/28/: Purnama dan Sibuk Dalam Penantian
/P U R N A M A/ 🌝
Waktu adalah sebentuk skala paling misterius yang tidak seorang pun tahu bagaimana cara memajukannya, memundurkannya, apa lagi menghentikannya.
Entah kapan dan bagaimana, gue kembali dibuat mengingat tentang satu kutipan favorit gue di satu-satunya buku yang gue temui di perpustakaan selang sehari sebelum pengumuman kelulusan.
Ada banyak faktor pendukung bagaimana kutipan itu bisa muncul di kepala macam tukang parkir yang suka datang tiba-tiba kayak tuyul. Bisa jadi, karena gue sekarang berharap mau memajukan waktu sampai saat dimana Nata datang ke tempat yang kami jadikan tempat temu kangen dadakan tanpa perlu repot-repot menunggu lama seperti yang gue lakukan sedari tadi. Bisa jadi juga gue ingin memundurkan waktu untuk mengulang saat dimana gue salah menjawab sesi kuis tunjuk maju yang dosen gue lakukan hampir di setiap pertemuan hingga gue gak perlu maju ke depan dan harga diri gue diturunkan seturun-turunnya.
Atau bisa jadi, gue hanya mempertanyakan bagaimana waktu kemudian berjalan secepat itu hingga gak terasa, sudah hampir empat tahun sejak Sabita pergi dengan jejak yang hilang dibasuh rintik hujan.
Waktu memang sebuah skala yang misterius. Semakin ia cepat beranjak, semakin banyak yang ia ambil, semakin banyak luka yang ia toreh, semakin banyak yang ia ubah. Hingga dalam kurun waktu empat tahun yang singkat, sudah terlalu banyak yang waktu tukar di hidup gue.
Satu hal yang gue rasakan hampir setiap waktu adalah sebentuk kehilangan. Saat Sabita bilang ia akan pergi, gue tidak tahu kalau ia sungguh benar-benar pergi. Setelah sekian lama bergumul dengan dunianya yang sepi, eksistensi gadis itu sudah berubah menjadi sebentuk pohon di tengah terik siang. Gue tidak biasa tanpa kehadirannya. Hingga di suatu titik, gue merasa teriknya terlalu ganas memanggang kepala hingga gue memutuskan untuk mencari kemana pohon itu pergi.
Rumah gadis itu kosong sata gue berusaha mencarinya. Dari perkataan penjaga gerbang, gadis itu dan Ayahnya memang pindah rumah, namun membiarkan rumah itu tetap terawat jika sewaktu-waktu mereka kembali.
Namun nyatanya, hal itu adalah sebentuk sungai di tengah gurun pasir.
Terlalu mustahil untuk ditemukan.
Satu-dua tahun pertama, gue rutin mendatangi rumah gadis itu. Menanyakan hal yang sama hampir setiap waktu hingga gue akrab dengan penjaga gerbang rumahnya sekarang. Tidak ada yang tahu kemana majikan mereka pergi. Ayahnya Sabita hanya menitipkan rumah pada mereka, tidak mengatakan apapun tentang kemana mereka akan tinggal setelahnya.
Hingga tiga-empat tahun berikutnya, gue bosan. Kehilangan itu tidak pernah pergi, hingga gue memutuskan untuk berteman dengan kehilangan. Gue menyerah. Tidak pernah lagi berusaha mencari keberadaan gadis itu yang entah bagaimana keadaannya sekarang. Gue terlalu ... lelah. Hingga rasanya segala cara upaya yang gue lakukan hanya berakhir pada satu tujuan final yang sama.
Sebuah jalan buntu.
Diluar itu semua, gue cukup merasa terberkahi dengan apa yang waktu kembalikan pada gue seiring dia berjalan.
Setelah diterima menjadi pianis utama band klasik sekolah, banyak kompetisi baik solo maupun grup yang gue ikuti. Rata-rata hampir semuanya berakhir manis. Nama gue mulai melambung sebagai seorang anak dari pianis ternama yang meninggal dengan lubang dalam di dunia seni musik. Lalu, mereka berharap gue hadir untuk menambal lubang itu.
Dari sekian piagam penghargaan yang gue punya, akhirnya gue diterima di salah satu fakultas seni musik jurusan piano klasik universitas ternama tanah air. Kehidupan perkuliahan gue berjalan dengan sama baiknya. Baru kurang dari tiga tahun berstatus sebagai mahasiswa, gue dipercaya untuk mengadakan berbagai resital piano sendiri juga menjadi komposer beberapa lagu tema film dalam negeri.
Sebuah kesibukan luar biasa yang gue jalani namun masih belum berhasil membuat kekosongan akan gadis itu terhapus dari sudut ruang memori.
Gue gak tahu siapa yang salah. Apa Sabita yang meninggalkan gue tanpa jejak yang bisa gue cari, atau salah gue yang bersikeras tidak mau menghapusnya dari kepala. Sejak gadis itu pergi, bermain piano di depan toko buku adalah sebuah rutinitas harian. Kadang kala seperti orang gila, gue pergi ke mal hanya untuk memainkan sebuah piano dan pulang dalam kerinduan yang tak terobati sama sekali. Namun setidaknya, walau hanya sedikit, gadis itu memberi gue cara untuk menyegarkan apa yang bisa gue ingat dari sosoknya yang pergi dalam kebekuan.
“Woy, Pura!! Sori-sori udah lama nunggu, ya?”
Gue menoleh singkat, hanya untuk mendapati Nata tengah nyengir sembari menatap ke arah kesepuluh jemari gue yang bermain di tuts piano sembari menunggunya datang.
“Sendirian aja? Thalia mana?”
Satu yang membuat gue berterima kasih dengan waktu adalah bagaimana kemudian Nata diberi karma yang sangat manis. Nata pernah bersumpah kalau sudah nikah dan punya rumah sendiri, Nata gak mau jalan kaki. Rumahnya akan didesain sedemikian rupa hingga ia punya rel yang menghubungkan semua ruangan di kamarnya tanpa perlu repot jalan. Tuh anak emang benci banget sama jalan kaki, apalagi yang namanya lari. Namun, kayak dunia mau mempermainkan dia, Nata malah kepincut sama Thalia, salah satu atlet lari kebangaan sekolah yang suka lari kemana pun ia pergi. Yah, emang yang namanya hati, se-gak suka apapun Nata sama yang namanya lari, demi Thalia tuh anak sering bangun kelewat pagi cuma buat nemenin Thalia jogging. Usahanya membuahkan hasil yang bagus, mereka pacaran dan langgeng sampai sekarang bahkan hingga belajar di bawah universitas yang sama.
“Thalia lagi latihan. Ada lomba yang bakal dia ikuti beberapa hari lagi.”
“Kenapa gak ditemenin?”
Nata mesem-mesem. “Dibanding Thalia, aku lebih cinta sama kamu, Purakuh.”
“Iuw.”
Nata terkekeh, lalu ia menyenggol bahu gue, menyuruh gue menggeser pantat berbagi satu kursi kecil untuk tempatnya duduk. “Geser dong, nyet. Elah gue udah keliling mal demi lo, nih.” Nata menggerutu setelah melihat gue gak bergeser satu senti pun. “Kaki gue udah mau copot. Gece geser!”
Gue berdecak singkat, lalu memutuskan untuk bergeser tanpa banyak bicara. Nata tersenyum puas, tidak sadar kalau tingkahnya terlalu kekanakan jika dibandingkan mahasiswa satu kampus sekalipun. Akibat keberadaan Nata, gue tidak bisa mengjangkau semua tuts piano di sisi yang ia duduki. Gue meghela napas panjang, lalu hanya memainkan setengah bagian dari tuts yang bisa tangan gue jangkau.
“Itu semua persis seperti yang terjadi sama lo sekarang.”
“Apanya?”
Nata mengedikkan bahu. “Lo hanya berperan dalam setengah dunia yang bisa lo jangkau. Sedangkan setengah bagian yang lain, Sabita ambil setelah gadis itu pergi.”
“Gue gak mengerti.”
“Apanya?”
“Harusnya kalau Sabita pergi, setengah bagian yang dia ambil harusnya kembali, kan?” Gue menggeleng heran. “Kayak waktu lo pergi, gue bisa menjangkau semua tuts itu tanpa penghalang.”
“Sayangnya, lo gak berani melakukan itu.” Nata menaikkan satu alisnya, tengil rasa pengen gue tabok sampe Rusia. “Bagian yang sempat Sabita tempati gak berani lo singgahi lagi. Bahkan setelah gadis itu memutuskan meninggalkan lo.”
“Nata,”
“Iya, kenapa, Sayang?”
“Lo pernah ngerasain rasanya keselek pisau, gak?’
Nata terkekeh, sembari bergidik pura-pura ketakutan. “Tapi gue benar, kan? Gadis itu memang pergi tanpa tanda, namun meninggalkan terlalu banyak jejak dan bekas yang gak tahu harus lo sapu atau lo biarin.”
“Gue gak bisa memillih ... keduanya.”
“Semuanya terlalu berharga untuk disapu dan terlalu menyakitkan untuk dibiarin, kan?”
“Gue gak tahu lo abis makan makanan bernutrisi macam apa sampai otak lo cair kayak gini, but well, harus gue akui kalau lo terlalu benar.” Gue mendesah pelan, memijat kening gue yang berdenyut samar. “Ini semua terlalu sulit untuk gue jalani.”
“Pura,”
“Hng?”
“Lo gak berniat bunuh diri, kan?” belum lagi gue menjawab, Nata sudah lebih dulu bangkit dari tempat terduduk, hampir membuat gue terjatuh karena kehilangan penyeimbang beban kursi. “Gapapa-gapapa. Gue gak larang. Silahkan lo mau bunuh diri pakai media apa? Baygon? One push vape? Ayo sebut aja sebut. Mumpung gue baru gajian, nih.”
Gue lantas melotot sembari nabok pipinya keras. “Sembarangan aja lo, kuda."
Tadinya, gue kira Nata akan balik nabok pipi gue, sampai akhirnya bermenit-menit ke depan akan jadi ajang saling tabok jika sebelum Nata mengangkat tangannya, suara seseorang membuat perhatian kami teralih.
“Purnama, ya?”
Gue mengernyit, merasa heran karena ada seorang pria paruh baya yang berdiri di depan piano gue dan bertanya dengan raut gak yakin. Pria itu berkisar berumur 40-an dengan beberapa helai rambutnya yang memutih namun masih terlihat segar di balik senyumnya yang ramah. Garis wajah pria itu keras, namun entah kenapa terasa familiar. Gue masih merasa gak mengerti, namun kemudian gue tetap berdiri dan menundukkan kepala sekilas.
“Hm, iya saya sendiri.”
Pria itu tersenyum puas, lalu terkekeh dan mengulurkan tangannya. “Ah, kepala saya berarti gak salah ingat. Nama saya Pradana. Kalau kamu masih ingat, dulu kamu pernah menolong putri saya, tepat di depan toko buku ini.”
Gue berusaha mengingat, hingga tidak butuh usaha lebih—karena apapun yang berhubungan dengan Sabita selalu mudah untuk gue ingat—kepala gue menampilkan sebuah ingatan. “Luna? Anda Ayahnya Luna?”
Pradana terkekeh, lalu mengangguk singkat. “Ah, saya rasa kamu memang pilihan yang tepat.”
“Pilihan?”
Pradana tersenyum ramah, lalu memberikan gue sebuah kartu nama yang langsun gue baca. “Saya menawarkan kamu. Sebuah kesempatan baru. Kesempatan yang sebaiknya jangan kamu tolak.”
“Kesempatan ... baru?”
“Bagaimana dengan menjadi pianis untuk live orchestra dari pentas seni yang istri saya adakan?”
****
/S A B I T A/ 🌙
Aku selalu berpikir kalau setelah pilihan berat yang kuputuskan sendiri empat tahun yang lalu, kebahagiaan bukanlah satu yang aku dapatkan setelah sekian lama.
Bahagia itu imajinatif. Tidak ada yang namanya kebahagiaan mutlak. Aku selalu merasa kalau kebahagiaan tidak akan pernah ada dalam hidupku yang terlalu statis. Namun siapa yang kira, dunia memberiku kesempatan untuk bahagia kali ini.
Setelah pergi meninggalkan apa yang aku punya bersama segenap jejak yang kukumpulkan tanpa sisa, aku selalu berpikir untuk menyesali semuanya. Tangerang dan rumah kami meninggalkan terlalu banyak kenangan tentang Bintang. Terlalu banyak, hingga tanpa sadar setiap sudut rumahku meninggalkan kesan atas kesalahanku fatalku pada gadis itu.
Semuanya terlalu ... menyakitkan. Terlebih dengan reaksi macam apa yang Ayah tunjukkan setelah rumah hanya dihuni oleh keberadaan kami. Ayah tetap memaksaku dengan tujuan awalnya, melatihku menjadi penerus perusahaan setelah ia pensiun. Tidak ada kata bantahan yang keluar dari mulutku, termasuk dengan rencana Ayah untuk memindahkan kantor pusat perusahaannya ke kota lain, memaksaku untuk ikut kesana dan menulis lembar kertas baru dari buku yang halamannya sudah kusobek paksa.
Namun dibalik itu semua, apa yang terjadi setelahnya tidak seburuk yang kuperkirakan. Walaupun masuk di tengah tahun ajaran, dengan cepat aku punya banyak teman. Sekolahku sama baiknya seperti sekolahku yang lama, walaupun hati masih merasa kehilangan dengan keberadaan Cella, Nata, Genza hingga ... Purnama.
Purnama.
Walau sudah empat tahun waktu berkejaran selama itu, nama itu masih belum tersisih dari ruang ingatan. Tidak pernah ada saat dimana nama laki-laki itu tersingkir dalam benak rindu, walaupun tugas dan kewajiban semakin menumpuk, hingga apa yang Ayah bebankan semakin menimbun. Tidak pernah ada saat dimana aku melupakan Purnama. Laki-laki itu seperti udara. Terlalu sering berada di sekitarku hingga aku tidak nyaman dengan hidup tanpa kehadirannya.
Semuanya terlalu kompleks. Terlalu rumit. Terlalu sulit. Terlalu ... tidak bisa ku kendalikan.
Lalu, semuanya mengalir lebih lancar daripada air. Aku lulus SMA dengan nilai yang mampu membuat Ayah percaya akan kemampuanku. Setelahnya, Ayah memasukkanku ke universitas negeri ternama tanah air lewat jalur tes umum. Ayah tidak lagi campur tangan dengan kehidupanku sebagai mahasiswi, walaupun kekuasaannya tetap tidak memiliki batas. Ayah mendaftarkanku pada tes masuk fakultas administrasi bisnis. Aku tidak punya banyak kemampuan untuk protes, maka dalam diam aku menerimanya. Tidak seperti yang kubayangkan, aku menyimpan kesukaan tersendiri dalam bidang yang Ayah pilih, tak terkecuali ketika Ayah membawaku melihat jalannya perusahaan di tahun keduaku.
Semuanya terlihat rumit, namun menarik di saat yang bersamaan.
Tentang impianku sebagai balerina, aku tidak lantas meninggalkannya. Impianku terlalu berharga untuk kubuang. Maka tanpa sepengetahuan Ayah, aku mendaftar masuk ke kursus balet di Jogjakarta. Bermodal nekat, aku mengikuti lomba bergengsi lain yang diadakan tak lama setelah kepindahanku kesana. Semuanya berlalu dengan baik, hingga aku dinyatakan sebagai pemenang. Ayah murka saat tahu aku menipunya, namun setelah berkali-kali kuyakinkan lewat prestasi yang kubuat di kegiatan kuliah, pria itu akhirnya luluh. Pasrah membiarkanku mengejar mimpi asalkan tidak meninggalkan kewajibanku sebagai mahasiswi.
Sudah kubilang, semuanya mengalir lebih lancar daripada air.
“Geser geser geser!! Cecan mau duduk!! Geser woy geser!!”
Aku mengangkat kepala dari perhatianku yang tertancap di layar laptop sedari tadi, membuka beberapa surel yang baru kuterima yang kebanyakan berisi dokumen untuk mata kuliah. Sebagian yang lain berisi beberapa data perusahaan yang Ayah minta kupelajari dan segelintir lainnya berisi permintaan pengisi pentas seni. Setelah mendapat izin Ayah, banyak tawaran untuk mengisi berbagai acara resmi lewat pertunjukkan balet datang padaku. Kebanyakan memang tampil berkelompok, namun tak jarang yang menyuruhku menari solo. Hal itu cukup membuatku ... senang. Setidaknya, semuanya memang terlihat sebaik yang aku harapkan.
“Sabita!! Buset geser woy! Geser!!”
Aku berdecak singkat saat mendengar Laura, teman satu fakultasku yang suka bicara panjang lebar, berteriak kesal menyuruhku berbagi bangku panjang di kantin. Laura adalah teman pertamaku di kampus. Sikapnya yang kelewat banyak bicara dan senang mengobrol macam-macam membuatnya dengan cepat mengambil simpatiku. Gadis itu anak yang baik, cantik pula. Diluar kebiasannya yang suka mengobrol tanpa batas, Laura adalah jenis teman yang kubtuhkan sejak dulu.
Aku memutar bola mata malas, lalu tanpa banyak bicara bergeser sedikit, berbagi sedikit ruang kosong untuk gadis itu duduki.
“Nah, gitu, dong. Laik aku sama kamu,” semburnya sembari duduk di sampingku, tepat di ruang kosong yang kuberikan tadi.
Aku memilih tetap diam, lalu mulai bergulir menatap ke arah beberpa surel baru yang kuterima. Masih banyak dokumen mata kuliah, namun salah satu undangan pentas seni dari Danera Fransiska sukses membuatku tertarik membukanya.
Iya, kalau aja Laura tidak langsung menyambung sembari menghalangi arah pandangku dengan rambut cokelatnya yang menyeruduk tanpa aba-aba.
“Lagi ngapain lo, Sa?”
“Boker!”
“Eits, tahu darimana lo kosakata begituan, Kanjeng?” Laura mendengus geli, sembari menyuap satu sendok nasi gorengnya lahap. “Ngomong masih pake saya-kamu aja gaya-gayaan ngomong boker.”
Aku memutar bola mata malas. “Ini mulut saya. Suka-suka saya mau ngomong apa.”
“Ya, Kanjeng. Aku padamu, lah.”
Aku memutar bola mata malas mendengar Laura lagi-lagi memanggilku dengan panggilannya yang kelewat konyol. Kebiasaanku berbicara serba baku sulit untuk dihilangkan. Hingga panggilan Kanjeng yang Laura sematkan padaku terdengar berlasan karena setiap berbicara denganku, gadis itu selalu merasa berbicara dengan putri keraton.
“Sa,”
“Hm?”
“Sa,”
“Apa, sih?”
“Sa sa saaaaaaaa.”
“Apa Laura?! Apaaaa?!”
Laura tidak menyahut, namun tangannya kini menunjuk ke arah Kak Arka yang lewat tepat di depan kami. Lagi, aku berdecak. Laura memang terkenal sebagai pengamat cowok ganteng nomor satu. Hampir semua cowok ganteng berbagai macam fakultas pernah dia gebet. Minggu lalu, Laura pernah kena serangan asma dadakan karena seorang Adrian Brahmasanya menolongnya saat terjatuh dari tangga. Setelahnya, hari-hari Laura diisi dengan mengagumi cowok jurusan teknik sipil itu dalam diam dari jauh.
Aku sudah cukup kenyang disuruh menemani gadis itu mengikuti hampir setiap langkah Adrian. Hingga tepat kemarin, hati Laura berpindah rumah ke seorang Sagarka Prakaha, kakak tingkat di fakultas kedokteran yang fansnya sulit dihitung kayak kepala ikan teri nasi.
Dan Laura tergagap saat melihat Kak Arka lewat barang 20 meter di depannya sekali pun, itu adalah sebentuk dampak yang sudah terlalu sering dia alami.
“Ulululuuu!!” Laura tersenyum dengan kedua tangannya sendiri mengangkup pipinya yang bersemu. “Gilaa Kak Arka ganteng bangettttttt!!!”
Aku mendengus pendek, lalu kembali mengalihkan perhatian ke arah surel-surelku. Membiarkan Laura tenggelam dalam imajinasinya sendiri.
“Kok lo gak ikut-ikutan, sih?”
“Ikut apa?”
“Jadi fansnya Kak Arka, lah. Secara tuh cowok sempurna abis. Ganteng, pinter, anak kedokteran, tajir pula. Masa depan terjamin banget. ” Laura terdiam, lalu sejenak ia menepuk dahinya sembari mengumpat dalam hati. Melupakan kenyataan kalau seorang gadis yang duduk di sampingnya masuk ke dalam daftar keluarga dengan kekayaan tak habis dikikis masa. “Iya, oke. Gue salah. Tajir itu buat gue. Buat lo mah gak ada apa-apanya.”
Untuk pertama kalinya, aku malah terkekeh geli. Lalu mencubit pipi Laura gemas, membiarkan gadis itu menggerutu. “Saya sudah punya seseorang yang lain.”
“Apanya?”
“Jawaban atas pertanyaan kenapa saya tidak mau jadi penggemarnya Kak Arka,” aku mengulas senyum tipis, “karena saya punya seseorang yang lain.”
“Eh, serius?”
Aku mengangguk sekilas, membiarkan pipiku tanpa sadar bersemu mengingat sesosok laki-laki yang menemani hampir seluruh ruang memoriku empat tahun belakangan.
Seseorang yang tak lain tak bukan adalah Purnama.
“Gak mengherankan, sih.” Laura manggut-manggut. “Hidup lo sempurna. Cantik, keluarga kaya, pinter, berbakat juga. Beda sama gue yang masuk kesini harus modal beasiswa kalau gak keluarga gue jadi gembel.”
“Laura,”
“Life is unfair, right?”
“Memang.”
“Bagi gue iya, bagi lo mungkin—“
“Tidak, Laura.” Aku menyelanya cepat-cepat. “Saya kehilangan saudari kembar saya. Saya hidup tanpa Ibu sejak umur delapan tahun. Ayah saya mengekang semua mimpi saya. Saya hidup sendirian tanpa teman. Ketika saya punya teman, Ayah saya menyuruh saya pergi.” Aku menggigt bibir, berusaha menahan nyeri yang masih terasa sama walau sekian tahun telah berlalu. “Semua orang tahu kalau dunia kadang kala alpa dengan keadilan.”
“Maaf.”
“Kenapa minta maaf? Ini bukan salah kamu. Kalau ada yang perlu disalahkan disini, saya rasa jawabannya tidak ada yang perlu disalahkan.”
“Lo ... terlihat begitu sempurna sampai kelihatan gak punya cacat.” Laura terdiam. “Maaf karena sering merasa ... iri sama lo.”
Aku tersenyum, lalu mengulas senyum jenaka. “Kalau gitu, anggap saya adalah jin pengabul permintaan. Saya beri kamu tiga permintaan dan siapa tahu, jin pengabul permohonan akan mengabulkan apa yang kamu minta.”
Laura mendengus. “Gue bukan bocah, oke. Main jin-jinan bukan sesuatu yang lo banget.”
“Beri tahu saja. Terakhir kali saya meminta, semua keinginan yang saya benar-benar terkabul.”
Laura terdiam, lalu dengan wajah sendu, ia mulai bicara. “Gue mau ... Ayah cepat sembuh dari sakitnya.”
“Sisa dua permintaan.”
“Gue mau Ibu dapat pekerjaan yang gak perlu menguras tenaganya kayak jualan kue.”
“Sisa satu permintaan.”
“Sabita,”
“Hm?”
“Permintannya benar-benar bakal terkabul, kan?”
“Siapa tahu?”
“Kalau gitu,” Laura tersenyum kelewat lebar, “gue mau Kak Arka lirik gue. Kyahhhh—Aw, Sabita. Iya ampun-ampun. Sakit kuping gue lo tarik, buset.”
Aku menatapnya dengan mata menyipit, membiarkan Laura mengusap teliganya yang tidak memerah sama sekali karena aku hanya menariknya tanpa tenaga.
“Kalau lo? Apa lo juga masih punya permintaan?”
“Permintaan? Saya punya banyak sekali. Tapi kebanyakan adalah permintaan yang mustahil.”
“Misal?”
“Membuat saudari dan Bunda saya hidup lagi, misalnya.”
Laura meraih kedua tanganku, lalu menggenggamnya erat, menyalurkan kehangatan. “Semuanya akan baik-baik aja. Lo punya gue. Lo gak akan sendiri lagi.”
Aku mengulas senyum, lalu memeluk Laura singkat sebelum mencubit pipi gadis itu gemas, membuat seruan kelewat sebal dari mukut gadis itu terlontar keluar.
“Nyubit orang bukan tindakan ungkapan terima kasih, nyet.”
Aku tertawa keras, lalu sebentuk pemikiran mencuat dari kepala. “Kalau dipikir-pikir, saya masih punya satu permintaan tersisa.”
“Akan gue kabulkan asal bukan permintaan yang mustahil.”
Aku tersenyum lagi, lalu membiarkan pipiku menghangat untuk kesekian kalinya.
“Saya ingin bertemu Purnama lagi suatu hari nanti.”
****
A/N: Uhuhuhu :v
Udah ya saya lelah.
Bay
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro