/8/: Sabita dan Kunjungan
/S A B I T A/🌙
"BINTANG, AKU HARUS BAGAIMANAAA?!"
Itu adalah teriakan paling keras yang pernah aku lakukan sepanjang hidup.
Sepulang sekolah, tanpa membiarkan mobil yang dikendarai Pak Yono--supir keluarga kami-- berhenti sempurna, aku segera berlari cepat ke arah kamar Bintang. Aku mendorong (atau lebih mirip gerakan mendobrak) pintu dengan gerakan panik dan berteriak sekeras yang aku bisa.
Seperti yang sudah-sudah, Bintang ada di kamarnya, sibuk membaca buku yang kemudian langsung dia lemparkan ke sembarang arah karena terkejut mendengar teriakanku. Tentu saja dia terkejut. Berteriak adalah hal paling dilarang yang akan dilakukan di rumah. Ayah mengajarkanku dan Bintang tentang betapa pentingnya memiliki kontrol emosi juga ketenangan. Dan mendengarku berteriak sama saja membuatku otomatis menyalahi aturan tidak tertulis itu.
"Astaga, Sabit!" Bintang berseru heboh lalu segera menutup pintu kamarnya cepat. "Kamu ngapain teriak begitu?! Untung Ayah gak di rumah kalau gak," Bintang melotot padaku, menggambarkan betapa mengerikannya jika Ayah sampai tahu kalau aku berteriak di dalam rumah, "haduh aku gak bisa bayangin gimana jadinya."
Aku tersenyum merasa bersalah, lalu detik berikutnya segera melotot penuh keterkejutan sembari memegang kedua pundaknya. "Bintang! Aku harus bagaimana?!"
"Bagaimana apanya, sih?"
"Iya, bagaimana?!" Oh, bodohnya aku.
Bintang malah terlihat makin tidak sabaran. "Apanya yang bagaimana?!"
Dengan bodohnya, aku kembali berteriak. "BAGAIMANAAA?!"
Bintang nyaris membenturkan kepalanya ke dinding. "Tarik napas panjang, Sa. Akhir-akhir ini kontrol emosimu memburuk, ya?"
Aku mengangguk cepat, membenarkan. Persetan dengan Pura yang membuat emosiku sering kali berantakan. Aku menarik napas panjang berkali-kali, lalu menghembuskannya perlahan. Cara itu mulai efektif karena setelahnya aku mulai merasa baikan.
"Bagaimana?"
"Better."
"Oke, mau cerita?"
Aku menatap Bintang ragu, namun setelahnya berhasil bercerita juga. Aku bukan tipe orang yang suka bercerita dan Bintang bukan tipe orang yang suka mendengarkan cerita--namun ia suka membaca cerita. Ia tetap diam mendengarkan sedangkan aku bercerita secara singkat tentang gelas susu yang tumpah di music sheet, tentang Pura dan marahnya padaku, tentang ancaman minta maafnya Ayah, dan terakhir tentang syarat yang Pura ajukan untuk mendapatkan maafnya. Entah karena aku bercerita dengan cara yang membuat Bintang pusing atau karena Bintang memang setidak berbakat itu untuk mendengarkan cerita, ini sudah terhitung kali kesepuluh dia memotong ceritaku dengan pertanyaan.
"Sebentar, kenapa si Pura pura ini mau kamu jadi pacar pura-puranya?"
"Mana aku tahu!"
Bintang mendelik padaku. "Jangan berseru padaku, oke. Kontrol emosimu buruk sekali hari ini."
"Maaf, aku sedang kesal juga bingung. Kontrol emosiku juga sering kali berantakan belakangan ini."
"Ya, itu bisa saja terjadi bahkan jika aku berada di posisimu." Bintang menukas tenang. "Lalu, bagaimana? Kamu setuju saja seperti itu? Tidak ada bantahan?"
Aku menggeleng lemah. "Tidak. Aku terlalu kalut hingga hanya mengiyakan permintaannya tanpa membantah."
"Ayah benar-benar akan mengeluarkanmu dari kursus?"
"Ayah mengancamku begitu."
"Hm, aku paham. Kamu berada di posisi yang sulit." Bintang mengangguk, mengerti. Ruangan senyap sejenak sebelum sebaris tanya kembali ia tanyakan padaku. "Lalu bagaimana dia bisa menghubungimu lagi? Bukankah kamu seharusnya memiliki tugas sebagai pacar pura-puranya?"
Aku tersenyum lebar. "Aku memberinya nomor ponselmu."
Lagi, senyap merambati dinding. Lalu suara Bintang menjerit.
"HAH?!"
Aku tidak kaget lagi, sejak tadi aku sudah tahu ekspresi seperti ini yang akan Bintang tunjukkan. Tak apa. Jika Ayah bertanya siapa yang menyalahi aturan tentang intonasi bicara kami, setidaknya aku tidak akan dihukum sendirian.
"Duh, kenapa kamu beri nomor ponselku pada orang yang bahkan gak aku kenal?!"
Aku tersenyum lebar, berusaha meredam kekesalan Bintang. "Maaf, Bi."
"Don't look at me with those puppy eyes." Bintang berseru saat melihatku memandangnya memohon. Aku menatapnya tiga detik dan Bintang akhirnya luluh juga. "Oke, tidak apa-apa. Toh hanya nomor ponsel. Tidak akan ada masalah yang terjadi walaupun dia tahu nomor ponselku, bukan?"
Aku mengangguk cepat sembari mengangkat ibu jari. "Betul sekali!"
"Tapi tetap saja, jika orang itu memiliki urusan sama kamu, beri saja nomor ponselmu. Jangan memberi nomor ponselku ke sembarang orang. Mengerti?"
Aku mengangguk mantap. "Siap. Mengerti!"
Aku bangkit, hendak kembali ke kamarku dan bertukar pakaian lalu menghabiskan sisa hari dengan membersihakan pointe shoes Bunda dari debu jika saja ponsel Bintang tidak berbunyi. Kami saling berpandangan sejenak lalu melirik ponsel yang berbunyi sekali lagi seperti tengah melihat bongkahan emas diantara tumpukan batu. Bintang meraih ponselnya lebih dulu, diikuti denganku yang memandangnya penasaran. Bintang mengernyit saat melihat nonor ponsel pengirim pesan, membuatku tak tahan untuk bertanya.
"Nomor siapa, Bi?"
Bintang terdiam sejenak sebelum menggeleng ragu. "Nomor tidak dikenal."
Aku mulai berfantasi liar, berpikir kalau ada orang iseng yang mengirim pesan ke sembarang orang, hingga yang paling parah aku berpikir kalau pesan itu adalah pesan teror dari sekumpulan hantu. Aku menggeleng, berusaha menepis pikiran tidak realistis yang kumiliki sebelum mendekat dan membaca sebaris pesan yang membuat rahangku seakan jatuh dari tempatnya.
From: 08134xxxxxxxx
Save nomor gue. Ini Pura. Tugas pertama lo dimulai besok sore. Lo akan datang ke alamat yang gue kirim nanti malam. Kita akan berangkat bersama. Kirim alamat rumah lo dan gue akan jemput lo besok.
From: 08134xxxxxxx
Oh iya, berpura-puralah gak kenal gue di sekolah. Gue akan kasih 5 poin tambahan untuk 10 poin yang perlu lo penuhi untuk maaf yang lo mau. Let's act like a really actress, Sabita. See you really soon.
Entah kenapa, aku merasa sejak hari itu hidupku tidak akan pernah sebaik sekarang lagi.
****
Aku pernah berpikir kalau asmara adalah salah satu aspek dimana aku maupun Bintang tidak akan mendapatkannya semudah orang pada umumnya. Oke, mungkin hanya tentangku, tidak dengan Bintang yang berkepribadian manis dan murah senyum. Satu-satunya alasan kenapa Bintang tidak pernah menyukai laki-laki manapun selain tokoh fiksi dari tumpukan buku bacaannya adalah tentang dunia gadis itu yang selalu terkubur di rumah. Penyakit itu membuat Ayah was-was, memutuskan agar Bintang melakukan homeschooling dan melarangnya pergi keluar rumah atau dia akan pulang dengan keadaan pucat hingga yang paling parah dengan keadaan pingsan. Jika Bintang sesehat aku, aku tidak akan heran jika gadis itu pasti punya kisah asmara semanis buku fiksi dipelukan rak bukunya lalu punya hidup yang lebih dari kata sempurna.
Hal itu membuatku seringkali berpikir dunia tidak memberi jalan yang adil untuk Bintang.
Bintang adalah gadis yang sungguh manis, lahir tujuh menit lebih dulu dibanding diriku, dan punya kepribadian yang menyenangkan. Bukankah Bintang juga layak memiliki kehidupan normal? Bukankah Bintang juga seharusnya bisa bersekolah sepertiku? Lalu punya banyak teman yang baik dan prestasi bidang akademik yang memuaskan. Aku sering berpikir banyak hal. Hal tentang bagaimana jadinya jika aku yang sakit dan Bintang yang sehat. Bukankah itu jutru adil? Aku tidak pernah mau punya teman dan kehidupan homeschooling terdengar menyenangkan buatku. Aku tidak nyaman berada diantara orang-orang dan larangan keluar rumah terdengar baik-baik saja buatku.
Lalu kenapa harus Bintang?
Aku sering merasa bersalah akan hal itu. Merasa bersalah karena aku tahu, jauh di dalam hatinya Bintang iri padaku. Iri dengan kehidupan sekolah yang dipenuhi banyak teman juga iri dengan keadaanku yang tetap sehat walaupun berjalan kaki sampai manapun. Bukankah Bintang seharusnya benci padaku? Bukankah seharusnya ia merasa hidup ini tidak adil karena Tuhan bahkan hanya memberi Bintang penyakit padahal kami lahir dari rahim yang sama di waktu yang berselang sedikit?
Tapi Bintang tidak pernah mengatakan apapun padaku. Tidak pernah berkata kalau ia iri atau memakiku karena merasa tidak adil dengan cara kerja dunia. Bintang terlihat baik-baik saja dan hal itu membuatku makin merasa bersalah.
"Kenapa melamun, Sa?"
Aku menghela napas panjang, lalu mengulas senyum. Aku berada di kamar Bintang sekarang, tengah mengamati bagaimana jarum jam bergerak sampai berhenti di angka empat petang. Pura memang serius atas pesannya kemarin sore. Malam hari, ketika aku juga Bintang hendak tidur, laki-laki itu mengirimkan pesan lainnya yang berisi alamat suatu tempat--yang kemungkinan adalah alamat rumahnya karena berada di kawasan perumahan di pusat kota. Laki-laki itu juga memintaku mengirimkan alamat rumah dan berjanji akan menjemputku jam empat petang. Aku menghela napas panjang sekali saat membaca pesan itu, namun Bintang justru tertarik dengan hal itu. Ia berkomentar kalau siapa tahu, kami--aku dan Pura--akan saling jatuh cinta lalu akan memiliki akhir bahagia seperti cerita di buku fiksi.
Aku tahu kalau sepenuhnya Bintang hanya asal bicara.
"Ah, aku tidak apa-apa," kataku pelan sembari meremas gaunku pelan karena rasa bersalahku yang semakin memuncak. Aku hanya berpikir, kalau Bintang adalah aku, mungkin ia dan Pura akan jadi pasangan yang serasi petang ini. Bukan kisah tentang seorang gadis kaku yang harus menjadi pacar pura-pura seseorang demi kata maaf.
"You look beautiful today."
"Hm?"
Bintang tersenyum, namun entah kenapa terlihat seperti senyum sendu. "You look beuatiful with that dress."
Aku tersentak lalu refleks menatap diriku sekali lagi ke arah cermin. Malam itu, tepat setelah Pura mengirimkan pesannya ke ponselnya, Bintang segera membongkar seluruh stok dressnya, memakaikannya satu per satu padaku. Katanya, aku harus tampil cantik dan feminim karena Pura akan membawaku sebagai 'pacarnya'.
Aku keberatan sebenarnya. Jeans, denim, dan kaos sederhana adalah pakaian yang hampir memenuhi seluruh wardrobe room milikku, berbalik dengan wardrobe room Bintang yang dipenuhi dengan berbagai macam pakaian aneka warna dan ragam. Malam itu, Bintang habiskan untuk memakaikan hampir seluruh dressnya padaku, namun mataku hanya tertarik pada satu-satunya dress sederhana berwarna hitam yang hampir tak terlihat karena tertelan gaun warna merah muda yang berjumlah banyak sekali.
Bintang memberenggut saat aku bersikeras ingin memakai dress itu, bukan dress pilihan Bintang yang warna merah jambunya membuat sebagian dari diriku merasa tidak percaya diri. Setelah melewati perdebatan yang panjang dan menguras tenaga, Bintang akhirnya pasrah, membiarkan dress warna hitam sederhana itu aku bawa menuju kamar dan akan kupakai saat Pura menjemputku di rumah. Seperti sekarang saat aku mematut diriku sendiri di cermin dan melihat pantulan diriku juga Bintang di cermin yang sama.
"Saat kamu bilang aku cantik, maka kamu akan terlihat lebih cantik dengan gaun yang sama."
"Why?"
"Karena kamu memang secantik itu, Bintang." Aku tersenyum, lebar dan tulus. "Kamu suka tersenyum, kamu punya sifat yang menyengkan dan baik pada semua orang. Hati kamu jelas lebih cantik dibanding siapapun."
Bintang menatapku ragu, lalu mengulas senyum tipis. "Kamu berpikir begitu?"
"Ya, dan pikiran yang sama dipikirkan semua orang."
Bintang masih tersenyum, senyum yang terlihat janggal karena ia tidak terlihat senang sama sekali. Lalu, dengan suara mencicit katanya, "Maaf."
Aku mendengarnya dengan jelas sekali. "Hah? Maaf? Untuk?"
Bintang menggeleng cepat, lalu tersenyum kikuk. Entah kebetulan macam apa lagi, suara bel rumah yang ditekan membuat kepala kami serentak menoleh bersamaan. Aku tidak memikirkan siapa yang bertamu ke rumah kami, tapi Bintang sepertinya tahu sesuatu. Kami saling berpandangan lalu Bintang meraih kedua pundakku dan memutarnya menghadap cermin, membuat lagi-lagi bayanganku terpantul disana.
"Oke, Sabit. Semuanya akan baik-baik saja. Jangan takut. Kamu terlihat cantik dan si Pura atau apapun namanya itu akan tahu betapa cantiknya saudara kembar Bintang."
Aku tertawa kecil. "I'm not afraid at all, but, thanks." Aku memeluk Bintang sekilas, menarik napas panjang lalu berjalan mantap menuju pintu kamar dan membukanya.
Bintang masih berdiri di tempatnya, melambaikan tangannya padaku, menyemangatiku dengan kedua ibu jarinya yang diangkat sebelum pintu kamarnya benar-benar tertutup rapat.
Aku hanya tidak tahu, kalau kata maaf yang Bintang maksud adalah sesuatu yang menimbulkan masalah di lain waktu.
***
A/N: Potong disini dulu ya gaes 😂😂. Chapternya dikit bgt memang, tp chapter selanjutnya bakal panjang.
So, gimana chapter ini? Tell me!
Semoga menyenangkan :)
-Ceefje
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro