/27/: Purnama dan Apa yang Disebut Akhir
/P U R N A M A/ 🌝
Gue sering merasa sangsi dengan seseorang yang berkata kalau lo akan selalu merasa tidak sanggup saat dihadapkan dengan dua pilihan yang mempengaruhi hidup lo sampai batas waktu yang gak bisa ditentukan. Katanya, dunia ini tercipta dengan bentuk ranting yang bercabang. Semuanya menyebar tanpa ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Entah akan berakhir dengan ujung ranting tanpa jalan atau jutsru berakhir menemukan buah ranum di sela-sela daun lebat.
Sesuatu yang membuat gue kesal adalah sebuah ketidaktahuan dari itu semua yang selamanya akan selalu jadi ketidaktahuan. Gue tidak bisa menebak mana satu dari sekian ranting bercabang yang akan membawa gue ke arah buah siap petik sedangkan ranting yang lain membawa gue ke sebuah persimpangan lain yang memperumit keadaan. Gue tidak tahu apapun. Gue hanya dihadapkan pada sekian pilihan dan diwajibkan untuk memutuskan jalan dengan cepat dan tepat tanpa punya waktu lama untuk berpikir.
Kali ini, gue dihadapkan pada dua pilihan.
Pilihan pertama, gue akan mengikuti apa yang selama ini gue dan Sabita latih dengan penuh perjuangan lalu keluar setelah nama gue disebut sebagai pemenang audisi.
Pilihan kedua, gue akan membatalkan audisi. Membawa gadis itu kemanapun kalau perlu sampai ujung dunia sekali pun untuk menyadarkannya kalau ia tidak lagi sendiri di dunia walaupun tanpa kehadiran Bintang.
Dia punya gue.
Kelakuan Sabita tempo hari, dimana ia bersikeras berkata kalau ia adalah Bintang bukan sesuatu yang bisa gue anggap kebohongan. Sudah dua minggu berlalu sejak kejadian dimana Sabita menghebohkan sekolah dengan pakaiannya yang penuh bintang, ia benar-benar berubah menjadi seseorang yang gue kenali sebagai saudarinya. Sabita berubah menjadi orang yang supel hingga banyak orang yang kemudian menjadi teman dadakannya. Sabita senang pergi ke kantin dengan banyak teman di sekeliling mejanya. Gadis itu menjadi senang ke perpustakaan, tenggelam dengan deretan aksara dalam lembar-lembar buku padahal Sabita yang gue kenal alergi dengan kesepian yang ia dapat dari rak buku. Gadis itu mengikuti sesi latihan, namun bernyawa seperti Bintang.
Namun dari segala keBintangan yang Sabita lakukan sebagai topeng barunya, kali ini ia tidak bisa menutupinya dari gue.
Tidak lagi.
Gue menghela napas, berusaha fokus dengan deretan not dalam music sheet di depan piano yang gue mainkan. Hari ini, audisi pianis yang diulang resmi dimulai. Beberapa orang yang ikut menampilkan rekan kolaborasi yang beragam walaupun sebagian besar perserta mengambil rekan dari anggota ekstra paduan suara dan tampil bagai pertunjukkan opera. Beberapa lainnya membuat musikalisasi puisi, atau sebagian kecil lainnya melakukan duet dengan sesama pemain alat musik. Total ada tiga orang yang mengambil rekan dari para balerina, namun dari jumlah sesedikit itu, gue berani bertaruh kalau hanya Sabita yang tampil tanpa ekspresi namun mampu mengundang banyak lirikan kagum dari penonton.
Gue menghela napas lagi, berusaha menjaga pandangan untuk tidak asal melirik ke arah gadis bergaun hitam yang menari di depan sana. Kami sudah melakukan pertunjukkan kurang lebih dua menit yang lalu dan Sabita sudah mempertahankan ekspresi yang sama sejak awal.
Disana, Sabita kehilangan topengnya.
Disana, Sabita jadi dirinya sendiri.
Disana, Sabita kembali hampa.
Disana, gue menemukan kembali Sabita yang sebenarnya.
Gue ingin melakukan banyak hal saat ini. Entah kenginan untuk memenangkan audisi atau keinginan mendapat tepuk tangan meriah dari penoton. Namun dari semua itu, gue menyimpan keinginan yang harus gue tahan untuk tidak gue lakukan sekarang.
Tidak sekarang.
Gue tidak bisa memeluk Sabita sekarang dan berkata kalau ia tidak perlu mencemaskan apapun. Karena dia punya gue. Karena gue bisa membantunya. Gue bisa melakukan apapun. Apapun. Asalkan dia berhenti memasang topengnya terlalu erat. Asalkan ia berhenti tertawa ketika hatinya terkikis hingga habis.
Asalkan ia tidak pura bahagia padahal sebenarnya menderita.
Gue menatap tuts piano gue nanar. Gerak jemari gue masih selincah dulu, menghasilkan rangkaian nada yang berhasil membuat juri terpana. Sabita masih diam tanpa eskpresi, bahkan hingga piece yang gue mainkan rampung. Bahkan hingga juri berdiri sembari bertepuk tangan dan tersenyum bangga melihat penampilan kami.
Bahkan ketika juri mengumumkan nama gue sebagai pemenangnya, Sabita tetap terdiam. Gue kehilangan rasa senang, sama sekali tidak menjerit atau melakukan apapun untuk mengekspresikan apa yang seharusnya gue rasakan. Dalam bisu, gadis itu melenggang anggun meninggalkan aula yang kini dipenuhi hiruk pikuk orang yang memberi ucapan selamat.
Dan dalam bisu gue berharap, ketika gue sampai ke kelas, gue menemukan sebuah sticky notes hitam yang familiar milik Sabita. Gue tidak berharap banyak. Gue hanya ingin ada satu ucapan selamat dari gadis itu. Gue tidak berharap banyak. Gue hanya ingin gadis itu tahu kalau setidaknya gue akan selalu bersamanya sampai akhir. Gue hanya ingin gadis itu tahu ... kalau dia menyakiti gue lebih dari apa yang gue sendiri bisa bayangkan.
Namun tampaknya, gue memilih pilihan yang salah.
Katanya, dunia ini tercipta dengan bentuk ranting yang bercabang. Semuanya menyebar tanpa ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Entah akan berakhir dengan ujung ranting tanpa jalan atau jutsru berakhir menemukan buah ranum di sela-sela daun lebat.
Kali ini, gue menemukan ranting yang berakhir buntu, tepatnya setelah gue kembali ke kelas dan hanya menemukan seonggok kehampaan di meja yang gue pakai selama hampir seminggu belakangan.
Tidak ada sticky notes.
Tidak ada gurat penanya yang familiar.
Tidak ada jejak.
Tidak ada hati Sabita ... untuk gue.
****
/S A B I T A/ 🌙
Aku tidak lagi percaya dengan sesuatu yang disebut harapan. Sesuatu yang disebut impian. Sesuatu yang disebut keajaiban.
Karena lewat kepergian Bintang, tidak ada lagi harapan yang bisa aku realisasikan di dunia.
Tidak ada yang perlu aku lakukan. Hingga rasanya tidak ada pilihan lain bagiku selain memasrahkan hidup yang takdir gariskan tanpa banyak bertanya dan tanpa banyak membantah.
Dan takdir yang kusebut disini bisa saja berupa paksaan Ayah yang menyuruhku menekuni bisnis keluarga lebih awal.
Atau berupa sesuatu yang lain yang terlalu kejam untuk kuceritakan sekarang.
“Sori. Udah nunggu lama?”
Aku menengadahkan wajah, hanya untuk bertatap wajah dengan gurat lelah milik seorang gadis muda yang sibuk membawa beberapa peralatan lukis dengan tangannya yang penuh cat. Aku mengulas senyum, lalu memutuskan untuk menggeleng walaupun aku sudah menunggunya cukup lama.
“Belum. Saya baru saja sampai.”
“Hadeh, bagus deh.” Kae menarik sebuah kursi keluar dari meja kecil di kantin fakultasnya. Keadaan kantin saat itu ramai, namun lantas tidak membuat Kae harus repot-repot merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena terlalu lama berkutat dengan kanvas dan kuas. “Maaf. Kerjaan numpuk. Ada project dadakan dan tugasnya banyak banget.” Kae menghela napas, sembari mengangkat tangannya singkat diikuti derap langkah kaki seorang pramusaji yang mendekat. “Lo gak mau pesan apa-apa? Biar gue yang traktir, buat unjungan pertama lo ke universitas surga yang tugasnya kayak neraka.”
Aku terkekeh singkat, merasa lucu karena Kae terus-terusan mengutuk tugasnya tanpa henti. “Saya sudah memesan minuman sebelum kamu datang. Sekarang sudah habis. Terima kasih atas tawarannya.”
“Purnama memang benar.” Kae berpaling setelah selesai menyebut salah satu minuman dari daftar menu. “Lo memang gadis yang aneh.”
“Dia bilang saya aneh?”
“Yoi.” Kae mengangguk singkat. “Tapi gue baru sadar sekarang kalau lo memang beneran aneh.”
“Am I?”
“Lo repot-repot berbohong saat gue bertanya apa lo udah lama menunggu gue atau belum.” Kae mengedikkan bahunya, lalu menuding tatapannya ke arah sepiring lomie yang aku pesan sembari menunggunya datang. “Gak ada orang yang menghabiskan sepiring lomie dalam kurun waktu ‘sebentar’. Apalagi lo juga sempat pesan jeruk hangat. Setidaknya lo perlu menunggu satu sampai setengah jam disini. Analisis gue tepat?”
Aku tersenyum tipis, sembari menyimpan rasa kagum atas kejelian gadis itu. “Sangat akurat.”
“Maaf untuk membuang waktu lo kalau begitu.” Kae menyilangkan kedua lengannya di atas meja. “Lo mau berbicara tentang apa? Gue rasa lo pasti punya alasan yang cukup penting sampai repot-repot nyamperin gue ke kantin fakultas.”
Aku mengangguk sekilas. Kae memang benar. Aku menghubunginya tadi, setelah selesai dengan urusan audisi pianis Purnama. Reaksiku yang terlampau tidak peduli berhasil membuat diriku uring-uringan sendiri. Khususnya setelah semalam, Ayah mengumumkan sesuatu yang berhasil membuatku mengatupkan rahang.
Pengumuman yang membuatku tidak bisa menatap balik ke arah mata Purnama dan memutuskan mengabarinya lewat Kae hari ini.
“Sesuatu tentang impian, sedikit keajaiban, dan masa depan.”
“Hng ... kedengarannya rumit.”
“Not as complicated as you see.” Aku tersenyum muram. “Tapi lebih rumit dibanding apa yang mata kamu lihat sekali pun.”
“Tell me, then. Lo membuat gue penasaran.”
“Sesuatu tentang impian, sedikit keajaiban, dan masa depan,” aku terdiam, “saya memutuskan untuk belajar melepasnya mulai dari sekarang.”
“Belajar melepas apa yang lo impikan bukan sesuatu yang bisa lo pelajari, Sabita.” Kae memiringkan kepalanya. “Mimpi itu untuk lo raih. Bukan untuk lo lepas.”
“Purnama bilang saya gadis aneh dan biarkan isi pikiran saya juga begitu.”
“Lalu, tanpa mimpi, lo akan ngapain di dunia?”
“Saya ... akan menata ulang semuanya.”
“Sorry?”
Aku tersenyum getir, merasakan lidah terasa berat untuk mengatakan sesuatu yang tidak kusangka akan kukatakan. “Saya akan pergi. Mungkin sangat jauh dari sini. Saya akan meninggalkan semuanya. Termasuk sedikit teman yang akhirnya saya punya, impian saya, memori saya, Purnama, dan tentu saja kamu.”
“Ini pasti tentang kematian Bintang, kan?”
Ada nyeri yang merambat saat seseorang menyebut nama itu berulang kali. Namun, aku berusaha terlihat baik-baik saja dengan mengulas senyum yang tak kentara.
“Kepergiannya menyakiti saya lebih dari yang dia kira sebelum memutuskan untuk tidak pernah kembali.”
“Lo gak harus melepaskan semuanya kayak gitu.” Kae menatap ke arahku dengan tatapannya yang sendu. “Bintang mungkin gak pernah berharap lo akan begini setelah memutuskan sesuatu seperti ... sebuah akhir yang mutlak dari hidup.”
“Kalau dunia gak memberi Bintang pilihan, apa ia akan tetap memilih untuk pergi?”
“Dunia tercipta selalu tentang pilihan.”
“Sayangnya di hidup saya, pilihan ada bukan untuk dipilih.” Aku merasakan pahit menyumpal tenggorokkan. “Tapi untuk diratapi sampai akhir.”
“Gue pernah begitu.”
“Pernah apa?”
“Pernah meratapi pilihan yang gue buat sendiri.”
“Hm?”
Kae menatap ke arah kursi kosong di sudut kantin dengan tatapan menerawang. “Purnama mungkin pernah bilang sama lo. Sesuatu seperti apa yang terjadi saat Papa kami tiada.”
“Hm, dia pernah mengatakan sesuatu.” Aku berusaha mengingat. “Kecelakaan beruntun saat Purnama ikut kompetisi piano?”
“Oh, dia benar-benar bercerita, ya.” Kae terkekeh, walaupun tawanya terdengar muram.
“Lalu apa dia bilang sesuatu tentang kenapa kami tidak bisa melihat Papa sebelum pergi?”
“Karena Purnama bersikeras untuk tetap memainkan pianonya sampai akhir?”
“Lebih tepatnya karena Purnama yang bersikeras dan gue yang memutuskan untuk mendukungnya.”
“Kamu—“
“Hari itu gue dihadapkan dengan dua pilihan.” Kae menatap nanar ke arah gelas tehnya yang berembun karena uap dingin. “Memilih antara mendukung mimpi sehidup-sematinya Papa buat lihat putranya jadi pianis atau—“ Kae terdiam sembari berpikir keras. “—atau memilih menyelamatkan nyawanya dulu.”
“Dan kamu memilih pilihan pertama?”
“Gue memilih yang pertama,” ada jeda sedikit sebelum Kae menyambung, “tapi Purnama yang memutuskan untuk menghentikan mimpinya sendiri.”
“Dia merasa piano membuat Papa kalian pergi.”
“Dan lo merasa kalau lo yang membuat Bintang pergi.” Sahutan Kae berhasil menampar pipiku keras-keras. Kae berdecak singkat, lalu menghela napas panjang.“Ha ... dunia ini lucu. Gimana kalian berdua bisa punya garis yang hampir sama.”
“Dunia tidak tercipta dengan lucu.” Aku terkekeh samar. “Dari apa yang kurasakan sekarang, dunia lebih terlihat kejam dibandingkan lucu.”
“My mistake, then.” Kae kembali menegakkan posisi duduknya. “Lalu sekarang, mana yang akan lo pilih?
”
“Sudah saya bilang Ayah saya tidak memberi saya pilihan.” Ada nyeri yang sama di dadaku saat mengingat bagaimana Ayah tidak terlihat terluka dengan kepergian putri sulungnya. Malah memutuskan sesuatu yang kukira tidak akan Ayah pilih jika hatinya sakit akibat kepergian Bintng yang tiba-tiba. “Kalaupun ada pilihan yang ia berikan, berarti pilihan itu adalah mengikuti apa yang Ayah suruh atau ... menuruti apa yang Ayah mau.”
Kae menaikkan satu alisnya. “Itu tidak terdengar seperti sebuah pilihan.”
“Saya sudah mengatakan hal itu pada kamu berkali-kali.”
”Kalau begitu biarkan gue memberikan lo dua pilihan lain.”
“Apa?”
“Pilihan pertama,” Kae menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, “Ikuti apa yang Ayah lo suruh dan mau.”
“Pilihan kedua?”
Kae menaikkan satu alisnya. “Ikuti apa yang hati lo suruh dan mau.”
Aku lantas dibuat membisu.
“Bukan pilihan yang mudah, I know.” Kae manggut-manggut. “Pikirkan aja dulu. Sori tapi gue ada kelas yang harus gue hadiri lagi.” Kae bangkit dari tempat duduknya, lalu meraih kedua tanganku. “Btw, malam ini Purnama akan ada di Pasar Lama. Malam minggu, dia jomblo. Jadi dia akan berburu kuliner disana.”
“Saya tidak bertanya sesuatu tentang Purnama.”
“Hanya sekadar informasi.” Kae nyengir. “Semoga informasinya membantu.”
Aku terkesiap saat tiba-tiba Kae merentangkan kedua tangannya dan memelukku. Tubuhku membeku, walaupun tanganku tetap bergerak untuk balik memeluknya. Cara Kae memelukku membuatku banyak berpikir, apa akan begini jadinya jika Bintang tidak ... pergi? Apa begini cara Bintang memelukku jika aku sempat minta maaf?
Apa begini jadinya jika aku tidak melakukan kesalahan waktu itu?
Kae mengurai pelukan singkatnya, lalu menyempatkan diri untuk tersenyum dan melambai singkat sebelum berlari kelewat cepat meninggalkan kantin. Aku tidak sempat bergerak, membeku di tempat seakan Kae membuat tubuhku terpaku disini. Itu tidak disebabkan oleh pelukan tiba-tibanya yang sempat membuatku kaget. Melainkan pada sebaris kata yang gadis itu bisikkan tepat di samping telingaku sebelum pelukannya terurai.
“Semua pilihan selalu memuat konsekuensi. Daripada repot-repot mikirin pilihannya, bukankah lebih baik kalau memikirkan konsekuensinya jauh-jauh hari?”
****
/P U R N A M A/ 🌙
Satu kalimat yang lebih dari cukup untuk menjelaskan apa yang sedang gue rasakan sekarang adalah;
GUE KESEL BANGET, NYED
Coba bayangin aja, di malam minggu yang cerah dan berbintang kayak gini, Kae malah keliatan sakit mata waktu lihat gue sibuk dengan setumpuk buku-buku pelajaran di atas meja. Ya iya, gue sudah bosan mengulang kalau ada status yang lebih ngenes dari jones, itu adalah gue. Malam minggu versi gue dan Genza dibuat dengan sedikit perbedaan. Jika Genza malam minggu sama manusia, maka gue malam minggu sama buku.
Serupa tapi tak sama.
Sama-sama malam minggu walaupun ditemani dengan objek yang berbeda.
Entah kena kesurupan jin apa, Kae yang gak pernah protes apapun sekalipun gue salto di kamar semalaman kali ini malah memaksa gue pergi keluar rumah. Alasannya kurang masuk akal. Katanya dia mau lihat adik iparnya yang berupa manusia, bukan lembaran kertas bersampul gambar kodok. Gue mengernyit, bingung kenapa Kae bisa bilang adik iparnya adalah buku bersampul kodok yang notabene adalah sampul buku paket biologi saat nyatanya adiknya yang unyu-unyu ini anak IPS.
Mungkin kebanyakan gadoin cokelat bikin Kae mabok.
Tapi, sebagai adik yang baik hati, tidak sombong, tidak serakah, rajin menabung, dan jomblo bahagia ini, akhirnya gue menuruti apa yang Kae suruh. Gue memutuskan untuk pergi keluar rumah, sekadar melihat-lihat apa yang bisa gue lihat dan hirup apa yang bisa gue hirup. Bosan dengan pemandangan dekat rumah, gue memutuskan untuk mengendarai mobil lebih jauh. Kurang dari satu jam kemudian, gue sudah memakirkan mobil di sebuah tempat parkir untuk festival malam di Pasar Lama. Kalau lo mau tahu, Pasar Lama memang hakikatnya sebuah pasar. Banyak penjual sayur mayur dan buah-buahan di pagi hari. Namun di malam hari, tempat ini dipenuhi dengan banyak gerobak makanan beraneka jenis. Lo hampir bisa menemukan semua makanan disini. Entah berupa roti bakar aneka rasa atau singkong goreng tabur cokelat yang Kae gemari setengah mati.
Selesai memakirkan mobil gue dengan mulus, gue berjalan kaki mengelilingi festival malam. Jalanan harusnya gelap, namun keadaan menjadi terang sejak banyak rangkaian lampu kecil dipasang menggantung menerangi jalan setapak. Banyak orang yang berjalan bersama gue di belakang. Kebanyakan memang kaum keturunan Tionghoa yang cukup mendominasi populasi Tangerang atau satu-dua remaja tanggung seusia gue yang baru pulang dari kebaktian remaja di Vihara dekat sini.
Semuanya terlihat menyenangkan, tanpa sekat, tanpa jarak, tanpa pemisah. Semuanya membaur jadi satu. Hingga rasanya gue berharap kehilangan gue atas satu sosok hilang dibasuh keramaian.
Namun justru nyatanya kerinduan itu semakin membuncah saat mata gue bersitatap dengan sebuah food truck penjual es krim. Es krim itu tentu saja biasa. Sesuatu yang tidak biasa adalah karena gue menemukan satu-dua orang lewat memegang es krim cone berlapis lelehan cokelat berwarna hitam pekat.
Sesuatu yang jelas salah karena itu semua membuat kepala gue dipenuhi gadis itu lagi.
Kaki gue melangkah sendiri, mendekati food truck yang dilayani oleh seorang pria paruh baya berwajah ramah yang tak berhenti tersenyum sembari memberikan bermangkuk-mangkuk es krim pada pelanggan yang memesan. Senyum yang sama menyapa gue selang sedetik setelah gue berdiri di bagian pemesanan.
“Mau beli rasa apa, Nak?”
Mata gue memindai cepat daftar menu yang ditulis di sebuah papan dengan kapur warna-warni. Ada berbagai macam varian es krim dengan berbagai macam warna. Tidak hanya warna hitam, beberapa warna mencolok lainnya juga ditampilkan dalam bentuk foto berikut dengan varian rasanya. Entah dengan warna merah menyala untuk rasa red velvet hingga biru langit untuk rasa bubble gum. Tidak butuh waktu lama bagi mata gue untuk terpikat dengan satu foto yang menunjukkan es krim yang sama yang dibawa beberapa orang tadi. Gue membaca varian rasanya dengan hati-hati, takut salah menyebutkan hingga gue gak mendapatkan es krim hitamnya Sabita.
“Black chocolate conenya satu, tolong.”
Sumpah demi apapun, sejak kapan membaca dalam hati bisa menimbulkan suara?!
Leher gue terasa kaku, namun dengan gerakan terpatah diikuti dengan mata gue yang melotot horor, gue menoleh ke belakang hanya untuk dibuat terkejut setengah mati.
“Oh, selamat malam, Purnama.”
Gue gak bisa berkedip, sekalipun angin malam dan asap tukang sate kambing yang berkibasan tepat di sebelah gue membuat mata gue terasa perih. Sesaat, gue mau mengangkat wajah dan nabok pipi gue sendiri—untuk memastikan kalau gue tidak sedang bermimpi—namun urung setelah seseorang di hadapan gue menyahut lebih dulu.
“Saya tahu kamu kaget. Tapi tidak perlu menampar pipi kamu juga. Hasilnya pasti sia-sia.”
“LO BENERAN SABITA ASTAGAHHHHH!!”
Orang itu—yang sebenarnya adalah Sabita—meringis sembari menutup kedua telinganya. Pekikan gue berhasil menarik perhatian beberapa orang, membuat segelintir manusia menatap heran ke arah kami—atau khususnya hanya pada gue yang dikira orang sinting karena teriak-teriak di tengah festival kayak Tarzan.
“Jadi mau pesan apa, ya?” Suara pria pemilik food truck itu membuat perhatian kami teralih. Sabita tersenyum tipis, lalu meraih buku menu berbentuk lembar kertas laminating yang diletakkan di dekat mesin kasir.
“Chocolate black conenya dua,” katanya sembari menunjukkan varian rasa lewat buku menu.
Pria paruh baya itu mengerti, lalu memproses pembayaran dan dalam waktu singkat, kami sudah memegang dua cone es krim yang persis sama.
“Kok kayaknya es krim kamu warnanya lebih hitam, ya.” Sabita menyerukan protesnya sesaat setelah kami memutuskan untuk duduk di kursi-kursi kecil di depan food truck.
“Kita pesan varian yang sama, Sabita.”
“Iya, memang sama tapi saya lihat punya kamu kok lebih hitam, gitu.”
Gue berdecak pasrah, lalu mengulurkan tangan untuk meraih cone es krim Sabita dan menukarnya dengan es krim gue.
“Hehehe ... terima kasih.”
“Lo mau ngomong apa?”
Sabita mengangkat wajahnya. “Saya datang ke festival bukan untuk mengobrol sama kamu.”
“Mendatangi gue di tempat seterbuka ini dan menyapa gue bukan sesuatu yang bisa lo lakukan tepatnya jika lo gak berniat bertemu dengan gue.”
“Kalau dipikr-pikir kita tidak pernah sedekat ini di sekolah.”
“Penyataan yang tepat adalah lo terlihat menjauhi gue belakangan ini.”
“Tentang saya yang pergi setelah kamu diyatakan sebagai pemenang audisi, saya kira itu bukan sebuah tindakan menghindar dari kamu.”
“Gue kira lo punya sedikit rasa peduli sama gue.”
Sabita terkesiap. “Saya punya rasa peduli sama kamu. Like a lot.”
“Yang gue rasakan belakangan ini justru sesuatu yang bertolak belakang dari apa yang lo bilang.”
Sabita menunduk dalam. “Maaf.”
Gue berdecak pendek. “No need to apologize.”
“Tapi kamu memang benar.” Sabita kembali mengangkat wajahnya yang dialiri raut sendu. “Saya sengaja menghampiri kamu. Bukan karena tentang audisi. Tapi tentang ... sesuatu yang akan terjadi kedepannya.”
“Lo membuat gue berfirasat gak enak.”
Sabita kembali menunduk, lalu berkata dengan suara mencicit. “Seminggu lagi saya akan pindah sekolah.”
Gue langsung melotot, hingga tak sadar cone es krim gue jatuh dramatis ke tanah ketika mendengar apa yang Sabita bilang. “Pindah di tengah tahun ajaran? Gimana bisa?!”
“Ayah saya memproses semuanya, bahkan ke hal detil tentang alasan apa yang akan saya pakai untuk masuk ke sekolah baru di tengah tahun ajaran.” Sabita menatap ke arah es krimnya yang mulai mencair. “Maaf.”
“Lo minta maaf karena mau pindah?”
“Bukan.” Sabita menggigit bibirnya. “Saya minta maaf karena ... mengecewakan kamu.”
“Daripada mengecewakan, gue lebih merasa sakit hati.”
“Maaf.”
“Kalau kata maaf bisa dimakan, gue pasti sudah kenyang sekarang.” Gue menghela napas panjang, berhasil merasakan denyut nyeri yang menjalar di sekitar kepala dan dada gue. Ada segumpal rasa pahit yang gue rasakan di tenggorokkan, namun masih lebih baik daripada rongga yang gue rasakan di hati. “Lo memang senang menorehkan banyak luka, ya.”
“Ayah menyuruh saya sekolah di tempat yang lebih baik. Di tempat dimana saya bisa diajarkan lebih cepat tentang bagaimana menjadi pemimpin perusahaan seperti yang Ayah inginkan.”
“Dan lo gak mau menolak.”
“Saya selalu mau!” Mata Sabita memerah saat ia membentak. “Tapi saya ... tidak bisa.”
“Lo senang membuat gue sakit.” Gue terdiam saat Sabita menunduk. “Melihat lo gak hidup setelah Bintang pergi adalah sebuah pisau yang nusuk diri gue setiap hari. Sekarang apa? Lo memutuskan untuk meninggalkan semuanya? Mau mengirim banyak pedang buat menusuk gue sekarang?”
“Kamu gak tahu rasanya!”
“Gue tahu! Gue sangat tahu! Bokap gue meninggal karena gue. Gue membuat dia meninggal dalam kesendirian. Apa itu yang lo bilang kalau gue gak tahu ... apapun.”
Sabita menatap gue dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. “Dua orang yang terluka gak bisa sama-sama.”
“Lo yang terluka. Luka gue sudah sembuh.”
“Sebuah paku yang dipantek di dinding akan meninggalkan bekas saat dicabut.”
“Gue sudah mengganti dinding gue dengan dinding yang baru.”
“Tapi kamu tidak membuang dinding yang lama.” Sabita mengepalkan tangannya. “Di waktu luang, kamu akan melihat dinding lamanya lagi. Lalu meratap tentang bagaimana caranya membuat bekas itu hilang.”
Gue terkekeh muram. “Gak ada cara untuk menambalnya, kan.”
“Ini adalah apa yang seharusnya terjadi.” Sabita menatap kosong ke arah langit malam yang muram. “Ini adalah bagaimana caranya saya dengan rela mengganti dinding berbekas dengan dinding baru. Meninggalkan semuanya, memulai dinding baru tanpa cacat. Ini adalah apa .. yang seharusnya saya lakukan sekarang.”
“Lo bahagia dengan kayak begitu?”
“Saya bisa lebih bahagia dari sekarang.”
Gue merasakan nyerinya semakin menjadi. “Gue gak punya alasan lain untuk menahan lo, kalau begitu. Kebahagiaan lo adalah akhir dan alasan yang mutlak.”
“Maaf.”
Hari itu adalah sebuah akhir. Titik dari sebuah kalimat. Tamat dari sebuah kisah. Tidak ada koma. Tidak ada kata sambung. Semuanya berhenti. Berakhir. Tidak ada yang perlu dilanjutkan.
Semuanya selesai.
Hari itu, gue kehilangan banyak hal. Pribadinya yang aneh. Senyumnya yang kelewat tipis. Tingkahnya yang serba kaku. Gue kehilangan semuanya. Semua tentang apa yang bisa gue dapat sejak gadis itu memberi krayon baru atas warna monokrom yang gue punya.
Semuanya bukan berakhir karena gadis itu berkata akan meninggalkan semuanya.
Melainkan kepada sebaris kalimat kelewat singkat di sebuah sticky notes hitam tertempel suram sesaat sebelum gadis itu pergi meninggalkan kenyataan dalam kebisuan.
Aku pergi.
-🌙
****
A/N: Yoyoyyyy ... Sabita pergi hayoloh. Gimana lohh.. 😂😂 3 part dan satu epilog yas gaysss .. bertahan!!!!
BAYS!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro