/24/: Sabita dan Sebuah Kesalahan
/S A B I T A/ 🌙
Bunda selalu bilang kalau pertemuannya dengan Ayah bertahun-tahunn lalu adalah jenis pertemuan klasik yang berakhir bahagia. Aku pernah merasa kalau mereka hidup dalam sinetron, dimana seorang gadis pendiam yang hampir tidak dikenali siapapun mendadak harus berhadapan dengan seorang laki-laki kaya yang mudah marah. Bunda selalu bilang kalau Ayah dulu adalah orang yang mudah sekali merasa kesal akan sesuatu. Entah karena nilai ulangannya yang jelek atau saat hari itu bekal makan siangnya dibawa Bunda akibat tas mereka yang sama persis.
Bunda selalu bilang kalau Ayah adalah sosok yang luar biasa.
Ayah adalah sosok keras kepala yang setia menemani Bunda bahkan sampai dunia memisahkan mereka lewat kematian yang abadi. Bunda bilang kalau semasa sekolah, Ayah seringkali membantu Bunda dalam kesulitan, walaupun cara yang digunakan masih dengan lagak sok marah-marah mempertahankan harga diri.
Sekali lagi Bunda selalu berkata, kalau Ayah adalah sosok yang luar biasa.
Namun, jika Bunda bisa melihatku dari atas sana. Bisa melihatku dari tempatnya yang indah, bisakah Bunda jabarkan darimana aku harus melihat sisi luar biasa Ayah sekarang ini?
"Ayah rasa kamu punya telinga dan jawab pertanyaan Ayah!"
Aku refleks memejamkan mata entah untuk yang keberapa kali sejak Ayah membawaku pulang ke rumah dengan tatapan dinginnya yang menusuk. Ayah tidak berbicara satu kata pun saat kami duduk bersebelahan di mobil yang sama. Pria itu terus saja membisu, walaupun raut wajah kecewanya tidak kunjung luntur. Aku tidak pernah membuat Ayah semarah itu, hingga kupikir--dilihat dari bagaimana diamnya Ayah selama kami duduk berjarak dua jengkal--kemarahan Ayah akan reda seiring waktu yang berjalan hingga fajar menjemput.
Namun, nyatanya aku salah karena Ayah membisu di mobil untuk melontarkan segala kekesalannya di rumah.
"Ayah sudah capek memperingati kamu, Sabita. Kamu tidak mengerti juga?" Ayah memijit batang hidungnya, sembari menatap ke arahku yang tertunduk menggunakan sepasang mata cokelatnya yang tajam. "Jawab pertanyaan Ayah! Apa kamu tidak mengerti juga?!"
"Aku mengerti."
"Lalu kenapa kamu masih ikut kompetisi itu? Kenapa?! Bukankah Ayah sudah bilang untuk berhenti menari? Bukankah Ayah sudah bilang kalau kamu perlu berhenti menjadi orang konyol?!"
Dahiku semakin berkeringat, namun tidak langsung membuat keberanianku luruh. "Bunda selalu bilang kalau menari bukan sesuatu yang pantas disebut konyol."
"Bunda lagi, Bunda lagi, Bunda lagi." Ayah berdecak kesal. "Bundamu itu sudah tiada! Bundamu itu sudah hilang! Bisakah kamu berpikir kalau tarianmu juga begitu? Tiada dan hilang? Bisa?!"
"Bunda tidak pernah tiada. Bunda tidak pernah hilang."
"Oh, begitu? Lalu? Siapa yang bertahun-tahun lalu tubuhnya terkubur dalam timbunan tanah dalam upacara kematian? Lalu, siapa nama wanita yang tertulis dalam surat keterangan kematian di meja Ayah? Siapa?!"
"Bunda memang meninggal, namun dia tidak pernah hilang. Bunda tidak pernah tiada." Aku menggertakkan gigi, berusaha meredam emosiku yang hampir meluap hanya karena Ayah menyebut Bunda sudah hilang. "Bunda hidup dalam tubuhku, dalam tarian terakhirku, dalam tubuhnya Bintang, dalam petikan gitarnya, dalam mata hitamnya Purnama, dan--" aku memberanikan diri menatap balik mata Ayah, "--dalam hati Ayah yang sekeras batu."
Plak!
Satu tamparan keras lagi mendarat di pipiku. Aku tidak lagi merasa terkejut. Ayah sudah dalam tingkatan emosinya yang teratas. Pria itu kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Kehilangan kendali untuk sadar kalau semua yang baru saja kuucapkan adalah sebentuk fakta yang tidak mau Ayah akui.
"Kamu ingat apa yang membuat Bundamu pergi? Itu salah kamu, Sabita! Itu salah kamu!" Ayah berkata dengan nada tinggi yang membuat sebagian dari hatiku teriris. "Apa yang akan terjadi jika hari itu kamu tidak merengek seperti orang sakit jiwa untuk menyuruh Bundamu menonton kompetisi tarimu yang konyol itu? Apa yang akan terjadi?! Apa dia akan kecelakaan? Tidak! Apa dia akan meninggal? Tidak! Apa kamu akan hidup tanpa seorang Ibu? Tidak!"
"Jika hari itu aku tidak merengek, apa Ayah akan tetap melakukan ini pada mimpiku?"
Ayah memukul meja tamu keras-keras. "Berhenti bicara soal mimpi! Kamu tidak butuh mimpi untuk hidup. Kamu butuh uang! Ayah punya jalan yang akan membuatmu hidup sukses! Ayah punya! Apa susahnya meninggalkan mimpimu demi hidup yang sudah Ayah atur? Apa susahnya?!"
"Ayah tidak akan mengerti!" Aku tidak tahan lagi. Dadaku rasanya sesak hingga bisa meledak kapan saja. Aku terisak keras. "Aku hidup dengan mimpiku! Aku melihat Bunda dengan mimpiku! Aku bisa memegang seluruh dunia dengan mimpiku! Apa Ayah tidak tahu indahnya punya mimpi? Apa Ayah ... tidak tahu?"
"Ayah tidak butuh mimpi! Mimpi itu konyol. Hidup itu nyata, Sabita. Kamu tidak hidup dalam khayalanmu yang tidak masuk akal!"
"Kalau begitu kenapa hanya mimpiku yang Ayah rampas?" Aku kembali terisak. Kepalaku terasa sakit, hingga rasanya aku merasakan darah di kepalaku mendidih. "Kenapa hanya aku yang tidak boleh bermimpi? Kenapa Ayah membiarkan Bintang melakukannya? Kenapa Ayah memberi Bintang setumpuk novel baru untuk impiannya menjadi penulis dan tak segan membelikan gitar baru untuk mimpinya menjadi gitaris? Kenapa ... hanya aku yang tidak boleh?"
Ayah memiringkan kepalanya. "Jadi sekarang kamu mulai iri dengan saudarimu?"
"Bukan, Ayah. Maksudku bukan begi--"
"Tentu saja karena Bintang lebih baik daripada kamu."
Aku melotot kaget. "A-apa?"
"Bintang anak yang penurut. Dia mematuhi semua perintah Ayah. Dia menuruti semua jalan yang sudah Ayah berikan padanya tanpa banyak protes." Jawaban Ayah membuat lidahku kelu. "Dan tentang mimpi itu, impian Bintang bukan impian yang merenggut nyawa Bundamu saat itu. Tidak ada yang salah dengan menjadi gitaris atau penulis. Ayah mendukungnya."
Keningku terasa sakit. "Jadi maksud Ayah ... mimpiku adalah sebuah kesalahan?"
"Sabita kamu harus mengerti, Bintang tidak bisa menjadi penerus perusahaan keluarga dengan kondisinya yang seperti itu. Ayah membebaskan dia bermimpi karena--"
"Karena Ayah tahu umurnya tidak pasti akan panjang?"
"Bukan begitu, Sabita--"
Aku menggeleng lemah, dengan mataku yang sudah kabur oleh air mata. "Jadi Ayah merenggut mimpiku hanya karena Bintang sakit? Hingga hak anak sulung yang harusnya mewarisi perusahaan Ayah berpindah padaku?"
Ayah melangkah mendekatiku, berusaha menjelaskan. "Sabita, dengarkan Ayah du--"
Aku kembali menggeleng sembari terus melangkah mundur menjauhi Ayah. "Jadi semua ini karena Bintang? Aku kira Ayah menyuruhku berhenti menari karena semua tarian itu mengingatkan Ayah akan Bunda tapi ternyata--"
"Sabita,"
Aku kembali menggeleng, kali ini berulang kali hingga kepalaku terasa pening. "Aku mengerti. Sekarang aku mengerti. Mengerti kenapa sedari dulu Ayah memperlakukanku dengan Bintang dengan tidak adil."
Ayah kontan membantahnya. "Ayah memperlakukan kalian dengan adil, Sabita."
"Tidak." Aku kembali menggeleng. "Ayah selalu memuji apapun yang Bintang lakukan namun mengkritik apa yang kubuat. Ayah membiarkan Bintang melakukan apa yang dia inginkan tapi aku harus mendengar seluruh peraturan Ayah yang menyulitkanku." Aku kembali melangkah mundur dengan bibir yang bergetar. "Ayah selalu memuji gambar Bintang tapi membiarkan gambarku tidak terlihat. Apa itu yang Ayah sebut ... memperlakukan kami dengan adil?"
"Sabita, kamu tahu pasti bagaimana kondisi kesehatan Bintang. Apa kamu tidak merasa kasihan sedikitpun dengan saudarimu sendiri?"
"Kasihan?" Aku malah tertawa miris. "Aku menghabiskan seluruh hidupku untuk membiarkan Bintang mengambil apa yang kupunya. Membiarkan dia mengambil seluruh perhatian Ayah. Membiarkan dia mengambil teman pertamaku. Membiarkan dia mengambil posisiku beberapa waktu. Apa Ayah bilang itu bukan bentuk rasa simpatiku?
"Aku menyiapkan diriku untuk keadaan dimana Bintang akan memakiku, berkata kalau dia iri padaku karena aku terlahir sehat dan normal. Memakiku karena ia iri saat melihatku bisa melakukan apapun tanpa takut kemungkinan pingsan. Aku menahan diri sebisaku tapi sekarang aku sudah mencapai batas yang kubuat."
Ayah kembali berjalan mendekat, kali ini sembari berusaha menggapai tanganku. "Sabita dengar--"
"Aku sudah mengerti, Ayah. Aku sudah mengerti. Aku tidak butuh lagi penjelasan." Aku tersenyum getir, lalu segera berbalik badan dan berlari menaiki anak tangga hingga sampai di depan pintu kamarku.
"Sabita! Berhenti! Memangnya apa yang kamu mengerti? Kamu tidak paham apapun."
Aku membuka pintu dengan kasar, lalu menutupnya dengan satu hentakan keras. Air mataku tumpah tanpa bisa kukendalikan, membasahi pipi hingga mengucur ke lantai. Tubuhku kehilangan kekuatannya, langsung luruh saat aku berhasil menemukan dinding untuk bersandar. Aku terisak keras. Tanganku terkepal erat hingga kuku terasa sakit. Aku menggeleng lemah saat mendengar ketukan pintu yang kupastikan dilakukan Ayah. Aku menutup telinga seerat mungkin hingga suara ketukan pintu Ayah tidak lagi terdengar.
Kepalaku terasa pening, namun aku masih jelas mengingat apa yang Ayah katakan sebelum aku memutuskan untuk menutup telingaku atas seluruh kenyataan atas dunia yang kejam.
Apa yang kamu mengerti? Kamu tidak paham apapun.
Aku tersenyum miris, lalu membenamkan kepalaku di antara lutut yang kutekuk.
"Aku mengerti satu hal, Ayah." Aku tersenyum lagi. "Mengerti kalau Bintang memang lebih baik daripada aku."
****
"Sabitaaaaaaaaaa .... "
Jam di dinding menunjukkan pukul enam petang saat aku sibuk menatap ke arah matahari terbenam lewat jendela kamarku. Setelah puas menangis, kini air di mataku mengering walaupun rasanya aku masih ingin terisak. Sejak 20 menit yang lalu, aku berpindah posisi untuk menatap kosong ke arah langit senja dengan semburat jingga lewat kursi meja belajarku yang menghadap langsung ke arah jendela. Aku tidak berpindah posisi sedari tadi. Hanya terus menatap ke arah matahari yang bergerak perlahan hingga sirna dijemput malam.
Hingga aku bisa menatap ke arah namaku di langit.
Atau nama Purnama disana.
Di tengah kesunyian yang menyekap kamarku, suara ketukan pintu pelan berhasil membuatku tersentak kaget seperti mendengar teriakan halilintar. Dilihat dari bagaimana caranya mengetuk pintu--juga teriakan panjang yang kudengar sayup-sayup sebelumnya--aku yakin sosok di balik pintu bukanlah Ayah. Namun, aku tidak punya kekuatan untuk berdiri, atau sekadar membuka pintuku yang kubiarkan terkunci. Namun, rasanya orang itu adalah sosok yang begitu mengenaliku karena setelahnya pintu itu terbuka lebar disusul suara kunci yang bergemerincing.
Tentu saja, sosok itu tidak lain dan tidak bukan adalah Bintang.
Rahangku mengeras saat tiba-tiba percakapanku dengan Ayah tadi terulang dengan baik dalam kepalaku. Serupa seperti kaset rusak yang tidak berhenti memutar perkataan yang sama hingga kepalaku hampir dibuat meledak.
Bintang lebih baik daripada kamu.
"Eh, Sabi--"
"Go away."
Bintang terdiam di tempatnya berdiri. "Hah?"
"Please, go away. Leave me alone."
"Sabita yang terjadi tadi itu--"
"Kamu punya telinga tidak?" Aku berkata sinis, berhasil membuat Bintang terdiam dalam keterkejutannya. "Aku bilang aku ingin sendiri. Kamu dengar tidak?!"
"Sa-sabita ... "
"Pergi."
Bintang menggeleng kuat-kuat. "Aku tidak mau pergi. Kamu butuh aku."
"Ah, kamu anak yang terlalu percaya diri." Tanpa sadar, aku malah tertawa keras. "Aku tidak butuh kamu. Pergi."
"Gak, Sabita. Aku bilang aku akan tetap disini. Kamu ... harus kuat."
"I'm strong enough!" Aku berseru marah. "Jangan pikirkan aku. Pikirkan saja bagaimana penyakitmu sekarang. Kapan sickle cell crisismu akan terjadi? Pikirkan bagaimana cara kamu mengatasinya tanpa merepotkan orang lain."
Bintang tersentak kaget mendengar ucapanku yang keterlaluan. Aku bersumpah demi apapun, aku tidak pernah berpikir akan mengatakan sesuatu sepedas itu. "Sabita kamu--"
"Aku kenapa? Aku keterlaluan?" Aku kembali tertawa miris. "Manusia punya batas ketenangannya sendiri dan sekarang aku kehilangan batasan itu."
Bintang kelihatan menyadari apa yang terjadi. "Apa yang Ayah katakan padamu? Bukan sesuatu yang buruk, bukan? Ayah tidak menyuruhmu segera bekerja di kantor bukan?"
Aku menggeleng lemah, lalu menunduk meyembunyikan air mataku yang luruh tanpa kendala. "Kamu tahu, Ayah mengatakan sesuatu padaku dan kurasa ia benar akan hal itu."
"Mengatakan apa?"
"Kalau kamu memang lebih baik daripada aku."
Bintang kembali menggeleng. "Tidak. Aku tidak lebih baik daripada ka--"
"Berhenti bicara." Aku mendengus jengkel. "Aku menyuruhmu pergi. Bukan menyuruhmu membeberkan ceritamu sekarang."
"Tapi, Sabita kamu harus dengarkan aku."
"Ah, kenapa Ayah selalu mengatakan kalau kamu anak yang lebih penurut dibandingkan aku hingga ia menyanyangimu sesangat itu padahal menyuruhmu keluar dari kamarku saja sesusah ini?"
Bintang melotot tak percaya. "A-ayah mengatakan itu?"
Aku mengangguk lemah. "Iya. Mau kujelaskan apa saja yang Ayah katakan padaku tentang bagaimana hebatnya putri sulungnya?"
"Sabita, dengar kamu pasti salah paham."
"Aku tidak salah." Air mataku kian menderas. Aku bangkit dari tempat dudukku, berjalan mendekat ke arah tempat Bintang berdiri hingga gadis itu terus berjalan mundur. "Kamu tahu, aku lelah menahan diri. Aku lelah berusaha bertahan direpotkan saat kamu sakit. Aku lelah menahan diri untuk tetap di sampingmu saat kamu butuh. Tapi apa? Kamu mengambil segalanya dariku. Mau kusebutkan?"
"Sabita, kamu--"
Aku berjalalan mendekat satu langkah. "Pertama, kamu mengambil seluruh kasih sayang Ayah dan Bunda. Mereka peduli padamu hingga melupakanku. Sedari dulu aku bertahan untuk tidak menangis, namun sekarang aku tidak lagi peduli." Aku mendekat selangkah lagi. "Kedua, kamu mengambil teman pertamaku. Demi kamu, aku membiarkan dia meninggalkanku. Menyuruh dia mendekati kamu agar kamu mengerti kalau kerinduanmu dengan Bunda juga bisa diminimalisir."
Bintang semakin melangkah mundur. "Sabita, aku minta maaf atas semua yang--"
"Aku tidak butuh kata maaf. Simpan saja maafmu sendiri." Aku berdecak sarkastik. "Apa sekarang kamu puas? Setelah mengambil Ayah, Ibu, dan temanku, kamu kini mengambil mimpiku juga. Apa kamu puas?"
"Mimpimu?"
Aku kembali tertawa. "Ayah bilang aku kehilangan mimpiku karena kamu sakit. Kamu sakit hingga kamu tidak mampu menjadi penerus perusahaan Ayah. Bukankah itu ... konyol?"
"Sabita aku minta--"
"Bukankah ini semua tidak adil untukku?!" Aku kembali terisak, melempar makian ke udara hingga dadaku kembali terasa sesak. "Aku hidup sehat dan mampu berjalan kemanapun. Aku hidup tanpa perlu meminum obat dan tetap bisa sekolah dan bertemu banyak teman. Tapi apa artinya jika aku hidup tanpa mimpi?!"
Mata Bintang mulai berkaca-kaca. "Sabita kamu tidak bisa berkata seperti itu?"
"Berkata apa?!" Aku balas membentak. "Berkata aku ingin bertukar denganmu? Aku lebih suka hidup dengan penyakit dibandingkan harus kehilangan mimpiku!!"
Bintang menggeleng dengan air mata yang berlomba menuruni pipinya. "Sabita,"
"Aku sudah bilang. Pergi. Kamu tidak mau. Maka itu adalah sebuah konsekuensi." Aku berdecak kesal lalu menunjuk ke arah pintu yang tertutup. "Aku tidak akan mengulang. Pergi! Se-ka-rang!"
Bintang tergugu, lalu dengan langkah terpatah segera berlari meninggalkan kamarku yang kini kembali diselimuti hening. Aku menghela napas, hendak menutup kembali pintu saat sebuah kertas yang terjatuh tepat di kusen. Aku tidak ingat meletakkan brosur apapun di kamar, membuat aku dengan penasaran harus berjongkok dan hanya butuh sekian detik bagiku untuk mengenali brosur itu.
Brosur belajar ke Museum Antariksa.
Brosur itu terakhir kali kuletakkan di meja tamu lantai bawah. Keberadaannya yang secara mendadak berada di kamarku pasti karena Bintang yang membawanya saat ke kemarku tadi.
Bintang.
Tiba-tiba, entah dengan alasan apa kepalaku kembali memutar apa yang kudengar bertahun-tahun yang lalu.
Tentang apa mimpi Bintang yang tak pernah ia capai.
Kalau kamu, Bi. Apa yang pertama kali kamu pikirkan saat mendengar kata impian?
Aku ingin pergi ke Bintang!
***
A/N: HM... BAY
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro