Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

/18/: Sabita dan Bebasnya Sabintang

/S A B I T A/🌙

Semasa kecil, selain Bintang dan segenap anggota keluargaku yang lain, sepi dan kesendirian adalah satu hal yangmengenalku sama baiknya seperti aku mengenal diriku sendiri. Saat Ayah tidak di rumah atau saat Bintang tengah tertidur di kamarnya, aku sering kali berbicara pada hening. Mungkin itu terdengar sedikit gila. Hening tidak memiliki wujud yang pasti, membuatku terlihat seperti orang tidak waras yang baru keluar dari rumah sakit jiwa karena berbicara pada udara kosong di tengah malam.

Hampir serupa denganku, Bintang melakukan hal yang sama, walaupun dengan cara yang lebih manusiawi. Bintang berbicara pada kertas dan pena. Menuliskan berbagai macam hal yang ingin dia katakan pada siapapun lewat kalimat demi kalimat yang ia tulis kala malam sudah dijemput hari. Bintang tidak tahu ia harus bicara pada siapa. Surat-suratnya mewakili semua yang harus ia katakan padaku, Bunda, Ayah, atau sesosok teman nyata yang tak pernah ia punya.

Namun, siapa yang peduli? Asalkan aku masuk ke universitas pilihannya, Ayah akan selalu menganggapku sebagai anak yang waras. Asalkan Bintang mematuhi setiap perintah dan larangan dokter, Ayah akan menganggap gadis itu selalu sehat. Apa lagi yang perlu aku pedulikan selain persepsi  yang Ayah buat atas kehendaknya sendiri?

Dulu, aku berpikir kalau jawabannya tidak ada.

Namun sekarang, gue memikirkan satu jawaban.

Kupikir, aku perlu mempedulikan kesehatan mental gadis itu.

Bintang tengah duduk diam di atas sofa dengan mata yang sepenuhnya tertancap pada layar televisi saat aku sampai ke rumah sepulang sekolah. Jadwal homeschoolingnya memang disesuaikan dengan jadwal sekolahku, walaupun dengan durasi yang lebih cepat sehingga saat aku sampai di rumah, setidaknya Bintang punya waktu lebih dari cukup untuk membaca setengah dari buku fiksi favoritnya atau menulis barang 2 atau 3 surat untuk sahabat penanya yang berada di Bali. Namun, hari ini Bintang tidak melakukan kedua hal tersebut. Gadis itu hanya duduk di atas sofa dengan seluruh perhatian yang berpusat pada iklan di televisi.

Aku mengenal Bintang sama baiknya seperti aku tahu berapa banyak tahi lalat yang kupunya hingga aku lebih dari tahu kalau Bintang tidak pernah sefokus itu saat menonton televisi.

Aku masih terdiam dari tempatku, namun harus dibuat tersenyum pahit saat mengetahui apa yang sedari tadi membuat Bintang bahkan tidak menyadari keberadaanku.
Itu sebuah iklan. Iklan di televisi. Iklan yang menampilkan bagaimana serunya bermain wahana permainan di taman hiburan.

Aku berjalan cepat, meraih remote televisi dan mematikannya dalam satu tekan tombol.
Bintang terlihat kaget sesaat, namun gadis itu segera tersenyum saat melihatku berdiri di dekatnya dengan remote TV di genggamanku. “Oh, halo, Sa. Sudah lama pulangnya? Tadi aku merasa sangat bosan sampai aku gak tahu harus ngapain. Jadi, aku menonton TV. “

“Kamu menonton TV dan melihat iklan taman hiburan. That,s the problem.”

Namun, Bintang mengenalku sama baiknya seperti aku tahu berapa jumlah benda berwarna hitam di kamarku sehingga gadis itu segera menggeleng tegas sembari melotot meyakinkan. “Enggak, Sa. Aku gak akan kabur dari rumah buat ke Dufan. Enggak, kok.”

“Kamu terakhir kali berkata seperti saat melihat iklan McFlurry dan kamu pulang dengan keadaan setengah sadar setelah kabur dari rumah untuk pergi ke McDonald’s.”

Bintang terdiam, lalu ia mengigit bibirnya takut dan berbisik lirih. “Maaf.”

Aku menghela napas panjang, lalu berjongkok untuk menyamakan tinggi badanku dengan Bintang yang terduduk di sofa. “Ini semua Ayah lakukan untuk kebaikan kamu, Bi. Ayah gak mau ... kamu sakit lagi. Ayah gak mau kehilangan kamu setelah Bunda pergi. Maaf kalau caranya membuat kamu gak bisa keluar rumah.” Aku menggenggam tangannya erat, membuat Bintang lantas menatapku sembari mengulas senyum tipis. “Aku minta maaf.”

Bintang menggeleng pelan sembari tersenyum. “Nah, that isn’t your fault, Sa. Aku yang minta maaf karena ... sering buat kamu susah saat keluar diam-diam dari rumah. Maaf sering buat kamu khawatir. Maaf karena, punya kakak seperti aku itu merepotkan, kan?”

Aku langsung menggeleng cepat. “You,re such a miracle for me. Jangan berpikir seperti itu.”

“Daripada keajaiban, aku lebih suka menyebut diriku sebagai bencana.” Bintang kembali menunduk, menatap ke arah tangannya yang saling memuntir satu sama lain. “Bukankah aku membuat kamu harus jadi penerus perusahaan Ayah? Membuat kamu gak bisa jadi ballerina padahal anak sulungnya adalah anak yang gak akan hidup lama di dunia seperti—“

Stop, Bi. Stop!” Aku berseru tegas, menghentikan ucapan apapun yang akan Bintang lontarkan yang akan berakhir sama. Bintang akan menyalahkan dirinya lagi. Menyalahkan dirinya yang terlahir sebagai  anak pengidap penyakit yang bertahan seumur hidup. “Aku gak pernah berpikir seperti itu. Ayah memilihku bukan karena penyakit yang kamu derita. Dia hanya memilihku, tanpa alasan. Bukankah Ayah selama ini memang begitu? Asal mengambil keputusan sepihak?”

“Tapi—“

“Just stop.”

Bintang memang benar terdiam, membuatku juga tidak bersuara. Aku tahu, pelajaran mengendalikan emosi adalah pelajaran dasar yang Ayah ajarkan pada kami. Namun, aku masih merasa aneh saat selang lima detik setelah kami saling diam, Bintang menengadahkan kepalanya dan tersenyum lebar.

Senyum lebar ... yang terlihat sendu.

“Kenapa juga kita jadi buka sesi maaf-maafan disini?” Bintang tergelak keras, namun tidak mampu membuatku ikut tertawa juga. “Kamu baru pulang sekolah. Harusnya kita jangan ngomongin topik berat kayak tadi. Bagaimana sekolahnya? Masih banyak yang gak suka sama kamu? Kalau menurutku, sih, lebih baik kalau ...”

Selanjutnya, aku tidak benar-benar mendengar apa yang Bintang katakan padaku. Gadis itu terus bicara dan pikiranku terus bekerja. Logikaku mulai membentuk cabang-cabang yang membuatku pusing. Aku mulai berpikir banyak hal tentang gadis itu. Tentang kegiatan macam apa yang terus ia lakukan selama di rumah atau apa ia menyukai bagaimana sesekali Ayah membiarkan gadis itu pergi keluar rumah ditemani dokter pribadi dan sopir yang mengikutinya kemanapun.

Aku mungkin tidak punya teman namun terkurung di rumah tanpa tahu harus melakukan apapun adalah jenis penjara menyesakkan yang tidak pernah kupikirkan akan aku tahan sekuat Bintang.

“Nah, kamu pasti haus, kan? Tadi Mbak Nera beliin aku sebotol susu cokelat. Sudah aku masukkin ke kulkas sejak tadi dan sekarang pasti sudah dingin.” Bintang beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan menuju dapur sesaat setelah menoleh ke arahku sekilas. “Aku bawain buat kamu, ya. Tunggu sebentar.”
Belum sempat Bintang melangkah 5 kali, suaraku membuat langkah gadis itu berhenti.

“Bi.”

Bintang menoleh. “Apa?”

“Kamu sudah cek kesehatanmu hari ini?”

“Hm, belum.”

“Kalau begitu, sebaiknya kamu cek kesehatanmu sekarang.”

Bintang mengernyitkan dahinya bingung. “Eh, buat apa?”

“Kita akan pergi.”

Bintang semakin dibuat kebingungan. “Pergi? Kemana?”

Aku menatap gadis itu sok misterius sebelum sebaris kalimat yang kuucapkan pasti lebih dari cukup membuat Bintang menjerit histeris.

“Kamu dan aku, kabur dari rumah.”

****

Aku tidak pernah berpikir suatu hari nanti aku akan melakukan hal seperti yang kulakukan sekarang.

“Wah! Kepala Zombie itu hilang dalam satu tembakan! Keren!!”

SEPULANG DARI SINI KEPALAKU PASTI HILANG DIPENGGAL AYAH DALAM SATU AYUNAN PEDANG!!

Oke, kalian mungkin bingung situasi macam apa yang kini terjadi diantara aku dan Bintang, jadi mari dengarkan ceritaku lebih dulu.

Jadi, ketika aku memutuskan untuk membantu Bintang pergi dari rumah, aku tidak tahu harus menyuruh Pak Yono untuk mengarahkan mobil yang kami tumpangi kemana. Untuk ukuran gadis yang tidak pernah pergi ke banyak tempat tanpa kawalan banyak orang, ada banyak sekali tempat-tempat menarik yang perlu kukenalkan pada Bintang. Kukenalkan pada seorang gadis yang hanya tahu kalau dunianya hanya berpusat pada jalanan menuju rumah sakit dan kamar rawat inap.

Begitu banyak sampai aku tidak tahu harus membawanya kemana.

Akhirnya, setelah melewati perdebatan paling panjang yang pernah kulakukan bersama Bintang—saat Bintang mengusulkan untuk pergi ke wahana hiburan sedangkan aku mengusulkan untuk pergi ke kafe kopi favoritku—akhirnya Pak Yono bersuara dengan membawa satu ide brilian yang mencerahkan hati dan pikiran kami dalam sekejap.

“Nona, sebaiknya kalian pergi ke mal. Ada sebuah wahana permainan indoor dan sebuah kafe kopi dalam satu tempat. Saya yakin itu adalah jalan tengah dari dua usulan kalian.”

Sebuah usulan yang sangat bagus namun tidak bagus untuk kesehatan Bintang dan kesahatan uang jajanku.

Mal dalam keadaan ramai saat kami masuk melewati sliding door. Hembusan pendingin udara langsung menerpa wajah kami saat melewati pintu otomatis. Bintang tidak henti-hentinya tersenyum sumringah. Aku menyuruh Pak Yono untuk kembali, menyerahkan semua hal tentang Bintang hari ini sebagai tanggung jawabku.  Dan masalah selanjutnya datang lewat Bintang yang tidak bisa tenang. Ia menjadi gadis yang semangat sekali, keluar-masuk beberapa toko dan membeli beberapa benda bermotif Bintang berjumlah banyak.

Sekarang, aku mengerti kenapa Purnama selalu menggerekku keluar dari toko setiap kami pergi ke mal bersama.                                  

Kelelahan berkeliling toko—atau sebenarnya yang kelelahan adalah aku sedangkan Bintang masih terlihat bersemangat walaupun langkah kakinya tak secepat tadi—akhirnya aku memutuskan untuk membawa Bintang ke sebuah photo booth. Booth seperti itu sudah jarang sekali ada di mal, berbeda saat aku dan Bintang masih kecil dimana kami bisa mengambil banyak foto bersama Ayah dan Bunda dengan mesin yang tersebar di banyak tempat.

Kini, booth itu hanya ada di beberapa outlet wahana permainan di sebagaian mal pusat kota yang secara beruntung mudah kutemukan di mal tempatku berada. Kami mengambil beberapa foto bersama. Bintang adalah yang paling bersemangat. Ia berfoto dengan banyak ekspresi lucu, bertolak belakang denganku yang cukup puas hanya untuk memasang wajah tersenyum formal. Selesai mencetak foto kami, Bintang mengajakku untuk pergi membeli gitar baru. Aku menurutinya, mengajak Bintang pergi ke salah satu outlet alat musik berbagai macam merk ternama. Gadis itu memilih satu gitar klasik berwarna kayu yang berkilauan dan terlihat sangat senang saat membawanya pulang.

Aku ikut tersenyum. Menyenangkan rasanya melihat seseorang bisa gembira atas usaha yang kamu lakukan.

"Bi,"

Bintang menoleh saat aku memanggil namanya. Bintang mulai terlihat kelelahan. Bibirnya memucat dan wajahnya mulai kehilangann rona. Aku langsung dibuat terkejut, lalu segera meraih kedua bahu gadis itu dan mendudukkannya di salah satu kursi.

"Bi, are you alright? Need to take a little rest?"

Bintang menggeleng pelan, masih dengan senyum tipis yang tak luput dari wajahnya. "I'm fine, Sa. Just ... too happy. Kamu tahu, aku gak pernah berpikir akan benar-benar bebas dari rumah."

"Nah, it's okay. Ayo duduk dulu sampai kamu baikan." Aku menatapnya memohon. "Kamu kelelahan, Bi. Jangan dipaksakan."

Sinar mata gadis itu meredup, namun Bintang tahu apa yang tubuhnya butuhkan. Bintang mengangguk lemah dan tidak protes saat aku mengarahkannya untuk duduk di kedai Baskin Robbins.

"I'm going to order some ice cream. Want some?"

Bintang mengangguk lemah, walaupun dari bagaimana cara Bintang menatapku, aku tahu gadis itu merasa antusias. Setelah mengantri beberapa saat, aku kembali dengan dua mangkuk es krim dan duduk dihadapan Bintang. Gadis itu tersenyum saat aku menyodorkan mangkum es krimnya, namun bibir pucat gadis itu lebih dulu membuat aku berpaling panik.

"Bi, are you really okay? Gak merasakan sakit dimanapun? Di persendian? Di perutmu? Sesak di dadamu?"

Bintang menggeleng lemah, walaupun dari bagaimana caranya bersikap, aku tahu tangannya diam-diam meremas persendian di lengannya. Bintang sering merasakan sakit di beberapa bagian tubuh saat penyakitnya kambuh. Letaknya berpindah-pindah dan bertahan selama beberapa hari. Dan kali ini, aku merasa semuanya akan baik-baik saja jika saja, Bintang tidak terjatuh dari kursinya.

Aku lantas dibuat menjerit, bergegas membangunkan Bintang yang terjatuh. Tangan gadis itu mulai menekan dadanya berulang-ulang, tindakan yang biasa Bintang lakukan saat rasa sakit itu mulai menjalar ke rusuk-rusuk di dadanya. Aku merasa luar biasa panik. Tidak tahu apa yang perlu kulakukan saat gejala sakit Bintang mulai muncul. Satu-satunya yang kupikirkan adalah meraih teleponku, mendial serangkaian nomor milik supir keluar kami namun bukan suara Pak Yono yang mengangkatnya. Melainkan suara wanita operator yang mengabarkan kalau ponsel pria itu sedang tidak aktif.

Aku semakin panik saat Bintang mulai mengerang kesakitan, mengundang tatapan penasaran beberapa orang yang lewat. Aku dibuat semakin kalut saat melihat hanya ada nomor milik Ayah di kontak ponsel gadis itu. Namun, sebuah kesadaran menghantam kepalaku. Membuatku segera beralih dari pilihan kontak menuju pilihan log panggilan.

Aku hampir berseru senang saat melihat masih ada serangkaian nomor asing tanpa nama di dalam log panggilan ponsel Bintang. Lalu dengan tangan yang bergetar takut, aku menelepon nomor itu. Bibir Bintang mulai kehilangan warna, membuatku hampir saja menangis jika saja pada nada dering kelima, seseorang di seberang sana mengangkat teleponnya.

"Ha--"

"Purnama, saya butuh bantuan kamu. Sekarang!"

****

A/N: Yayayaayaaya...

Jadilah akhirnya seperti ini. Pendek sangad kan? Ya gitu. Outlinenya memang begini.

So, bagaimana chapter kali ini?

Semoga menyenangkan :)

-Ceefje

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro