Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

/17/: Sabita dan Tiga Permintaan

/S A B I T A/🌙

“Gue rasa, sesi latihan hari ini sudah lebih dari cukup.”

Aku tengah sibuk menegak air dalam botol yang kusimpan di tas saat Purnama berkata sembari mengambil music sheet miliknya dari alat penyangga masih tanpa ekspresi berarti. Hari ini tepat sesi latihan kedua yang kami jalani untuk audisi band klasik sebulan kedepan. Purnama—seperti biasa—tidak terlihat antusias maupun semangat sedikit pun selama dua kali sesi latihan kami. Namun, jauh dari lubuk hatinya—yang entah kenapa bisa tidak terhubung dengan koneksi syaraf ekspresinya—merasakan hal yang sebaliknya. Bagi laki-laki itu, berita audisi pianis band klasik yang diulang bukanlah kesempatan yang bisa datang dua kali.

Bukanlah kesempatan yang bisa kurusak dua kali juga.

“Lo sudah makan siang?” Pertanyaan Purnama membuat aku refleks menoleh hanya untuk mendapati laki-laki itu tengah sibuk mengemasi tasnya. “Gue rasa gue punya cukup waktu untuk makan siang bersama lo, teman.”

Teman.

Aku tidak pernah berpikir suatu hari akan ada orang yang benar-benar menganggapku sebagai teman. Kamu tahu, hidup sebagai bagian dari keluarga berpengaruh bukanlah jenis hidup yang mudah untuk dijalani. Kami punya uang, namun teman bukanlah sesuatu yang bisa kubeli. Teman tidak datang saat aku tidak menjanjikan sejumlah uang. Teman tidak akan datang saat aku tidak berjanji akan mentraktir mereka semua saat pesta ulang tahunku tiba.

Namun kali ini, aku menemukan seorang teman yang layak disebut teman.

Sejak hari itu, hari dimana kami sepakat menjadi teman satu sama lain, aku tidak lagi merasakan kalau dunia memang memberiku takdir sebagai orang yang akan kesepian sampai mati. Purnama sering kali menemani sesi makan siangku saat istirahat, atau sengaja membawakan beberapa makanan ringan yang Kae beli untukku. Bukan hanya Purnama, Venicella, Genza, bahkan hingga Nata juga turut menjadi sesosok teman yang kuanggap fana sedari dulu.

Sesosok teman yang tidak pernah kupikirkan akan kumiliki.

“Saya sudah makan siang, teman.”

Purnama  tertawa saat mendengarku meniru cara bicaranya. “Kita terdengar seperti orang yang tidak pernah punya teman.”

"Bagi saya, iya. Bagi kamu, mungkin tidak." Aku menunduk untuk  menatap ke arah ujung sepatuku. "Venicella, Genza, hingga Nata adalah jenis orang yang layak disebut teman oleh kamu."

"Ya. Dan sekarang daftarnya bertambah menjadi Venicella, Genza, Nata, dan ... Sabita." Purnama tersenyum tipis, lalu tangannya tergerak untuk merobek selembar kertas dari buku catatan miliknya dan menuliskan sesuatu menggunakan pena yang dia dapat dari kostak pensilnya sendiri. Tidak butuh waktu lama, hanya selang lima detik, Purnama menutup penanya dan memberikan selembar kertas itu padaku. Untuk ukuran laki-laki, Purnama punya tulisan yang rapi. Namun, bukan hal itu yang membuatku bingung. Melainkan apa yang tertulis disana yang kukira janggal untuk Purnama katakan padaku.

Maaf.

“Buat lo.”

Aku mengernyit tak mengerti. “Untuk saya? Sebuah kata maaf?”

“Bukannya sejak seminggu yang lalu, lo ngejar-ngejar gue sampai ke perpustakaan kayak rentenir Cuma untuk sebuah kata maaf?” Purnama menaikkan satu alisnya. “Gue memberikannya gratis buat lo. Ambil.”

“Kenapa?”

“Kenapa harus lo ambil? Ya karena—“

“Bukan.” Aku menggigit bibirku gugup. “Kenapa kamu memberikan saya maaf semudah itu? Bukakah saya sudah membuat kamu dalam masalah?”

Purnama tersenyum lagi, kali ini sembari meraih telapak tanganku dan meletakkan selembar kertas itu disana. “Karena kata nenek lampir gue di rumah, sebagai teman gue harus memaafkan kesalahan teman gue. Apapun. Karena katanya teman memang tercipta untuk itu.”

“Are you talking about Kaelyn?”

“Selain Mama dan Kae yang bisa berubah titel menjadi nenek-nenek, gue rasa lo tahu siapa yang bisa menambahkan titel itu dengan kata lampir.”

Aku tertawa kecil, namun lenyap saat menatap ke arah telapak tanganku dan menemukan kata maaf di lembar kertasnya.

Just take it.” Purnama menyahut santai.

“Bilang ke bokap lo kalau gue sudah memaafkan putrinya. Bilang ke bokap lo buat kembali izinin lo menari. Bilang ke bokap lo kalau maafnya kurang banyak, gue bisa menulisnya sampai seribu kali buat lo.”

“Kenapa?”

“Karena kita teman.”

Aku malah dibuat tertawa. “Bukan. Kenapa kamu harus menulisnya? Kalau saya jadi kamu, saya hanya perlu mengeditnya di komputer dan saya bisa melipat gandakan kata maaf itu hingga dua ribu atau lima ribu sekalipun.”

Purnama terkekeh, namun melanjutkan ucapannya dengan sebaris kalimat yang lantas membuatku salah tingkah. “Karena lo lebih suka tulisan gue dibandingkan tulisan komputer.”

“Saya tidak bilang begitu!”

“Lo gak pernah bilang, tapi gue tahu.”

Aku malah dibuat semakin cemberut. “Kamu sok tahu.”

“Gue bukan sok tahu, Sabita.” Purnama tersenyum lagi, jenis senyum yang entah kenapa membuat sebagian dari hatiku berdesir. “Tapi karena gue lebih dari tahu kalau yang gue katakan memang benar adanya.”

Aku memilih untuk mengalah, membiarkan seulas senyum puas tercetak di wajah Purnama seharian ini karena berhasil membuatku tersudut.

“Lo mau langsung pulang?”

Aku mengangguk pelan, dengan perhatian yang terpusat pada beberapa barangku yang kurapikan kembali ke dalam tas. “Saya tidak punya agenda lain setelah pulang sekolah.”

“Oh, bagus kalau begitu.”

“Bagus?”

Purnama mengangguk singkat. “Bagus, karena gue baru saja berpikir mau ketemu sama bokap lo dan saudari lo. Siapa namanya? Bi? Bintang?"

“Untuk apa?!” Tanpa sadar aku malah berseru panik.

Purnama memandangku heran. “Kenapa? Gak boleh, ya?”

“Bu-bukan begitu.” Aku menjawab terbata. “Ayah saya tidak suka jika ada tamu yang datang tanpa izin ke rumah. Saya tidak bisa memastikan kamu luput dari amarahnya juga.”

“Hm, gue mengerti.” Purnama terdiam sebentar, membuat aku lantas dibuat semakin kikuk. “Bagaimana jika gue antar lo sampai rumah?”

“Lalu, bagaimana dengan sopir saya yang sudah dalam perjalanan?”

Aku pernah bilang kalau dunia punya banyak cara melucu, namun leluconnya kali ini muncul dalam bentuk pesan yang tiba-tiba masuk ke ponselku. Tanpa banyak bicara, aku membuka pesan itu hanya untuk dibuat menghela napas setelahnya.

From: Pak Yono

Maaf, Nona. Mobil yang saya kendarai tiba-tiba mogok. Saya akan mengirim sopir lain untuk menjemput Nona di sekolah.

“Anything get wrong?”

Dengan nada malas aku menjawab, “Hm, mobil yang sopir saya kendarai tiba-tiba mogok.”

“Kebetulan yang menyenangkan lagi.” Purnama terkekeh. Ia menyampirkan tasnya di punggung dan bersiap-siap mengunci studio musik kembali. “Kelihatannya tawaran gue masih berlaku, jika lo mau.”

Aku terdiam, berpikir. Tidak butuh waktu untuk aku segera mengangguk. “Itu jika kamu tidak keberatan.”

“Sama sekali tidak, anyway.”

Aku tersenyum lemah, lalu hendak kembali memasukkan ponselku ke dalam saku jika saja ponselku tidak berbunyi lagi. Kali ini, pesan datang dari Bintang. Isi pesannya singkat, namun mampu membuat sebuah lampu di otakku menyala terang.

“Purnama.”

“Hm.”

“Saya kira saya butuh perubahan rute. Saya tidak akan pulang sekarang.”

“Lalu? Gue bisa mengantar lo kemana pun asal jangan ke neraka.”

Aku tersenyum tipis, lalu membaca pesan milik Bintang sekali lagi sebelum menjawab penuh semangat.

“Ke mal!”

Saat itu aku hanya tidak tahu, kalau sebelum kumasukkan ponselku kembali ke saku seragam, ponselku lebih dulu berdenting singkat, tanda ada sebuah pesan yang masuk.

From: Mrs. Jeanne

Your registry have been comfirmed.

Semangat untuk latihan khusus, Sabita. Semoga sukses untuk Asian Grand Prixnya :3

Terima kasih karena tetap memutuskan untuk menari. I'm proud of you :))

***

/P U R N A M A/🌝


Kae pernah bilang kalau hidup dengan adik laki-laki seperti gue adalah sebentuk neraka yang harus ia tahan sepanjang hidup. Gue tidak lagi terkejut, Kae pernah bilang kalau gue adalah sebentuk monster kecil yang mengirimkan banyak penyiksaan untuk gadis itu. Mulai dari bagaimana perhatian Ayah dan Bunda direnggut darinya saat umurnya masih belia atau  kala ia harus dibebankan beberapa tugas kecil yang gak akan dilimpahkan padanya jika terlahir sebagai anak tunggal.

Kae juga pernah bilang, kalau kadang neraka gak harus berupa alam maha luas yang ilustrasinya penuh kobaran api dan penyiksaan yang saat baca bukunya aja bikin gue gak berani lagi nyolong cokelatnya Kae. Neraka bisa berarti keadaan dimana lo merasa benar-benar mau keluar dari situasi apapun yang kini membebani lo dan merasa luar biasa bebas saat berhasil.

Dan sekarang, gue merasa bingung apa kini gue tetap bisa menyebut situasi gue sekarang sebagai neraka atau bukan.

Gue menghela napas panjaaaaaaaang sekali sedari tadi. Sudah jadi rahasia umum kalau mal adalah sebentuk tempat jelmaan neraka bagi kaki dan dompet para kaum laki-laki kayak gue. Seperti yang terjadi saat gue terakhir kali pergi ke mal bersama Sabita, gadis itu terus-terusan memimpin jalan di depan gue. Kaki gue terasa mau copot dari engselnya sedangkan Sabita kelihatannya gak begitu.

Dia kelihatan amat senang saat melihat-lihat beberapa deretan toko yang memajang aksesoris kamar bertema galaksi, namun urung masuk toko saat gue kembali menyeretnya menjauh. Gadis itu kesal sesaat, namun kembali senang saat melihat toko lain yang memajang aksesori kamar bertema black n white. Lagi, gue harus dibuat menggerek lengan gadis itu menjauh dari toko atau kami akan tetap tinggal di mal sampai jam 10 malam untuk menunggu Sabita mengagumi ratusan barang berwarna hitam yang terpajang di toko itu.

Baru saja merasa tenang sesaat, gue harus dibuat kabur dari Sabita saat gadis itu memaksa gue untuk memainkan giant piano, sebuah piano yang sangat besar yang cara dimainkannya adalah dengan menginjak tuts menggunakan kaki. Gadis itu merengek pada gue, meminta agar gue mau mencoba memainkan piano jumbo itu sekali dan dia berjanji tidak akan asal keluar-masuk toko.

Gue tentu saja bisa bermain piano, tapi menari sembari bermain piano, gue masih harus ingat urat malu untuk melakukan itu.

Akhirnya, gue yang harus dibuat berlarian meninggalkan piano itu, membiarkan Sabita yang lebih dari tahu kalau main lari-larian di mal adalah sebentuk tindakan kekanakan yang gak akan Ayahnya beri ampun sehingga gadis itu hanya menekuk wajahnya kecewa sembari berjalan dengan langkah normal yang terkesan dipaksakan.

Setelah itu, gue mengajak Sabita ke Timezone. Suasana di Timezone cukup sepi, membuat gue bisa leluasa mengantri di berbagai macam jenis permainan tanpa butuh waktu lama. Sabita memasang wajah tenang saat gue mengajaknya main roller coaster, berkata kalau permainan anak-anak seperti itu bukanlah jenis permainan yang dia takuti. Namun nyatanya, gadis itu tidak henti-hentinya berteriak histeris saat wahanan eskstrem itu menungkik tajam lalu berputar cepat. Gadis itu terlihat konyol saat tak lagi membendungi wajahnya dengan topeng tanpa ekspresi, membuat senyum gue selalu refleks tertarik saat mengingat bagaimana Sabita tidak lagi terlihat seperti Sabita yang menumpahkan susu cokelatnya ke music sheet audisi gue tempo hari.

Kalau neraka dunia memang seperti ini, sekiranya gue gak keberatan untuk masuk ke dalamnya, menderita sesaat, lalu bahagia dalam waktu yang lama.

Bahagia dalam senyum gadis itu.

"Ah, ini adalah makanan berwarna hitam yang paling saya suka."

Gue baru saja selesai mengantri semangkuk yogurt dari kedai Sour Sally dan duduk di salah satu kursi untuk dua orang ketika Sabita berkata sedemikian senang. Selesai bermain beberapa permainan di Timezone juga membawa beberapa permen--karena hanya itu yang mampu kami beli dari tiket yang kami kumpulkan--Sabita memutuskan untuk mengajak gue ke kedai ini. Mudah untuk menebak alasannya, di Sour Sally, ada sebuah varian warna unik untuk yogurt di kedai mereka. Yogurt itu berwarna hitam, satu dari satu warna yang gadis itu sukai setengah mati.

Sabita memakan yogurtnya sedikit demi sedikit, kelihatan sayang sekali untuk membiarkannya tandas tanpa waktu yang lama untuk menikmatinya. Gue hanya mampu menarik senyum diam-diam, merasa hati gue seringkali tergelitik saat melihat Sabita lagi-lagi mengumbar senyum polosnya.

"Lo memang sesuka itu sama warna hitam, ya?"

"Suka sekali!" seru gadis itu senang.

"Sejak kapan?" Gue bertanya lagi, membuat Sabita berhenti menyendok yogurtnya sebentar. "Gue rasa anak kecil pada umumnya gak segitu sukanya sama hitam. Hitam itu kelam. Anak-anak lebih suka warna cerah kayak pelangi. Gue rasa hukum itu berlaku buat semua anak."

Entah apa yang salah dari ucapan gue, Sabita berhenti terlihat antusias. Mata gadis itu meredup, namun senyumnya masih bisa tertarik walaupun tidak melengkung sempurna. "Sejak ... Bunda benar-benar pergi dengan cara yang kami semua pandang tidak adil dan saya merasa semua hidup saya berwarna sama." Ada getir yang merambati ucapan gadis itu, membuat gue merasa bersalah karena mengungkit apa yang seharusnya gak gadis itu ingat di saat seperti ini. "Semuanya hitam."

Hening sesaat.

"Gak cuma lo yang kayak gitu." Entah keberanian darimana, gue berhasil mengucapkannya. "Gue punya ... sedikit trauma. Sama piano."

"Trauma?"

"Hm. Bukannya terdengar aneh? Setiap gue menyentuh piano, gue merasa ada ... beban yang menyuruh gue berhenti." Gue menghela napas panjang, lalu menunduk hanya untuk mendapati mangkuk yogurt gue yang mulai mencair. "Ayah gue meninggal saat gue ikut kompetisi piano. Kompetisi yang sama yang membuat kita bertemu waktu itu. Sebuah kecelakaan. Kisah yang klise tapi hari itu gue sukses membuat Ayah meninggal sendirian di rumah sakit." Ada pahit yang menyumpal tenggorokkan gue setelahnya, namun melihat bagaimana Sabita menatap gue kian lekat, gue memutuskan untuk kembali bersuara.

"Gue baru saja naik ke atas panggung, baru memainkan setengah dari music sheet yang lo rekomendasikan saat Mama dan kae berteriak untuk menyuruh gue turun. Berkata kalau Ayah kecelakaan dan kami semua harus pergi kesana. Gue gak tahu. Tapi gue gak bisa berhenti. Gue tetap memainkan piece itu sampai selesai dan saat gue sampai di rumah sakit, Ayah tidak lagi berada disana."

Sabita tidak lagi bicara, namun tangan gadis itu tergerak untuk menepuk pundak gue pelan dan mendadak, gue merasa kalau dunia ini berhenti berotasi.

Berhenti untuk ikut berduka atas lelucon yang dunia berikan kepada dua anak malang bernama bulan.

Purnama.

Dan,

Sabit.

"Bunda saya juga berada di kecelakaan yang sama dengan Ayah kamu." Sabita tersenyum pahit, lalu gengaman tangannya di mangkuk yogurt mengerat. "Saya memaksa Bunda untuk datang ke kompetisi balet pertama saya. Saya tidak tahu. Hujan datang. Jalanan licin. Bunda saya terjebak dalam kecelakaan beruntun. Dan sejak itu ... Ayah benci semua hal yang berkaitan dengan balet. Semua hal yang berkaitan dengan Bunda."

"Itu sebabnya lo gak menepati janji lo sama gue? Janji untuk kembali bertemu saat gue memenangkan kompetisi?"

Sabita terdiam sebentar, lalu satu anggukan terlontar dari kepalanya. "Saya gak merasa butuh kembali menjadi ballerina saat nyatanya hal itu yang merenggut Bunda dari saya."

"Kebetulan yang gak lagi terdengar menyenangkan."

"Kebetulan tidak pernah ada yang tercipta secara menyenangkan, Pura." Sabita berbisik lirih. "Berbicara tentang kebetulan, saya rasa pertemuan kita kali ini adalah sebuah keajaiban."

"Keajaiban?" Gue malah terkekeh sendiri. "Gue gak merasakan apapun yang ajaib dari tadi."

Sabita kelihatan tidak terpengaruh dengan celetukan gue yang asal. Terbukti karena setelahnya gadis itu menyahut puitis."Kamu tahu, pada dasarnya kita sama-sama tercipta sebagai bulan."

Hanya butuh waktu sedikit bagi gue untuk segera mengerti apa yang Sabita maksud. "Purnama dan Sabit? Itu hanya sebuah nama."

"Saya tahu." Sabita terdiam, kelihatan sedang berpikir. "Tapi apa kamu pernah berpikir, apakah dua bulan mampu muncul di langit malam secara bersamaan?"

"Gue rasa tidak," jawab gue mantap. "Itu yang lo bilang sebagai sebuah keajaiban? Kita? Disini? Bersama? Sebagai dua bulan yang menerangi malam?"

"Terlalu puitis untuk ditelaah, tapi, ya. Saya berpikir seperti itu."

"Hm, rumit."

"Apanya yang rumit?"

"Kita."

"Semua komponen di dunia ini tercipta secara rumit, Purnama. Begitu juga kita."

Gue menghela napas kasar. "Apa itu artinya kita seharusnya gak boleh sama-sama? Gak boleh jadi teman?"

"Tidak ada yang berkata seperti itu."

"Kalau begitu, semuanya akan baik-baik saja." Gue terkekeh geli, dibuat menatap ke arah mangkuk gue yang hampir kosong. "Dunia gak akan marah semudah itu hanya karena dua bulan muncul di langit bersamaan. Pepatah mengatakan, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing."

Sabita tergelak lepas, lalu meletakkan mangkuk yogurtnya yang sudah kosong ke atas meja. "Saya tidak pernah berpikir suatu hari akan seperti ini."

"Seperti apa?"

"Saya dan kamu. Jadi teman. Itu terdengar terlalu mustahil bagi saya."

"Katanya, tidak ada yang mustahil di dunia ini, Sabita." Gue tertawa sendiri mendengar ucapan gue yang terdengar gak meyakinkan. "Ngomong-ngomong tentang mustahil, apa yang akan minta saat ada jin yang memberi lo kesempatan untuk mengabulkan tiga permintaan lo yang terdengar mustahil?"

"Saya tidak percaya kalau jin semacam itu memang ada."

"Gue gak menyuruh lo percaya. Gue menyuruh lo untuk meminta."

Sabita kembali terdiam. "Hm, saya kira kesehatan saudari saya adalah nomor satu yang saya minta."

"Sisa dua permintaan."

"Saya berpikir akan menyenangkan kalau Ayah membiarkan saya menari kembali."

"Sisa satu permintaan."

Sabita terdiam, kini lebih lama. Hingga akhirnya gadis itu mendongak sembari menggeleng. "Saya kira hanya itu. Satu permintaannya akan saya simpan."

Gue lantas dibuat tergelak keras. "Gak ada jin yang mau nyimpan permintaan kayak ATM, tapi karena gue bukan jin beneran, gue membiarkan lo mengambil permintaan itu."

"Terima kasih banyak, kalau begitu." Sabita terkekeh, lalu memajukan kursinya seraya mendekatkan tangannya ke meja. "Kalau kamu? Saya rasa kamu pasti punya banyak permintaan."

Gue tertawa, lalu mengangguk sekenanya. "Gue kira begitu banyak, sampai gue gak tahu mana yang harus gue minta."

"Just tell me." Sabita berdeham sedikit, lalu kembali bersuara dengan nada bicaranya yang dibuat sebariton mungkin. "Saya adalah jin pengabul permohonan. Saya beri kamu tiga permintaan dan waktu berpikirnya adalah 20 detik ... dimulai dari sekarang."

Dua puluh.

Gue dibuat terkekeh mendengar suara gadis itu yang berubah konyol, namun mengingat batas waktu yang Sabita tentukan, gue memutar otak secara cepat. "Permintaan pertama, gue mau jadi pianis terkenal seperti Papa gue."

Enam belas.

"Sisa dua permintaan."

Gue mengedikkan bahu santai. "Gue mau ketemu doraemon."

Empat belas.

"Untuk?"

Dua belas.

"Minjam mesin waktu supaya gue bisa memutar waktu dan ngomong sama Papa sebanyak dan sepanjang mungkin selagi sempat."

Sembilan.

"Sisa satu permintaan terakhir."

Gue terdiam. Berusaha mencerna apa yang kemudian otak gue pikirkan untuk kesempatan terakhir gue.

Tujuh.

Gak. Gue gak akan meminta itu.

Gak. Gue gak akan meminta hal konyol kayak gitu.

Tapi, siapa yang tahu.

Mana yang menang? Hati atau logika?

Lima.

"Sabita, janji sama gue lo gak akan tertawa."

Empat.

"Saya tidak akan tertawa. Saya janji."

Tiga.

Dua.

Sa--

"Lo dan gue. Seperti ini. Selamanya."

Nol.

Dan memang, Sabita memang tidak punya kuasa untuk sekadar bersuara.

***

A/N: Wawawawawawa.....

Oke bay

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro