Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

/25. (2)/: Purnama dan Dia yang Pergi

Purnama tidak ingat ia pernah melihat seseorang menangis karena sebuah kehilangan.

Terakhir kali Purnama berusaha mengingatnya, kepalanya malah menampilkan apa yang Kae dan Mama lakukan saat dokter berkata kalau usaha penyelamatannya tidak membuahkan hasil. Kae menangis tanpa henti, sembari merangsek masuk ke arah ruangan perawatan Ayah dan memukul pria itu berharap ia segera membuka mata dan memarahi Kae seperti apa yang biasanya terjadi. Namun nyatanya, Papa tidak pernah membuka mata, apalagi bangun untuk memarahi gadis itu.

Sejak hari yang selalu ingin laki-laki itu hapus dari ruang memorinya itu, Purnama tidak pernah berusaha kembali mengingat apa yang terjadi setelahnya.

Namun saat melihat apa yang Sabita lakukan sesaat setelah menonton acara breaking news salah satu jaringan televisi swasta, kepalanya mau tidak mau menampilkan bayangan tangisan Kae dalam benaknya. Purnama terperangah saat Sabita bangkit secepat kilat sembari menghamburkan diri menuju kerumunan orang di luar kedai. Laki-laki itu bingung, namun jelas masih memiliki kesadaran untuk mencabut selembar uang pecahan seratus ribu dari dalam dompetnya dan meletakkannya buru-buru di atas meja sebelum ikut berlari menyusul langkah gadis itu.

Purnama harus dibuat menoleh kesana-sini saat tidak melihat Sabita dimanapun, namun mengikuti instingnya—dimana ia ikut melihat seseorang bergumam jengkel kalau ada gadis tidak waras yang berlari seperti tengah dikerjar harimau—laki-laki itu berbelok kiri dan kembali dibuat heran saat melihat gadis itu tidak ada dimana pun. Purnama harus terdiam beberapa saat, sebelum matanya yang awas melihat keadaan sekeliling membuat ia tidak segaja melihat pakaian hitam famliar milik gadis itu.

Purnama lantas dibuat berlari, berusaha menyusul langkah tak karuan gadis itu yang terus berlari tanpa jeda. Hanya butuh waktu sedikit bagi Purnama untuk menyamakan langkahnya, dibuat menahan lengan Sabita hingga gadis itu berbalik dengan eskpresi yang membuat hati laki-laki itu tercubit.

Pipi gadis itu sudah dipenuhi air mata, hingga rasanya Purnama tidak bisa membayangkan berapa banyak air mata yang gadis itu tampung sampai menangis sehebat itu. Bibirnya bergetar tak terkendali, menyiratkan kalau gadis itu hampir dibuat kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Mata gadis itu tidak lagi setenang telaga, melainkan berontak seperti ombak hebat dalam samudera maha luas. Purnama terkesiap, sebelum akhirnya cekalan tangannya berhasil Sabita lepaskan dalam satu hentakan keras. Tanpa mengulur waktu, gadis itu kembali berlari tanpa menunggu Purnama sadar atas apa yang sedang terjadi.

Laki-laki itu melepaskan satu makian ke udara, lalu kembali berlari menyusul Sabita yang sudah jauh berada di depan. Nafasnya terengah, namun tidak butuh waktu lama bagi Purnama untuk kembali menyamakan langkah. Kali ini Purnama belajar dari kesalahan, ia menahan lengan Sabita kuat-kuat, tidak mau gadis itu kembali berlari saat ia lengah. Hal itu berhasil, membuat Sabita kembali berbalik dengan ekspresi marah di wajahnya.

“Lepasin!”

“Lo kenapa, sih? Kenapa lari kayak orang gila kayak gitu? Gak tahu banyak orang yang lo tabrak daritadi?”

“Kamu tidak perlu tahu! Lepasin tangan saya!”

Purnama menggeleng tegas. “Gak akan kalau lo gak mau jelasin apa yang terjadi.”

Sabita bersikeras tetap diam. Tangannya mulai berani, melakukan segala usaha untuk melepaskan cekalan tangan laki-laki itu. Mulai dari menariknya paksa atau bahkan mencakar lengannya. Sabita tidak peduli. Yang ada di pikirannya adalah bagaimana cara untuk menyelamatkan Bintang secepat yang ia mampu.

Namun sama halnya seperti Sabita, Purnama juga tidak menyerah. Laki-laki itu menahan segala rasa sakit dari lengannya yang terus ditarik paksa. Melihat Sabita dengan keadaan sehancur itu menyakitinya lebih dari apa yang gadis itu sakiti dari lengannya.

“STOP IT, SABITA!”

“LEPASKAN TANGAN SAYA, BRENGSEK!”

Purnama terperangah, namun tidak membuat ia lantas lengah. Purnama mengeratkan cekalan tangannya, membuat Sabita kembali melakukan tindakan berontak. “Jelasin sama gue apa yang terjadi!”

“BINTANG!” Sabita berteriak, mengundang tatapan heran beberapa orang hingga ada beberapa yang menyempatkan dir untuk berhenti dan menatapnya dengan alis tertaut. “DIA ADA DI MUSEUM YANG RUNTUH ITU! SAYA HARUS MENYELAMATKANNYA! DENGAR?!”

“Lo itu gila atau sinting, sih?!” Purnama menggeram frustasi saat mengingat sesuatu tentang museum yang runtuh di televisi. “Museum itu ada di tepi kota! Lo mau lari sampai sana?! Lo akan mati di jalan dengan cara lari kayak gitu, dengar?!”

“Saya tidak menyuruh kamu menceramahi saya!” Sabita berontak, namun tidak berhasil membuat cekalan tangan Purnama lepas. “LET ME GO!! KAMU ITU TULI, HAH?!”

Purnama tidak peduli, entah kepada segudang kata kasar yang terus Sabita lontarkan atau pada tangannya yang terluka akibat cakaran tanpa sengaja gadis itu. Purnama tetap tidak peduli, satu-satunya yang laki-laki itu lakukan setelahnya adalah memesan sebuah taksi yang dalam hitungan kurang dari dua menit sudah sampai tepat di hadapannya.

Tanpa banyak bicara, Purnama langsung menggendong Sabita, memaksanya duduk di kursi penumpang yang mengundang tatapan heran supir mobil itu seakan dia adalah pelaku penculikan terhadap perempuan gila yang tak henti-hentinya menangis.

“Tell him where we should carry you to.”

Sabita kelihatan panik, namun dengan suara tergagap berhasil menyebutkan serangkaian nama jalan secara terperinci yang segera dipahami sang supir. Dalam hitungan menit yang terasa amat lama—diwarnai dengan makian beruntun Sabita untuk menyuruh sang supir menerobos lampu merah atau menancap gas lebih dalam—akhirnya Sabita turun dengan brutal tanpa mengindahkan mobil yang belum berhenti sempurna. Purnama lantas harus meminta maaf berkali-kali dan memberi sejumlah uang lebih.

Mobil itu belum lagi berputar jalan ketika laki-laki itu harus dibuat tergagap melihat apa yang terjadi hadapannya. Dibandingkan Purnama, Sabita lebih syok. Tubuh gadis itu langsung luruh. Lututnya langsung mencium jalan kasar dengan telak saat  melihat betapa mengenaskannya keadaan bangunan dimana seharusnya saudarinya berada.

Purnama tidak bisa menyebut ada bangunan yang berdiri di depannya. Semuanya hancur, lebur bersama harapan Sabita yang terkikis saat melihat tidak ada kemungkinan orang yang terjebak disana akan keluar dengan selamat. Semua pondasi bangunan itu roboh, menyatu dengan tanah lapang yang dibuat sebagai jalan setapak penghubug bangunan dengan jalan. Tidak ada lagi yang masih bisa diselamatkan dari bangunan itu.

Kerumunan orang semakin membanyak, diperparah dengan suara riuh beberapa orang yang lewat atau sirine mobil pemadam kebaran sebagai pelaksana evakuasi. Sabita terperangah saat melihat beberapa orang yang digotong tandu masuk ke dalam mobil ambulance, beberapa masih sadar dan mengerang sakit akibat luka yang diderita dan sebagian lainnya terbaring tak sadarkan diri dengan perban luka dimana-mana. Sabita kembali kehilangan kesadarannya. Purnama langsung refleks mengerjar langkah membabi-buta gadis itu yang segera mendekat ke arah sesosok wanita yang Purnama kenali sebagai salah satu gurunya di sekolah.

“BINTANG ADA DIMANA?!”

Guru perempuan itu mengernyit heran, sekaligus terkejut karena Sabita tiba-tiba muncul tanpa bekas luka sedikit pun padahal seharusnya luka paling ringan yang mereka derita adalah sebentuk luka kecil di kepala.

Penampilan Sabita yang bersih dari luka membuat guru itu membisu, namun membuat Sabita semakin kehilangan kewarasannya.
“DIMANA?! JAWAB SAYA DIMANA?!”

Guru itu tetap diam. Sabita memaki keras, tidak puas dengan tindakan guru itu membuat Sabita langsung membelah kerumunan yang mengelilingi garis polisi. Purnama hampir kelimpungan dibuatnya dan sekiranya Sabita bisa saja berlari brutal memotong garis polisi jika saja lengan laki-laki itu tidak menahan Sabita lebih dulu.

“Berhenti, Sabita. Berhenti!”

“BINTANG ADA DI DALAM DAN SAYA HARUS BERHENTI?!”

“Lo harus kembali waras.”

“SAYA MASIH WARAS, BRENGSEK!!! LEPASIN TANGAN SAYA!!!!”

Purnama tetap bersikeras dengan pendiriannya, kali ini memeluk Sabita erat-erat walaupun gadis itu terus berontak. “Percaya sama gue dia gak ada disitu.”

“Dia bilang sama saya dia akan kesana! DIA BILANG SAMA SAYA DIA AKAN KESANA!”

Purnama berdecak frutasi, lantas harus dibuat sedikit menunduk, menyamakan tinggi matanya dengan Sabita sembari memegang kedua bahu gadis itu erat-erat. "Tatap mata gue dan bilang kalau lo percaya sama gue."

"LEPASIN!!"

"Tatap mata gue dan bilang lo percaya sama gue. Percaya kalau Bintang gak ada disana. Bintang selamat. Entah dia di rumah sakit atau dia justru menunggu lo menemuinya di ruang perawatannya. Dia sudah selamat. Percaya sama gue dia gak terjebak disana."

Air mata Sabita tidak bisa berhenti mengalir. "Bintang takut gelap, Purnama. Dia tidak akan suka terjebak dalam bangunan itu. I HAVE TO SAVE HER!!" Leher gadis itu tertoleh ke arah bangkai bangunan, lalu berseru keras seperti orang yang kewarasannya sudah hilang. "BINTANG AKU SUDAH MEMBELIKAN LAMPU TIDUR BARU BUAT KAMU!!!! AKU AKAN MENYALAKANNYA SUPAYA KAMU TIDAK LAGI DISEKAP GELAP!!"

"Sabita,"

"Lihat? Bintang akan kembali. Dia pasti akan kembali. Dia hanya lupa dimana pintu keluar museum." Sabita menggeleng tegas, sembari menunjuk ke arah pintu besar yang keadaannya sudah tidak lagi utuh. "Bintang tidak bisa tidur dalam gelap. Dia akan kembali. Disini terang. Dia tidak akan terjebak disana." Sabita tergugu, lalu matanya menatap dalam ke arah mata hitamnya Purnama. "Iya, kan? Dia akan kembali, bukan?"

Purnama tersentak, merasa tidam yakin karena batinnya juga dirayapi ketakutan yang sama. Pelan, laki-laki itu mengangguk, membuat Sabita tersenyum getir dan kakinya tidak mampu lagi berdiri.

Gadis itu terduduk di tanah penuh debu. Mengabaikan tatap heran orang banyak karena melihat seorang gadis yang terduduk di tengah bangunan roboh dengan tatapan kosong penuh senyum. Sabita tidak menunggu seseorang menyelamatkan saudarinya.

Sabita menunggu Bintang
datang dan memeluknya seperti ia baru saja pulang dari kunjungannya ke museum seperti apa yang gadis itu bilang pagi tadi.

Lalu dalam diam, air mata Sabita kembali tumpah. Bersama puluhan tandu yang petugas evakuasi bawa dalam menyelamatkan korban. Dalam kemungkinan yang berharap bisa menemukan wajah Bintang dari segelintir kecil orang yang menederita luka ringan. Bersama deru mesin alat berat yang memindahkan beton-beton bangunan. Dalam kemungkinan yang berharap Bintang akan melambaikan tangannya gembira dari balik runtuhan itu seperti ia baru saja berhasil ditemukan saat bermain petak umpet.

Namun nyatanya, selama apapun Sabita menunggu, Bintang tidak pernah terlihat.

Karena bersama air matanya yang tumpah, sebuah nafas terbatuk gadis yang sama terhela disana.

Kali ini Sabita tidak tahu, apa nafas itu adalah nafas terakhir, atau justru nafas perdananya di dunia yang terlalu kejam untuk tetap ia tinggali.

*****

Sabita tidak pernah berpikir dia akan kembali menjadi salah satu orang malang yang harus menunggu harap-harap cemas di koridor rumah sakit.

Setelah petugas evakuasi berhasil menyapu jejak demi jejak korban yang kemungkinan tertinggal dalam reruntuhan bangunan, semua orang yang mengeluh salah satu anggota keluarganya hilang setelah kabar terakhir yang mereka dengar adalah tengah berada di sekitar lokasi kejadian harus dibuat menunggu kabar pasti lewat keterangan pihak rumah sakit.

Sabita sempat berontak saat Purnama meminta gadis itu ikut ke rumah sakit karena nama saudarinya masuk dalam daftar orang hilang dalam insiden itu. Namun setelah Purnama berhasil meyakinkannya, gadis itu menurut untuk teruduk di koridor rumah sakit untuk berjam-jam kedepannya sampai sekarang.

Sabita sudah mengabari Ayah, tentang bagaimana Bintang bisa berada di museum dan bagaimana namanya masuk ke dalam sebagian besar orang yang identitasnya harus diidentifikasi. Sabita tidak mengerti, tapi dibandingkan orang yang seharusnya paling panik, Ayah justru datang dengan setelan jas rapinya ke rumah sakit. Seakan mendapat kabar kalau salah satu anaknya sedang ancaman kematian adalah sebuah kabar biasa seperti saat melihat bangkai tikus di jalan.

Sabita tidak mengerti tapi kemudian ia mulai menyimpulkan kalau Ayah ... tidak peduli sama sekali pada Bintang.

"Lo kembali melamun."

Sabita tersentak saat merasakan satu sentuhan dingin di atas kepalanya. Gadis itu menoleh, hanya untuk mendapati Purnama yang menempelkan sekaleng susu dingin di atas rambutnya yang kotor penuh debu. Laki-laki itu menyodorkan kaleng susu, yang lantas diterima Sabita tanpa basa-basi.

"Saya hanya berharap kalau Bintang bukan salah satu dari mereka."

Purnama membuka tutup kalengnya dalam satu tarikan kuat. "Itu sebabnya kenapa kita duduk disini. Memastikan kalau nama Bintang tidak akan terpanggil sebagai salah satu korban yang sudah diidentifikasi."

Sabita terdiam.

"Kenapa?"

"Kamu ... tidak bohong, kan?"

Purnama mengernyit. "Tentang apa?"

"Tentang ... Bintang pasti baik-baik aja."

"I'm told you to and you have to believe me."

Sabita menghela napas, merasakan sesak di dadanya semakin menjadi-jadi. "Saya hanya ... merasa kalau orang manapun yang tertimpah bangunan itu tidak akan keluar dengan selamat."

"Your sister is unique. Dia bukan orang manapun yang akan mengalami nasib serupa."

"Kamu ... seyakin itu?"

"Hm. Why not?"

Sabita memutar kaleng susunya gelisah. "Karena katanya saudara kembar punya sinyal tersembunyi yang hanya kami yang tahu."

"So? What message is it?"

"Katanya ... Bintang dalan bahaya."

Purnama terdiam. "Kalau begitu sinyal lo rusak. Wanna try my own signal?"

"Hm?"

Purnama memejamkan matanya serupa seperti orang bersemedi. Lalu tak berapa lama kemudian, laki-laki itu kembali membuka matanya. "Sinyal gue bilang Bintang baik-baik aja."

"Kenapa begitu? Kamu bahkan tidak punya hubungan darah dengan kami."

"Kenapa harus punya hubungan darah?" Purnama terkekeh. "Gue barusan tanya sama langit. Katanya ... bintang baik-baik aja, kok. Cuma katanya, langit hari ini sepi. Gak ada bulan disana. Jadi gue bilang kalau bulannya hari ini cuti kerja dulu. Lagi nunggu kepastian di rumah sakit."

Sabita akhirnya berhasil tergelak. "Terus? Langitnya kasih izin gak?"

"Kasih, dong." Purnama tersenyum. "Karena gue bilang purnama gak mau bikin sabit sedih lagi. Purnama harus bikin sabit kerja besok dan bikin langit malam gak lagi mendung."

Sabita tersentak, lalu seulas senyum terbit di bibirnya. "Makasih, ya, Purnama."

"Buat apa? I'm do nothing for you."

"Buat ... semuanya."

"Kalau gitu gue juga harus bilang makasih sama lo."

"Buat?"

"Buat bilang makasih sama gue."

Sabita tergelak keras, sebuah tindakan yang salah karena keadaan tengah mengharu-biru di koridor. Namun, Sabita tidak peduli. Ia hanya merasa ... amat bersyukur. Dunia memberinya jalan baru yang harus ia lalui saat jalannya runtuh.

Sabita hanya merasa ... ia tidak pernah merasa selepas ini sebelumnya.

Perhatian orang-orang yang terduduk di koridor beralih kepada suara derap langkah kaki orang-orang berjas dokter. Sabita langsung refleks berdiri saat salah satu dari mereka kelihatan membawa berkas berisi nama-nama korban.

Tidak ada suara yang timbul, bahkan suara angin pun tak mampu menembus ruang harapan mereka. Seorang pria berseragam polisi membawa sebuah proyektor dalam bisu. Mengetikkan serangkaian data melewati laptop dan memproyeksikannya di dinding putih rumah sakit.

Hanya butuh sekian detik bagi Sabita menahan nafas saat membaca apa yang tertulis sebagai judul proyeksi itu.

DAFTAR NAMA KORBAN TERIDENTIFIKASI RUNTUHNYA MUSEUM ANTARIKSA.

Keterangan: Jumlah korban meninggal: 23 jiwa.

Teridentifikasi: 19 jiwa.
Tidak teridentifikasi: 3 jiwa.

Suara riuh terdengar saat mereka semua mampu membaca apa yang terproyeksikan di dinding putih rumah sakit. Sebagian orang berkerumun, berjejalan membelah antrian untuk memastikan apa nama salah satu sanak saudara mereka masuk dalam daftar.

Namun, Sabita tidak butuh hal itu.

Karena tepat di nomor pertama daftar nama korban, nama seseorang yang familiar bisa ia lihat dari tempatnya berdiri.

1. Sabita Karesnya Hadikarta. Umur 16 tahun. Luka tertimpah reruntuhan. Teridentifikasi lewat kartu pelajar dalam dompet. Keterangan: meninggal di tempat.

Keterangan: Meninggal di tempat.

Sabita refleks menggeleng tak percaya. Gadis itu berbalik, menatap ke arah Purnama yang membisu.

"Ini ... gak nyata kan?"

"Sabita,"

"Kamu bilang Bintang baik-baik aja, kan?" Jari Sabita bergetar hebat saat menunjuk ke arah dinding proyeksi. "Lalu, kenapa namanya bisa ada disana?"

"Sabita,"

Gadis itu membentak. "I'M DREAMING!!!!!!" Sabita membenturkan kepalanya ke tembok. "WAKE UP!!!! WAKE UP!!! PLEASE WAKE ME UP!!!!"

Purnama melotot kaget. "Sabita!"

Sabita balik menatap Purnama tajam. "You! Wake me up. Do everthing to wake me up!"

"Sabita lo gak--"

Terlambat, Sabita lebih dulu berlari kesetanan ke arah salah satu pria berjas putih yang memandang sendu ke arah laptop yang menyala. Gadis itu menerjangnya, menyudutkannya ke tembok dan meraih kerah jasnya yang lebar.

"Data itu, Anda berbohong, kan?"

Dokter itu membisu karena terkejut.

"ANDA BOHONG KAN?! KATAKAN PADA SAYA SEMUA INI BOHONG!!!!!"

"Maaf, Nona. Tapi indentifikasi itu sudah sesuai dengan--"

"Saya anak konglomerat." Sabita mendesis sinis, berhasil membuat semua orang terdiam. "Kamu tahu Argino Hadikarta? Saya yakin ponsel Anda pun hasil produksi perusahaan kami. Dia Ayah saya. Kami punya banyak uang. Bangunkan pasien di nomor urut satu itu dan saya akan memberikan semua yang Anda mau."

"Maaf, Nona. Tapi--"

"Masih kurang? Saya akan menyuruh Ayah saya berbagi saham dengan Anda jika kamu berhasil membangunkan dia!"

"Nona, dengarkan saya du--"

"SAYA AKAN BERI SEMUA YANG SAYA PUNYA ASAL BINTANG BISA HIDUP LAGI!!!!"

"Tapi itu tidak mungkin!" Sabita tersentak saat dokter berkaca mata itu ikut membentak. "Daftar korban ini disusun sesuai dengan keadaan luka terparah. Pasien nomor satu itu ... tidak bisa diselamatkan. Hampir sebagian dari tubuh pinggang ke bawahnya tertimpa reruntuhan. Kami hampir tidak bisa mengenalinya jika sebuah dompet dengan kartu pelajar ditemukan di saku celana dan kamu mencocokkannya dengan wajah korban lewat bantuan alat khusus."

"Ha-hasilnya?"

Dokter itu tersenyum sendu. "Hasilnya cocok."

Sabita menggeleng tegas, lalu sbeuah jerita histeris lolos dari mulutnya. "ANDA BERBOHONG!!! SAYA TAHU ANDA BERBOHONG!!!"

Dokter itu terdiam, lalu tanpa bicara apapun masuk kembali ke ruangannya. Sabita jelas tidak suka, ia hampir membuat dokter itu terjatuh dengan tangannya yang hampir menarik jas putihnya jika saja Purnama tidak bertindak lebih dulu.

Laki-laki itu memeluknya sangat erat, hingga Sabita kehilangan kekuatannya untuk berontak. Tubuh gadis itu tidak bertenaga, pasrah membiarkan hatinya robek seperti kertas yang terbagi dua. Purnama memeluknya tanpa jeda, hingga pelan-pelan kesadaran gadis itu hilang dalam dekapnya yang nyata.

"Maaf."

Maaf itu satu kata. Namun kali ini, Purnama mengartikannya dalam banyak hal.

Maaf untuk membuat Sabita kecewa malam ini.

Maaf untuk bersikap sok kuat padahal ia sendiri tidak yakin.

Maaf karena membuat gadis itu menguras terlalu banyak air mata.

Maaf karena ia harus membuat Sabita tertidur di tempat yang tidak nyaman.

Maaf karena langit ... kadangkala sering berbohong.

****

A/N: gatau mau komen apa.

Ya udah.

Bay.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro