Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

/3/: Sabita dan Jeruji Besi

/S A B I T A/ 🌙

Hampir sepanjang hidup, aku tidak pernah punya teman.

Berbeda dengan Bintang yang supel, aku tidak pernah terarik untuk mengobrol, berusaha mencari teman, atau tindakan apapun yang menunjukkan aku tidak ingin sendirian lagi. Sendirian itu menyenangkan. Dunia ini luas. Dan seluas-luasnya dunia, hanya ada dirimu. Serupa seperti siput di padang pasir yang gersang. Serupa seperti bunga teratai di danau nan jernih. Serupa seperti aku, di duniaku sendiri. Dan percayalah, rasanya menyenangkan menyadari kalau kamu hanya selalu diperhatikan oleh dirimu sendiri.

Selain dengan Bintang dan Ayah, aku hampir berbicara formal dengan siapapun. Kali ini Ayah tidak menyuruhku, aku yang melakukannya dengan sukarela. Teman itu pengkhianat. Bukan sekali-dua kali aku mendengar mereka bergosip, bergunjing tentang seorang teman, lalu bersikap baik seakan mereka tidak melakukan hal apapun. Teman itu parasit. Bukan sekali-dua kali aku melihat mereka saling memanfaatkan, dalam aspek yang buruk tentu saja.

Dengan bicara formal, bertingkah seakan aku orang yang paling membosankan sedunia, dan membiarkan mereka berpikir sesuka hati mereka inginkan, mereka menjauh dengan sendirinya. Pergi tanpa kudorong. Menjauh tanpa kusuruh. Memberi jarak tanpa kuperintahkan. Dalam sekejap, aku berhasil membuat semua orang pergi dari duniaku tanpa perlu repot memasang jeruji besi untuk menghalangi jalan mereka. Mereka yang sukarela memasangkannya untukku.

Tadinya kukira begitu sebelum akhirnya aku menemukan seseorang yang datang dan meminta kunci dari jeruji besi itu baik-baik.

Aku berjalan tanpa arah selepas dari kantin sekolah. Aku hampir lupa, hari ini audisi anggota band klasik sekolah akan diadakan. Saking besarnya acara, sekolah bahkan membuat jam pelajaran setelah istirahat kedua menjadi jam kosong, membuat semua orang kini berkumpul di aula untuk menonton pertunjukkan tahunan tersebut. Aku sama sekali tidak tertarik. Walaupun hampir seluruh murid di sekolah sudah berlari berbondong-bondong menuju aula sedari tadi, menyisakan senyap untuk orang-orang sepertiku yang tidak tertarik dengan hal berbau keramaian.

Aku tidak memiliki tujuan. Aku terlalu bosan untuk kembali duduk di kelas. Walaupun sepi, aku tidak mau mencari masalah dengan orang yang kutemui di kantin tadi, maka kantin bukanlah pilihan yang tepat. Aku tidak menyukai aroma buku di perpustakaan, walaupun bisa kupastikan perpustakaan adalah satu-satunya tempat yang lengang sekarang. Setelah sibuk berpikir, aku mulai mengingat tentang kolam ikan di taman belakang. Sejak masa orientasi, aku tidak pernah tertarik dengan kolam itu. Aku punya sedikit trauma dengan sesuatu semacam genangan air atau apapun yang menunjukkan air dalam jumlah banyak. Kolam ikan itu kelihatan dangkal, membuatku berpikir bisa menghabiskan waktu disana sembari menunggu jam pelajaran usai.

Kolam ikan itu benar lengang saat aku sampai. Airnya memang dangkal dan bersih, kelihatan sering dirawat. Aku tidak pernah benar-benar menghapal jenis ikan hias, namun aku yakin ikan di kolam didominasi dengan jenis ikan koi dengan beberapa jenis ikan mas dan lele. Aku berjongkok di dekat kolam, mengamati mulut ikan koi yang kelihatan mengap-mengap dalam air. Aku tertawa kecil, mengingat Bintang juga pernah menunjukkan ekspresi serupa padaku saat kami masih kecil dan pergi ke sebuah rumah makan seafood bersama Ayah dan Bunda.

Ayah dan..

Bunda.

Aku tersenyum miris, lalu tanganku tergerak untuk mengambil kotak makan berisi roti untuk memberi makan ikan koi mengap-mengap--yang kuduga karena kelaparan--dengan remahan roti sebelum sebuah suara mengangetkanku.

Duk-duk-duk

Ah tidak, mungkin terdengar terlalu berlebihan jika kubilang suara itu membuatku kaget. Aku berdiri, berusaha menajamkan telinga dan mengambil kesimpulan kalau suara itu berasal dari saung yang berdiri tak jauh dari tempatku. Aku menoleh ke arah kolam sebentar, melihat ikan koi itu mengap-mengap seakan sedang berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk memeriksa saung itu.

Aku berjalan mengendap-endap. Sibuk dengan duniaku sendiri membuat imajinasi tentang suara itu macam-macam. Bisa jadi itu hantu, namun tidak mungkin terjadi karena hari ini siang hari. Memang tidak ada larangan hantu untuk tidak muncul di siang hari, namun aku rasa cuaca cerah membuat hantu pun malas untuk pergi keluar dari sarang. Aku mulai berpikir macam-macam. Tentang unicorn, peri bersayap, badak berula empat, belut listrik, ular piton, dan banyak macam hal lainnya sebelum sesuatu yang kulihat membuat semua imajinasiku runtuh seketika.

Disana, ada seorang gadis.

Bukan, bukan hantu. Dia manusia, jelas saja karena penampilannya normal dengan seragam yang serupa denganku. Gadis itu cantik, rambutnya terurai panjang bergelombang sampai ke batas pinggang. Gadis itu ramping dan tingginya kelihatan setara denganku. Warna hitam matanya menatapku terkejut sebentar sebelum akhirnya mengulas senyum kikuk.

"Hai?" dia malah terlihat seperti bertanya padaku, bukan menyapa.

Aku mencoba mengulas senyum, ikut menyapa. "Halo."

Gadis itu kembali duduk, dengan posisi yang lebih manusiawi dibandingkan yang sebelumnya--tadi kulihat ia duduk dengan punggung bersandar pada dinding saung, setengah tertidur. Gadis itu melirik ke arahku, lalu menepuk ke arah ruang kosong di saung, menyuruhku duduk. Aku sebenarnya tidak berniat untuk duduk, atau mungkin menemani gadis itu mengobrol seperti orang kebanyakan yang bertemu orang baru. Bertanya nama, dimana kamu tinggal, kelas berapa, dan pertanyaan tidak penting lain yang akan bermuara pada sesuatu yang disebut perteman.

Namun, Ayah mengajarkanku banyak hal, termasuk untuk menghormati orang yang berniat baik dengan padaku. Gadis itu kelihatan baik, sama sekali tidak terlihat memiliki niat jahat. Aku menghela napas, mengulas senyum tipis, lalu menurut untuk duduk di sebelahnya.

Setelah duduk, aku tetap diam, tidak berniat membuka suara. Gadis itu juga sama, terlihat baik-baik saja dengan senyap yang melingkupi kami. Gadis itu tidak bertanya apapun. Dia bahkan tidak bertanya siapa namaku yang biasa ditanyakan orang saat bertemu orang asing. Satu-satunya tanya yang dilontarkan gadis itu adalah jenis pertanyaan janggal yang ia tanyakan setelah 5 menit saling diam.

"Bosan?"

Aku refleks menoleh, lalu menunjuk ke arah diriku sendiri, memastikan kalau gadis itu berbicara padaku. "Saya?" Gadis itu mengangguk, membenarkan. Aku menggeleng atas pertanyannya."Tidak."

"Bagus kalau begitu."

"Bagus?"

Gadis itu menoleh ke arahku, tersenyum lebar. Aku terperangah, gadis itu punya senyum yang manis juga aura yang bercahaya. "Banyak orang yang bilang hanya duduk diam sama gue itu membosankan." Gadis itu terkekeh. "Terkadang orang gak tau bagaimana serunya hanya duduk diam tanpa melakukan apa-apa, doesn't it?"

Aku mengangguk pelan. "Indeed."

Gadis itu kembali diam, kakinya sesekali terayun bergantian, membuat ujung belakang sepatunya terus menimbulkan bunyi duk-duk karena memukul kayu pembatas di bawah saung--suara yang sama yang tadi kudengar. Aku tidak pernah bosan dengan kesendirian, namun merasa sendiri saat nyatanya aku sedang berdua dengan orang lain membuat suasananya jadi aneh. Aku mengedarkan pandangan, menatap ke arah pohon kelapa yang bergoyang terembus angin, ke arah kawanan burung yang hinggap di tepi kolam, dan menatap ke arah ikan koi mengap-mengap yang tadi.

"Suka sama Kayi?" lagi, pertanyaan janggal terus gadis itu tanyakan.

"Kayi?"

Gadis itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah ikan koi yang hampir kuberi remahan roti jika saja gadis itu tidak ada disana. "Iya, ikan koi itu namanya Kayi."

Aku hampir dibuat tertawa. Serius? Ikan koi yang bernama Kayi. Itu jelas sesuatu yang lucu. "Nama yang bagus." Aku berkata sejujurnya. Nama itu terdengar manis dan cocok untuk diberikan kepada ikan koi itu. "Kamu yang berikan nama?"

Gadis itu mengangguk lagi, kali ini dengan antusias. "Iya. Bukan hanya Kayi, tapi ikan mas Danis, juga ikan lele Laila." Gadis itu menoleh ke arahku. "Sebenarnya hampir semua ikan disini gue kasih nama. Tapi Sabita, mendengar orang memberi nama pada sekumpulan ikan di kolam kelihatan...mengenaskan. Iya, kan?"

Untuk ukuran gadis yang suka keheningan, gadis ini termasuk orang yang suka berbicara. Tapi..hei! Gadis itu tahu namaku. Apa itu sebabnya dia tidak menanyakan namaku dari awal? "Kamu tahu nama saya?"

Gadis itu menoleh ke arahku sekali lagi, lalu melirik ke arah saku seragamku. "Itu sebabnya sekolah memberi kita tag nama." Gadis itu berkata pelan. "Agar seseorang seperti kita tidak perlu repot berbasa-basi memperkenalkan diri."

Aku tersentak, baru sadar kalau tag nama sudah tergantung di saku seragamku sedari tadi. Dari jarak dekat, nama yang tertulis di tag namaku terbaca dengan jelas. Aku mencoba mencari tag nama milik gadis itu, namun menemukannya dalam keadaan tergantung terbalik di saku seragam, tidak memperlihatkan nama maupun kelasnya. Gadis itu kelihatannya sadar atas tindakanku karena setelahnya, gadis itu terkekeh.

"Gue sengaja balik tag namanya," gadis itu menjelaskan, "karena sejak masuk SMA, gue baru terhitung 4 kali memperkenalkan diri." Gadis itu mengulurkan tangannya padaku, hendak berjabat tangan. "So, I'll make it five. Kenalin, nama gue Venicella Raline Pratama. Sekarang kelas 11 IPS 2. Salam kenal."

Pratama

Aku terdiam sejenak, lalu menjabat tangannya ragu. "Venice?"

Venicella terkekeh. "Membuat lo ingat sesuatu?"

"Ah, tidak. Hanya ingat tentang sesuatu dari buku."

"What kind of book?"

"Buku pariwisata."

Venicella tersenyum, membuat wajahnya kian merona. "It's a beautiful city. Isn't it?"

"Indeed." Aku mengangguk sekilas. "And beautiful name as yours."

Ayah mengajarkanku banyak hal, termasuk bagaimana untuk bersikap manis dengan orang yang bersikap baik dengan kita. Semacam hal untuk membangun kepercayaan tentang hubungan dengan orang baik. Namun, diluar dugaan Venicella malah terlihat terkejut dengan hal itu. Seperti memujinya adalah sesuatu yang salah.

"Ada yang salah?"

"Ah enggak. Hanya mengingat perkataan seseorang."

Sekejap, aku baru merasa kalau percakapan sebelumnya terulang.

"What kind of person?"

Venicella tersenyum, kelihatannya senyum itu punya arti lain karena wajahnya dibuat tersipu malu. "My bestfriend."

Aku mengangguk sekenanya. Topik tentang teman adalah jenis topik yang hampir tak pernah kubahas. Aku sudah cukup kenyang mendengar ceramah Ayah tentang bagaimana aku perlu mempunyai hubungan baik dengan banyak orang, punya teman, dan sahabat. Aku tidak pernah tertatik. Sekalipun masa bergulir, walaupun sikapku dulu tidak seburuk sekarang, teman adalah suatu hal yang sekiranya tidak kubutuhkan sekarang. Asal ada Bintang, aku sepenuhnya baik-baik saja.

Aku menghela napas, lalu mengedarkan pandangan ke arah lain. Venicella masih sibuk dengan diamnya, kakinya terus saja memukul bergantian ke arah papan kayu di bawah saung. Mungkin, aku akan kembali bermain dengan Kayi lagi jika saja aku tidak melihat sesuatu di bilik saung, tepat di belakang Venicella. Aku memicingkan mata, berusaha mengenali benda itu. Bentuknya bangun ruang berwarna hitam, kelihatan tidak asing. Aku mencoba meraihnya dan sadar akan sesuatu. Itu adalah kotak pembungkus biola. Apa yang dilakukan seorang gadis dengan biola di kolam ikan? Aku menatap Venicella penasaran sebelum akhirnya menyentuh bahunya pelan dan membuatnya menoleh.

"Ini biola kamu?"

Venicella tersentak sebentar sebelum mengangguk ragu. "Untuk audisi violinist band klasik." Aku langsung melotot. Audisi itu sudah dimulai sedari tadi, kenapa Venicella masih ada disini? Seakan bisa membaca pikiran, gadis itu melanjutkan ucapannya. "Gue dapat urutan kesepuluh. Masih tersisa waktu lama. Gue gak akan terlambat."

Aku mengangguk mengerti. "Kamu melakukan apa di kolam?"

"Gue?" Venicella terkekeh, lalu menunduk menatap ke arah sepatunya nanar. "Hanya merasakan apa yang disebut gugup berlebihan."

"Gugup? Kenapa?"

"Karena audisi itu adalah panggung pertama gue."

Aku mengangguk mengerti, sepenuhnya mengerti karena dulu, aku juga pernah merasakannya saat masih jadi balerina. Entah aku melakukannya dengan kesadaran atau engga, aku tergerak meraih kotak pembungkus biola lalu mengeluarkan biola dan bow-busur yang berguna untuk menggesek senar biola. Venicella menatapku tak mengerti, namun segera kujelaskan sebelum ia bertanya lebih dulu.

"Kamu gugup karena audisi nanti adalah panggung pertamamu, bukan?" Venicella menatapku heran, namun alih-alih bertanya, ia mengangguk. "So, let's make the audition be a second one."

"Hah?"

Aku menyodorkan biola ke arahnya. "Main biola sekarang. Ini panggung pertamamu. You're a violinist, I'll be the audience."

Venicella terlihat terkejut. "Serius? Main biola? Sekarang?"

Aku mengangguk singkat. "Ayo cepatlah. Kamu tidak akan mengecewakan audiens pertamamu, bukan?"

Venicella benar-benar serius dengan ucapannya tentang kegugupan. Gadis itu mengeluarkan music sheet dari dalam kotak pembungkus biolanya dengan gerakan terpatah. Raut wajahnya kelihatan cemas, padahal selain aku, Kayi, dan ikan-ikan di kolam lainnya, tidak ada yang akan melihat penampilannya itu. Dengan gerakan yang sama gugupnya, Venicella memposisikan biolanya sedemikian rupa, lalu memegang bow sedeikian rupa.

Aku tidak benar-benar bisa bermain alat musik, mungkin hanya gitar klasik yang Bunda ajarkan padaku dan Bintang. Bintang belajar lebih baik dalam bidang bermusik karena waktu yang dia miliki tesimpan banyak di rumah. Aku tidak pernah belajar bermain biola, mungkin hanya pernah sesekali melihat penampilan violinist di televisi atau di beberapa vidio cover di sosial media milik Bintang. Namun demi apapun, saat Venicella mulai menggesekkan bow di senar biola, aku merasa kalau semua perhatianku tersedot habis. Aku pernah melihat penampilan yang lebih bagus dari itu, mereka menyanyikan berbagai instrumen klasik dalam acara opera atau tampil solo dalam sebuah kompetisi. Namun, saat aku melihat Venicella bermain, ada sesuatu dalam dirinya yang membuat aku ternganga. Dia bermain dengan seluruh jiwa, terlihat amat melarut dalam permainannya sendiri. Matanya sesekali terpejam, seakan sedang ikut merasakan gelombang dari melodi yang tercipta. Suasana di kolam ikan tiba-tiba hening, bahkan semilir angin pun tak rela untuk menginterupsi. Kayi--yang sedari tadi sibuk mengap-mengap entah karena apa--kini ikut diam, terperangah dengan rangkaian nada-nada yang teruntai.

Setelah Venicella selesai bermain, aku dibuat kehilangan kata. Satu-satunya kata yang keluar-yang sungguh disayangkan hanya itu yang mampu kuucapkan-saat Venicella menjauhkan biola dari lehernya adalah, "Wow."

Venicella menatapku ragu, lalu mengulas senyum kikuk. "Is it that bad?"

Aku kontan menggeleng cepat. Tidak ada yang mampu bilang kalau Venicella bermain dengan buruk. "Sama sekali tidak buruk. Permainan biola kedua paling mengagumkan yang pernah saya lihat."

"Kedua?"

"Iya, kedua setelah permainan biola saudari saya."

Venicella melebarkan matanya, kelihatan terkejut sekaligus antusias. "Lo punya saudari?"

"Punya."

"Aw, pasti dia mirip sama lo."

Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Hm, sebenarnya kami saudara kembar."

Oh iya, aku hampir saja lupa bilang kalau aku dan Bintang adalah saudara kembar. Kami begitu mirip, bahkan hanya Bunda yang mampu membedakan kami. Ayah tidak bisa, membuatku harus membuat ciri khas lain dengan Bintang. Aku selalu menggerai rambuku, terkadang dibiarkan dicepol ke atas. Bintang memakai kacamata, dia tidak pernah membiarkan rambutnya tergerai, gerah katanya. Bintang selalu menguncir rambutnya dalam satu ikatan serupa model ekor kuda. Hal itu efektif, Ayah tak pernah salah memanggil kami setelahnya.

"Saudara kembar?" Venicella memegang bahuku antusias, entah kenapa topik saudara kembar membuat ia semangat sekali mendengarkan. "Siapa namanya?"

"Sabintang."

"Sabita dan Sabintang?" Venicella bertepuk tangan sendiri, kelihatan luar biasa senang. "Nama yang bagus."

"Err..Thanks?"

Venicella makin tersenyum lebar, dan kuduga, hari itu akan aku habiskan untuk meladeni berbagai macam pertanyaan Venicella tentang saudara kembar yang biasa kami dengar dari orang-orang. Seperti apakah kami bisa melakukan telepati atau seberapa dekat hubungan kami sampai bisa merasakan rasa sakit yang dirasakan satu dengan yang lain. Namun nyatanya tidak. Tepat setelah gadis itu membuka mulut, hendak bertanya lebih lanjut, suara speaker yang dipasang di segala sudut ruangan membuat perhatian kami teralih. Tak terkecuali Kayi yang kini sibuk mengap-mengap sembari menatap heran ke arah speaker tak jauh dari saung.

"Peserta audisi biola dengan nomor urut 10, Venicella Raline Pratama dari 11 IPS 2, dimohon untuk segera ke aula. Panggilan untuk Venicella, silahkan kembali ke aula. Terima kasih."

Ketika aku masih sibuk dengan pikiranku, hendak menoleh ke arah Venicella dan menyuruhnya segera ke aula, aku merasakan telapak tanganku menghangat. Aku menoleh ke arah tanganku dan melihat tangan Venicella tengah menggenggamnya, seperti seorang teman. Aku menatap ragu ke arah gadis itu, ia tersenyum padaku. Kelihatan tulus dan tanpa beban. Sebelum aku bertanya lebih lanjut, gadis itu menarik tanganku, menyuruhku ikut berlari bersamanya.

"Ayo, ada pertunjukkan kedua yang perlu gue hadiri dan kelihatannya audiens pertama gue gak akan keberatan untuk ikut."

Sebelum kami berlari lebih jauh, aku menatap ke arah tanganku yang ditarik oleh gadis itu. Aku terhenyak, baru sadar kalau Venicella adalah orang pertama yang pernah melakukan itu selain Bintang, Ayah, dan Bunda. Orang yang mau menatap ke arahku dan memperlakukanku selayaknya teman lakukan. Tanpa kusadari, saat Venicella berlari melewati lorong demi lorong, aku mengeratkan genggaman tangannya.

Dan saat itu aku baru sadar, kalau tanpa banyak bicara, aku memberikan kunci jeruji besi pada gadis itu.

Dengan sukarela.

***

/P U R N A M A/🌝

"Ra, peraturan itu tetap peraturan. Tanpa stempel itu, lo gak bisa ikut audisi. Posisi lo sebagai peserta kelima belas bakal diganti sama Gerald." Gue membuka mulut, hendak menimpali perkataan Aldan saat laki-laki itu lebih dulu mebuat bibir gue terkatup rapat. "Gak ada pengulangan. Gak ada bantahan."

Gue menghela napas, lalu menatap ke arah Aldan yang bergerak menuju tempat dimana Gerald, teman sekelas gue, berdiri gak jauh dari aula. Aldan kelihatan memberi tahu Gerald sesuatu-yang bisa gue pastikan adalah pasal kesempatannya untuk ikut audisi pianis-yang disambutnya dengan eskpresi berseri-seri.
Gue tersenyum miris, memilih berbalik badan menuju Genza yang sibuk bermain dengan ponselnya atau gue mungkin gak akan sannggup menahan diri untuk tidak ikut merobek music sheet milik Gerald.

"Berjalan baik?" Genza bertanya sesaat setelah gue ikut menyandarkan punggung di dinding, berdiri gak jauh dari tempatnya.

"Not really."

Genza mendengus sekilas, lalu kembali berkutat dengan ponselnya. "I've told you. Band klasik butuh stempel warna ungu, bukan coklat."

"Intinya sama, kan. Mau coklat kek, mau ungu, kek. Kan intinya sama-sama stempel."

"Itu kasus yang serupa jika lo menyamakan perawan dan janda atas dasar kalau mereka sama-sama perempuan." Genza menimpali sok kalem. "Atau menyamakan Lucinta Luna sama Luna Maya atas dasar kalau mereka sama-sama manusia. Padahal yang satu KTP nya perempuan. Yang satu KTP nya laki-laki dan perempuan."

Gue mendengus tak peduli. Terkadang media sosial dan Genza adalah sesuatu yang menimbulkan masalah jika dipertemukan. Jadi gue memilih diam, membiarkan Genza berkutat asik dengan ponselnya sedangkan gue sibuk memandang miris ke arah music sheet yang hampir berwarna coklat sepenuhnya. Memandang miris ke arah tiket masuk ke hidup gue yang dulu yang kini sudah gak ada gunanya.

Tadinya, gue rasa hari itu akan berjalan dengan baik-baik saja sebelum Nata--sahabat sengkleknya Genza--datang menghampiri kami dan bertanya tanpa basa-basi. "Cella kemana, Za?"

"Kayaknya udah di studio, " Genza menjawab tenang.

"Udah di studio? Kok Hana, panitia audisi biola nyariin dia?"

"Cella itu gampang gugup, Ta. Mungkin dia lagi di toilet sebelum waktunya dia tampil."

Kadang, Genza dan sikapnya yang terlalu tenang membuat orang-orang gampang sewot. Tak terkecuali Nata. "Tapi waktu dia tampil tinggal 15 menit lagi, Cong. Dia gak datang, posisinya hangus."

"Ya, tinggal panggil aja pakai speaker. Cuma orang congek yang gak dengar pengumumannya."

Nata mendengus gak peduli, kayaknya sih capek juga karena kecemasannya tentang Cella malah dianggap enteng sama Genza. Lalu tanpa banyak bicara, Nata berjalan pergi. Gue duga dia menyuruh salah satu orang untuk membuat pengumuman nyari Cella lewat speaker. Nata adalah jenis orang yang jalan dari kantin ke toilet aja perlu motor. Nyuruh Nata nyari Cella keliling sekolah, mungkin lo perlu menyediakan pesawat buat dia. Nata khawatir jika Cella sampai kehilangan posisinya sebagai peserta audisi, tapi dia lebih khawatir sama keadaan kakinya yang bakal putus kalau dipaksa lari mengelilingi sekolah. Jadi maklumi saja, gue sudah cukup paham dengan tabiatnya yang satu itu.

Tebakan gue benar saja karena gak lama kemudian, speaker yang tepat berada di atas kepala Genza membuat berbunyi, mengumumkan sesuatu.

"Peserta audisi biola dengan nomor urut 10, Venicella Raline Pratama dari 11 IPS 2, dimohon untuk segera ke aula. Panggilan untuk Venicella, silahkan kembali ke aula. Terima kasih."

Dan pengumumannya disambut dengan gerutuan Genza. "Gue gak congek, Speaker. Gak usah keras-keras napa," katanya bersungut-sungut.

Gue berdecak, Genza menghela napas. Dan gak lama kemudian, suara tapak kaki yang berlari membuat perhatian kami-bukan hanya gue dan Genza namun juga Aldan dan segenap peserta lain yang menunggu di studio-teralih dan gue hampir melotot setelahnya.

Bukan, bukan. Cella masih terlihat baik-baik saja, bukan menangis dengan mata memerah karena tiba-tiba merasa gak sanggup untuk tampil di kompetisi yang sebenarnya. Dia kelihatan sepenuhnya baik-baik saja, kecuali senyum lebar yang biasa ia sembunyikan kini benar-benar ia perlihatkan. Genza hampir membuat ponselnya terjatuh karena dengan senyum seperti itu, Cella kelihatan luar biasa bercahaya. Tapi, bukan itu yang buat gue kaget. Tapi orang yang bersamanya saat berlari kesini. Orang yang gak lain dan gak bukan adalah orang yang membuat stempel ungu gue kini berubah menjadi coklat dan membaginya jadi dua bagian.

"Genza, Pura, tadi kalian dengar nama gue dia dipanggil?" Cella bertanya dengan terengah-engah. Maklum karena tadi ia datang kesini sembari lari dan menarik cewek di belakangnya.

Gue dan Genza mengangguk bersamaan sembari melotot ke arah objek yang berbeda.

"Oh, oke bagus. Gue belum terlambat. Gue ke aula dulu ya. Doain gue lolos." Cella menoleh singkat ke arah gadis yang tadi lalu menarik lengannya terburu-buru. "Ayo, Sa. Lo ikut gue."

Gadis itu bertatap muka dengan gue. Gue gak ahli membaca wajah, namun dalam sekali tatap, gue gak menemukan raut wajah bersalah yang setidaknya perlu dia tunjukkan saat berhasil membuat gue gagal ikut audisi. Berhasil membuat gue gagal kembali meraih mimpi lama gue namun berhasil membuat gue merasakan mimpi buruk yang lain. Namun nyatanya, dia benar-benar tidak berekspresi. Ekspresinya setenang telaga yang tak tersentuh, hanya terus diam dan menatap ke arah gue kosong. Entah kenapa, hal itu membuat gue marah. Setidaknya ia perlu merasa tidak enak karena menyalahkan Genza atas apa yang sebenarnya dirinya sendiri lakukan. Atau setidaknya merasa gak enak karena susu cokelatnya mengotori seragam gue atau merasa gak enak karena menginjak kaki Genza. Namun dia gak melakukan itu, dia hanya diam. Seakan dia tidak melakukan kesalahan apapun dan tidak mengancurkan mimpi siapapun.

Saat sebenarnya dia baru saja menghancurkan mimpi gue.

Gue ahli dalam menutupi perasaan, terutama dalam masalah amarah. Namun hari itu, gue melakukan pengecualian. Saat gadis itu hendak berlalu bersama Cella, gue menahan lengannya. Cella menoleh ke arah gue, Genza melakukan hal yang sama. Gadis itu hanya diam, menatap ke arah lengannya yang gue tahan lalu menatap ke arah gue dengan tatapan tersirat yang gak gue mengerti. Lalu setelahnya, gue mengucapkan suatu hal yang gak tahu perlu gue syukuri atau perlu gue sesali.

"Lo duluan aja, Cella. Gue tahu lo akan lolos audisi. Lo hanya perlu tarik napas panjang dan lo akan melakukannya dengan baik. Percaya sama gue. Biarin cewek ini disini." Gue menatap marah ke arah gadis itu sebelum melanjutkan ucapan gue. "Gue punya urusan dengan cewek yang gak tahu malu dan gak punya rasa bersalah ini."

***

A/N: Holaw holaww, perlu diingatkan kalau Genza dan Cella mungkin akan berperan besar dalam cerita. Jadi tunggu aja okey.

Gimana dengan chapter yang satu ini? Tulis pendapat ya!

Semoga menyenangkan :)

-Ceefje

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro