan adhitama
jilan's first child; yishan
yishan's lil bro; livan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro