Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01.

Ketukan kamar yang nyaring menganggu indra pendengaran Sachio yang sedang bergelung nikmat di balik selimut. Di luar sana hujan deras mengguyur bumi. Suhu udara yang turun membuat siapa pun tidak ingin berjauhan dengan ranjang empuk dan selimut hangat.

Dalam tidurnya, Sachio bermimpi duduk di sofa keluarga, siap sedia untuk berangkat sekolah. Tinggal menunggu adiknya selesai bersiap sehingga Ibun yang pergi ke rumah sakit untuk bekerja akan mengantar mereka berdua ke sekolah seperti biasa.

Nyatanya hal itu hanya dalam mimpi. Suara ketukan kamar itu semakin kencang, disusul suara teriakan adiknya yang kali ini terdengar samar-samar. "Kak, lo udah bangun kan?!"

Sachio menggeliat dalam selimut. Di dalam mimpinya, ia melihat adiknya merengut kesal, bilang jika ia berkali-kali terlambat masuk ke sekolah karena ulahnya. Sachio mengernyit tidak terima. Ia kan sudah siap sejak tadi. Jika terlambat, tentu saja itu bukan salahnya. 

"Kakak udah siap dari tadi, ya, Piyo. Lo yang bikin telat," ujarnya pada Davio adiknya dalam mimpi. Ia mengambil bantal sofa, entah mengapa malah membaringkan tubuh di sofa ruang keluarga itu. Menenggelamkan wajah pada bantal empuknya saat mendengar hujan semakin turun dengan deras di luar sana.

Suara ketukan pada pintu itu semakin kencang terdengar. Kali ini suara yang berbeda berteriak samar masuk dalam gendang telinganya. "Kak Cio, bangun! Udah jam enam lebih!"

Itu suara Ayah.

Sachio masih terlelap dalam mimpinya.

Satu menit.

Dua menit.

Lima menit.


"SACHIO! BANGUN ATAU AYAH CONGKEL PINTUNYA!"

Demi mendengar teriakan Ayah yang tiba-tiba menggelegar, Sachio membuka mata dengan susah payah. Bukan. Sejujurnya bukan karena suara Ayah yang menggelegar, tetapi karena namanya dipanggil dengan benar oleh pria itu. Bukan Kak, Cio, atau Kak Cio melainkan Sachio! Hal yang hanya Ayah lakukan jika sedang serius atau marah.

Sachio gelagapan bangun, menyadari kalau ia belum memakai seragam, belum mandi, belum siap-siap sama sekali. Tubuhnya masih dibalut kaos putih yang ia pakai tadi malam, tertutup selimut tebal hangat. Ia menegok jam weker yang menunjukkan pukul 06 lebih 15 di atas nakas, menepuk dahi. Menyadari mimpi biadab telah membohonginya sepagian ini.

Ketukan pintu yang semakin kencang membuatnya segera membuka kunci pintu kamar yang tak jauh dari ranjang. Keseimbangan tubuh yang belum sempurna membuatnya duduk di ranjang lagi, mengusap wajah, lalu nyengir melihat wajah ganteng Ayah yang bersedekap dada di gawangan pintu sembari menatap dirinya yang masih muka bantal; tampak tidak kaget sama sekali. Adiknya yang sudah memakai seragam itu yang justru melongo.

"Tadi jam setengah lima katanya udah bangun terus mau mandi?" tanya Davio.

Sachio mengerjapkan mata, masih mengumpulkan kesadaran. "Hah?"

Hanya satu kata itu yang mampu ia beri. Otaknya masih bekerja keras, mengumpulkan sisa-sisa kesadaran, memberi pemahaman bahwa beberapa hal yang terjadi sebelumnya adalah mimpi belaka. Sachio bahkan tidak ingat kapan mengatakan hal itu pada adiknya. Lebih parahnya, ia masih mengantuk. Tadi malam ia tidur jam dua setelah menyelesaikan series favoritnya.

"Tidur jam berapa kamu, Kak?" Ayah melempar pertanyaan.

Lelaki yang tampak segar di pagi hari itu pasti sudah mencuci baju dan piring serta berolahraga ringan. Morning person, atau memang bertanggungjawab membantu Ibun saja mengurus dua anak laki-lakinya untuk bersiap untuk sekolah di pagi hari. Sebab Ibun juga pasti kelabakan untuk bersiap bekerja. Apalagi jika jadwal operasi di rumah sakit sedang padat-padatnya.

Sachio terdiam untuk mencerna sebentar. Belum sempat ia menjawab, lelaki itu kembali berkata pada adiknya, "Adek, berangkat sama Ibun sekarang aja. Biar Kak Cio berangkat ke sekolah sama Ayah."

"Oke."

Baru juga disebut, eksistensi Ibun hadir dalam pandangannya yang masih setengah mengantuk. Wanita yang sudah sangat rapi dengan riasan ringan itu mengernyitkan dahi setengah khawatir, masuk ke dalam kamar untuk kemudian menyentuh dahinya. Sachio meringis. Ibun pasti mengira dirinya sakit, membuatnya jadi merasa sedikit berdosa.

"Ibun kira sakit, tapi nggak panas. Kamu kok belum siap sama sekali, Kak?" katanya kemudian.

"Baru bangun itu," jawab Ayah. "Habis begadang, pintu dikunci jadi nggak bisa dibangunin."

Sachio nyengir. Ibun yang menyadari hal itu menggeleng gemas lalu mencubit pipinya. Demi Tuhan, ia tahu pipinya menggemaskan, tapi ia sudah 17 tahun. Ayah dan Ibun seharusnya tidak lagi menyasar pipinya jika sedang kesal atau gemas karena kelakuannya.

"Tadi malem kan udah disuruh tidur awal, Kak? Omongan Ibun sukanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan."

"Tadi udah bangun, tapi ketiduran lagi, Bun...." Sachio mengucapkan alibinya yang tidak berguna. Sebab semua orang di bawah atap ini tahu ia suka sekali begadang; alasan yang sering membuatnya terlambat bangun. "Ibun berangkat dulu aja katanya Ayah yang anter aku."

Ayah dengan cepat menyela, "Kamu yang bayar bensin, ya."

Sachio melotot tidak terima, meski tahu ayahnya itu hanya bercanda.

Adiknya datang. Kali ini sudah mencangklong tas ke pundak. Anak SMP itu menyalami Ayah sebelum berangkat, yang kemudian dihadiahi usakan ringan di kepala dan petuah singkat untuk belajar yang rajin di sekolah, mengingatkan untuk membawa payung karena sedang musim hujan.

Ibun lalu menyuruhnya cepat mandi sebelum berangkat. Tidak lupa berpamitan pada suaminya itu—yang kali ini dihadiahi oleh Ayah kecupan di dahi dan pipi dengan romantisnya. Sachio hendak berteriak dalam hati, "PELANGGARAN!" tapi lupa ia harus segera mandi dan sarapan.

"Kak, itu karya lo yang ada di teras nggak kena cipratan hujan?" tanya Davio di luar kamar, setengah berteriak agar terdengar olehnya.

Sachio melotot. "Hah? Basah berarti?!"

Itu tugas mind-mapping di kertas karton yang ia buat untuk pelajaran Biologi. Tadi malam Sachio mengerjakan di luar rumah bersama Rei sepupunya, sekaligus teman sekelasnya. Setelah selesai ia menaruh di atas meja teras dan lupa membawa masuk.

"Bercanda doang!" seru adiknya kemudian, lalu terkekeh, membuat Sachio tambah kepikiran. Suara adiknya itu tidak lagi terdengar karena cepat-cepat mengikuti Ibun ke garasi untuk naik dalam mobil. 

"Udah Ayah masukin dalem rumah tadi malem pas kunci-kunci pintu. Aman. Sekarang kamu mending mandi."

Mendengar ucapan ayahnya, Sachio menghela napas lega. Ia bisa menangis darah jika tugas yang mati-matian ia kerjakan itu rusak.

Jam weker menunjukkan pukul setengah tujuh kurang lima. Ia kemudian nyengir menatap Ayah, "Udah telat nggak sih, Yah? Nanti sampai sekolah jam tujuh lebih."

"Better late than never, Kak Cio. Buruan mandi nanti tambah telat. Kamu mau Ayah mandiin kayak waktu kecil dulu? Sachio yang otw 17 tahun kelas dua SMA minta dimandiin ayahnya?"

"Nggak gitu, Yah...." Sachio kesal, tapi tidak mungkin marah-marah sekarang.

Ayah kemudian mengulurkan tangan. Ia menatap lelaki itu sebentar, berpikir sebelum akhirnya menggapai uluran tangan pria paruh baya itu. Setelahnya Ayah menariknya agar bangkit berdiri, mengarahkannya ke kamar mandi.

"Habis itu sarapan. Ayah udah masak nasi goreng kesukaan kamu," ujar lelaki itu sembari memijat bahunya menyalurkan semangat, mendorongnya ke kamar mandi.

Sachio mengambil handuk, masuk kamar mandi dengan sedikit keheranan dalam hati. Biasanya Ayah akan mengomel panjang lebar jika ia terlambat bangun, tetapi hari ini berbeda. Mood ayahnya itu pasti sedang baik pagi hari ini.

Selamat, Sachio. Omelan Ayah tidak akan terdengar sepanjang mengantar ke sekolah nanti.

Bersambung.

ayah; ananda adhitama

ibun; arunika riani

their sons; sachio and davio

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro