Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

/2/: Purnama dan Audisi Piano

/P U R N A M A/ 🌝

DARI hari Senin sampai Minggu, hari mana yang jadi favorit lo?

Dulu, seorang Alan Galenza Virshunadi pernah bertanya hal itu pada gue. Mudah gue tebak, Genza--bagaimana ia ingin dipanggil seperti itu karena baginya, Alan terdengar kasar saat ditambahkan kata 'Si'--berkata kalau ia luar biasa cinta hari Sabtu.

Gue gak punya kemampuan membaca pikiran, namun tanpa Genza jelaskan pun, gue mengerti apa maksud jawabannya itu. Sekolah kami libur saat hari Sabtu, membuat cowok yang lokernya aja harus dibersihin sama Nata--karena Genza dan kebersihan adalah sesuatu yang haram jika disatukan--bisa berguling-guling di kasur sampai semaput pun gak ada yang peduli. Kalau pengikut iblis itu memang ada, mungkin Genza bisa jadi anak buah setianya Belphegor.

Siapa itu Belphegor? Cari aja ke Google sana, cuk. Gak modal kuota amat.

Speaking of Saturday, Sabtu gak akan jadi Sabtu kalau gak ada Sabtu malam. Oh, maaf. Lidah gue gak bisa menyebut kata 'malam Minggu' dengan sempurna. Iya, kalau ada kata lebih ngenes di atas jones, mungkin gue adalah itu. Berbeda dengan gue yang setiap Sabtu malam hanya diisi dengan nonton film box office bareng nyokap di TV, atau mentok-mentok ya nonton serial Karma di ANTV, Genza merayakan datangnya Sabtu malam dengan ngajak Cella jalan.

Lo pernah berpikir bagaimana manisnya kisah cinta antara sahabat? Hal itu yang terjadi pada Genza dan Cella. Mereka sahabatan sejak masih orok. Lalu dengan pertemanan yang membosankan (bagi gue), entah karena kena pelet apa, Genza bisa suka sama Cella.

Percayalah, saat lo melihat kisah asmara antara Genza dan Cella, ekspektasi lo tentang gimana unyu-unyunya ngelihat sahabat saling suka itu akan runtuh seruntuh-runtuhnya. Genza adalah jenis cowok yang punya harga diri kayak cewek. Harga dirinya tinggi banget, coy. Dia gak mau ngaku suka duluan sama Cella. Ngajak jalan setiap Sabtu malam juga didasarkan dengan alasan ngajak sahabat nyari angin.

Dia bego? Tenang, gue sudah bilang sama dia ratusan ribu kali dan kelihatannya Genza senang gue berkata seperti itu.

Berbeda dengan Genza yang cinta Sabtu, gue sangat menyukai hari Rabu.

Tolong kata 'Sangat' -nya di tebelin. Soalnya gue memang sesuka itu sama Rabu.

Gue tahu, hidup ini memang dipenuhi dengan sebuah kebetulan. Tapi, selalu mendapat hal baik di hari Rabu terlalu aneh untuk tetap gue sebut kebetulan. Gue lahir di hari Rabu. Ulang tahun kedelapan gue jatuh di hari Rabu. Mamang tukang Indomie di depan sekolah kasih diskon 10% setiap hari Rabu. Gue bahkan dapat stempel di music sheet audisi pianis band sekolah di hari Rabu. Dan dari sekian banyak hari Rabu baik yang pernah gue alami sepanjang hidup, hari Rabu kali ini adalah hari Rabu paling keren yang pernah ada.

Itu setidaknya yang gue pikirkan sebelum suatu hal akhirnya terjadi dan mengubahnya menjadi hari Rabu paling payah sepanjang masa.

Hari ini gue berangkat bareng Kak Neta dan Genza, seperti biasa. Itu cewek naik mobil setengah gila, gak jauh beda sama adeknya yang sinting. Jalan memang macet, namun dengan penuh amarah, klakson terus Kak Neta tekan dengan aura kesal yang bikin mobil jadi panas.

Oke, iya gue paham tuh cewek telat bangun dan ternyata kelas pertamanya ada di pagi hari. Tapi cara sopirin mobilnya itu lho, kayak orang yang kebelet dapat surat keterangan kematian dengan kolom penyebab kematian bertuliskan, "Kaku otot saat mau nginjak rem." Gak pake rem, Bro. Gas terus.

Dan gilanya, Genza sama sekali gak keberatan dengan hal itu. Itu cowok sinting malah nyetel lagu ala-ala adegan kebut-kebutan di film. Gue masih sayang nyawa, nyuruh Kak Neta mengemudikan mobil dengan hati-hati hanya akan membuat gue turun dari mobil dengan kepala tinggal separuh. Jadi gue tetap diam, sembari berdoa kushyuk dalam hati seraya booking tempat di surga.

Setelah 30 menit perjalanan yang dramatis, gue dan Genza akhirnya bisa turun di gerbang sekolah dengan keadaan yang utuh. Tanpa bicara apapun, Kak Neta kembali menancap gas mobilnya sesaat setelah kaki gue dan Genza menapak di permukaan aspal jalan, membuat pak satpam yang tadinya hendak bertanya kemana ia akan parkir segera beringsut mundur sembari marah-marah lirih.

Jam pelajaran pertama berlalu dengan membosankan. Sudah gak terhitung berapa kali gue menguap ketika Pak War sibuk ceramah tentang pelajaran ilmu sosialnya. Kelihatannya, semua orang juga mengalami kebosanan yang serupa seperti gue karena tepat setelah bel istirahat berbunyi, mereka semua segera berdesakan keluar kelas tanpa mengindahkan aba-aba salam dari ketua kelas.

Gue berjalan gontai keluar kelas setelah menyempatkan diri untuk tetap memberi salam pada guru yang hendak keluar juga. Hari terhitung masih pagi, namun matahari kali ini memilih untuk bersinar lebih menyengat dibanding biasanya, membuat gue memutuskan untuk pergi ke kantin lebih dulu untuk membeli sebotol minuman dingin agar setidaknya tenggorokkan gue tidak kering kerontang.

Kantin masih sepi saat gue sampai. Beberapa pedagang yang berjejer memenuhi kantin hanya dikelilingi sedikit siswa. Tidak mau membuang waktu, gue lantas berjalan mendekat ke arah vending machine, memasukkan sejumlah uang, lalu mengambil sekaleng susu dingin dari dalam mesin. Hari yang panas membuat sekaleng minuman itu habis dalam hanya beberapa tegak, membuat gue berniat langsung kembali ke kelas jika tidak ada seseorang memanggil nama gue keras-keras.

"Puraaa!"

Gue kontan dibuat menoleh hanya untuk mendapati Genza yang tengah berseru sembari melambaikan tangannya heboh. Gue berdecak sekilas melihat tingkah noraknya lalu berjalan mendekat ke arah Genza yang mengantri di barisan penjual mie.

"Lo gak mau pesan apa-apa, Ra?" gue menoleh sesaat ke arah daftar menu setelah suara Genza terdengar di sebelah gue. "Gue mau pesan. Sekalian aja supaya lo gak lama ngantri lagi."

Untuk pertama kalinya, semua makanan yang berjejer di kantin terlihat tidak menggugah selera gue. Pernah mengalami gundah berlebihan karena suatu hal yang amat sangat lo tunggu akhirnya datang? Gue sedang merasakan itu. Sedari tadi, yang gue rasakan adalah--gue tidak tahu harus menyebutnya apa. Gue hanya terus-terusan berpikir tentang audisi pianis hari ini, berpikir apa gue bisa lolos, berpikir apa bokap gue akan melihatnya, berpikir apa skill piano gue masih sebagus terakhir kali gue memainkannya.

Berpikir, apa sekarang adalah saat dimana gue harus kembali?

Setelah berpikir cukup lama, akhirnya gue menggeleng atas pertanyaan Genza. "Gue enggak mau."

"Fine, then." Genza mengangguk mengerti lalu menoleh ke arah penjual mie yang menunggu pesanannya. "Mas, indomie goreng pake kuah satu."

Gue melotot seketika, lalu menyenggol Genza keluar antrian hingga gue yang kini berada di barisan terdepan. "Dua, Mas. Dua."

Mas Rama--penjual mie tadi--manggut-manggut mengerti. Gue segera berlari cepat ke arah kursi yang kosong yang segera diikuti oleh Genza.

"Katanya lo gak mau makan, Nyet."

"Lo gak bilang kalau mau pesen indomie goreng kuah."

Saat gue bilang Indomie goreng kuah, lo memang gak salah dengar. Selain kecintaan gue dengan hari Rabu, Indomie goreng kuah adalah salah satu rasa indomie favorit gue. Indomie dengan bumbu goreng yang diberi kuah tidak terasa seaneh kelihatannya. Genza yang waktu itu sempat semaput karena kebanyakan ketawa saat gue bilang tentang indomie goreng kuah, akhirnya malah ikut-ikutan suka waktu pertama kali nyoba. Memang, Indomie itu selera umat Tanah Air tidak peduli apapun rasanya.

"Emang makanan yang gue pesan harus bilang sama lo, gitu." Genza menyahut sinis. Suasana lengang sejenak sebelum pandangan mata Genza beralih pada kertas yang gue pegang erat. "Udah kali, Ra. Kertasnya lo taruh aja dulu, gak usah dikepalin gitu. Gak akan lari tuh kertas walaupun gak lo pegangin."

Gue melirik ke arah kertas--atau lebih tepatnya music sheet--di tangan gue. "Lebih baik gue pegang daripada hilang."

"Elah, seberapa penting emang sih tuh kertas." Genza berdecak pendek. "Gue bisa fotocopy sampai berlipat-lipat kalau mau."

Gue melotot dramatis ke arah Genza lalu menunjuk ke arah stempel bertinta ungu di sudut kertas. "Lo gak tahu perjuangan gue buat dapat stempel ini."

Genza mendengus, lalu bertanya dengan nada santai. "Ini cuma stempel punya band klasik kan? Apa istimewanya?"

Oke, hidup Genza memang segak bermutu itu sampai dia gak tahu seberapa keras usaha gue hanya untuk dapat stempel ini. Sekolah mengadakan audisi pianis untuk band klasik sekolah. Gio, anak kelas dua belas yang awalnya mengisi posisi itu akan lulus SMA tahun depan. Sekolah mengadakan audisi besar-besaran untuk mengisi para pemain alat musik yang akan lulus, mulai dari posisi biola, harpa, cello, gitar klasik, trombone, dan piano.

Mungkin, kedengarannya audisi itu hanya audisi biasa, orang-orang mendaftar, melakukan tes, dan pengumuman. Namun, hal itu gak berlaku untuk band sekolah gue. Sekolah kami unggul dalam bidang musik dan memprioritaskan para calon siswa yang ahli dalam bermain alat musik untuk diterima di sekolah. Maka bisa dibilang setengah dari para murid yang baru masuk maupun yang lulus adalah orang dengan bakat menggunakan berbagai macam alat musik.

Hal itu adalah bencananya.

Bisa bayangkan bagaimana saat sekolah membuka audisi untuk mengisi posisi di band sekolah? Hampir setengah murid di sekolah ikut mendaftar. Sialnya, orang yang bisa bermain piano menduduki jumlah tertinggi di sekolah, membuat sekolah akhirnya membuat peraturan baru khusus untuk tahun ini. Jumlah peserta audisi pianis akan dibatasi hanya sebanyak 15 orang sedangkan jumlah pianis di sekolah bisa lebih dari 30 orang.

Itu berarti setengah dari orang yang mampu bermain piano gak bisa ikut audisi ini.

Entah siapa yang mengusulkan, tapi sekolah memutuskan untuk memberlakukan sistem 'siapa cepat dia dapat'. Para pengurus band klasik akan memberikan masing-masing satu stempel khusus di setiap music sheet yang piecenya akan diabawakan waktu audisi. Stempel itu ibarat menjadi tiket masuk. Sekolah bahkan menyiapkan 2 orang beruntung yang akan menggantikan para calon peserta jika kehilangan stempel saat audisi dimulai.

Itu jelas mimpi buruk!

Gue tadinya gak peduli tentang audisi itu. Sama sekali gak peduli. Gak peduli tentang siapapun pianis di band klasik. Gak peduli tentang sebanyak apapun orang memaksa gue untuk ikut dengan alasan jangan sampai bakat gue sia-sia.

Sampai waktu itu, tepat sehari sebelum pendaftaran audisi dibuka, gue teringat tentang ucapan Mama.

"Kembali main piano! Punya pacar! Dapat teman dan keluarkan jiwa sosial kamu! Kalau gak, Mama akan paksa kamu tinggal sama Opa!"

Tinggal sama Opa jelas mimpi buruk yang terburuk. Bukan kenapa-napa. Rumah Opa tidak seburuk itu sebenarnya, tamannya dipenuhi dengan bunga anggrek aneka warna. Opa juga baik sama gue, di luar tindakannya yang sering memaksa gue makan kue kering setelah sikat gigi, gue rasa beliau adalah orang yang sangat baik.

Satu-satunya masalah yang timbul jika gue tinggal sama Opa karena itu artinya gue akan tinggal sama Genza juga kakak laknatnya, Kak Neta.

Gue. Enggak. Mau

Jadi, gue dengan amat terpaksa, harus kembali menyentuh piano setelah sekian tahun berhenti menekan tuts hitam-putihnya dengan alasan yang gak bisa gue jabarkan.

Hari Rabu minggu lalu, gue harus rela dimarahi Pak Yana yang mengisi jam pelajaran pertama karena bolos jam pelajarannya untuk mengantri pertama kali di perpustakaan, tempat stempel itu akan diberikan. Sialnya, bukan hanya gue yang melakukan hal itu. Waktu gue datang, sudah terlihat cukup banyak orang yang mengantri. Beruntung, semua orang yang hendak mengisi formulir harus di tes kemampuannya maupun membawa sertifikat kursus piano, untuk menunjukkan kalau kemampuan menjadi pianis bukan hanya sekedar main do re mi. Alhasil, 5 orang di barisan depan gugur setelah dites.

Sedangkan gue? Gue tidak bawa apa-apa. Gue cukup bawa music sheet, muka, dan nama.

Setelah hampir satu jam berdiri, sampai lutut gue rasanya mau copot, akhirnya giliran gue maju akhirnya tiba.

"Nama?" Seorang gadis berambut panjang pemain harpa di band klasik menatap gue malas sembari menulis sesuatu di kertas formulir.

"Hah?"

Gadis itu berdecak kesal. "Nama lo siapa?"

"Oh." Gue tersenyum. "Purnama Aditya Virshunadi."

"Oke, Purnama Aditya Virshu-" Gadis itu berhenti berkata, lalu menoleh ke arah seseorang di sebelahnya yang sama-sama sibuk menulis. "Eh, Purnama Virshunadi itu siapa ya? Kayak pernah dengar."

Gue tersenyum makin lebar, kekuatan nama gue memang seampuh itu.

Gadis yang ditanya tadi menjawab santai tanpa mengalihkan pandangan dari formulir. "Anaknya pianis Hadit Virshunadi."

Gadis yang menanyakan nama gue tadi langsung ternganga lebar, kelihatan terkejut saat tahu siapa bokap gue yang gak lain dan gak bukan adalah pianis ternama Tanah Air. Jadi, tanpa banyak bicara lagi, music sheet gue diberikan stempel sebagai peserta ke-15.

Bayang-bayang tidur satu kasur dengan Genza di kepala gue hilang sepenuhnya.

Itu sebabnya kenapa music sheet itu terus gue pegang sampai sekarang. Kalau sampai hilang, hidup gue bisa dalam ancaman kehancuran.

"Ra..Puraaa..WOY PURNAMA!"

Gue hampir refleks salto ke belakang saking kagetnya. "Lo apaan, sih?"

"Itu indomie lo udah datang. Bengong aja daritadi."

Sejenak, melihat asap mengepul dari mangkuk di depan gue, mie yang kelihatan menggoda selera, juga aroma indomie yang gue rindukan, gue melupakan segala kekhawatiran untuk ikut audisi pianis band sekolah hari ini sekaligus menyelamatkan nasib hidup gue dari kemungkinan tidur satu kamar sama Genza.

Tanpa gue sadari kalau kurang dari setengah jam lagi, hidup gue akan jauh dari kata baik-baik aja.

***

/G A L E N Z A/ ☁️

Gue jelas bukan orang yang mudah bersimpati sama orang lain.

Iya, oke. Gue itu ganteng, baik, tidak sombong, selalu setia kawan, hormat orang tua, rajin menabung, dan rajin ngajak Cella jalan setiap malam minggu. Namun, entah kenapa gue gak pernah mudah merasa kasihan sama orang lain. Purnama memang benar. Sepupu gue itu sering berkata kalau gue sinting dan kelihatannya itu benar.

Namun, mudah bersimpati bukanlah salah satu sifat gue. Mungkin terdengar agak kejam saat hati gue gak pernah tersentuh walaupun melihat pengamen cilik di jalan atau pengemis di pasar. Tapi mau bagaimana pun, itu tetap sifat gue. Dan sebuah sifat, adalah sesuatu yang sudah mendarah daging dan kelihatannya sulit untuk bisa diubah.

Dan kelihatannya, hari ini adalah pengecualian.

Gue dan Purnama ada di kantin sekarang, sibuk dengan indomie goreng kuah dalam mangkuk masing-masing. Purnama mungkin memang pendiam (kecuali dengan gue) dan ngeselin, namun di balik fakta itu dia tetap sepupu gue. Dan sepupu, kelihatannya adalah sebuah hubungan cukup erat yang tercipta antara gue dan dia hingga dalam sekali tatap, gue tahu kalau Purnama sedang berada dalam masalah.

Jijik, gue tahu. Tapi jauh di dalam hati gue, gue lebih sayang sama Cella dibanding sama Purnama.

Tanpa dia bilang pun, gue tahu audisi pianis band klasik sekolah akan dilaksanakan hari ini, tepat setelah jam istirahat usai. Stempel ungu itu, adalah tiket masuk wajib jika mau ikut audisi, gue tentu saja tahu itu.

Enggak, sori keles gue enggak diam-diam stalkerin Purnama. Asal lo tahu, Cella itu berbakat. Dia ikut audisi pemain biola dan kelihatan luar biasa senang saat menunjukkan stempel ungu itu di kertas yang isinya not balok ke arah gue. Dia bahkan tersenyum sepanjang hari hanya karena audisinya akan dilakukan hari ini.

Tadinya, gue berharap Purnama akan sama senangnya seperti Cella. Tapi ternyata enggak. Sedari tadi sejak kami sama-sama sampai di kantin--minus Nata yang sedang sibuk dengan PR nya yang belum kelar--sorot mata Purnama gak memancarkan rasa senang sedemikian yang Cella punya. Laki-laki itu malah lebih terlihat terbebani dibandingkan terlihat senang. Gue mengenal Purnama dengan baik. Rumah kita hanya beda gang hingga nyokap gue menyuruh kami--gue, Purnama, dan Kak Neta--untuk berangkat bareng setiap hari.

Gue seriusan mengenal Purnama dengan baik, sungguh sangat baik sampai gue tahu kalau selain nyokap dan bokapnya, piano adalah bagian dari hidupnya. Dulu, sulit rasanya untuk tidak mendengar suara denting piano saat berkunjung ke rumahnya dan orang manapun akan tahu, Purnama dan piano adalah sebuah kesatuan utuh yang sulit untuk dipisahkan--sama halnya seperti gue dan kemalasan.

Sekarang, melihat Purnama main piano adalah sebuah kejadian langka. Piano di rumahnya sudah berdebu, kelihatan lama tidak disentuh pemiliknya lagi atau mungkin bisa dibilang tidak ada lagi yang bisa memainkannya. Gue mungkin sadar apa yang menyebabkan Purnama begitu, namun gue sepenuhnya tidak setuju.

Sampai audisi pianis ini datang dan gue kira Purnama akan menyambutnya dengan semangat.

Gue menghela napas, lalu menatap mangkuk indomie gue yang hampir tandas sebelum beralih melirik Purnama yang asyik dengan mangkuknya sendiri. "Don't you miss it?"

Purnama mengangkat wajahnya, melihat gue melirik ke arah kertas not balok--yang gak gue tahu apa namanya--sebelum mendengus pelan. "Nope."

"Lo mahir bermain piano, Pura. Namun enggak dengan berbohong."

Purnama tetap bergeming. Kemudian dia tersenyum muram dan menatap kertas itu ragu. "Pernah merasa salah saat lo sebenarnya hanya melakukan apa yang lo mau?

Gue menggeleng pelan. "Kayaknya enggak."

"Indeed, gue tahu lo akan jawab itu." Purnama menghela napas. "Namun gue merasakannya setiap main piano."

"Merasa terganggu?"

"Enggak, hanya merasa ada sesuatu yang salah."

"Then, think that you never did some mistake."

"Sudah." Purnama menunduk, menatap nanar ke arah mangkuknya yang nyaris kosong. "Tapi rasanya tetap sama."

"Gue ngerti." Gue berdiri cepat lantas menarik kerah baju Purnama paksa hingga ia terpaksa bangun dari posisi duduknya di kursi. "Jadi, kita akan membuatnya gak jadi salah lagi."

"Kita?"

"Iya. Lo dan gue."

Purnama mendengus. "Atau lebih tepatnya hanya gue, dan lo yang cuma ngerecokin."

"Terserah lo." Gue berjalan cepat ke arah Mas Rama, memberi sejumlah uang untuk membayar indomie kami dan menarik Purnama lagi. "15 menit lagi audisinya mulai. Kesana sekarang atau lo gak akan pernah main piano lagi."

Purnama kelihatannya menurut. Ia mengambil kertas tadi dari meja dan ikut berjalan di belakang gue.

Sekejap, gue rasa semuanya akan baik-baik saja sebelum gue melihat Nata berlari cepat ke arah gue. Sungguh di sayangkan, Nata berhenti berlari tepat di depan seorang gadis yang membawa susu cokelat. Kalau gak berhenti, mungkin saja mereka akan jatuh berpelukan di kantin dan itu akan jadi konsumsi empuk para seksi mading dan ekskuk jurnalistik yang berada disana.

Sekejap, gue rasa semuanya akan baik-baik saja sebelum gue melihat gadis itu malah berbalik badan ke arah gue karena terkejut. Gue melotot, tak sempat mundur karena kejadiannya berlalu begitu cepat. Gadis itu malah menginjak sepatu gue dan oleng memiringkan badannya ke arah samping kiri gue.

Sekejap, gue rasa semuanya baik-baik saja sebelum gue mengingat kalau Purnama ada di sebelah kiri gue, sibuk membaca kertas not balok yang dia pegang. Gue menahan napas saat melihat gelas susu cokelat yang dipegang gadis itu terjatuh, menyiram kertas Purnama dengan telak sebelum jatuh dan isinya bercipratan mengenai seragam gue dan Purnama.

Purnama menatap kertasnya tidak percaya, hal yang sama juga gue lakukan. Hampir seluruh kertas itu basah dan stempel ungu itu terlihat tidak berwarna ungu lagi, melainkan cokelat. Purnama mengambil tisu dari saku seragamnya, berusaha mengelap stempel itu hingga ia bisa ikut audisi sebelum akhirnya sebuah kesalahan terjadi.

Kertas itu sobek.

Gue terperangah, menatap ke arah gadis itu yang kelihatan gak kaget sama sekali. Untuk ukuran cewek yang kelihatan normal--mengingat lebay adalah salah satu sifat cewek yang melegenda--ekspresi setenang telaga yang ditunjukkan gadis itu kelihatan aneh di saat seperti ini.

"Lo?! Astaga lihat ker--"

"Bukan salah saya." Gue kira gue adalah pihak penonton disini sebelum akhirnya gadis itu menunjuk ke arah gue tanpa perasaan. "Itu salah dia."

Gue bengong, lalu melotot ke arahnya yang segera lari meninggalkan kantin. Purnama kelihatan syok luar biasa. Tangannya masih belum lepas menggengam kertas yang bagiannya sobek menjadi dua.

Entah untuk mendramatisir keadaan atau apa, ponsel gue berbunyi, menampilkan nama Opa di kolom Id penelepon. Gue mengangkat panggilannya ragu, lalu menempelkannya ke telinga sebelum suara serak Opa menyambut gue khas orang tua.

"Alan, pulang cepatlah hari ini. Opa lihat kupu-kupu yang mampir ke dalam rumah, sebuah pertanda." Gue sempat mendengar Opa terkekeh sebelum akhirnya menyambung senang. "Kelihatannya akan ada orang tambahan yang tinggal sama kita. Tolong Opa bereskan kamar tamu, ya."

Gue hanya gak sempat berpikir siapa tamu yang Opa maksud.

***

A/N: Ada yang ingat sama Nata, Genza dan Cella? Yes, mereka adalah tokoh di ceritaku yg lain, Foolish. Purnama juga sempat aku bahas disana, kok. Jadi yg mau mampir kuy mampir, tapi belum bisa dilanjutkan karena gue lagi sibuk

Sip. Bagaimana tanggapanmu tentang chapter ini? Ditulis ya!

Semoga menyenangkan :)

-Ceefje

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro