/9/: Purnama dan Datangnya ke Rumah
/ P U R N A M A/ 🌝
Gue gak pernah berpikir akan menjemput seseorang suatu hari nanti.
Iya, tentu saja gue bukan tukang ojek online yang kerjaannya menjemput dan mengantarkan orang ke mana-mana. Apa yang gue maksud 'menjemput' disini adalah bagaimana gue datang ke rumah seorang gadis, membawa sebuket bunga mawar, bertemu dengan seorang pria berkarakter tegas, lalu meminta ijin untuk mengajak putrinya keluar sampai waktu yang pria itu batasi. Makan malam bersama, berjalan-jalan di taman, atau mungkin memandang langit malam di bukit bersama-sama.
Ew, memikirkannya saja gue jadi geli.
Seperti yang pernah gue bilang, jika ada status yang lebih ngenes daripada jones, gue adalah itu. Sama halnya seperti lingkup pertemanan, punya pacar adalah keajaiban nomor sekian yang akan terjadi dalam hidup gue. Mama mungkin lebih memusingkan tentang anak bungsunya yang gak punya teman sehingga Mama gak sempat untuk menuntut gue punya pacar. Tapi siapa tahu, 2 tahun dari sekarang Mama akan mengubah prioritas tuntutannya. Waktu itu misteri, satu dari sederet aspek hidup yang menyimpan banyak pertanyaan. Waktu itu cepat berubah dan cepat merubah.
Hingga kali ini, waktu membuat gue merubah apa yang gue pikir gak akan pernah gue lakukan kini benar-benar terjadi.
Gue berdiri di depan rumah yang amat mewah di kawasan perumahan elite. Ukuran rumahnya memang besar, lebih besar sedikit dibandingkan rumah gue. Halamannya luas, tak terkecuali dengan jalan setapak yang menghubungkan pintu utama dengan gerbang depan yang berjarak cukup jauh. Beruntung, gue bawa mobil kesini atau setidaknya gue harus membiarkan satu-dua tetes keringat meleleh di pelipis karena matahari masih terasa menyengat walaupun jam terhitung sudah petang.
Berbeda dengan imajinasi, gue gak membawa sebuket bunga mawar atau bunga apapun ke rumahnya Sabita. Ogah yelah. Walaupun status gue jadi pacar (pura-pura)nya, mengeluarkan sekian uang cuma buat beli sebuket bunga yang gak berarti buat cewek itu sama saja buang-buang uang. Bunga itu bukan benda yang bisa tinggal comot aja di toko then bawa pulang buat dia. Bunga itu gak gratis, Bro. Satu-satunya bunga yang gratis di dunia ini cuma kembang pasir.
Tau kembang pasir, kan? Ya tau dong. Pasti tau. Kalo gak tahu, cari di internet, ya. Jangan sambil makan, nanti muntah.
Cuma memeperingatkan.
Oke, kembali ke topik.
Gue kini berdiri di depan pintu yang gedenya astaganaga. Eh, engga selebay itu juga, sih. Pintu rumah gue juga sebesar itu. Yang jadi masalah adalah nyali gue yang sungguh kecil dibandingkan besarnya pintu. Seperti imajinasi gue, bagaimana jika gue membuka pintu, lalu muncul seorang bapak yang berdiri tegak dan bertingkah posesif sama putrinya. Bagaimana jika gue gak diijinin bawa Sabita ke rumah? Apa yang Mama lakukan sama gue? Geprek gue sampai jadi ayam penyet?
Oh, tentu saja tidak akan terjadi.
Melihat pintu besar di depan gue, gue hampir melakukan sebentuk tindakan radikal seperti menggedor-gedor pintunya hingga semua orang rumah bangun. Tapi tentu saja gak gue lakukan, gue masih sayang baju. Sayang baju gue kotor kalau gue di arak massa karena dikira maling di tengah petang bolong. Gue berpikir sejenak, memikirkan cara yang cukup manusiawi untuk memanggil orang di dalam rumah karena setiap ke rumah Genza dan Nata, gue gak pernah berpikir apa tindakan gue yang langsung masuk ke rumah tanpa permisi (karena rumah mereka sama saja rumah gue dan sebaliknya) termasuk tindakan yang cukup beradab untuk dilakukan.
Saat tengah sibuk berpikir, mata gue menangkap sebentuk tombol kecil di sebelah pintu. Tanpa pikir panjang, gue menekannya, amat yakin kalau itu adalah bel rumah yang akan berbunyi jika gue menekannya. Benar saja, selang 30 detik pintu besar itu dibuka, menampilkan seorang Ibu bertubuh tambun, berpakaian sederhana, dan berwajah ramah. Dari caranya bersikap, gue tahu kalau Ibu itu adalah asisten rumah tangga di rumah ini. Gue yakin Ibu itu tidak mungkin bekerja sendiri di rumah sebesar ini. Karena kalau iya, dia pasti sudah jadi sekurus Park Sin Hye.
"Ada apa, Mas?" Ibu itu bertanya pada gue dengan sorot wajah penasaran. "Oh, Mas pasti temannya Non Sabit, ya?"
Sabit? Gue kira namanya Sabita.
Elah, apa bedanya.
Gue mengulas senyum sedikit sebelum menjawab pertanyaan Ibu tadi dengan sebuah anggukan. "Iya, Mbak. Bisa ketemu sama Sabita?"
"Masuk dulu, Mas. Saya panggilkan Non Sabitnya."
Gue menunduk patuh lalu melangkah masuk ke dalam. Tak jauh berbeda dengan kondisi rumah dan halamannya, ruang tamunya tergolong besar dengan arsitektur yang menarik. Ruangan itu memiliki warna dominan yang earthy, cukup nyaman untuk bersantai jika saja gue tidak sedang buru-buru. Di ceilingnya tergantung beberapa lampu gantung yang estetik. Dalam sekali tatap, gue tahu Ayahnya Sabita pasti punya selera yang bagus dalam dekorasi ruangan.
Gue lantas berjalan pelan ke arah salah satu sofa lalu duduk menunggu. Apa yang gue pikirkan memang benar adanya. Beberapa wanita dengan pakaian dominan hitam dan renda putih--pakaian seorang maid--terlihat sesekali mondar-mandir di sekeliling ruangan. Pemandangan yang agak aneh gue lihat karena sebesar apapun rumah gue, Mama tentu saja keberatan jika asisten yang berkerja di rumah harus memakai seragam seperti itu.
Saat tengah sibuk memperhatikan seisi ruangan, perhatian gue lantas teralih pada suara langkah kaki dari arah tangga. Gue menyipitkan mata sejenak, berusaha menerka siapa yang datang karena jarak dari sofa ke arah tangga terpaut cukup jauh, lalu refleks menutup mulut gue yang ternganga saat sadar.
Itu Sabita!
Buset, sejak kapan cewek bisa terlihat se-ethereal itu hanya karena pakai gaun hitam sederhana?
"Pakaian saya terlalu berlebihan, bukan?"
Dengan telapak tangan yang masih menutup mulut, gue menggeleng cepat. "You look hm--" gue terdiam, berusaha mencari kata yang pas asal gue jangan keceplosan menyebutnya cantik, "--fine."
Gadis itu tersipu. "Terima kasih. Saudari saya memaksa saya untuk memakai pakaian ini. Padahal saya tahu kamu akan baik-baik saja walaupun saya hanya memakai celana jeans dan kaos."
Err, sebenarnya gue gak keberatan sama sekali. Mama gak butuh tahu pakaian jenis apa yang dipakai Sabita. Mau dia pakai rok kek, denim kek, jeans kek, apapun asal jangan pakai bikini Mama pasti akan baik-baik saja. Dia hanya perlu tahu kalau gue benar-benar sudah punya pacar dan pacar gue adalah cewek, bukan cowok seperti yang Kae sering fitnahkan pada gue. Tapi melihat dari bagaimana Sabita terlihat sekarang, gue rasa Mama gak perlu khawatir sama sekali dengan hal itu.
"Boleh kita berangkat sekarang?"
Gue tersentak, saat sadar gue terlalu lama menghabiskan waktu disini sedangkan Mama mungkin mencak-mencak karena gue hanya menyuruhnya menunggu di rumah, tidak memberi tahunya kalau gue akan membawa Sabita turut serta.
Gue berdeham canggung lalu mengangguk pelan. "Kita gak akan lama. Jam 8 lo akan kembali ke rumah."
Sabita hanya mengangguk sekenanya lalu mengikuti langkah gue untuk keluar dari ruang tamu menuju pintu besar itu lagi. Beberapa maid yang lewat menatap bingung ke arah kami, atu lebih tepatnya ke arah Sabita. Gadis itu hanya melempar senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya di samping gue.
Gue menghela napas sebentar saat kami benar-benar berada di luar rumah. Hari itu gue tahu sekali, petang ini akan jadi petang yang amat panjang.
****
/S A B I T A/ 🌙
Aku pernah berpikir, apa sebenarnya yang orang lain maksud tentang keluarga?
Sebelum Bunda pergi dengan cara yang menurutku tidak cukup adil, keluarga adalah salah satu yang Bunda tinggalkan dengan keadaan mengenaskan. Bintang berubah, seringkali merada depresi dan berteriak tak karuan sepanjang malam sembari menyebut nama Bunda dalam isak tangisnya. Kesehatannya tak lagi stabil, beban pikiran membuat ia tak mau lagi makan atau sekadar meminum obat wajibnya. Aku tak punya cukup waktu untuk ikut bersedih. Waktuku terkuras untuk menenangkan Bintang, meyakinkannya kalau kami akan baik-baik saja dan Bunda akan baik-baik saja. Aku tak sempat menangis, dan hal itu membuatku lupa seberapa sedihnya aku saat mendengar kabar Bunda kecelakaan di suatu malam.
Ayah juga berubah. Aku paham kalau setiap inci rumah ini selalu mengingatkan Ayah tentang Bunda, tentang wanita yang akan menemani sisa hidupnya sampai akhir jika saja kecelakaan itu tidak terjadi. Tapi apa itu adalah alasan yang cukup jelas untuk meninggalkan kami berdua di rumah atas nama pekerjaan? Pergi ke luar kota berminggu-minggu lalu hanya tinggal sehari di rumah dan pergi lagi esok harinya? Bertingkah seakan rumah adalah tempat dimana Ayah merasakan neraka yang bernama kerinduan?
Aku juga sedih, tapi kenapa aku tak kuasa menangis?
Sejak hari itu, tanpa aku sadari, aku kehilangan pengertian tentang apa yang sebenarnya keluarga artikan.
Sampai hari ini, keluarganya Pura kembali menyadarkanku akan apa arti keluarga yang sempat kulupakan.
Setelah perjalanan singkat yang membosankan--karena baik aku maupun Pura merasa baik-baik saja dengan keheningan di dalam mobil hingga kami tidak bicara sama sekali--kami akhirnya sampai di salah satu gerbang rumah di salah satu kawasan perumahan elite. Mudah diterka, rumah itu tentu saja adalah rumah Pura. Satpam yang berjaga di depan rumah terlihat menyapanya saat mobilnya melaju memasuki gerbang.
Rumah itu luas, tentu saja. Seperti yang Ayah pernah bilang, keluarga Virshunadi adalah satu dari sekian keluarga yang memiliki kontribusi besar dalam sektor produksi berbagai macam bidang sosial. Tentu saja rumah sebesar ini bukanlah hal yang janggal dilihat sebagai milik keluarga Virshunadi, terlebih seperti keluarga Pura yang menurut artikel di internet, Mamanya bekerja di salah satu jabatan atas perusahaan keluarga mereka.
Halamannya tidak seluas halaman rumahku, namun tetap sejuk karena banyak pohon rindang tertanam di sekitar rumah. Aku keluar dari mobil dan menatap tertarik pada rumahnya. Arsitektur rumahnya bagus, menurutku mirip seperti desain pura pada rumah-rumah di Bali yang membuatnya terkesan tradisional namun tetap keren.
Saat aku tengah memperhatikan sekeliling, Pura berjalan (tanpa mempedulikanku) menuju ke pintu utama. Aku kontan melotot lalu dibuat berlari kecil menyusul langkahnya yang panjang.
"Kamu ini sebenarnya mau undang saya ke rumah kamu atau mau meninggalkan saya di halaman?"
Pura tidak berhenti melangkah, namun tetap menjawab pertanyaanku. "Lo kelihatan sibuk banget lihatin rumah gue sampai melotot."
"Rumah kamu bagus."
"Memang."
Aku berdecak melihat responnya yang singkat, namun tak urung tetap mengikuti langkahnya sampai tiba di pintu utama. Sesampainya di depan pintu--yang lagi-lagi dipenuhi pahatan ala daerah Bali--Pura mendorongnya hingga terbuka lalu melangkah masuk. Namun aku tidak mengikuti langkahnya. Langkahku tertahan di batas pintu yang setengahnya masih terbuka.
Pura menatapku heran saat melihat aku tidak ikut masuk, terbukti karena selanjutnya ia segera bertanya. "Lo kenapa gak masuk?"
"Saya tidak boleh masuk kalau tuan rumahnya tidak mempersilahkan saya untuk masuk."
Pura berdecak. "Masuk."
Aku patuh, segera masuk kedalam rumahnya dan kembali berdiri di sebelah Pura.
"Lo tunggu dulu sebentar. Duduk aja di sofa."
Tanpa banyak bicara, aku menurut. Segera berjalan pelan ke arah salah satu sofa dan duduk disana dalam diam dengan mata yang tak lepas mengamati seisi ruangan. Ruangan itu nyaman dan sejuk, dipenuhi dengan beberapa lukisan juga foto yang berjejer di dinding. Ada sebuah piano di dekat tangga, menandakan kalau setidaknya pasti ada salah satu dari anggota keluarga mereka yang mahir memainkan alat musik itu.
Saat tanganku iseng mengambil salah satu pigura foto di dekat meja tamu, suara seruan seseorang membuatku hampir menjatuhkannya.
"Mamaaaaa, kuas lukisku kemana? Kok gak adaaaa."
Aku kontan dibuat menoleh, hanya untuk mendapati seorang gadis usia duapuluhan berdiri di anak tangga terakhir sembari berseru pada seseorang yang ia sebut Mama. Aku menatapnya tak berkedip, sama halnya seperti gadis itu saat melihat diriku berdiri di sisi sofa sembari memegang sebuah pigura. Aku kira dia akan berteriak, tapi ternyata--
"MAMAAAAA!!"
--dia berteriak keras sekali.
Gadis itu menunjukku dengan jarinya yang gemetar, mungkin memang mengira aku maling di petang buta. Namun, kelihatannya aku salah mengira karena selanjutnya gadis itu kembali berteriak.
"PURA TERNYATA GAK HOMO, MAAAA!"
Aduh, siapa juga yang tahu kalau Pura itu penyuka sesama jenis?
Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya datang terburu-buru, lalu menatapku sama syoknya seperti gadis duapuluhan tadi. Wanita itu cantik, rambutnya panjang sampai ke batas pinggang dan terlihat anggun dengan setelan kantornya. Mudah ditebak, wanita itu pasti Mamanya Pura. Dan gadis duapuluhan yang sama cantiknya itu pasti kakaknya Pura.
"PURAAAA! AKHIRNYA KAMU INSYAF, NAK!" Wanita itu menatapku dengan mata berbinar-binar. "GAK RUGI MAMA PULANG CEPAT HARI INI!"
Sebenarnya apa yang terjadi dengan keluarga mereka, sih?
"Duh."
Kata singkat, namun mampu membuat kepala kami bertiga--aku, mamanya Pura, dan kakaknya Pura--tertoleh serempak ke arah asal suara yang tak lain dan tak bukan adalah sesosok cowok yang berdiri menatap kami dengan tatapan jengah.
Tidak perlu menunggu waktu lama, Mama dan kakaknya Pura memberondonginya dengan pertanyaan seperti,
"Akhirnya kamu memilih jalan yang benar, Ra."
"Dia beneran cewek kan? Bukan Genza yang lo dandanin jadi bencis?"
"Kamu kenapa gak bilang daritadi kalau mau bawa pacar. Mama mau buat acara syukuran dulu harusnya."
Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang tak sempat kudengar karena mereka berebut saling bertanya.
"Stop it, Mom, Kae." Mereka terdiam bersamaan. Lalu tatapan mata Pura mengarah padaku. "Come on, introduce yourself, Sabita."
Aku meneguk ludah ragu saat melihat mereka menatapku penuh ingin tahu. Namun sesi perkenalan adalah sesi yang sudah kulakukan beribu kali di hadapan relasi perusahaan Ayah. Memperkenalkan diri pada 2 orang anggota keluarga Virshunadi harusnya tak sesulit itu.
"Halo." Aku tersenyum canggung. "Nama saya Sabita. Sabita Karensya Hadikarta."
Kemudian, mereka bertiga terdiam bersamaan. Dengan mata yang tak lepas memandangku, gadis yang Pura panggil dengan nama Kae berkomentar.
"Lo gak bilang dia putrinya keluarga Hadikarta, Nyet."
Mamanya Pura menatap gadis itu, memperingatkan. "Jaga bahasamu, Kaelyn."
"Oh. Okay. Sorry, Mom."
Mamanya Pura tersenyum padaku. Senyumnya teduh, mengingatkanku pada senyuman Bunda. "You're beautiful, dear. Memang mirip dengan Argino dan istrinya."
"Terimakasih." Aku tersipu malu.
"Forgot something, Kaelyn?"
Kaelyn menepuk dahinya, mengingat sesuatu yang kelihatannya ia lupakan. "Hm, okay, Sabit. Can I call you like that?"
"That's no problem."
Kaelyn tersenyum padaku. Gadis itu cantik saat tersenyum, terihat anggun dan mempesona. Dengan senyum yang masih tak luput dari wajah, gadis itu mengulurkan tangannya padaku. "Nama gue Kaelyn. Mentari Kaelyn Virshunadi. Just call me Kae, then. Jangan ditambahkan kata 'Kak'. Gue gak setua itu, oke."
Aku ikut tersenyum sembari menyambut uluran tangannya. "Senang bertemu denganmu, Kae."
"Nice to meet you too."
Mamanya Pura menatapku hangat, lalu meraih kedua tanganku, menggenggamnya, lalu memelukku erat. Aku terkesiap, terkejut karena tiba-tiba mamanya Pura berbisik pelan di samping telingaku. "It's been too long right?"
"Maaf?"
Wanita itu kembali tersenyum di balik punggungku. "It's been too long since you can hug you mother as well as we did."
"Ta-tante tahu kalau Bunda--"
"Nah, I know it."
Wanita itu mengurai pelukannya. Senyumnya masih seteduh rimbunnya pepohonan, membuat sebagian kecil diriku mengingat bagaimana dulu Bunda sering tersenyum dengan cara yang serupa. "Ah, putri Hadikarta yang cantik dan penuh kesopanan. Argino pasti mengajarkanmu banyak hal."
Aku mengangguk sekenanya.
"Ah iya, nama saya Sarah. Tapi orang lebih sering memanggil saya Ra. Betapa beruntungnya Pura bisa bertemu perempuan seperti kamu."
Aku kembali tersipu, wanita itu senang memuji dan aku tidak keberatan dengan pujiannya. "Senang bertemu Anda, Tante Ra."
"Jadi, kamu pacarnya Pura?"
Pura lantas melotot garang ke arahku, memintaku mengangguk dengan tatapan matanya yang penuh arti.
"I-iya, Tante."
"Wah, senangnya." Wanita itu bertepuk tangan sekilas, masih dengan senyumnya yang tak kunjung pudar. "Kebetulan sekali. Saya baru selesai masak makan malam. Mau bergabung dengan kami, Sabita?"
Aku rasa, aku tidak punya kuasa untuk menolak.
****
Saat Tante Ra berkata kalau kami akan makan malam, aku tak pernah berpikir kalau makan malam yang dimaksud malah lebih didominasi dengan sesi mengobrol.
Piring masing-masing dari kami sudah bersih, beberapa asisten rumah tangga--yang uniknya tidak memakai pakaian maid seperti di rumahku--bahkan sudah mengambilnya sedari tadi untuk dicuci. Sejak Bunda pergi, aku tidak pernah benar-benar makan masakan seorang Ibu. Namun kali ini, rasanya aku bisa kembali mengingat bagaimana usaha Bunda untuk membujuk Bintang memakan brokoli yang dibencinya setengah mati.
Walaupun makan malam kami sudah selesai, kami tetap berbincang hangat di meja makan. Di sesi ini, aku mulai mengerti bagaimana kepribadian mereka. Kae adalah jenis gadis galak yang banyak bicara. Dia suka melucu, namun lebih banyak meledek Pura sampai wajah laki-laki itu merah padam menahan marah. Sedangkan Tante Ra adalah pribadi yang tenang, tak jauh berbeda dengan Bunda. Wanita itu punya banyak topik yang menarik untuk dibicarakan juga penengah yang baik jika kedua bersaudara itu mulai adu mulut.
Sedangkan Pura adalah yang paling banyak diam. Laki-laki itu makan dengan tenang, bicara sekenanya, mengangguk dan menggeleng sekenanya. Hanya ledekan Kae yang mampu membuat Pura berbicara lebih panjang dengan emosi yang hampir tersulut.
Saat mereka sibuk berbincang, aku adalah satu-satunya pihak yang hendak menangis.
"Bagaimana denganmu, Sabita?"
Mendengar namaku dipanggil, aku lantas menengadahkan kepala. "Maaf?"
"Apa kegiatan yang lo suka lakukan?" Kae mengulang topik yang sedari tadi mereka perbincangkan dan tak benar-benar kudengarkan.
"Saya suka ... menari."
"Menari?" Tante Ra menatapku penasaran. "Oh tentu saja. Ibumu adalah ballerina terkenal di masanya."
"Ibunya Sabita seorang ballerina?" Diluar dugaan, Pura bertanya, dengan nada penuh tanda tanya yang asing kudengar.
"Tentu saja." Tante Ra menggelengkan kepalanya sembari berdecak sesekali. "Ibunya seorang ballerina yang sukses mengadakan banyak pertunjukkan dengan tujuan mulia. Ada apa Pura? Kamu terlihat penasaran sekali."
Pura terlihat salah tingkah saat Tante Ra bertanya seperti itu, namun dengan cepat laki-laki itu menggeleng. "Ah, enggak. Hanya membuatku ingat sesuatu."
Tante Ra tidak mempermasalahkan hal itu karena setelahnya, wanita yang terlihat cantik walaupun usia membuat wajahnya menua itu menatapku sembari tersenyum. "Kamu hanya menghabiskan waktumu di rumah kami? Kenapa tidak pergi jalan-jalan dengan Pura? Di malam hari, pusat kota ramai dengan ragam kuliner. Pergilah berkeliling."
Mendengarnya, Pura mengernyit. "Memang apa yang salah kalau kami tinggal di rumah?"
"Kamu berbicara seakan Mama gak suka kalian disini, Pura." Tante Ra terkekeh, manis. "Tentu saja tidak. Menghabiskan sisa hari jalan-jalan dengan pacarmu jelas lebih baik daripada menghabiskan waktu di rumah ditemani seorang kakak dan wanita tua. Bukan begitu?"
Aku tetap diam, tidak punya cukup nyali untuk ikut campur, namun Pura langsung menyambar cepat. "Oke, aku akan mengajaknya pergi keluar."
"Kemana?" tanyaku cepat, atau mungkin kelewat cepat.
"Toko buku."
Setidaknya aku tahu sisa hari ini, sampai jarum di dinding merambat menuju jam delapan malam, aku akan baik-baik saja.
****
A/N: Haeee....
Bagaimana chapter ini?
Tell me!
Semoga menyenangkan :)
Dress yg dipakai Sabita
Itu Sabita.
Jadi silahkan berimajinasi bagaimana kalau Sabita pakai dressnya.
Sekian
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro