Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02.

Hujan masih belum menunjukkan tanda-tanda reda setelah mengguyur sejak jam lima pagi tadi. Langit di atas sana masih mendung. Beberapa mobil tampak menembus hujan deras. Pengendara motor dengan mantel hujan juga tak jauh berbeda. Sachio memperhatikan keadaan jalan yang tetap ramai meski hujan itu. Anak sekolah dan orang yang bekerja mendominasi jalanan di hari Kamis yang sibuk ini.

Ayah di kursi kemudi tampak fokus dengan setir, menatap jalanan di depannya. Lelaki itu tidak mengomel, justru tampak sangat menikmati lagu yang terputar di audio mobil sekarang. Lagu jadul yang sangat Sachio kenali itu masuk dengan sopan ke gendang telinganya. Untuk sesaat ia tenggelam pada melodi lagu The Cranberries itu, nada indahnya melebur dengan baik bersama pemandangan hujan di luar sana. Ayah suka sekali lagu ini. Katanya mengingatkan pada kakek yang juga suka memutar lagu itu saat Ayah masih kecil.

Omong-omong mengenai kakek, ayah dari ayahnya itu sudah lama tiada. Sejak Ayah kelas dua SMA. Orang-orang selalu bilang jika muka Sachio mirip sekali dengan kakeknya, Jeffrian Adhitama. Awalnya ia tidak percaya. Kemudian, saat ia membuka album foto keluarga Adhitama, ia tidak lagi mengelak jika ayah serta om tante bilang begitu sebab mereka berdua memang memiliki banyak kemiripan. Terlebih di usia muda kakeknya. Hal itu juga yang sering kali membuat Ayah menatapnya lama. Sachio tahu Bapak Ananda itu pasti merindukan ayahnya.

"Nanti langsung masuk kelas, Kak. Jangan bolos pelajaran lagi kayak kemarin. Pasti guru-guru paham kenapa kamu telat," kata Ayah kemudian.

Sachio meringis. Itu kejadian seminggu yang lalu. Ia terlambat sekolah sehingga memutuskan untuk pergi ke basecamp-nya di kebun sekolah pada jam pelajaran pertama. Ayah mengiriminya pesan kala itu, yang dengan bodohnya langsung ia jawab padahal waktu menunjukkan pukul delapan di mana seharusnya ia sudah masuk kelas. Setelah itu, Ayah segera menyuruhnya masuk kelas, tidak lupa mengajak video call untuk memastikan ia sungguhan masuk kelas sembari mengomel panjang lebar.

"Terlambat tuh nggak masalah. Setidaknya kamu masuk kelas dulu dan guru tahu usaha kamu buat belajar walaupun terlambat. Coba kalau kamu bolos, nanti guru mandang sebelah mata setiap apa yang kamu lakuin. Ayah mah nggak peduli sama pandangan orang-orang. Tapi nanti nilai-nilai kamu itu ngaruh kalau guru udah mandang sebelah mata. Emang mau udah belajar capek-capek tapi nilai rapornya dikasih jelek karena kamu bolos terus?"

Sachio menjawab seadanya. "Nggak mau lah."

Ayah memutar stir kemudi ke kanan, belok ke arah sekolahnya. "Yaudah makanya jangan bolos lagi. Lagian apa enaknya sih duduk-duduk di kebon kaya gitu? Mending di kelas kalau ngantuk tetep bisa tidur. Kalau di kebon ngapain? Yang ada digigitin nyamuk kamu bentol-bentol."

"Kebun, Ayah, bukan kebon. Kebun sekolah tuh isinya banyak bunga hias sama tanaman bermanfaat enggak kayak kebon yang isinya rumput liar. Nggak ada nyamuk sama sekali di sana," ujarnya menjelaskan definisi kebun yang ada di sekolahnya.

"Sama aja menurut Ayah. Pasti jadi sarang jentik-jentik. Lagian ini kan bahas kamu yang bolos kenapa jadi nyasar ke kebon sih. Ayah nggak peduli mau kebun atau kebon, tetep aja jangan bolos lagi. Nanti jadi kebiasaan kamu apa-apa bolos. Ayah nggak suka, ya, Kak Cio."

Sachio mengehela napas. "Iya, nggak bolos lagi, Yah.... Janji."

Sepertinya pemikiran Ayah yang tidak akan mengomel karena sedang dalam mood baik itu salah. Kabar baik perihal penerbit Ayah yang sukses besar setelah mencetak satu buku fenomenal yang juga dieditori juga oleh ayahnya hanya bertahan tadi pagi saat ia telat bangun saja. Sekarang Ayah kembali ke keadaan semula.

Jika ditanya apa pekerjaan ayahnya, Sachio juga tidak mengerti. Ayahnya itu penulis, tetapi lebih sering menjadi editor buku, tetapi ayahnya itu juga bisa disebut enterpreneur. Lelaki itu punya perusahaan penerbitan dan percetakan yang sudah berdiri selama 8 tahun. Berbeda dengan kebanyakan keluarga lain. Ayah lebih sering di rumah karena pekerjaannya memang banyak dilakukan dengan mode WFH—work for home, sedangkan Ibun yang merupakan dokter bedah umum banyak menghabiskan waktu di rumah sakit.

Tidak terasa mobil yang Sachio tumpangi sampai di pelataran sekolah. Mobil mereka berhenti di depan pintu masuk utama yang dinaungi atap beton sehingga tidak akan basah ketika keluar. Ia segera berpamitan pada Ayah, tidak lupa salim serta mencium telapak tangan. Ia hendak keluar dari mobil sebelum akhirnya Ayah mengingatkan.

"Payung udah bawa?"

Sachio menggeleng. "Lupa tadi ketinggalan di rumah. Tapi kan nanti dijemput jadi nggak usah bawa payung nggak papa."

"Bawa, Kak," seru Ayah dari dalam mobil sebab suara hujan yang turun makin deras. Lelaki itu mengambil payung lipat di jok belakang, mengulurkan payung warna biru itu padanya. "Punya Ayah, buat jaga-jaga kalau butuh bermanuver."

Sachio terkekeh mendengar pemilihan kata ayahnya. "Okee. Makasih, Ayah."

Meski suka mengomel begitu, Sachio tahu Ayah perhatian sekali padanya. Ia juga sangat tahu omelan Ayah adalah bentuk sayang orangtua kepada anak. Jadi sebenarnya saat diomeli ia antara sebal juga senang bersamaan. 

"Tuh, ada temennya. Rei juga baru sampai," kata lelaki itu kemudian.

Sachio menoleh, tersenyum senang melambaikan tangan pada Rei yang baru keluar dari dalam mobil tak jauh dari tempatnya berdiri, yang dibalas dengan lambaian tangan pula. Tadinya ia berpikir Om Malik yang mengantar sepupunya itu ke sekolah, tetapi melihat jendela mobil turun dan menampakkan Kak Luna, ia segera tahu Rei diantar oleh kakaknya.

"Om Nanda, Sachio, Luna duluan ya! Harus ke kampus cepet-cepet!" seru kakak sepupunya itu.

Ayah berseru, "Hati-hati, ya, Lun. Jangan ngebut-ngebut."

"OKEEEE!"

Beberapa detik kemudian mobil Kak Luna sudah melesat keluar dari area sekolah, disusul oleh mobil Ayah. Sachio dan Rei melambaikan tangan bersamaan sebelum akhirnya kedua mobil itu menembus hujan.

"Udah jam setengah delapan, Mas," kata Rei setelah mendekat. Adik sepupunya yang berjarak setahun darinya itu menatap memberi kode padanya. Sebetulnya umur mereka masih sangat dekat sehingga Rei tidak perlu memanggilnya dengan embel-embel Mas. Tapi entah sejak dahulu ia sering kali dipanggil Mas Cio oleh para adik sepupunya. Panggilan sama yang dipakai oleh Ayah dan saudara-saudaranya.

Sachio menggigit bibir sambil berpikir, teringat ucapan Ayah beberapa menit yang lalu. "No, no.... Mending kita masuk kelas, Rei. Gapapa telat kan hujan deres. Jangan bolos lu nanti diamuk Kak Luna."

Rei terkekeh. "Bercanda doang sih, ternyata respon lo mengagetkan. Alhamdulillah dah tobat menjadi anak durhaka," kata pemuda itu kemudian.

Sachio tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Ia merangkul Rei, berjalan beriringan menuju kelas mereka. Guru Biologi mereka yang sangat disiplin pasti sudah memulai kelas sejak setengah jam yang lalu. Baru beberapa langkah mereka berjalan, Sachio menyadari ada yang kurang dengan apa yang ia bawa. Kemudian melihat gulungan kertas yang dibawa sepupunya membuat matanya sempurna melebar.

"Anjir mind-mapping gue ketinggalan di mobil!"

Tepat saat itu pula, suara klakson terdengar dari tempat asal mereka datang. Ia menoleh, mendapati Ayah yang keluar sembari membawa gulungan kertas tugasnya. Ia tersenyum lebar, sedikit terharu, setengah berlari menghampiri Ayah.

Ayah dengan wajah agak kesal berujar, "Kak, ini tugas kamu. Suka banget sih ninggal tugas di—"

Sachio segera memeluk ayahnya, membuat lelaki yang akan marah-marah itu tidak jadi melanjutkan bicara.

"Thank you, Ayah. Makasih udah dianter balik tugasnya. Cio sayang Ayah, byeee. Duluan, ya." Ia tersenyum sembari melambaikan tangan, menghampiri Rei yang masih berdiri di tempat yang sama.

Sepertinya Sachio menemukan jurus jitu agar Ayah berhenti marah-marah dengan cepat; memeluknya.

Bersambung.



the first; grandpa; jeffrian adhitama

adhitama's first child; malik adhitama

adhitama's first grandchild; naluna

naluna's lil bro; reigara

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro