/5/: Sabita dan Sabintang
/S A B I T A/🌙
Kamu pernah merasa cemas berlebihan akan sesuatu?
Seperti saat sebuah benda milikmu yang paling berharga tiba-tiba luput dari pandangan
Seperti saat sebuah kesempatan bagimu untuk bangkit ternyata renggut dalam satu kedipan mata.
Seperti saat senter yang kau butuhkan di tengah gelap malam bertukar redup.
Seperti saat ... seseorang yang kamu pikir adalah cahaya dalam gelapmu ternyata dalam kondisi yang tak lagi baik.
Aku rasa, aku pernah mengalami semuanya. Kehilangan kalung berharga milik Bunda saat pergi ke luar kota, terpaksa tidak mengikuti kontes ballet karena Ayah tak mengijinkanku menari, meninggalkan senter saat pergi kemping ke hutan, aku pernah mengalami semuanya.
Namun dari semua kecemasan yang pernah aku rasakan, mendengar kabar bahwa Bintang pingsan setelah kabur dari rumah adalah kecemasan paling luar biasa yang pernah aku alami sepanjang hidup.
Ponselku berdering saat Pura dan teman-temannya saling berdebat. Sejujurnya, aku ingin sekali melihat Venicella tampil atau barangkali bisa dipanggil maju ke panggung sebagai violinist band klasik tahun ini. Gadis itu punya bakat, dan bakat adalah sekian banyak hal yang sayangnya harus aku paksa untuk tidak tumbuh dalam hidupku. Namun, Pura lebih dulu menarik lenganku menuju koridor perpustakaan yang kini lengang. Aku mungkin mahir membaca gerakan dan gestur hingga aku bisa memastikan kalau percakapan yang akan kami buat pastilah pasal kertasnya dan susu cokelat milikku yang tumpah.
Tidak masalah, aku bukanlah pihak yang salah disini dan seseorang yang tidak bersalah seharusnya tidak patut merasa takut.
Tebakanku benar saja karena tepat setelah aku sampai di koridor dengan Pura dan dua antek-anteknya di belakang, pembicaraan tentang kertas miliknya-yang baru kusadari adalah sebuah music sheet setelah memperhatikannya dari dekat-adalah topik utama yang terus kami debatkan.
Aku sebenarnya bosan, hanya terpaksa terus menjawab pertanyaan sekelas anak TK yang terus laki-laki itu tanyakan padaku. Kontrol emosinya luar biasa buruk karena setelah melihat bagaimana music sheetnya kini berbentuk setengah mengenaskan, ekspresi marah selalu menguasai wajahnya. Bukan hal yang sangat menarik sebenarnya, namun setelah hidupku terus-terusan diliputi dengan orang-orang berkepribadian tenang dan terkontrol, mimik ekspresif yang kulihat sekarang adalah hiburan singkat yang sedikit menghibur.
Aku hampir merasa senang saat perdebatan ini mencapai ke titik dimana aku tidak lagi menjadi pihak yang disalahkan, melainkan seorang laki-laki dengan tag nama bertuliskan nama Alan Galenza yang kini sibuk membela diri. Aku sibuk menonton perdebatan mereka, berharap orang lain selain Pura dan Alan-yang sedari tadi sibuk mengobrol dengan banyak orang-menjadi tersangka selanjutnya ketika kudengar ponselku berdering.
Ponsel adalah barang paling tidak kubutuhkan dalam hidup. Aku tidak punya sosial media. Tidak punya games. Tidak punya aplikasi tik-tok atau aplikasi lainnya selain telepon dan SMS. Bagiku keduanya sudah lebih dari cukup. Karena fungsi ponsel bagiku hanya untuk mengabariku jika sesuatu terjadi pada Bintang.
Seperti yang terjadi sekarang.
"Halo, Non Sabit?" Selang sedetik setelah aku menjawab telepon, seseorang disana langsung berseru.
Aku berdeham, berusaha mengusir perasaan aneh saat mendengar suara Bi Sirnah--asisten rumah tangga kami--menelepon dengan nada cemas. "Iya, kenapa, Bi?"
"Ah, aduh maaf, Non. Non Bintang pergi dari rumah saat Bibi sibuk di dapur. Maaf, Non."
Aku merasa napasku tertahan di tenggorokkan saat mendengar kabar itu lagi. "Sekarang Bintang ada dimana? Sudah pulang?"
"Sudah, Non. Sudah." Aku menarik napas lega, segalanya akan baik-baik saja jika Bintang sudah pulang ke rumah. Itu yang aku pikirkan sebelum akhirnya Bibi menyambung ucapannya. "Tapi Non Bintang pingsan di rumah, Non. Kayaknya kecapekan."
Gigiku bergemeltuk saat mendengarnya. Aku langsung mematikan panggilan telepon, tak sempat berterimakasih atas kabar yang dibawah Bi Sirnah karena rasa cemas lebih dulu membuat kontrol emosiku berantakan.
Aku mengeratkan genggaman pada ponsel, berusaha mengendalikan emosi yang akan meluap. Tanpa bicara, aku berjalan tenang menuju tas yang kuletakkan di studio. Aku tidak bisa berlari walaupun otakku menyuruhku seperti itu. Berlari membuat kontrol emosiku semakin kacau dan kontrol emosi yang kacau tidak akan membuat Ayah diam saja. Aku menarik napas dalam, berusaha tenang walaupun rasanya aku ingin menangis.
Bintang baik-baik saja, Sa. Bintang baik-baik aja. Kamu percaya itu. Bintang gak akan sakit lagi.
Aku menarik napas lagi, berusaha menghalau jalan bulir air mata yang berdesakan. Aku berusaha berjalan lebih cepat, sehingga aku bisa pulang dan memastikan keadaan Bintang. Air mata terus berusaha aku tahan hingga aku merasa seseorang mencekal lenganku. Tak perlu menoleh, aku tahu itu pasti Pura. Aku menarik napas lagi, berusaha mengendalikan emosiku walaupun bayang-bayang tentang keadaan Bintang memenuhi setiap jengkal kepalaku.
Aku berbalik badan perlahan, lalu menatap ke arah Pura yang kini menatapku dengan pandangan yang melunak. Ayah bilang tidak boleh ada yang melihatku menangis, itu membuat dia berpikir kalau aku lemah. Aku menghempaskan lenganku, berusaha membuat cekalannya di lenganku terlepas. Aku berjalan lagi, tidak lama karena setelahnya Pura kembali menahan langkahku.
"Heh, siapa yang suruh lo--"
"Just let me go." Aku membalasnya dengan suara cicit yang jelas sekali tidak akan bisa laki-laki itu dengar. Dia bodoh karena menahan langkahku dan aku bodoh karena menjawabnya terlalu pelan.
"Hah?"
"JUST LET ME GO!!" Aku kehilangan kontrol emosi. Aku berteriak sangat keras, membuat Pura menatapku tak percaya. Aku tidak akan kehilangan orang lagi. Aku tidak akan kehilangan Bintang! Bintang membutuhkanku, tapi laki-laki itu keras kepala menahan langkahku. Ayah tidak akan marah, aku tidak salah.
Aku berbalik cepat, tak mau membuang waktu. Aku berlari ke studio, mengambil tas dan berjalan pelan ke arah gerbang yang tertutup. Aku tidak bisa berlari, kakiku terasa kehilangan tulang. Aku menarik napas, lalu berkata tegas ke arah Pak Satpam yang bertugas.
"Mau kemana, Neng? Jam pelajaran kan belum selesai," kata Bapak itu ramah, menatapku setengah heran karena mataku sembab.
"Saya mau pulang."
"Gak bisa atuh, Neng. Gerbang dibuka kalau jam pelajaran sudah selesai. Satu jam lagi."
Aku mendengus jengkel, tak percaya kalau aku disuruh untuk menunggu satu jam lagi saat Bintang bisa saja dalam keadaan berbahaya. Aku tak punya pilihan, lalu menatap ke arah Pak Satpam dengan emosi yang mengendalikanku. "Saya anak bungsu keluarga Hadikarta dan saya bilang saya mau pulang!"
Bapak satpam itu terlihat hampir mau mengelak, sebentar ia dibuat berpikir siapa keluarga Hadikarta yang kumaksud lalu menatapku ngeri saat sadar akan sesuatu. Bapak itu menatapku takut-takut lalu bergerak membuka celah kecil dalam gerbang, membiarkanku keluar.
"Aduh, maaf, Neng. Silahkan pulang, atuh."
Aku mendengus tak sabar lalu berjalan keluar tanpa bicara satu patah kata pun. Aku tak peduli jika Pak Satpam pun berpikir kalau aku adalah anak yang suka menyalahgunakan kekuasaan yang orang tuaku miliki. Aku dalam keadaaan darurat dan keadaan darurat adalah saat dimana kekuasaan adalah hal yang penting.
Aku berlari cepat menuju jalan raya, menyetop sembarang taksi lalu menyuruh pengemudinya membawaku ke alamat rumah yang kusebut. Sopir taksi itu kelihatan mengerti karena setelahnya tanpa banyak bicara, ia melajukan taksi ke arah jalan yang akan membawaku ke rumah. Sopir taksi itu bertanya ramah padaku, pertanyaan klasik. Seperti kenapa aku pulang di jam sekolah dan sekarang aku berada di kelas berapa, jenis pertanyaan basa-basi yang biasa orang ajukan saat terjebak dalam situasi hening. Aku menjawab sekenanya, dan kelihatannya sopir itu mengerti karena setelahnya ia tidak kembali bertanya, hanya fokus pada stir dan jalan di depannya.
Aku berkali-kali menghela napas, berusaha mengontrol emosi yang sudah terlanjur acak-acakan. Bintang seringkali berada di situasi ini, namun reaksi yang sama pasti akan terjadi padaku. Aku akan merasa cemas berlebihan, padahal rumah kami memiliki dokter pribadi juga ruangan persis seperti kamar rumah sakit. Harusnya tidak ada yang perlu kukhawatirkan kecuali kenyataan kalau akhir hidup dari seseorang bisa terjadi kapan saja. Dan demi apapun, aku tidak mau Bintang seperti itu. Tidak mau Bintang bernasib sama seperti orang yang meninggalkan kami dalam kesedihan.
Terlalu sibuk menyelam dalam pikiranku sendiri membuat aku baru sadar kalau taksi sudah berhenti tepat di depan rumahku. Aku menengok kalut ke arah rumah, mengabaikan decak kagum sang sopir yang takjub dengan halaman rumahku yang katanya bisa dipakai anaknya untuk main sepak bola. Aku segera membuka pintu dan memberi sejumlah uang lebih untuk sang sopir. Aku mendengar sopir itu berterima kasih padaku, namun perasaan cemas lebih dulu membuatku tidak mempedulikannya.
Aku berlari kalut ke arah gerbang, menyuruh satpam yang bertugas membuka pintu untukku. Saat gerbang terbuka, aku berlari secepat yang aku bisa menuju rumah. Persetan dengan jalan setepak menuju rumah yang dibuat Ayah dengan jarak yang cukup jauh hingga aku merasakan paru-paruku terbakar karena kelelahan berlari.
Lantai langsung menimbulkan suara berdebam berisik saat aku berlari di dalam rumah, langsung melesat menuju ruangan pribadi Bintang dan membukanya teramat pelan, takut membuat Bintang terbangun jika ia benar sedang tertidur.
"Halo, Sa."
Aku rasanya ingin menangis saat melihat Bintang tersenyum padaku sembari melambaikan tangan. Aku lupa melepaskan sepatu, langsung menghambur dan memeluk Bintang dengan perasaan lega.
Bintang baik-baik saja dan kejadian kali ini tidak akan terulang lagi.
Air mataku meleleh tanpa bisa kutahan. Aku terisak ditemani tepukan telapak tangan Bintang di pundakku. Bintang baik-baik saja.
Bintang baik-baik saja.
"Kamu ini aneh, Sa." Bintang terkekeh singkat, membuatku menengadahkan kepala untuk menatap wajahnya. "Aku sering banget pingsan dan kamu terlihat terlalu lebay untuk selalu menangis kayak gini."
Aku langsung menjauhkan diriku dari pelukannya, meneliti ke arah wajahnya yang kehilangan rona merah juga ke arah bibirnya yang hampir tak berwarna. Ia masih mampu tersenyum, dengan mata melengkung sempurna yang mengingatkanku pada senyum milik Bunda.
"Aku sudah bilang kamu tidak boleh pergi cari orang itu lagi!" Aku berseru kesal pada Bintang, sembari melipat tangan di depan dada, berpura-pura merajuk. "Aku sudah bilang aku yang akan mencarinya untuk kamu. Apa susahnya menunggu sebentar saja."
"Ayolah, masih mau berbicara formal sama aku?" Bintang tertawa kecil. "Ini bukan sekolah, lho. Aku ini Bintang, saudara kembarnya Sabit."
"Oh, come on my big sister." Aku kembali menangis, lantas kembali menghamburkan pelukan singkat ke arah Bintang. "Tapi aku serius tentang ucapanku yang tadi." Bintang melepaskan pelukanku, menatapku penuh tanda tanya. "Jangan pernah pergi dari rumah lagi."
"Sa, aku--"
"Ssstt." Aku menahan ucapannya, mendesis layaknya ular yang sukses membuat Bintang berhenti bicara. "Tanpa alasan apapun."
"Tapi, Sa. Aku gak--"
"Tanpa alasan, Bintang!" Aku melotot, berusaha memperingati. "Kamu gak tahu seberapa khawatirnya aku waktu dapat telepon dari Bi Sirnah kalau kamu pingsan?"
"Aku sudah pingsan puluhan kali seumur hidup dan ada dokter pribadi yang bisa merawatku di rumah," celetuk Bintang pelan. "Kamu seharusnya gak sekhawatir itu, oke. Aku sepenuhnya baik-baik saja."
Aku lantas dibuat melotot geram. "Gak usah khawatir kata kamu? Oke. Gimana aku gak khawatir kalau saudara kembarnya pergi dari rumah untuk cari--"
"Aku ke makam Bunda."
"What?"
Bintang menatapku takut-takut sebelum menjawab pelan, "Aku ke makam Bunda, Sa."
"Tapi kunjungan kita selalu ada di hari Minggu kan?" Aku menyahut tak sabar. "Ayah sudah janji Minggu ini kita akan pergi sama-sama."
"Aku terlalu kangen Bunda untuk tetap tahan menunggu hari Minggu."
Aku tersenyum muram, kembali dipaksa mengingat tentang orang yang meninggalkan kami beberapa tahun yang lalu yang tak lain dan tak bukan adalah Bunda. Aku tak pernah begitu dekat dengan Bunda, berbeda dengan Bintang yang menghabiskan waktu mereka di rumah bersama-sama. Hampir sepanjang hidupku dihabiskan untuk mendengar segala tentangan dan nasihat Ayah tentang dunia kerjanya, hanya sedikit waktu yang bisa kusisihkan untuk menonton Bunda menari di studio tari, menjadi penonton pertamanya sebelum tampil di pertunjukkan di hadapan ribuan penontonnya.
Saat Bunda benar-benar pergi karena kecelakaan, penyakit Bintang seringkali kambuh. Dokter bilang karena beban pikiran penyakitnya menjadi kurang terkendali. Ayah yang dingin malah bersikap semakin dingin pada kami, sering pergi keluar kota atas nama pekerjaan. Meninggalkan lantai marmer di rumah yang tak lagi hangat dengan suara petikan gitar Bunda atau dapur yang tak pernah berwarna dengan harum roti bakar buatannya. Aku kehilangan mentor, kehilangan motivasi untuk menari ballet dan Ayah mendapat alasan baru untuk menentangku tetap menari.
Bunda sudah tidak ada dan menari ballet adalah cara yang salah untuk mengingatnya.
Beruntung, aku memutuskan untuk tetap menari, mengenang Bunda dengan cara yang kusukai. Aku menarik napas panjang. Bunda dan Bintang adalah dua orang yang eksistensinya sering kali membuatku merasa berlebihan. Bukan hanya cemas berlebihan, takut berlebihan atau sedih berlebihan, melainkan juga senang berlebihan. Aku menyayangi mereka dan hal itu membuat semua rasa berlebihan itu muncul, menciptakan gelembung tak kasat mata yang menghancurkan kontrol emosiku. Aku tidak membenci mereka--atau tidak akan pernah membenci mereka--dan dari segala rasa sayangku, Bintang menerima semuanya secara utuh, turut menerima milik Bunda karena eksistensinya tidak lagi berada di dunia.
Aku hanya takut. Takut bagaimana jika Bintang bernasib sama dengan Bunda. Bagaimana denganku? Apa aku akan hidup sendiri? Apa aku akan hudup dibawah tekanan Ayah? Apa aku bisa hidup bahagia?
Semua pertanyaan itu berjejalan di kepalaku dan tidak ada satupun yang bisa kujawab.
Aku memeluk Bintang, menatap ke arah wajahnya yang kehilangan rona juga pada bibirnya yang sepucat kertas. Aku menggenggam tangannya yang tidak terhubung selang infus, lalu menatap ke arah manik matanya yang persis seperti milik Bunda.
"Ma-maaf ka-ka-karena a-ku gak bilang ka-kalau mau k-ke makam Bu-bunda." Bintang menangis dalam pelukanku, membuat aku menatapnya nanar sebelum mengusap rambutnya lembut. "Ma-maaf bikin kamu kha-awatir. A-ku cuma kangen sa-sama Bunda."
"Aku juga sama, Bintang. Aku juga kangen Bunda." Aku tak kuasa menahan air mataku lagi. Topik tentang Bunda membuat kami sensitif saat mendengarnya. "Tapi aku mohon tunggu sebentar. Jangan bertindak gegabah. Gimana kalau kamu kenapa-napa. Aku cuma takut. Takut kalau siapa tahu," aku berhenti bicara, lalu melanjutkan dengan suara mencicit, "siapa tahu kamu juga pergi."
Bintang menatapku dengan sisa air mata lalu meraih pergelangan tanganku yang tercetak simbol bulan sabit, sama seperti lengannya yang tercetak gambar bintang. "I'll always beside you. Remember, we're stars and crescent moon. We'll always together at the night sky."
"Aku ada disini, Bintang. Aku ada disini. Saat kamu bercahaya dan aku bercahaya, kita akan baik-baik saja. Tidak akan gelap yang menghampiri kita. Semuanya akan baik-baik saja."
Aku merasakan senyum hangat Bintang di balik bahuku, kelihatan damai namun tak luput dari rasa lelah yang kutahu pasti apa alasannya. Aku tetap memeluknya sampai ia benar tertidur lelap, lalu perlahan membetulkan posisi bantal dan menarik selimut sampai ke batas leher. Aku melirik sekilas ke arah kaca di meja rias dan menatap wajahku yang sembab karena air mata. Aku cepat-cepat menghapusnya sebelum Ayah bisa melihat jejaknya. Setelah puas menatap Bintang yang tertidur juga memastikan ia baik-baik saja, aku berjalan pelan menjauh dari tempat tidur yang penuh dengan bintang itu lalu menutup pintunya tanpa suara.
Tanpa kusadari kalau dunia ini hanyalah tentang keseimbangan. Akan selalu ada hitam diantara putih dan selalu ada putih diantara hitam. Akan selalu ada cahaya dalam gelap namun juga ada gelap dalam cahaya.
Dan cahaya yang teramat terang akan menciptakan gelap yang teramat kelam.
****
A/N: Niatnya pendek tapi jadi panjang juga. Bodo aw :D
Jadi gimana chapter ini? Tell me!
Semoga menyenangkan :)
-Ceefje
Ilustrasi tangannya Sabit. (Itu tanda lahir ya bukan tato :v)
Ilustrasi lengannya Bintang. (Masih tanda lahir. Bukan tato :))
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro