/22/: Sabi(n)ta(ng) dan Purnama
Berbeda dengan Sabita yang tidak menyukai kejutan, Bintang selalu menantikan sesuatu yang datang secara tiba-tiba dalam hidupnya. Tanpa rencana sebelumnya dan tanpa perkiraan. Itu sebabnya, Ayah selalu membuat kejutan ulang tahun untuk Bintang namun tidak untuk Sabita. Bukan karena Ayah pilih kasih, tapi karena Sabita tidak menyukai acara kejutan ulang tahun yang menurutnya konyol.
Tentu saja, bagi Sabita yang punya kesempatan untuk hidup lama di dunia, sebuah kesempatan dimana saat dia datang ke rumah dan menemukan beberapa orang memegang kue berhias lilin saat membuka pintu adalah sesuatu yang terdengar membosankan.
Namun bagi Bintang, yang seakan sedang mengamati bagaimana nyawanya akan terenggut seiring waktu berjalan, sebuah acara ulang tahun adalah penanda kalau gadis itu berhasil melewati semuanya untuk setahun yang lalu dan berharap sesuatu yang sama baiknya di tahun depan.
Tapi, siapa yang kira kalau kejutan tidak selalu berakhir baik.
Bintang ingat bagaimana dulu kejutan pertamanya terjadi. Siang itu, mendadak ia merasakan nyeri hebat di persendiannya. Bunda yang panik menelpon ambulance dan membawanya ke rumah sakit. Bintang selalu ingat bagaimana kejutan yang ia dapatkan hari itu berupa sebuah vonis kematian. Dimana ia divonis mengidap penyakit anemia sel sabit yang akan bertahan seumur hidupnya dengan kemungkinan tahap penyembuhan yang sangat sedikit untuk berhasil.
Hari itu, Bintang tahu kalau dunianya tidak akan pernah jadi seutuh kelihatannya.
Gadis itu berubah menjadi gadis yang terlalu sering murung. Di masa-masanya yang terendah, Bintang bahkan tidak meminum obatnya saat krisis tahunannya terjadi. Gadis itu hanya ingin semua orang tahu, kalau dia tidak sakit. Dia hanya menderita sakit biasa yang akan sembuh tanpa obat yang rutin ia minum. Ia akan baik-baik saja tanpa perlu ada yang mengasihaninya.
Tapi, semuanya tidak semudah itu untuk dipahami gadis yang masih terlalu belia untuk mengerti.
Jika ada sesuatu yang sangat ia syukuri di dunia ini, Bintang rasa dia harus bersyukur karena diberi seorang saudari sebaik Sabita.
Sabita menemani Bintang dalam setiap masa-masa tersulitnya. Ia akan menginap di rumah sakit jika Bintang begitu. Ia akan ikut menelan sebuah permen dengan lagak meminum obat jika Bintang begitu. Ia akan memeluk gadis itu dalam diam saat Bintang kesakitan. Ia akan melakukan apapun asal Bintang tetap baik-baik saja.
Hingga hari ini, gadis yang sama yang memberi Bintang harapan hidup baru kini tumbuh menjadi gadis kaku yang hanya bisa tersenyum saat Bintang bersamanya.
"Nah, this blue T-shirt looks good on you, Bi." Sabita memandang sebuah kaos warna biru berhias Bintang yang ia dapat dari wardrobenya sendiri dan mencocokannya dengan Bintang yang terduduk di kasur sembari sesekali menguap menahan kantuk. "Coba aja. Aku yakin kamu akan terlihat sangat cantik."
"Ya, pilih saja sesukamu." Bintang kembali menguap lebar. "Aku akan kembali tidur. Bangun di jam enam pagi saat hari libur tiba bukanlah sesuatu yang bisa kulakukan semudah kamu yang melakukannya, Sa. Percayalah."
Sabita mencebikkan bibirnya kesal. "Ayolah, Bi. Hari ini hari penting. Kamu tidak ingat?"
"Ingat apa? Hari ulang tahun kita? Tentu saja aku ingat."
"Bukan, Bi. Bukan."
"Lalu apa? Hari penting bagimu cuma hari ulang tahun kita, ulang tahun Ayah, dan peringatan kematian Bunda. Dan kalau kepalaku gak salah ingat, ketiganya sudah kita lakukan bulan lalu."
Sabita menghela napas jengkel. "Oh, ternyata otak liburmu berjalan lambat sekali. Kemarin kita bicara tentang bocah laki-laki pianomu. Ingat?"
Bintang mengangguk sekenanya.
"Nah, kemarin aku sudah bilang kalau aku berhasil menemukannya. Jadi, hari ini kamu akan menemuinya sesuai rencanaku." Sabita tersenyum terpaksa, lalu mencubit pipi Bintang dan menariknya pelan. "Sekarang ingat, Nona?"
Bintang mengangguk malas-malasan. "Lagian siapa itu bocah pian--Eh. Bocah piano?" Bintang melotot dengan ekspresi luar biasa kaget lalu menarik lengan Sabita dan menggoyangkannya meminta penjelasan. "MAKSUDNYA KAMU SUDAH MENEMUKAN SIAPA BOCAH PIANO ITU?!"
Sabita menatap saudarinya dengan tatapn heran, namun tetap mengangguk terpatah. "Eh, aku kira kamu mendengarkan celotehku semalam."
"Siapa?!"
"Apanya yang siapa?"
"Bocah piano itu!!" Bintang berseru histeris. "Siapa dia?!"
"Eh, aku kira kamu sudah tahu."
"Siapa, Sa. Sia--" suara Bintang terputus karena setelahnya pintu kamarnya diketuk pelan disusul dengan suara seorang gadis yang Bintang pastikan adalah salah satu asisten rumah tangganya yang mengabarkan tentang sesuatu.
"Maaf menganggu, Nona Bintang. Ada seorang laki-laki di depan rumah dan mengaku ingin bertemu anda, Nona."
Bintang langsung melotot horor kepadaku setelah bunyi langkah kaki asisten rumah tangganya mulai terdengar menjauhi kamar. "Jangan bilang kalau--"
"Temui dia."
Bintang langsung salah tingkah. "Ka-kamu serius? Dia ada di depan? Sedekat itu?"
"Merasa gugup?"
Bintang menatapku sebentar, lalu mengangguk terpatah. "A-aku merasa ... bagaimana kalau ... dia gak mengenaliku lagi?"
Sabita tersenyum teduh. "Dia mengenalimu, kok. Aku sudah bertanya sebelum mengundangnya kesini."
"Eh, serius?" Wajah Bintang terlihat lebih bersinar dibandingkan sebelumnya.
"Tentu saja." Sabita terkekeh. "Mau menemuinya sekarang? Aku akan mengantarmu."
Bintang terdiam untuk waktu yang terbilang cukup lama, lalu akhirnya sebuah anggukan ragu terlontar darinya. "Kamu akan tetap bersamaku?"
Sabita mengangguk pasti, lalu tangannya menggenggam tangan Bintang erat. "Aku akan selalu disini, Bi. Selalu di sampingmu."
Bintang tersenyum lebar sebelum memutuskan untuk bangkit dari tempatnya terduduk di kasur. Gadis itu lebih dulu berjalan mendekat ke arah cermin full body, memastikan kalau penampilannya cukup sopan untuk menerima seorang tamu dan dengan tangannya yang kugenggam berjalan pelan menuruni tangga.
Hanya butuh waktu sepersekian menit untuk membuat Bintang menyadari kalau seseorang yang terus ia tunggu selama bertahun-tahun sudah bertransformasi menjadi seorang remaja laki-laki yang ia kenali sebagai teman saudarinya.
Laki-laki itu, yang duduk di sofa ruang tamu, adalah Purnama.
Purnama yang sama yang bertahun-tahun yang lalu ia temui di studio musik. Purnama yang sama yang bertahun-tahun lalu sempat dibuat kecewa olehnya akibat ingkar janji.
Purnama yang sama yang bertahun-tahun yang lalu ... mengajarkan padanya kalau Bunda masih hidup dalam bentuk lain yang tidak ia kenali.
Lewat mata hitam kelamnya yang serupa seperti sosok wanita yang gadis itu rindukan setengah mati.
Lalu tanpa sadar, air mata Bintang jatuh tanpa bisa ia kendalikan.
"Ka-kamu Pur-purnama, kan?"
Sebuah pertanyaan yang konyol namun Purnama jawab dengan sebuah anggukan pasti.
"Itu benar-be-benar kamu?"
Masih pertanyaan Bintang yang Purnama jawab dengan sebuah anggukan bisu.
"Kamu ma-masih mengenali sa-saya?"
Kini, Purnama terdiam. Namun matanya menatap ke arah Sabita yang dibalas gadis itu dengan sebuah anggukan pelan yang hampir tidak terlihat. Sebuah tanda. Tanda kalau Purnama harus mengangguk.
"Iya."
Mendengar Purnama yang tidak lagi membisu, tangis Bintang kian menderas. Lalu gadis itu berlari sekuat yang ia bisa dan berakhir memeluk laki-laki itu seerat yang bisa tubuh rapuhnya mampu. Purnama terkesiap, namun dengan gerakan kaku laki-laki itu ikut mengeratkan pelukannya. Di seberangnya, Sabita ikut tersenyum. Walaupun ada luka yang harus terkoyak di dalam hatinya yang berlubang.
Purnama mulai merasakan pakaiannya sudah banjir air mata, namun tidak begitu peduli saat melihat Sabita kembali mengangguk. Sebuah tanda. Tanda kalau Purnama setidaknya harus membiarkan Bintang menangis dalam pelukannya lebih lama lagi.
Membiarkan Bintang menangis sembari menggumamkan seribu kata maaf tanpa henti.
Maaf yang entah kenapa bagi Purnama terasa tidak ada artinya.
Setelah isak tangis Bintang mereda, gadis itu mulai mengurai pelukannya dan mengangkat wajah disertai senyum. Purnama terkesiap, merasa mengenali senyum gadis itu sebagai senyum Sabita. Purnama menggeleng pelan, berusaha menegaskan pada dirinya sendiri kalau mereka adalah dua pribadi yang berbeda.
Dua pribadi berbeda yang sulit untuk hatinya Purnama bedakan.
"Kamu mungkin sudah mengenalinya, tapi ya, mari kita ulang sesi perkenalannya sekali lagi." Sabita memutus kontak mata Purnama dan Bintang dengan sebaris kalimat utuh. "Should we?"
"Purnama Aditya Virshunadi." Purnama memperkenalkan dirinya lebih dulu, menunduk singkat sebagai etika kesopanan saat memperkenalkan diri. "Purnama."
Bintang tersenyum semangat, lalu ikut menundukkan kepalanya. "Sabintang Larensya Hadikarta. Bintang."
Kini, semua mata memandang ke arah Sabita yang termangu. Bintang terkekeh, lalu menyenggol rusuk saudarinya dengan satu sikutan pelan. "It's your turn, Sa."
"Aku juga?" Sabita bertanya sembari menunjuk ke arah dirinya sendirin dengan ekspresi heran.
"Kalau lo bilang ini sebuah sesi perkenalan, gue rasa lo juga perlu melakukan itu."
"Eh, baiklah." Sabita tersenyum sekilas, lalu ikut menundukkan kepala seperti yang dilakukan Purnama maupun Bintang. "Sabita Karensya Hadikarta. Sabit."
"Bukankah ini terdengar lucu."
"Lucu?"
Bintang mengangguk semangat. "Purnama. Bintang. Sabit. Bukankah nama kita semuanya adalah nama yang menghias langit malam?"
Purnama dan Sabita saling berpandangan sebelum mengangguk sekenanya.
"So, hari ini kita mau kemana?"
"Bi, aku rasa Purnama datang untuk bertemu denganmu. Bukan kita."
"Eh." Bintang refleks menoleh ke arah Purnama yang balik menatapnya datar. "Sabita tidak boleh ikut?"
"Gue bisa saja mengajaknya jika saja sebelum gue bertanya gue sudah tahu jawaban macam apa yang Sabita akan berikan pada gue."
"Sabita?"
Gadis itu tersenyum malu-malu lalu menggeleng ragu. "Aku memang tidak bisa, Bi. Hari ini aku ada kelas tambahan untuk pelajaran baletku. Ingat? Asian Grand Prix akan diadakan besok. Aku rasa aku perlu berlatih lebih keras untuk membuktikan pada Ayah kalau aku mampu."
"Aku tidak akan pergi kalau kamu tidak ikut."
"Hei, kamu tidak bisa begitu, Bi." Sabita melotot ke arah Bintang. "Purnama sudah susah-susah datang ke rumah dan aku sudah susah-susah mencarinya. Apa kamu mau menghancurkan kerja keras kami semudah itu?"
"Tapi, Sa--"
"No any but, Bi. Just go with him. Enjoy your weekend." Sabita mengerling, membuat Bintang memutar bola mata malas. "Aku akan menunggumu di rumah, kok. Tenang saja."
Bintang masih terlihat ragu, namun jauh di lubuk hati gadis itu merasa perkataan Sabita ada benarnya. Gadis itu mengangguk semangat, lalu melangkah keluar dari rumah bersama Purnama setelah lebih dulu menyempatkan diri untuk berpelukan dengan Sabita.
"Wait for me, ya. Aku akan pulang dan membawakan sesuatu untuk kamu. Sukses untuk latihannya."
Hanya sebaris kalimat itu dan Sabita tahu ia punya hati yang lebih lapang dibanding siapapun. Sesaat setelah sosok Purnama dan Bintang hilang dari pandangan dibawa sebuah mobil yang dikendarai laki-laki itu, ada sendu yang menggelayuti mata Sabita.
Bibirnya membuta namun matanya mengatakan sesuatu.
Sabita menghela napas, lalu sebelum ia naik ke lantai dua dan kembali berlatih untuk kompetisi baletnya yang hanya tinggal hitungan jam, Sabita lebih dulu berjalan menuju meja ruang tamu dan meraih sebuah surat pernyataan belajar di Museum Antariksa yang diadakan 2 hari lagi.
Satu yang baru Sabita sadari adalah, kalau ia baru saja melihat sebuah tanda tangan terbubuh di bagian dimana seharusnya Ayah meletakkannya.
Dan satu yang baru Sabita sadari adalah;
Ayah memberinya izin untuk pergi.
****
/ P U R N A M A/ 🌝
Kalau ada satu kata yang perlu gue berikan untuk seorang gadis bernama Bintang yang kini duduk di samping gue, gue akan memilih kata aneh.
Bukan, bukan karena tingkah laku gadis itu yang tidak wajar atau tidak mampu dipahami. Gue memahaminya, sangat memahaminya. Sesuatu yang membuat gue aneh adalah bagaimana kepribadiannya sangat bertolak belakang dengan Sabita. Terlalu lama berinteraksi dengan Sabita membuat otak gue sering kali lupa kalau seseorang yang kini berada di samping gue buka lagi gadis itu.
Sesuatu yang membuat gue merasa gadis itu kini terlihat tidak wajar.
Jika Sabita adalah sosok yang suka menyendiri, Bintang adalah gadis yang suka menjelajah. Bisa dilihat dari apa yang Bintang lakukan sesaat setelah gue memakirkan mobil gue di depan Kafe Retro, gadis itu bahkan langsung membuka pintunya penuh semangat sebelum gue membukakan pintunya. Gadis itu banyak bicara dan punya banyak topik menarik yang bisa ia bahas. Jika saat terakhir kali gue datang kesini bersama Sabita gadis itu akan lebih memilih untuk duduk diam, maka hal itu tidak berlaku bagi Bintang. Gadis itu malah naik ke atas panggung, mengambil sebuah gitar yang disediakan untuk live perfomance kafe dan menyanyikan sebuah lagu yang gak begitu gue kenali hingga mendapat sambutan hangat pengunjung yang datang.
Mau sebaik apapun Bintang terlihat, entah kenapa gue masih merindukan Sabita.
Jika Sabita adalah orang yang hampir tidak punya rasa peduli--kecuali pada saudarinya, tentu saja--maka Bintang adalah pembaca situasi yang ulung. Melihat gue yang sedari tadi tidak terlihat antusias menghabiskan waktu demi waktu dengan gadis itu, Bintang berinisiatif mengajak gue ke studio musik terdekat, berdalih ingin mendengar permainan piano gue sebelum audisi pianis band klasik dimulai beberapa hari lagi.
Gadis itu sudah lebih dari tahu kalau piano adalah pengalihan rasa sakit paling efektif yang pernah gue pikirkan.
Gue menurutinya, memutar stir mobil gue menuju studio musik terdekat lewat panduan GPS dan sampai dalam hitungan menit yang masih sama membosankan. Sama seperti yang lalu-lalu, Bintang turun lebih dulu tanpa memberi gue kesempatan untuk membuka pintu. Ia segera berjalan cepat menuju resepsionis dan memesan sebuah ruangan musik dengan sebuah piano untuk kami. Bintang menonton gue memainkan piece klasik Sugar From The Plum Fairy yang biasanya diiringi tarian balet Sabita. Namun alih-alih merasa membaik, gue justru semakin merindukan esksitensi Sabita di dekat gue.
Seseorang pernah bilang jika kamu merasa kehilangan akan seseorang, itu pertanda kalau orang itu sudah mengambil perananan penting dalam kerja otakmu.
Gue sempat meragukannya, namun sekarang gue percaya kalau Sabita sudah menjadi bagian dari otak gue entah sejak kapan dan entah seberapa penting.
"Kamu memikirkan sesuatu?"
Suara Bintang membuat seluruh lamunan gue buyar. Setelah selesai membuat Bintang terkesan dengan permainan piano gue, gadis itu mengajak gue pergi ke sebuah bukit yang letaknya tidak jauh dari studio. Bukit itu berupa taman yang banyak ditumbuhi bunga. Dengan sorot mata layu Bintang bercerita kalau tempat itu adalah tempat dimana ia, Sabita, dan Bundanya menonton langit malam yang penuh dengan nama mereka.
Hanya sedikit cuplikan cerita dan gue langsung menguapkan niat gue untuk mengajaknya segera pulang setelah selesai dengan studio musik.
"Kenapa lo berpikiran begitu?"
Senja yang sudah mulai menjemput mendatangkan angin sore yang sejuk, sesekali membuat Bintang harus merapatkan jaketnya agar tidak kedinginan. "Sedari tadi kamu terus saja terdiam. Aku kira kamu lagi memikirkan sesuatu."
Gue tersenyum getir. "Gak ada yang perlu gue pikirin sekarang."
"Kamu tahu, Sabita selalu mengatakan sesuatu yang benar."
"Tentang apa?"
"Tentang bagaimana kamu adalah pembohong yang buruk."
Gue terkekeh pedih, lalu menatap ke arah mega senja yang jingga di atas kami. "Sabita bicara begitu?"
"Dia membicarakan banyak hal tentang kamu. Kemarin sebenarnya. Namun dari bagaimana cara Sabita bercerita, aku tahu kalau kamu punya arti penting dalam hidupnya."
"Begitukah?"
Bintang mengangguk pelan. "Sedari tadi kamu memikirkan Sabita, kan?"
Gue tersentak, kaget karena Bintang bisa membaca pikiran gue tepat sasaran. Namun alih-alih terdiam, gue justru mengangguk ragu.
"Kamu mungkin terus berusaha berpikir kalau aku adalah gadis itu. Tapi nyatanya kami berbeda. Itu membuat sesuatu dari hatimu merasa aneh. Iya, kan?"
"Gue gak pernah tahu kalau lo pandai membaca pikiran orang."
Bintang mengetukkan kepalanya dengan jari telunjuknya sembari terkekeh. "Itu adalah perasaan terhubung antara anak yang terlahir kembar."
"Whoah, begitukah?" Gue jadi merasa tertarik. "Bagaimana kalau lo kasih tahu gue apa yang Sabita lakukan sekarang.".
"Mikirin kamu."
Satu jawaban singkat dan bibir gue gak bisa bergerak.
"Sabita tidak pernah punya teman. Entah karena kepribadiannya yang senang sendiri atau karena titel anak konglomerat yang dia punya membuat beberapa orang merasa menjauh karena takut sekaligus mendekat dengan imbalan." Bintang mencabut asal rumput di dekatnya. "Tapi sejak dia berteman sama kamu, Sabita punya alasan lain agar ia bisa tersenyum selain aku. Dia bisa tersenyum saat melihat kamu tertawa dan bisa tersenyum saat melihat kamu bahagia. Sabita bisa tersenyum dengan alasan sesederhana apapun dan kini kamu jadi bagian dalam senyumnya."
"Am I?"
Bintang kembali mengangguk. "Kamu tahu saat dimana Sabita masuk ke UKS?"
Gue mengagguk singkat. Mengingat saat dimana pertama kali gue punya kecurigaan kalau Sabita adalah gadis kecil yang membantu gue di studio musik.
Kecurigaan yang tidak selesai seperti yang gue perkirakan.
"Hari itu yang datang bukan Sabita. Melainkan aku."
Gue tidak lagi merasa terkejut. Seakan beragam kenyataan yang gue dapatkan secara beruntun mematikan kinerja tubuh gue untuk merasa kaget. "Gue sudah bisa memperkirakan hal itu sebelumnya."
"Kamu ingat, hari itu aku tidak bisa menari balet karena aku hanya belajar dasar dari tarian itu sebentar. Aku masuk UKS dengan alasan terkena flu padahal aku sedang kelelahan. Hari itu aku baru pertama kali melihatmu sebagai temannya Sabita dan aku rasa kamu memang sebaik itu pada saudariku."
"Lo berpikir seperti itu?"
"Tentu saja." Bintang malah tertawa. "Itu bukan sekali dua kali aku kelelahan saat berperan menjadi Sabita dan untuk kali pertama ada seseorang yang membantuku."
"Gue merasa ... bingung."
"Tidak ada yang perlu dibingungkan disini, Purnama."
"Sabita bilang lo menyukai gue. Dia bilang gue membuat kerinduan lo akan Bunda lo terobati." Gue menatap ke arah mata Bintang. "Tapi, kenapa lo justru menyuruh gue hal yang sebaliknya?"
"Dia bilang begitu?" Bintang semakin tertawa. "Tentang matamu dan Bunda, itu memang benar. Namun tentang aku menyukaimu, kurasa tidak. Aku menganggumi kamu, but not in the romantic way."
"Serius?"
Bintang mengangguk pasti. "Sangat serius."
"Lalu, apa yang harus gue lakukan?"
"Berjuang."
"Berjuang untuk?"
"Mendapatkan hati saudari saya kembali."
"Tapi--"
Suara gue terpotong oleh suara dering ponsel. Gue refleks mengambil ponsel gue dari saku celana dan membuka sederet pesan yang ditampilkan.
From: Sabita
Kafe Retro. Satu jam dari sekarang. Bersama Bintang.
****
A/N: Yoyoyo... draft sudah menipis sangat dan begitulah...
Mulai chapter ini bersiap-siaplah akan kejutan yang akan kutampilkan *ketawajahat.
Oke. Bay
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro