/15/: Sabita dan Foto dalam Dompet
/S A B I T A/ 🌙
Sepanjang hidup, aku hampir tak pernah sakit parah.
Aku tidak tahu apa yang salah. Bertolak belakang dengan Bintang yang rutin keluar-masuk rumah sakit untuk pemeriksaan mingguan, ranjang rumah sakit ataupun UKS terasa asing untukku. Pingsan saat upacara berlangsung pun tak pernah kurasakan. Berbeda dengan Bintang yang sebelum masuk homescooling sudah sering membuat orang rumah kalang kabut setelah menerima panggilan telepon dari guru. Apalagi izin keluar kelas untuk pergi ke UKS, itu lebih langka lagi terjadi padaku.
Terkadang aku bingung, mengapa aku dan Bintang ditakdirkan sebagai sepasang saudara kembar jika kami sungguh bertolak belakang?
"Ini sudah hampir dua jam kita disini dan lo bahkan belum bisa menarikannya dengan benar."
Aku menoleh cepat, hanya untuk mendapati Purnama yang memandangku setengah kesal dari kursi pianonya. Kami berada di studio musik sekolah, tengah melatih tari balletku bersama Purnama untuk audisi pianis band klasik. Sejak kemarin, saat aku memutuskan untuk membantu Purnama sebagai partner seninya, kami memutuskan untuk membuat jadwal latihan. Kami berlatih hampir setiap hari dan Rabu ini adalah hari pertamanya.
Purnama memang benar, sudah hampir dua jam dan aku tidak sanggup menarikan tari ballet Dancing of The Sugar Plum Fairy dengan baik. Bukan, ini bukan lagi tentang Ayah yang melarangku. Atau karena Bi Inah kembali meneleponku dan mengabari kalau Bintang kembali pergi dari rumah dan pulang dalam keadaan setengah sadar.
Ini semua karena aku terkena flu.
Apa? Kurang jelas?
AKU TERKENA FLU. FLU MEMBUAT KEPALAKU SERASA DITIMPAHI MOBIL 10 TON DAN AKU TIDAK BISA BERHENTI BERKERINGAT.
Oke, itu pasti sudah cukup jelas.
Kini aku mulai mengerti kenapa aku hampir tak pernah sakit parah. Berbeda dengan Bintang yang harus mengidap penyakit yang sewaktu-waktu bisa mengancam nyawanya, nyawaku bisa terancam hanya dengan terkena flu.
Mungkin tentang flu dan mengancam nyawa terlalu berlebihan tapi--AKU BENAR-BENAR TIDAK BISA BERNAPAS SEKARANG.
"Lo kenapa, sih?" Purnama mulai bertanya dengan nada sewot padaku. Tak membingungkan, karena dia pasti merasa waktu dua jamnya hari ini terbuang sia-sia hanya untuk menonton tarianku yang tak kunjung rampung.
"Saya baik-baik saja."
"Dan saat cewek bilang baik-baik aja, berarti dia gak begitu."
Aku menyipitkan mata. "Sejak kapan kesimpulan semacam itu ada?"
Purnama tidak menjawab, namun dia mulai mendekat dan berhenti saat jarak kami hanya terpaut satu langkah. "Saat gue tahu kalau lo hari ini terkena flu dan flu bukan arti sebenarnya dari saya baik-baik saja."
"Saya tidak terkena flu."
"Suara lo berubah jadi sedikit lebih berat dan sengau."
Aku berdecak pendek. "Sengau bukan berarti saya tengah terkena flu."
"Tapi menurut iklan obat yang bunyinya 'Ma, suaraku berubah jadi seperti kodok,' anaknya jelas-jelas tengah terkena flu."
"Kamu jelas terlalu banyak menonton iklan!" aku membantah tegas. "Selain itu saya--EHHH, APA YANG KAMU LAKUKAN DENGAN TELAPAK TANGAMU DI ATAS DAHI SAYA?!"
"Lo jadi cerewet banget hari ini." Perkataan sinis Purnama langsung membuatku berhenti bicara. "Ini cara orang normal mengukur suhu tubuh. Dahi lo panas, artinya lo demam."
"Saya tidak demam." Aku mulai membantah lagi, walaupun jelas sekali aku memang terkena demam ringan. Namun diluar dugaan, Purnama justru malah berjalan meninggalkanku menuju pintu keluar studio, membuatku refleks bertanya dengan nada hampir menjerit. "Eh, kamu mau kemana?"
Purnama tidak menoleh, namun dari suaranya aku tahu kalau laki-laki itu sama sekali tidak menunjukkan ekspresi. "Lo akan percaya sama gue setelah gue bawa termometer kesini."
"Kenapa kamu teguh sekali berkata kalau saya tengah terkena demam."
"Karena gue gak suka."
"Tidak suka apa? Tidak suka dengan orang yang terserang demam?"
"Bukan." Purnama terdiam, sebelum ia mengikis jarak diantara kami lalu menarik lenganku keluar dari studio. Aku sempat berontak, bertanya kenapa ia menarikku keluar studio saat sesi latihan kami belum selesai. Namun, protesku terpaksa harus tertelan kembali saat Purnama melontarkan sebaris kalimat yang tiba-tiba membuat pipiku menghangat. "Gak suka lihat lo menderita dan berusaha bertahan cuma demi urusan gue."
Aku berdeham singkat, berusaha membuat nada bicaraku jadi kembali tenang. "Saya tidak bertahan demi kamu. Jangan terlalu percaya diri."
"Terus, apa yang sejak tadi lo lakuin disini kalau bukan tentang audisi pianis gue? Bikin Kiki Challenge?"
Aku mendengus kesal, namun tetap diam saat tidak menemukan lagi ruang kesalahan untuk protes.
"Maaf.
"Don't apologize."
"Tapi saya mau."
"Tapi gue gak kasih izin."
Mataku kontan menyipit. "Sejak kapan meminta maaf saja butuh izin?"
"Sejak impian lo ada di tangan gue dan impian gue ada di tangan lo."
Sebaris kalimat yang tepat karena selanjutnya aku merasakan sebongkah batu menyumpal tenggorokkanku, memaksa semua kata terdiam dan berhenti mendorong ke luar.
"Sejak gue bisa membuat impian lo hancur kapan saja dan lo bisa melakukan hal yang sama juga. Sejak itu, entah sadar atau enggak, kita kelihatan saling terhubung dan jangan sampai menyakiti satu sama lain." Purnama menghela napas pendek, lalu ia melangkah mundur teratur dan berhenti saat sebuah kursi menyentuh kakinya. "It's look worse now, right?"
"Indeed," aku menjawab tanpa ragu. "Bagaimana jika mimpi kamu dan mimpi saya--"
"We don't talk about that."
"Hah?"
"Gue berbicara tentang demam lo. Kelihatannya sakit lo memburuk." Purnama memiringkan wajahnya sedikit, terlihat tengah mengamati wajahku, membuatku refleks memalingkan wajah salah tingkah. "Lo terlalu banyak berkeringat di suhu rungan. Muka lo merah. Demamnya meninggi."
Aku lantas dibuat tergagap. Orang-orang mungkin melihatku sebagai pribadi yang tenang dan kaku, namun siapa yang tahu kalau aku begitu takut dengan sesuatu yang mengancam nyawa dan sebuah penyakit adalah salah satunya. Bukan karena aku takut akan kematian. Satu-satunya yang aku pikirkan saat aku sakit adalah;
Bagaimana nasib Bintang saat aku tidak berdaya?
Apa dia tetap rajin minum obat?
Apa dia akan tetap sendirian di rumah?
Apa dia...akan tetap bertahan dengan hidupnya?
"Ini bukan jenis demam yang serius. Mungkin lo hanya kelelahan." Ucapan Purnama lantas membuatku diam-diam menghela napas lega. Namun kelegaanku berangsur hilang layaknya kering dibasuh air saat Purnama justru melanjutkan dengan nada tenang yang membuatku tak tahan untuk tidak mendorongnya sampai terjatuh. "Tapi siapa tahu. Biasanya yang kelihatan biasa bisa bikin lo mati muda."
Mataku langsung melotot kaget. "Heh! Mulut kamu--"
"It's OK."
"Hah?"
"Gak apa-apa. Mau lo mati muda atau mati sekarang, setidaknya sampai sisa hidup lo, lo gak akan mati kesepian." Purnama tersenyum tipis, lalu tanpa aba-aba dia kembali menarik lenganku keluar dari studio. Kini dia betul-betul membuka pintu dan berjalan cepat hingga aku terlalu sibuk menyamakan langkah dan tidak mempunyai ruang untuk melontarkan protes.
Satu yang sayangnya tidak kuketahui adalah bagaimana sesaat sebelum pintu studio ia buka, Purnama melontarkan sebaris kalimat pelanjut yang seharusnya berhasil meredam kekesalanku atas perkataannya yang lalu.
"Karena sampai malaikat maut membawa lo pergi, gue akan selalu ada di samping lo."
***
/P U R N A M A/ 🌝
Otak gue pasti sudah dimakan sama zombie.
Kalimat itu adalah jenis kalimat singkat yang sayangnya sudah gue gumamkan selama 10 menit terakhir sejak gue tanpa sadar--atau sebenarnya sadar--menarik lengan Sabita keluar dari studio bahkan sebelum ia berhasil menarikan tari baletnya hingga rampung. Sebenarnya sejak awal, gue sudah merasakan ada yang tidak beres dengan gadis itu. Saat bel pulang sekolah berbunyi dan kami segera berlari menuju studio musik, gue sempat dibuat terheran-heran dengan wajahnya yang memucat. Tadinya gue tidak begitu peduli. Orang bisa pucat dengan banyak alasan dan gue tahu wajah Sabita tidak akan kehilangan rona di wajahnya dengan alasan yang mengerikan. Jadi, gue memilih untuk membiarkannya tanpa bertanya.
Namun, justru hal itu malah memburuk. Sabita bahkan tidak mampu fokus menari, diperparah dengan suaranya yang sengau juga napasnya yang terlihat tidak teratur.
Dan entah kenapa, gue malah dibuat merasa bersalah.
Sungguh sebuah kenyataan yang tidak masuk akal namun jadi terasa masuk akal saat gue berkata kalau otak gue sudah habis dimakan zombie.
"Kenapa kamu bawa saya kesini?"
Sabita bertanya sesaat setelah gue membuka pintu ruang kesehatan dan memaksanya duduk di salah satu kasur. Gue mengabaikan pertanyaannya, justru malah dibuat kebingungan karena tidak ada satu pun anggota seksi kesehatan yang menjaga ruangan.
"Saya bertanya kenapa kamu bawa saya kesini?" dengan nada kesal, Sabita mengulang pertanyaannya.
"Boker."
Bodohnya, Sabita justru balik bertanya. "Boker? Apa itu?"
Oke, gue mungkin tahu Sabita selalu berkata dengan kata serba baku seakan bacaannya sehari-hari adalah kamus besar bahasa indonesia yang tebalnya asataganaga itu. Tapi-- ya ampun. Di penjuru Indonesia Raya ini siapa yang gak tahu apa arti kata 'boker'?
"Gue gak punya waktu menjelaskan."
Setelah memakan sedikit waktu untuk mengotak-atik lemari obat milik ruang kesehatan--yang lebih baik bagi gue untuk segera keluar dari ruangan secepat mungkin atau besoknya gue akan dikejar angota seksi kesehatan dengan tuduhan sebagai penyebab semua perlengkapan obat mereka tercerai berai--akhirnya gue kembali dengan sepotong obat demam yang umum dipakai dan terlihat ampuh saat gue melihatnya di iklannya di TV.
Gue sudah yakin kalau kali ini, Sabita akan baik-baik saja jika saja saat gue kembali mendekat ke kasur, gue tidak melihat Sabita terus meremas perutnya dengan ekspresi kesakitan dan rintihan tertahan. Gue luar biasa panik, membuat gue segera mendekat dan bertanya kelewat histeris.
"Lo--"
"Tidak. Tidak apa-apa." Gadis itu mahir membaca pikiran karena sejenak sebelum gue bertanya heboh , gadis itu lebih dulu berniat menjelaskan. "Tidak apa-apa. Ini hal yang biasa terjadi saat saya sakit ringan. Tolong ambilkan obat di dalam tas saya. Saya akan segera membaik."
Tanpa banyak bicara, gue segera mengambil sebuah kantung obat dari bagian tas terkecil. Ada beberapa obat disana, hingga gue dengan tergesa mengulurkan kantung obat itu yang diterima Sabita dengan tangan bergetar.
Sabita membuka kantung itu masih dengan gerakan hati-hati, lalu meminum salah satu tablet dari sana dengan bantuan segelas air mineral yang dia dapat dari meja. Sabita tidak berbohong, dia terlihat membaik sesaat setelah obat itu ditelannya. Gadis itu menghela napas panjang sebelum melirik ke arah gue dan tersenyum tipis.
"Terima kasih."
Gue hanya mengangguk sekilas, lalu memutuskan untuk menarik keluar salah satu kursi dan duduk dalam diam disana. Gue melirik ke arah gadis itu sebentar, berniat memastikan apa keadaannya baik-baik saja, takut jika siapa tahu Sabita membutuhkan bantuan. Gadis itu menurut untuk tetap berbaring di kasur hingga keadaannya membaik atau setidaknya, sampai suhu tubuhnya kembali ke keadaan normal, membuat gue bisa dengan tenang duduk di kursi sembari menatap ke berbagai arah di luar jendela.
Belum genap 5 menit gue duduk diam, dibuat memandang ke arah hiruk pikuk lapangan luar arena sepak bola sekolah, suara Sabita membuat gue kembali menoleh.
"Purnama,"
"Hoy?"
Ada keraguan yang gue tangkap dari sorot matanya, namun akhirnya gadis itu memutuskan untuk bicara. "Kamu mau membantu saya lagi?"
"Hm?"
"Bisa tolong ambilkan...dompet saya?"
Tanpa kembali bicara, gue menuruti perkataannya. Gue kembali mengambil tasnya, merogoh bagian tas yang lain yang secara kebetulan tepat berisi sebuah dompet sederhana berwarna hitam. Masih tanpa bicara, gue mengulurkan dompet itu, yang dibalas Sabita dengan satu senyuman dan satu ungkapan terima kasih.
Gadis itu membuka dompetnya, mengeluarkan sebuah foto lama--karena pinggiran gambarnya sudah mulai menguning--dan memandanginya sembari tersenyum. Gue penasaran, mencoba mencari tahu siapa sosok di balik foto itu dan akhirnya menemukan sosok wanita muda cantik yang tersenyum bersama seorang pria dan dua anak perempuan berwajah serupa.
Itu adalah Bundanya Sabita.
"Kalau kamu mau tahu, dia adalah Bunda saya." Sabita menjelaskan tanpa diminta, membuat gue tetap diam mendengarkan. "Saudari saya mengidap penyakit serius, namun secara ajaib bisa membaik saat memandangi foto keluarga kami. Sejak itu, saya juga membawa sebuah foto keluarga di dalam dompet, berjaga-jaga saat siapa tahu Bintang maupun saya membutuhkannya."
Gue terdiam, dibuat kehilangan kosa kata saat melihat ekspresi Sabita yang berubah pahit.
"Lo punya keluarga yang harmonis." Akhirnya hanya kalimat itu yang mampu gue katakan.
Sabita tersenyum, jenis senyum yang buat gue malah terlihat layu. "Ya, seharmonis yang kamu lihat."
Gue menghela napas pendek, lalu dibuat kembali melangkah ke arah kursi yang gue duduki awalnya jika saja sebuah foto lain tidak membuat perhatian gue teralih.
Foto itu memiliki ukuran yang lebih kecil daripada foto keluarga milik Sabita. Namun, mata gue awas saat merasa mengenali siapa sosok di balik foto itu yang terjatuh di atas kasur di dekat lengannya Sabita. Gue terdiam, namun tangan gue terulur untuk mengambil foto itu dan dibuat tercekat setelahnya.
Sosok itu adalah sosok bocah laki-laki dengan umur kisaran delapan sampai sembilan tahun. Dalam sekali tatap, orang manapun pasti sepakat kalau bocah laki-laki itu terlihat hebat dengan sebuah piala besar berada di genggaman tangannya.
Sayangnya, bukan hal itu yang membuat lidah gue seakan putus. Melainkan siapa bocah laki-laku itu sebenarnya.
Sosok yang tidak lain dan tidak bukan adalah gue.
Saat umur gue delapan tahun.
Saat gue berhasil memenangkan sebuah piala besar berukirkan gambar piano di bagian atasnya.
Saat gue berjuang demi sebuah sertifikat pemenang agar bisa kembali bertemu dengan sosok gadis baik yang tidak pernah gue tahu siapa namanya.
Sosok gadis yang sampai sekarang tak pernah kembali gue temukan.
Lidah gue kaku, terasa berat untuk sekadar bertanya mengapa Sabita bisa memiliki foto masa kecil gue di dalam dompetnya. Bertanya darimana Sabita bisa memiliki foto itu.
Bertanya apa Sabita pernah mengenal gue sebelum kami bertemu seminggu yang lalu.
"Oh, fotonya terjatuh?" Sabita menyahut tenang sesaat setelah melihat foto miliknya dalam genggaman tangan gue. "Kamu mau tahu juga? Dia adalah anak laki-laki yang pernah saya temui saat umur saya masih delapan tahun. Itu sudah lama sekali hingga saya tidak begitu ingat persis bagaimana wajahnya. Namun yang saya ingat, dia mahir bermain piano."
Gue terdiam kaku, merasakan seluruh kosakata di dalam kepala gue tersempurnakan hilang dari ingatan. Kepala gue tiba-tiba terasa pening, diikuti dengan rahang gue yang terasa berat bahkan untuk sekedar berkata sebaris kalimat.
Dia adalah anak laki-laki yang pernah saya temui saat umur saya delapan tahun.
Tubuh gue terasa kehilangan tulang. Gue hampir saja terjatuh jika tidak segera berpegangan pada sembarang dinding. Sabita memandang gue dengan tatapan heran, namun tidak punya cukup niat untuk bertanya.
Saya tidak begitu ingat persis bagaimana wajahnya. Namun yang saya ingat, dia mahir bermain piano.
Hanya baris itu, baris terakhir kalimat yang diucapkan Sabita membuat ingatan gue terpaksa terlempar ke sebuah memori 8 tahun lalu. Memori saat gue kembali datang ke studio musik yang sama dengan sebuah piala yang gue janjikan kepada gadis itu namun tidak menemukannya dimana pun.
Memori dimana seorang wanita resepsionis yang sering kali berjaga di depan memberikan gue sebuah memo dengan tulisan khas anak kecil dengan isi yang sudah gue hapal luar kepala.
Berjuang terus, ya, Purnama. Kamu bisa! Kamu bisa! Kamu bisa!
-Gadis dengan bulan sabit dalam darahnya.
***
A/N: Huwala Humba!
Oke. An kali ini akan cepat karena saya ngantuk. Zzzz..
H-1 sebelum chapter favorit saya :v
Oke. Bagaimana chapter ini? Tell me!
Semoga menyenangkan :)
-Ceefje
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro