Epilog
Kala sepi bertemankan gelap
Ku berjalan melintas fragmen buram
Abu, semu, jauh, buyar
Ku tak menemukan lara se-lara larik dalam sajakmu
Yang hanya menyisakan hampa
Hampa yang tak tinggal diam
setelah tewas dibunuh sendu
/S A B I T A/🌙
“Melamun?”
Aku terkesiap saat mendengar suara halus menyapaku. Aku menoleh singkat, hanya untuk mendapati seorang Aireen Katnyasonya menatapku dengan penasaran. Aku menggeleng atas pertanyaan Rai—sapaan akrabnya—walaupun jelas aja aku sedang melakukannya sedari tadi.
“Gugup?” Rai menebak dengan tepat sesaat setelah melihatku menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, tindakan yang terlampau jelas menyatakan kalau aku tengah grogi.
“Sedikit,” jawabku diiringi tawa hambar. “Rungannya terlalu besar. Penontonnya terlalu banyak. Saya hanya merasa ... tidak sanggup.”
Aku menatap sekali lagi ke arah langit, walaupun lagi-lagi arah pandangku harus bertemu dengan bangunan besar bergaya klasik yang menjadi tempatku menyelenggarakan pertunjukkan hari ini. Aku, Rai, dan empat orang lain yang tergabung dalam satu kelompok penari balet untuk sebuah pertunjukkan atas undangan Denara Fransiska, pendiri sekolah seni tari pertama di Indonesia yang sukses melahirkan banyak penari berbakat. Aku merasa ... luar biasa gugup. Denara bukan orang main-main. Aku mengaguminya setengah mati atas kharismanya yang luar biasa sebagai pengagas seni tari modern di tanah air. Dulu, aku mengenalinya sebagai ibunya Luna. Namun hari ini, aku mengenalinya sebagai pemilik bangunan megah di hadapanku yang memegang kunci keberhasilanku menjadi balerina.
Semuanya ... terdengar terlalu rumit untuk dipahami.
“Kita sudah melakukannya puluhan kali, Sabita. Dan sebanyak itu juga, kita mengakhirinya dengan baik.”
“Saya koreksi. Kita pernah melakukannya dengan baik berulang kali tapi tidak dengan penonton sebanyak itu!”
“Bagaimana dengan kompetisi di Jogjakarta waktu itu. Bukankah acaranya disiarkan langsung di saluran televisi ternama? Penontonnya lebih banyak dari pada ini, Sabita.”
“Tapi, Rai—“
“It’s gonna be alright.”
Aku terdiam. “I hope so.”
Rai tersenyum, lalu menggandeng bahuku sembari membawaku masuk ke dalam bangunan pentas seni. “Yang lain sudah menunggu. Hanya kamu yang masih menetap di luar.”
“Saya sudah bilang ini semua terasa sulit.”
“Kalau begitu biar aku ulang satu kalimat lagi.”
“Apa?”
“It’s gonna be alright.”
“Hm, kalau gitu biar saya jawab dengan satu kalimat lagi.”
“Hng?”
“ I hope so.”
****
Ukir aksaraku masih disisipi
Dalam relung hati kuresapi
Tak ada yang lari, tak ada yang pergi
Hanya ada aku, kau, dan larik di sajak laramu yang tersisih
Tak kuijinkan siapapun melirik
Sekalipun waktu yang fana hendak hadir
Hendak membuat kertas aroma bunga,
kini hanya tersisa kusam jejak kenangan
*****
Ini sudah kali kesembilan aku harus dibuat berbalik-balik ke toilet. Pertunjukkan balet kami akan diselenggarakan beberapa menit dari sekarang dan aku merasa luar biasa berantakan. Sudah tepat sembilan kali sejak aku ke toilet dan tidak melakukan apapun disana selain bercermin, mengutuk diri, kembali berkumpul di ruang tunggu, pergi ke toilet lagi, dan terus saja begitu.
Aku merasa rendah diri. Semua penari yang Danera Fransiska undang di pentas seninya punya tingkat kemahiran yang tidak bisa diragukan. Beberapa penari profesional yang kutemui seiring perjalanan menuju toilet membuat perutku semakin melilit, diperparah saat Rai berkata kalau kami menggunakan live orchestra untuk pengiring tarian. Sesuatu yang membuat aku semakin takut karena menggunakan musik dari orkestra asli biasa digunakan dalam pertunjukkan yang tidak biasa.
Rasanya aku mau menghilang!
Aku menghela napas saat dari kejauhan, terlihat toilet dipenuhi banyak orang. Aku memutar arah, mencoba berjalan kemanapun kakiku melangkah asalkan tidak kembali ke ruang tunggu dimana euforia kegugupan bisa kuserap sebanyak mungkin. Boleh kubilang, gedung pentas milik Danera Franseska sungguh luar biasa. Aulanya begitu luas, menampung banyak penonton yang jumlahnya cukup untuk membuat kepalaku pusing. Banyak ruangan kosong yang disulap menjadi ruang tunggu yang dibagi untuk masing-masing tim pengisi acara. Ruang tunggu milikku berdekatan dengan lokasi panggung, hingga aku berjalan memutar menjauhi tirai panggung dan berkeliling ke ruangan tim lain.
Hingga tanpa sadar, aku berdiri tepat di depan ruang tunggu dengan label Live Orchestra Team di depan pintunya. Aku terkesiap, entah kenapa merasa ada dorongan untuk mencari tahu apa yang ada di dalam ruangan itu. Aku masih terdiam, bahkan ketika sebuah pemikiran muncul di kepalaku.
Pemikiran kalau bisa saja Purnama adalah pianis dalam orkestra itu.
Aku menggeleng kuat-kuat, mengenyahkan pikiran tidak masuk akal yang muncul di kepala. Ada ratusan orang yang mampu bermain piano, kenapa harus Purnama salah satunya?
Kenapa harus aku yang yakin akan hal itu?
Aku tersenyum getir, mulai meracuni otakku dengan pemikiran tentang betapa mustahilnya itu terjadi. Kami terpisah kota selama hampir empat tahun. Tidak ada yang menjamin hanya berkat seorang Danera Fransiska dan pentas seninya yang luar biasa, aku bisa menemukan laki-laki itu disana.
Tidak ada yang bisa menjamin.
Aku menghela napas pasrah, sudah berniat melangkahkan kaki menjauh dengan segenap asa yang harus kutimbun dalam-dalam ketika sebuah suara menarik perhatianku untuk berhenti.
“Ayo, Purnama. Gue bisa! Gue bisa! Gue bisa!”
Saya bisa! Saya bisa! Saya bisa!
“Pur-Purnama?” Aku terkecat, napasku memburu. Tidak mungkin Purnama ada disini, kan? Itu sesuatu yang mustahil, kan? Aku menggeleng kuat, lalu mengusahakan diri untuk berjalan menjauh. Bahkan setelah mendengar engsel pintu dibuka, aku tetap memutuskan untuk berjalan. Bahkan ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat, aku tetap tidak berhenti.
“Sabita!”
Namun saat mendengar suara orang yang kurindukan setengah mati memanggil namaku sedemikian jelas, aku harus berhenti. Aku harus menoleh. Aku harus menangis. Aku harus berlari menghampirinya. Aku harus memeluknya erat-erat. Aku harus berjanji kalau aku tidak akan menjauh lagi. Aku harus mendengarnya berbicara kalau ia juga merindukanku.
Dan, ya. Kulakukan semuanya tanpa alpa.
Aku benar-benar menemukan Purnama disana. Berdiri kaku dengan raut wajah terkejut. Rupanya masih sama seperti yang terakhir kuingat, hanya badannya saja yang jadi lebih tinggi. Purnama memelukku lebih erat, sama terkejutnya karena menemukanku disini.
Menemukan bulan sabitnya disini.
Tidak ada satu kata pun yang tertukar. Kami hanya saling menatap, namun banyak cerita yang kudapat dari manik matanya yang gelap. Banyak kesedihan yang kutemukan, sedikit kisah menarik yang kulihat, namun terlalu banyak kerinduan yang kuambil dari sepasang mata itu.
Sesuatu yang menyenangkan karena kutemukan namaku sebagai alamat semua kerinduannya.
Hari itu adalah sebuah awal. Kalimat baru setelah titik yang tercipta. Sekuel dari tamatnya sebuah kisah. Tercipta banyak koma. Terdapat banyak kata sambung yang saling terhubung. Semuanya dimulai. Berangkat. Berawal. Masih banyak yang perlu ditulis. Masih banyak yang perlu didengar.
Semuanya kembali ke lembar baru.
Hari itu, aku menemukan kembali apa yang sudah hilang. Pribadinya yang mudah kesal. Tawanya yang setengah-setengah. Tingkahnya yang sering kali membuatku berpikir untuk hidup lebih lama. Aku menemukan semuanya. Semua yang kukira sudah hilang sejak seorang laki-laki konyol datang di hidupku sembari mengulurkan tangan bantuan yang tak pernah kudapatkan.
Semuanya bukan dimulai karena kedua mata kami menatap dengan jarak yang tidak lagi saling berjauhan. Bukan karena seorang pengelola acara memanggil kami dan menyuruh kami bersiap untuk pementasan. Bukan karena kami duduk di tim yang berbeda namun punya tujuan yang sama. Bukan karena aku jadi penari dan Purnama jadi pengiringnya. Bukan karena riuh tepuk tangan Pradana dan Danera menggema memenuhi bangku penonton eksklusif sesaat setelah kami menyelesaikan pertunjukkan. Bukan karena Luna sudah tumbuh lebih tinggi dan masih mengingatku sampai sekarang. Bukan karena Mrs. Veronoca berniat mentraktir kami atas pertunjukkan besar hari ini.
Semua itu dimulai sejak aku kembali ke ruang tunggu untuk mengambil pakaian gantiku. Menemukan sebuah sticky notes warna putih bersih dengan seuntai kalung berliontin bulan sabit di atas meja disertai sebuah pesan singkat ditulis dengan gurat pena yang acak-acakan namun mampu membuatku hampir pingsan di tempat.
Senang bertemu lo lagi. Dan lebih senang kalau kita bisa bertemu di kafe seberang jalan.
-🌝
****
/P U R N A M A/ 🌝
Bisa dibilang, gue sangsi dengan banyak perumpamaan yang gue dengar semasa hidup. Entah karena gue sudah makan terlalu banyak rasa sakit semasa bernapas sebagai manusia, atau karena otak gue memang terancang hanya untuk mengelak apa yang sudah didasarkan fakta.
Namun hari ini, biarkan hanya untuk hari ini, gue mau mempercayai sebuah ungkapan pasaran dengan amat pasti.
Orang sabar pasti disayang Tuhan.
Gue cukup sabar dibuat menunggu orang yang gue sayangi terbentang jarak tanpa kabar dan komunikasi selama empat tahun. Gue bermimpi tentangnya sebagai pengganti video call. Gue mengulang apa yang gadis itu sering bilang di kepala sebagai pengganti telepon. Gue membayangkan senyumnya dan memahatnya tanpa pernah lupa di kepala sebagai pengganti foto yang tidak pernah punya kesempatan untuk gue ambil bersama gadis itu semasa kami masih punya waktu.
Namun kali ini, lebih baik daripada panggilan vidio, telepon, bahkan foto sekalipun, gue menemukan wujud aslinya di depan gue. Tepat di depan mata gue. Duduk dengan senyum tenang yang masih sama sejak sekian tahun bergulir sembari sebaris kalimat menggelikan muncul di kepala.
Rasanya dia cantik banget sampai pengen langsung gue lamar.
“Ada sesuatu yang lucu?”
Senyum gue belum kunjung pudar bahkan ketika Sabita membuka suara sejak keberadaannya di kafe seberang gedung pentas lima belas menit yang lalu. Gue tidak mengatakan apapun sejak tadi, masih mengira kalau waktu yang kami miliki sangat terbatas hingga di sisa waktu, gue hanya ingin menangkap sebanyak mungkin wajah gadis itu agar kenangan lama di kepala gue bisa kembali segar.
“Lo bisa diam aja, gak?”
“Kenapa saya harus diam?”
“Supaya gue bisa lihatin lo sebanyak yang gue mau.”
Gue melihat pipi gadis itu bersemu. “Saya bukan patung buat kamu lihatin.”
“Ya tinggal diliatin aja. Soalnya kalau dipeluk udah puas.”
Lagi, Sabita kembali tersipu, namun masih ditutupi dengan gelagatnya yang sok cuek. “Bagaimana kabar kamu sekarang?”
“Kenapa harus tanya kabar dulu?”
“Karena biasanya ini pertanyaan pertama saat bertemu dengan orang yang sudah lama tidak bertemu.”
“Kalau gitu lo salah.”
“Terus, saya harus bertanya apa?”
Gue tersenyum miring. “Tanya apa gue masih suka sama lo atau enggak.”
Gue tertawa saat Sabita justru salah tingkah. Gadis itu menyipitkan matanya, menatap gue dengan pandangan curiga. “Kamu banyak berubah, ya.”
“Waktu punya kuasa yang begitu besar sampai mengubah banyak hal.”
“Kecuali satu hal.”
“Hm?”
“Perasaan saya ke kamu dan perasaan kamu ke saya kelihatannya gak mampu waktu ubah.”
Gantian, kali ini gue yang salah tingkah. “Lo tetap sama seperti Sabita yang gue kenal.”
“Dan kamu ... masih sama seperti Purnama yang saya kenal.”
“Nothing look different?”
“Hm. Kamu terlihat lebih tinggi dibanding yang terakhir saya ingat.”
“Nice one, tapi bukan itu.”
“Lalu?”
“Gue bukan lagi anak SMA yang merasa bersalah atas kematian ayahnya. I’m different now. I’m wiser.” Gue tersenyum. “Dan juga, gue menepati janji terakhir gue dengan Bintang.”
Raut wajah Sabita berubah saat gue menyebut nama saudarinya. Ekspresinya pahit, namun masih lebih baik daripada apa yang ia lakukan terakhir kali saat gue menyebut nama Bintang. “Janji apa?”
“Janji untuk menjaga lo sampai akhir.”
Sabita terdiam, lalu seulas senyum terbit di pipinya. “Ini keajaiban bukan?”
“Apanya?”
“Bertemu kamu lagi disini. Awalnya saya rasa saya akan kehilangan kamu selamanya.”
"Gue harus berterimakasih sama Nata kalau begitu. Dia memaksa gue mati-matian untuk ikut serta dalam pentas seni ini."
“Well, kalau bagian itu saya rasa harus berterimakasih pada Denara Franseska.”
Purnama menaikkan satu aslisnya. “Ibunya Luna?”
“Exactly. Dia mengundang saya lewat email untuk menghadiri pentas seninya.”
“Hm, berarti gue orang yang lebih spesial dari lo.” Gue terkekeh. “Suaminya Denara datang langsung menemui gue dan menawarkan jadi pianis live orchestra.” Gue mendelik ke arah Sabita yang cemberut. “Dia menemui gue secara lang-sung. Bukan lewat e-mail.”
“Surely I know you are.”
“Apanya?”
“You are more special than me.”
“Of course!”
“Maka dari itu Tuhan membiarkan permintaan kamu terkabul lebih dulu.”
Gue memiringkan kepala. “Permintaan? Tiga permintan di Sour Sally waktu itu?”
“Kamu meminta agar bisa jadi pianis sehandal Ayah kamu.” Sabita tertawa saat melihat gue membanggakan diri sendiri. ”Look at you now. You’re more talented than you father!”
“How about yours? Masih tersisa satu permintaan, kan?”
Sabita menggeleng. “Tidak. Saya memakainya beberapa hari yang lalu.”
“Permintaan apa?”
“Kamu tidak perlu tahu. Yang jelas semuanya sudah terkabul.”
Gue mengusap dagu, kelihatan berpikir. “Hm. Gue jadi penasaran.”
“Penasaran tentang apa?”
“Tentang apa permintaan ketiga gue akan terkabul juga atau enggak.”
Sabita tertawa renyah, membuat gue diam-diam ingin merekamya agar tidak pernah hilang dari ingatan. “Permintaan kalau saya dan kamu akan terus begini selamanya? Saya ragu.”
Gue langsung beranjak kaget dari kursi. “Kenapa ragu?! Lo mau pergi lagi?!”
Sabita tertawa lagi saat melihat gue panik. “Ragu kalau permintaan itu tidak akan tidak terkabul.”
Gue ikut tertawa sembari kembali duduk di kursi. “Kenapa lo meragukannya.”
Sabita tidak bicara apapun. Namun ia menunduk sebentar, mengacak-acak isi tasnya, lalu kembali dengan sebuah sticky notes tertempel di sudut meja.
Karena aku sudah kembali.
-🌙
****
Ayat dalam baitku abadi
Tak pernah hilang digerus masa
Tak pernah renggut terusir zaman
Tak pernah tersampaikan dipaksa rasa
Sekalipun waktu yang fana hendak hadir
Hendak membuat kertas aroma bunga
Kini hanya menjadi sajak dalam lara,
Penghias balik pintu dalam teduh kopimu
-Tertanda
Dia yang terkepung Lara
*****
Purnama dan Sabita
TAMAT
Hadikarta, Sabita Karensya.
Her world is indeed black.
There's ballet.
There's Bintang.
And also,
There's Purnama.
Virshunadi, Purnama Aditya.
His world is piano.
But Sabita occupy his heart more than piano ever been.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro