/6/:Purnama dan Mentari
/P U R N A M A/🌝
Gue bukan jenis orang yang suka molor di siang hari. Bukan tanpa alasan, tapi siang hari adalah saat dimana gue bisa bebas melakukan apapun yang gue mau. Siang hari berlalu dengan sepi dan gue berpikir tidur bukanlah cara yang tepat untuk menghabiskannya. Di siang hari, gue bisa setel musik klasik keras-keras di dalam kamar atau salto keliling rumah, Mama gak akan keberatan.
Namun rasanya hari ini adalah siang hari yang berbeda karena tepat setelah gue memperbesar volume speaker yang menyenandungkan instrumen klasik fur elise, suara seseorang yang amat gue hapal berteriak dengan suara gak terkontrol.
"Pura kampret! Gue lagi belajar ngapain lo setel lagu kayak gitu? Lagi hamil lo, hah?!"
Gue langsung berjingkat kaget, lalu tanpa mengecilkan volume speaker sebagaimana orang itu inginkan, gue langsung berlari heboh menuju kamar sebelah dan mendobrak pintunya keras.
"Lo ngapain ke kamar gue, kampret! Kecilin volumenya dulu! Gue mau belajar." Melihat gue tetap tidak menuruti perkatannya, orang itu berteriak lagi, kini lebih keras. "MAMA, PURA GAK MAU DENGAR OMONGANKU, MA!"
Gue melotot syok ke arah meja belajar dimana seorang Mentari Kaelyn Virshunadi duduk tegak diantara tumpukan buku yang menggunung. Rambutnya berantakan, hal yang selaras juga terjadi sama kamarnya. Kae kelihatan gak baik karena matanya juga dihiasi dengan lingkaran hitam, bisa ditebak karena gadis itu hobi begadang untuk menyelesaikan tugasnya yang menumpuk. Gadis itu berada di tahun akhir masa kuliah, membuatnya sering uring-uringan karena kesehariannya selama menjadi mahasiswi hanya numpang nama di kolom absen sedangkan skripsi ada di depan mata. Gue gak heran, karena mau bagaimana pun juga, Kae adalah jenis cewek paling absurd yang sialnya kini namanya tercatat di kartu keluarga gue.
"Lo ngapain disini? Lo bilang tadi ada kelas?" Gue masuk ke dalam kamarnya yang super duper berantakan ini. Gue bahkan sempat berpikir kalau Kae sebenarnya kakaknya Genza, bukan kakak gue. "Kalau tahu lo disini mending gue berangkat bareng lo. Kak Neta punya obsesi tak kasat mata jadi korban tabrakan di jalan."
Jangan katakan gue durhaka saudara-saudara. Usia kami cuma beda 4 tahun. Manggil dia dengan sebutan 'kakak' mungkin terdengar terlalu aneh karena dari sudut pandang manapun juga Kae sama sekali gak berperan selayaknya kakak. Berbeda dengan Kak Neta yang mengancam gue dan Genza akan membelah kepala kami jadi dua jika tidak memanggilnya dengan embel-embel 'Kak', Kae mungkin akan lebih senang menanganggap gue kesurupan jin jika memanggilnya dengan embel-embel kayak gitu.
"Oh, si kuda lumping itu." Kae manggut-manggut sendiri, memanggil Neta dengan sebutan si kuda lumping bukanlah hal yang aneh karena mereka selalu bertengkar setiap bertemu. Gue gak tahu pasti apa alasannya yang jelas, yang bisa gue dan Genza lakukan hanya menjauh dari radius sekian meter sebelum kami menjadi korban dari dua gadis sabuk hitam karate yang bertengkar. "Cara nyetirnya emang luar biasa sengklek. Gue bahkan pernah muntah setelah turun dari mobilnya." Kae manggut-manggut lagi, kemudian memusatkan pandangannya pada buku yang halamannya terbuka di depannya. "Tapi sayangnya Puraku tercinta, menawarkan diri untuk jadi taksi dadakan buat lo ada dalam urutan sekian-sekian dari daftar yang harus gue lakukan di pagi hari."
"Dan molor lagi ada dalam urutan pertamanya?"
Kae melirik gue sekilas lalu tersenyum teramat lebar. "Seratus buat kamuh."
Gue memutar bola mata jengah, lalu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar Kae. Betapa beruntungnya cewek itu karena punya kamar yang lebih luas dibanding kamar gue. Gue pernah protes ke Mama pasal kamar itu. Tapi Mama gak bergeming saat gue tanya alasannya. Seiring berjalannya waktu, gue sadar kalau Kae mungkin lebih bagus jika punya kamar tidur di tengah lapangan bola. Gadis itu punya kebiasaan gak jelas saat merasa cemas berlebihan. Kae akan berkeliling kamarnya berkali-kali sampai cemasnya hilang seiring kakinya yang kelelahan.
Percayalah, Kae memang gadis yang seaneh itu.
Banyak perabot berserakan dimana-mana dan banyak juga buku yang bertebaran. Sebagai anak falkutas seni, berbagai jenis lukisan juga terpajang di dinding kamarnya--yang sayangnya menggambarkan objek yang serupa walau tak sama. Sekarang gua bisa saja yakin kalau Kae benar-benar kakak keduanya Genza--melihat dari bagaimana tingkah malas ampun-ampunan yang cowok itu punya persis seperti milik Kae--jika saja namanya tidak memiliki kata awal 'Mentari'.
"Lo belum jawab pertanyaan gue. Kok lo bisa ada disini? Katanya ada kelas?"
"Kelasnya dibatalin."
"Oh, oke." Gue lalu berbalik, hendak menutup pintunya kembali jika saja Kae tidak menyahut lebih dulu dengan niat seperti berbicara sendiri namun dengan volume yang bahkan bisa Mama dengar dari lantai bawah.
"Kalau Papa ngelihat gue lagi belajar kayak gini, dia pasti bakal bawain toples cookies di ruang tamu sama permen cokelat buat gue."
Gue menyentakkan kepala jengah, lalu memicingkan mata ke arah Kae. "Ceritanya lo lagi kodein gue gitu?"
Kae menoleh pada gue lalu tersenyum sok polos. "Oh, maaf. Gue tadi ngomong sendiri. Maaf kalau anda merasa tersindir."
Gue mendengus, lalu memilih berbalik dan berkata singkat sebelum pintu tertutup. "I'll be back in 3 minutes."
"MAKASIH PURAKU TERSAYANG."
Gue tersenyum kecil mendengar suara teriakan Kae dari dalam kamar, lalu tanpa membuang waktu segera menuruni tangga menuju lantai bawah. Seperti yang gadis itu minta, gue membawa toples kaca berisi cookies rasa cokelat yang tak pernah kosong juga wadah berisi permen rasa serupa. Selain punya tingkah yang kelewat liar, Kae punya kesukaan gak wajar dengan apapun yang bernama cokelat. Maka di hari valentine, berapa banyak pun cokelat yang dibawanya ke rumah, gue gak akan heran kalau dalam 2 hari semua cokelat itu akan ludes tanpa sisa. Gue gak tahu apa yang Kae lakukan pada semua cokelat itu yang hanya dengan melihatnya aja buat gigi gue ngilu membayangkan bagaimana menghabiskannya dalam jumlah sebanyak itu.
Dan cewek kayak Kae yang menghabiskannya? Itu jelas bukan kejutan lagi.
Setidaknya bagi gue.
Gue menghela napas singkat sebelum melanjutkan langkah menuju tangga. Rumah gue terbilang luas, setidaknya cukup untuk membuat Nata harus naik becak dari kamar ke dapur (read: 200 meter). Rumah gue memiliki banyak ruangan kosong, karena menurut cerita yang Mama sering ulang, Papa adalah jenis orang yang akan mengundang banyak sanak keluarga menginap saat merayakan sesuatu, entah saat hari ulang tahunnya atau saat merayakan malam tahun baru. Mama bilang kegiatan itu tak bisa lagi Papa lakukan sejak Kae lahir. Mereka bilang Kae sudah punya bakat menghancurkan suasana bahkan sejak masih dalam bedongan. Dia suka sekali menangis dan Papa tidak punya cukup alasan untuk tetap mengundang sanak keluarga saat ada perayaan kecil-kecilan.
Gue gak pernah mempermasalahkan ruangan itu. Entah apa gunanya atau mau diapakan ruangan dalam jumlah sekian banyak. Dan sejak bertahun-tahun gue tinggal di rumah ini, baru kali ini sebaris tanya tentang ruangan itu mencuat di kepala gue.
Apa dari sekian banyak ruangan di rumah, tidak ada ruangan yang cukup besar untuk menampung sebuah piano tua?
Gue menatap nanar ke arah piano yang persis diletakkan di depan tangga, membuat gue maupun Kae yang mendapat bagian untuk mengisi lantai atas harus memandang piano tua itu kala kembali ke kamar. Kae mungkin gak terlalu peduli, baginya sebentuk piano tua adalah pajangan yang tepat untuk mengisi kosongnya ruang di rumah kami. Tapi itu tidak berlaku buat gue.
Nyeri itu masih menjalar di tempat yang sama saat gue beradu tatap dengan piano itu. Piano itu piano biasa, bentuknya juga biasa, warnanya juga biasa. Hanya hal tidak biasa yang gue rasakan saat melihat piano itu setiap hari. Rasa asing yang gak pernah gue mengerti apa artinya. Entah kerinduan, entah kenyamanan, entah masa lalu, atau mungkin penyesalan.
Dengan gerakan kaku, gue meletakkan toples cookies dan permen cokelat Kae di meja tak jauh dari piano, lalu duduk di kursinya yang masih elok walaupun waktu terus mengikis kekokohannya. Tangan gue terasa berat, melawan kata otak gue untuk jangan menyentuh piano itu. Gue menahan napas saat jari gue hanya berjarak sekian sentimeter menuju salah satu tuts dan berhenti bergerak saat gue berhasil menekannya dengan sempurna.
Ting.
Enggak terjadi apa-apa, hanya napas gue yang memburu juga piano yang berdenting pelan. Gue mencoba menekan tuts yang lain, sama-sama berbunyi. Gue gak percaya ini. Gue kembali menyentuh piano.
Piano itu masih berfungsi.
Piano tua Papa masih berfungsi.
Gue menengadahkan kepala, sebuah keputusan yang kemudian gue sesali karena tepat di atas piano, foto Papa terpasang kukuh di dinding. Pria itu masih terlihat seberwibawa biasanya, namun menimbulkan nyeri kasat mata di hati gue setelah lama memandang ke arah wajahnya yang cerah.
Pria itu menatap ke arah gue, tersenyum.
Seperti hari itu.
"Missed something, little brother?"
Gue menoleh cepat, hanya untuk menemukan bagaimana Kae berdiri di anak tangga terakhir sembari melipat tangan di depan dada, kelihatan anggun namun gue gak bisa berkata apa-apa.
"Nope," kata itu akhirnya yang keluar dari bibir gue. Namun melihat bagaimana Kae berjalan menghampiri gue, jawaban lain juga turut terucap. "Or I mean, yes."
Kae berdiri di sebelah gue, ikut menatap ke arah foto yang terpajang sempurna lalu bertanya pelan, "How about that guy?"
"Papa?" Kae tidak menjawab, namun gue tahu dia mengangguk. "Rasa kangen gue sama Papa mungkin lebih besar dari rasa kangan gue sama piano."
"Sama."
Gue terkekeh, menyadari ada yang salah dari perkatannya. "Lo bahkan gak bisa main piano, Kae."
"Bukan." Gadis itu menjawab tegas. "Rasa kangen gue sama Papa mungkin lebih besar dari rasa benci gue sama Papa."
"Benci? Kenapa?"
"Benci karena dia pergi dan meninggalkan adik kecil gue dengan penyesalan juga rasa asing pada piano yang awalnya amat lo sukai."
Gue terdiam.
"Benci karena meninggalkan gue dan Mama untuk ngurusin bocah kecil yang suka merengek minta jatah coklat gue sampai jadi anak SMA yang gak punya teman." Gue nyaris tertawa saat Kae memandang ke arah foto Papa lagi, melotot ke arah foto yang tidak akan bergerak. "Papa seharusnya ikut rasain gimana rasanya ngurus Pura. Dia nyebelin, Pa. Aku harus sembunyiin jatah cokelatku di kamar supaya Pura gak bisa maling."
Gue terkekeh, lalu menatap ke arah foto itu juga. "Kae sekarang gendut, Pa. Semua cokelat valentine dia habisin sendiri cuma dalam 2 hari." Gue tertawa saat melihat Kae melotot pada gue. "Kalau Papa ada disini, pasti Kae bakal disuruh diet, iya kan?"
Tentu saja pertanyaan gue dijawab oleh hening.
"Just stopped it."
Gue menoleh ke arah Kae yang kini menatap gue nanar. "Stopped what?"
"Stopped being fool." Kae menarik napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Piano itu hidup lo, Pura. Jangan berhenti. Jangan bertindak bodoh hanya karena main piano membuat--" Kae tersenyum getir, "--lo ingat kesalahan yang sama sekali bukan kesalahan."
"Lo juga."
"Gue?"
"Berhenti memaksakan diri untuk mengacak kamar saat lo ingat hari itu. Berhenti berbicara seakan semua ini salah lo. Berhenti melukis wajah Papa di semua lukisan lo." Gue tersenyum tipis. "Karena lukisan lo jelek."
"Pura sialan!" Kae menabok pundak gue keras. "Gue hampir nangis taunya malah dihina." Kami tertawa bersama, lalu tanpa gue sadari, gue menarik Kae dalam sebuah pelukan.
"Will you?"
Gue tahu Kae pasti mengangguk. "I will, you will. We will."
Saat gue bilang kalau Kaelyn bisa saja adalah kakak keduanya Genza, gue sangsi akan hal itu. Kaelyn gak mungkin kakaknya Genza karena gadis itu suka cokelat, seperti gue, Papa, dan Mama. Kaelyn gak mungkin kakaknya Genza karena gadis itu menyayangi Papa dengan begitu besar. Kaelyn gak mungkin kakaknya Genza karena gadis itu pencinta seni, layaknya yang Mama, Papa, juga gue geluti.
Kaelyn gak mungkin kakaknya Genza,
karena dia adalah kakak perempuan terbaik yang gue punya di dunia.
****
/S A B I T A/🌙
"Kamu gak melakukan sesuatu saat mau kembali ke rumah, kan, Sa?"
Itu adalah kalimat pertama yang Ayah lontarkan sejak 10 menit kami saling tatap dalam diam. Oh, atau mungkin lebih baik disebut Ayah yang menatapku, dan aku yang terus menunduk tak mau menatapnya balik. Ayah baru pulang dari kantor setelah petang menjelang. Aku tidak tahu Ayah tahu kabar tentang Bintang darimana--yang kemungkinan besar diberitahu oleh Dokter Andra, dokter pribadi di rumah kami--yang jelas tepat setelah aku selesai mengeringkan rambut, Ayah mendatangi kamarku dan memintaku untuk bicara sebentar dengannya. Saat kudengar Ayah ingin bicara, aku tidak tahu kalau suasana bicara ini lebih tepat untuk disebut interogasi.
"Enggak, Ayah," aku menjawab takut-takut. Aku tak tahu apa aku sekarang sedang berbohong atau tidak karena kurasa menghempaskan tangan Pura dengan kasar atau memamerkan nama keluargaku ke Pak Satpam bukanlah sesuatu yang Ayah maksud.
"Kamu tahu Ayah benci pembohong, Sa."
Aku langsung bergeming, menatap Ayah takut-takut lalu menjawab ragu. "Aku kehilangan kontrol emosi."
"Kamu menangis?"
"Tidak!" aku berseru keras, namun segera terdiam saat tahu bukan intonasi itu yang Ayah ingin dengar. "Tidak, Ayah. Aku tidak menangis."
Ayah mengangguk pelan, terlihat memahami. "Lalu emosi apa yang gak kamu kontrol?"
Aku terdiam lagi, menimang apa baik jika Ayah tahu. Aku menghela napas sebelum menjawab setengah berbisik. "Aku marah."
"Karena ada yang menahanmu untuk pulang?"
Aku mengangkat wajah, tidak lagi terkejut karena Ayah punya banyak informan di sekolah yang mengawasiku. Berbohong padanya sama saja bunuh diri. "Iya." Aku menunduk lebih dalam. "Dia memperkenalkan diri sebagai putra dari keluarga Virshunadi."
Ayah langsung menegakkan punggungnya, terlihat tertarik saat aku menyebut nama keluarga yang berpengaruh itu. "Menarik. Virhunadi jelas adalah keluarga besar yang menguasai cabang-cabang produksi." Ayah kembali menyandarkan punggungnya di sofa. "Apa kamu bertemu orang lain?"
Aku mengangguk terpatah. "Putri keluarga Pratama."
"Wah, itu lebih bagus lagi," Ayah beseru antusias. "Keluarga mereka berperan besar dalam industri, kamu harus berteman dengan mereka."
"Tapi, Ayah--"
"Kamu tidak membuat masalah dengan putra Virshunadi itu, bukan? Atau dengan Putri dari keluarga Pratama?"
"Dengan putri keluarga Pratama? Tidak," jawabku jujur. Aku tentu saja tidak memiliki masalah dengan Venicella, namun justru aneh jika aku berkata tidak memiliki masalah dengan Pura. Cowok itu terlihat marah sekali denganku saat kulihat terakhir kali. Dan kurasa berbohong pada Ayah bukanlah sesuatu yang tepat untuk kulakukan. "Tapi dengan putra Virshunadi? Mungkin iya."
"Masalah apa?"
"Dia marah padaku."
"Marah? Kenapa?" Ayah bertanya dengan intonasi tenang, namun terdengar mencekam bagiku.
"Karena," aku menggigit bibir, ragu akan melanjutkan ucapanku, "dia pikir aku merusak rencananya."
Satu dari lain hal yang tak kusangka akan Ayah ucapkan hari ini adalah, "Minta maaf."
"A-apa?"
"Kamu," Ayah tersenyum tipis, kelihatan menawan namun justru hal itu yang membuat senyumannya jadi mengerikan, "minta maaf sama dia."
Aku sontak melotot kaget. "Tapi, Ayah. Bukan aku yang salah."
"Kalaupun kamu gak salah, kamu perlu minta maaf."
Aku menatap Ayah tidak terima. "Kenapa? Ayah bilang aku harus membela diri saat sebenarnya aku gak salah?"
"Karena dia Virhunadi." Ayah menyahut tenang, membuatku semakin dibuat kehilangan kata. "Keluarga itu memegang peranan penting dalam bisnis keluarga kita. Kelihatannya mereka tidak akan diam saja saat putri bungsu keluarga Hadikarta membuat salah satu anggota keluarganya kesal."
Aku terlanjur kecewa. Ayah yang mengajarkanku hal itu, kenapa aku malah dimarahi karena menuruti ajarannya? Bagaimana juga peraturan itu bisa berubah sesuai objek yang terkena masalah? Bukankah itu tidak adil?
"Aku tidak mau minta maaf." Aku tetap bersikeras dengan kemauanku. Setelah aku kukuh tak mau disalahkan oleh Pura, bagaimana Ayah bisa menyuruhku meminta maaf? Apa yang harus aku ucapkan padanya? Atau lebih tepatnya, apa Pura mau memaafkanku?
"Oh, kamu harus mau."
"Ayah gak bisa memaksaku."
"Oh, tentu Ayah bisa." Ayah tersenyum sekilas sebelum mengambil ponsel dari sakunya. Ayah mendial serangkaian nomor lalu mendekatkan ponselnya ke telinga. Tak lama kemudian, Ayah mulai berbicara dengan seseorang di ponselnya. "Selamat sore. Saya Argino Hadikarta. Iya benar. Oh, sore, Mrs. Jeanne. Iya, saya mau mengabarkan kalau Sabita tidak--"
Aku kontan dibuat melotot kaget saat Ayah mengucapkan nama Mrs. Jeanne, instruktur ballet tempatku belajar sejak kecil. Astaga! Ayah ingin mengeluarkanku dari pusat pelatihan ballet itu. Ayah kini bertindak serius, bukan hanya ancaman belaka. Aku merasa lidahku kelu. Pikiranku dipenuhi banyak hal. Setelah bergelut dengan hati dan pikiranku yang tak sejalan, kalimat itu meluncur keluar juga. "Aku akan minta maaf."
"Sorry?" Ayah bertanya, memastikan ucapanku
Aku kembali berbisik. "Aku akan minta maaf."
"Bagus." Ayah tersenyum puas sebelum mematikan panggilan telepon. Aku menunduk dalam-dalam, sembari mengeratkan pegangan antar jemariku yang saling memuntir. "Ayah tak pernah mengajarkanmu untuk dapat masalah di sekolah. Maka, selesaikanlah. Minta maaf sama putra Virshunadi itu dan sekiranya Ayah akan membiarkan kamu tetap menari." Ayah memiringkan wajahnya, menatapku dengan jenis tatapan peringatan. "Setidaknya sampai pewaris semua bisnis Papa lulus SMA."
Tanpa sadar aku menahan napas saat Ayah berlalu di depanku, sama sekali tidak mengucapkan barang satu kata pun. Hanya berlalu, meninggalkan sepi yang menyerbak ke seluruh ruangan tak lama kemudian. Aku merasakan mataku memanas, tak lama kemudian mulai mengabur karena air mata. Aku masih bisa menahannya, mengusap air di mata sebelum meluncur mulus di pipi. Lalu dengan sebuah langkah gontai juga kepala yang terus tertunduk, aku menaiki tangga menuju kamar.
Lantai atas terasa lengang saat aku sampai. Tentu saja Bintang masih tertidur, Bi Sirnah sibuk dengan pekerjaannya di dapur, dan asisten rumah tangga lainnya tengah sibuk dengan tugasnya masing-masing. Langkahku terhenti saat melewati dinding tempat foto Bunda dipajang. Bunda terlihat cantik disana, memperagakan salah satu gerakan dasar ballet di salah satu pertunjukkannya dengan pointe shoes berwarna merah jambu melekat di kakinya. Bunda terlihat menawan dan aku sangat iri melihatnya.
Bunda itu penari.
Bukankah aku juga bisa sepertinya?
Sejenak, aku mendengar ucapan Ayah terulang di kepalaku, serupa gema yang akan terdengar jika kamu berteriak di lorong gua.
"Minta maaf sama putra Virhunadi itu dan sekiranya Ayah akan membiarkan kamu tetap menari."
****
A/N: Holaw holaww.. chapter ini dirancang pendek tapi panjang. Ah biarin deh :))
Bagaimana? Ada yang suka dengan karakter Kaelyn? Aku sih suka 😂
Then, bagaimana chapter ini? Tell me!
Semoga menyenangkan :))
-Ceefje
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro