Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Prolog

Sangka dikata, sunyi bicara
Tatkala lariknya tak lagi dirasa
Tatkala lidah kelu tanpa kata
Tatkala melodi tak lagi jadi penyelam bisu
Tatkala sura petik gitar tak lagi menyela rindu.
Tatkala hadirmu tak lagi menghentikan waktu.

Aku tak pernah beranjak
Hanya duduk sendiri
Menyepi
Tanpa kata
Tanpa angan
Atau ku akan binasa
Atau hadirmu tak lagi berarti
Pada kuasa menggerakkan jam dinding

Dan sudah berulang kali ku katakan.

Hadirmu tak lagi berarti,
Pada kuasa menggerakkan jam dinding

Hadirmu tak lagi berarti,
Pada kuasa merekatkan hati

Dan hadirmu tak pernah lagi berarti,
Pada ruang kosong di jemari ku yang sepi

~Tertanda dia yang terkepung lara

****

DARI sekian senja penuh kesulitan yang pernah tercipta di dunia, aku berani bertaruh kalau bagi bocah laki-laki disana, senja kala itu adalah senja tersulit yang pernah ia alami sepanjang hidupnya yang bahkan belum mencapai tahun kesepuluh.

Senja sudah menyingsing sedari tadi. Namun entah dengan kuasa macam apa atau dengan alasan macam apa, dunia membiarkan mentari yang hendak kembali ke peraduannya berjalan lebih lambat, membuat bocah laki-laki itu sempat mengulas senyum tipis tatkala melihat ke arah jendela di rungan kedap suara tempatnya kini berada masih memperlihatkan semburat senja yang jingga. Bukan kegelapan malam yang purna.

Keadaan studio musik tidak seramai siang tadi, hanya menyisakan dua orang yang bercengkrama di selasar depan studio sembari sesekali menyapa hangat pada orang yang lalu lalang atau kepada orang yang berniat menyewa ruangan di studio. Mereka datang dengan banyak alasan, entah untuk latihan band atau memang hanya ingin menemukan tempat yang cocok untuk mengisi malam sepi dengan alunan musik yang mereka mainkan.

Dari sekian banyak orang yang datang, aku hanya peduli pada bocah laki-laki itu.

Umurnya baru delapan tahun tepat di hari Rabu seminggu lalu, usia yang menururutku masih sangat muda untuk memainkan piano dengan begitu apik. Bocah laki-laki tersebut bermain dengan serius, dilihat dari bagaimana sorot matanya menatap lekat ke arah music sheet. Jemarinya yang mungil menari diantara tuts hitam dan putih piano, menciptakan alunan piece piano klasik Turkish March. Piece itu punya skala kesulitan yang tinggi, namun masih bisa bocah laki-laki itu imbangi dengan kemampuan yang ia asah sejak umurnya masih belia.

Sebentar, semuanya dibuat baik-baik saja. Alunan denting piano memenuhi ruangan yang dibuat kedap suara. Bocah laki-laki itu semakin mempercepat permainannya sampai sesaat sebelum lagunya selesai, ia menekan tuts yang salah, membuat piece yang ia mainkan tak lagi terdengar sempurna. Si bocah laki-laki berdecak, lalu memainkan piece dari awal dan melakukan kesalahan yang serupa setelahnya. Bocah laki-laki kesal, mulai berpikir kalau ia tidak akan memenangkan kompetisi jika kesalahan yang sama selalu saja terulang sejak satu jam ia berada di studio musik. Bocah laki-laki itu menyambar tasnya kasar lalu berjalan penuh kekecewaan menuju pintu keluar.

Bocah laki-laki itu mungkin akan benar-benar meninggalkan studio jika saja tidak ada seorang gadis kecil menyapanya riang.

"Halo." Bocah laki-laki itu kontan menoleh ke arah seorang gadis kecil dengan rambut yang tercepol rapi ke atas, berdiri di ambang pintu dengan sorot mata penasaran. "Kamu lagi main piano, ya?" tanyanya lagi.

Bocah laki-laki itu terlihat bingung, namun tak urung tetap menjawab, "Iya."

Gadis kecil itu melirik ke arah baju yang bocah laki-laki itu kenakan dan menemukan pin yang tersemat di saku bajunya. "Kamu ikut kompetisi piano di balai kota besok?"

Bocah laki-laki itu kontan melirik ke arah pin di saku bajunya yang mengenalkan simbol tempat kursus musik dimana ia berlatih. Bocah laki-laki itu mengangguk terpatah, membenarkan.

Gadis kecil itu tersenyum makin lebar, lalu dengan gerakan terpatah masuk ke arah ruangan penuh alat musik itu. "Aku masuk, ya."

Bocah laki-laki itu tetap diam, membiarkan si gadis berjalan mendekat ke arah piano dan melirik ke arah music sheet yang sengaja ia tinggalkan di peyangga. Sejenak setelah membaca kata Turkish March sebagai judul instrumen klasik yang bocah itu mainkan, suara gelak tawa gadis itu kontan meledak. Gadis itu meraih music sheet dari alat penyangga, memperhatikannya sebentar, lalu kembali tertawa.

Bocah laki-laki itu kesal. Gadis itu hanya terus saja tertawa sembari membaca music sheet. Bocah laki-laki itu merasa diremehkan. Lalu dengan amarah yang berusaha ia tahan, bocah laki-laki itu berseru, "Kamu kenapa ketawa terus, sih?!"

Gadis itu menyodorkan music sheet ke arah bocah laki-laki itu lalu dan bertanya dengan sisa gelak tawa. "Kamu serius mau mainin lagu ini?"

"Kenapa memangnya?"

"Lagu ini susah, lho."

Raut wajah bocah laki-laki itu melunak. "A-aku udah bisa, kok."

Gadis itu terkekeh. "Jangan bohong. Aku udah lihat kamu dari tadi." Ia melirik ke arah pintu yang terbuka, mengisyaratkan kalau sedari tadi gadis itu sudah berdiri disana. "Kamu salah tekan tuts terus, kan?"

Bocah laki-laki itu menghela napas lelah lalu kembali duduk di kursi dan menekan tuts piano asal, menciptakan nada sumbang yang tidak merangkai harmoni sama sekali. "Tapi lagu itu keren. Aku mau Papa bangga karena aku bisa menang dengan lagu yang sulit sekalipun."

"Kamu gak akan menang kalau mainnya salah terus."

Bocah laki-laki itu mendengus lalu mengusap wajahnya lelah, merasa kalau gadis itu ada benarnya juga. Kala bocah itu membuka mata, gadis itu masih ada disana, berdiri, dan menyodorkan sebuah kertas ke arah matanya. Bocah laki-laki itu meraih kertasnya tanpa minat lalu mengernyit tatkala sadar kalau kertas itu adalah music sheet dari insrumen klasik Romance milik J.K Mertz. Bocah laki-laki itu memandang heran ke arah si gadis lalu memandang ke arah kertas itu ragu.

"Ini apa?"

"Itu lagu Romancenya J.K Mertz," jelas si gadis.

Bocah laki-laki itu mendengus. "Aku tahu. Ada judulnya."

"Ya sudah, kenapa kamu gak mainin?"

Bocah laki-laki itu melirik lagi ke arah music sheet. "Lagu ini bagus. Tapi terlalu mudah buat dimainin. Juri lebih suka kalau peserta bisa main piece yang susah."

Gadis itu menyipitkan matanya. "Tapi juri gak suka kalau kamu main piece yang salah terus."

"Kamu kok nyebelin, sih?!"

Gadis kecil itu kontan melotot. "Ih, kok aku yang nyebelin?"

Bocah laki-laki itu cemberut. "Kamu dari tadi selalu bilang seakan aku yang salah."

Gadis itu menyahut sinis, "Kamu, kan, emang salah." Gadis itu melipat tangannya di depan dada. "Aku juga punya ayah, tau. Ayah memang sedikit nyebelin, tapi Ayah pasti bangga sama aku kalau aku bisa main gitar tanpa kesalahan." Gadis itu memicing ke arah si bocah laki-laki. "Bukan main lagu susah yang gak bisa aku mainin."

Bocah laki-laki itu semakin cemberut.

Gadis itu meraih music sheet dari tangan si bocah dan meletakkannya di alat penyangga. "Kamu mainin lagu ini dan lihat kalau kamu bisa menang."

Bocah laki-laki itu memandang si gadis ragu, namun alih-alih kembali berdebat, bocah itu mulai memainkan pianonya sesuai music sheet. Lagu ini adalah lagu yang sudah berkali-kali ia mainkan dengan sang Papa. Lagu dengan skala kesulitan yang tidak terlalu tinggi, sehingga bisa ia kuasai dalam tempo yang cukup singkat. Bocah itu bermain dengan penuh penghayatan, menciptakan alunan piano yang merdu dan tanpa kesalahan. Setelah piece itu selesai dimainkan, suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Gadis itu memandang kagum ke arah si bocah lalu menepuk pundak laki-laki itu bangga.

"Bagus, kan?"

Bocah laki-laki itu tersenyum lebar dan mengangguk semangat. Ia jadi yakin kalau dirinya bisa menjadi pemenang di kompetisi besok.

"Kamu pianis juga, ya?"

Gadis itu menggeleng. "Nggak. Aku gak bisa main piano." Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan lalu tersenyum tatkala melihat sebuah gitar di sudut ruangan. "Tapi aku bisa main gitar klasik. Mau coba main bareng?"

Bocah laki-laki itu mengangguk antusias lalu menyiapkan kesepuluh jemarinya di atas tuts pianonya. Gadis itu berdeham sebentar lalu mulai memainkan intro dari lagu Greensleeves yang langsung disambut dengan dentingan piano milik si bocah. Mereka memainkan alat musik masing-masing dengan kompak. Perpaduan petikan gitar dengan dentingan piano menciptakan instrumen klasik yang indah dan selaras. Setelah lagu selesai dimainkan, mereka saling berpandangan lalu gelak tawa mereka meledak bersamaan.

"Skill gitar kamu bagus juga, ya."

"Makasih." Gadis itu tersipu, merasa bangga karena dipuji, lalu sesaat kemudian mengingat sesuatu yang penting. "Kalau kamu kenal Bi, dia lebih jago main gitar dibanding aku."

"Bi?"

Gadis itu terbata sejenak sebelum menjawab tenang, "Iya, saudari aku."

Bocah laki-laki itu mengangguk mengerti lalu matanya menyapu penampilan gadis di depannya.

"Kamu habis latihan juga?"

Gadis itu memperhatikan penampilannya sendiri--penampilan seorang balerina--lalu mengangguk cepat. "Ah, iya. Kalau gak salah ruangan kita bersebelahan, kan?"

Bocah laki-laki itu mengangguk membenarkan. "Semoga kamu menang, ya."

Gadis kecil itu tersenyum lebar. "Makasih. Aku yakin kamu pasti menang juga."

"Oh iya, kenalin. Namaku Purnama." Bocah laki-laki itu-Purnama-mengulurkan tangannya.

"Purnama? Nama kamu bagus." Gadis itu menyambut uluran tangan Purnama, tersenyum manis. "Nama kita lucu, ya. Kalau namaku Sa-"

"Bi, kamu ngapain disitu?" suara gadis kecil itu kontan terpotong oleh suara seruan wanita paruh baya yang menatapnya cemas. "Bunda cariin kamu dari tadi, ternyata kamu disini."

Gadis kecil itu berdecak pelan. Ia berjalan mendekati pintu lalu memperlihatkan pergelangan tangannya ke arah wanita itu. Wanita itu terlihat terkejut sebelum akhirnya mengulas senyum lebar. "Oh, maaf Bunda salah lihat. Bunda sama Bi ke mobil dulu ya, Sa. Bi sudah nunggu kamu dari tadi."

Gadis kecil itu mengangguk cepat sembari tersenyum lalu berbalik badan untuk menatap ke arah Purnama lagi. "Aku pergi dulu, ya. Mama itu galak, apalagi Bi. Mereka bisa marah sama aku kalau gak pergi sekarang." Gadis itu tertawa kecil lalu matanya teralih ke arah music sheet di alat penyangga. "Kertasnya kamu simpan aja, anggap kenang-kenangan dari aku." Gadis itu melambaikan tangan singkat sebelum berjalan cepat keluar ruangan. "Sampai ketemu lagi, Purnama."

Gadis itu terus saja berjalan. Menuruni anak tangga, melewati beberapa lorong, lalu menyapa resepsionis yang berjaga di depan. Dan tanpa alasan yang cukup jelas untuk dijabarkan, Purnama mengikuti langkah gadis itu dalam diam.

Tepat sebelum gadis itu mendorong pintu kaca ke arah luar studio, dia berbalik badan, menghadap ke arah Purnama yang mengikutinya dari belakang. Bocah laki-laki itu terperangah, walaupun sudah menduga gadis itu sudah menyadari kalau ia diikuti karena sepatu yang ia kenakan terus saja menimbulkan suara.

"Aku baik-baik aja, Purnama. Gak usah antar aku sampai pintu," katanya sembari terkekeh polos.

Purnama tersentak. Saat dirinya bingung apa guna dari tindakannya mengikuti gadis itu, gadis itu malah menyimpulkan sesuatu yang lebih masuk akal.

Kadang dunia itu lucu, dan Purnama yang waktu itu baru saja menginjak tahun kedelapan dalam hidupnya hanya terus tertawa memikirkan lelucon yang dunia berikan.

"Kita bisa ketemu lagi kan?"

Gadis itu mengangguk singkat. "Kalau kamu bisa menang besok, aku akan datang lagi kesini." Gadis itu melirik ke arah mobil, lalu memberikan isyarat mata ke arah wanita tadi untuk menunggunya sebentar lagi. "Maaf, aku buru-buru. Tunggu aja. Aku akan kesini lagi besok. Dah."

Purnama membeku di tempatnya, hanya sempat memperhatikan sosok gadis kecil itu keluar studio dan berbincang sejenak dengan wanita tadi. Sebelum masuk ke dalam mobil, gadis itu menyempatkan diri untuk melirik ke arah Purnama yang berdiri di balik pintu kaca.

Gadis itu tersenyum lebar lalu melambaikan tangannya sekali lagi.

Purnama tidak mengerti. Piano adalah hidupnya. Ia hidup ditemani harmoni alat musik itu dan bernapas dalam rangkaian nadanya. Purnama tidak mengerti. Momen dimana ia bisa bermain piano bersama Papa adalah momen yang akan ia sisihkan dari momen yang lain.

Momen yang ia labeli dengan judul 'Tidak Dilupakan' dalam ingatannya.

Saat itu, Purnama tidak mengerti. Tidak mengerti tentang kenapa momen bersama gadis itu ikut tersisihkan, lalu bergabung dengan momen bersama piano yang ikut ia sisihkan juga.

Kadang dunia itu lucu, dan Purnama yang baru saja menginjak tahun kedelapan dalam hidupnya hanya terus tertawa memikirkan lelucon yang dunia berikan.

Namun, ada saat dimana bocah laki-laki itu bahkan kehilangan suara hanya untuk sekedar tertawa.

Dunia seakan memotong pita suaranya saat esok hari tiba. Tepatnya, saat ia kembali ke studio, membawa piala kemenangan di tangan, dan berharap menemukan senyum gadis yang sama disana.

Namun, ruangan itu kosong. Gadis itu tidak ada disana.

Saat itu Purnama sadar, dunia punya selera humor yang payah. Purnama berhenti tertawa. Purnama berhenti menunggu. Purnama berhenti berpikir. Purnama berhenti percaya, kalau gadis itu--gadis yang tidak ia ketahui namanya itu--akan datang dan menepati janjinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro