Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

/14/: Purnama dan Mimpi di Sisi Jalan

/P U R N A M A/ 🌝

Apa sih yang pertama kali keluar dari otak lo setelah mendengar kata prank?

Bisa jadi, sesuatu yang pertama mencuat dari otak lo adalah bagaimana ekspresi panik teman lo saat mendapati kostak pensilnya kosong di jam pelajaran seni rupa atau ekspresi takut adik lo saat mendapati banyak mainan kecoak di dalam tas yang baru dicucinya.

Atau mungkin, sebagian dari kalian akan langsung berpikir tentang april mop, hari dimana lo bisa bebas melancarkan seribu satu cara ampuh menjahili orang tanpa perlu takut dimusuhi teman-teman.

Kata teman sekolah semasa SD gue dulu, gue adalah salah satu korban empuk dari serangkaian hari april mop. Bukan tanpa alasan, gue adalah tipe orang yang sebenarnya gak peduli apa yang seseorang bicarakan dengan gue adalah sebuah kebenaran atau tipu daya. Termasuk, prank yang hari itu dilancarkan dengan sengaja oleh seorang gadis teman sebangku gue.

Namanya Nadila, gadis yang sempat membuat gue terpesona saat hari pertama masuk sekolah. Nadila punya perangai yang baik, hal itu yang membuat gue lantas tak merasa perlu mengabaikannya saat Nadila mengajak gue mengobrol suatu hari.

Gue bisa saja merasa kami akan menjadi teman baik jika saja waktu itu, Nadila tidak menghampiri gue dan berkata kalau dia menyukai gue. Iya, mungkin terdengar agak menjijikan. Anak SD yang notabene adalah anak di bawah umur bahkan sudah tahu istilah suka dan cinta-cintaan. Tapi, well, siapa yang tahu kalau kemudian gue balas menjawab kalau gue juga menyukainya.

Dan siapa yang tahu juga kalau gue baru saja lupa kalau hari itu jatuh pada tanggal 1 April.

Seperti yang mudah ditebak, gue salah sangka. Nadila tidak benar-benar menyukai gue. Dia hanya menjahili gue. Menambahkan gue sebagai salah satu korban prank dalam track recordnya seharian di hari april mop.

Sejak hari itu, gue membangun dinding lain yang menyekati gue antara bagaimana harus percaya pada sesuatu yang disebut perkataan lalu lalang.

Hingga hari ini datang dan gue tiba-tiba merasa jadi orang paling bego sedunia jika terjatuh di lubang yang sama dua kali.

"Eh, lo tahu kabar baru, gak? Katanya audisi pianis band klasik bakal diulang, lho."

Suara gadis yang kurang dari setengah jam lalu masuk ke perpustakaan membuat lawan bicaranya mengangkat wajahnya sedikit, hendak menanggapi.

"Oh, gue udah tahu. Tadi papan pengumuman ramai banget. Gue kira ada apa. Eh, ternyata audisi pianis band klasik beneran diulang."

Hanya satu kalimat dan gue lantas dibuat melotot ke arah layar ponsel gue.

"Ini bukan tanggal 1 April, kan, Sa?"

Sabita menatap gue heran, dengan satu alisnya yang terangkat tak mengerti. Namun seperti biasa, gadis itu tidak merasa perlu bertanya hingga akhirnya Sabita menggeleng singkat. "April mop? Tentu saja bukan."

Napas gue mendadak tertahan. "Bukan april mop? Jadi yang mereka bilang itu serius?"

Sabita berpikir sejenak. "Dilihat dari bagaimana intonasi mereka bicara, kelihatannya mereka serius."

Sabita terdiam.

Gue terdiam.

Kami saling berpandangan.

Dan setelahnya gue tahu kalau kami punya pemikiran yang sama akan suatu hal.

***

"Permisi..permisi..kami mau lewat."

Itu adalah sebaris kalimat yang sudah Sabita ucapkan berulang kali selama 5 menit belakangan dan tidak menunjukkan perubahan yang berarti dari sekumpulan siswa yang berjejalan menatap ke arah mading pengumuman. Tentu saja, suara Sabita hanya menjelma jadi cicit tikus dibandingkan hiruk pikuk yang tercipta akibat sebuah pengumuman yang baru saja dipajang.

Saat gadis bahasa di perpustakaan berkata kalau mading pengumuman dalam keadaan sangat ramai, gue tidak tahu kalau arti ramainya adalah seramai ini. Banyak siswa berjejalan memblokir jalan, makin runyam ketika orang-orang yang baru keluar dari kantin harus tertahan dengan segerombolan siswa yang juga dalam keadaan terdesak seperti kami. Sekejap, mading pengumuman kini disulap seperti keadaan antri sembako gratis.

Gue masih berusaha merangsek masuk ke arah barisan siswa yang sama-sama mendongak membaca isi pengumuman mading. Namun, barisan bahu yang berhimpitan lagi-lagi membuat gue terjejal keluar. Hal yang hampir serupa terjadi pada Sabita. Gadis itu kelihatan kesal sekali saat lagi-lagi ia tidak bisa melangkah mendekati mading, diperjelas dengan wajahnya yang kini memerah--entah karena menahan panas yang menyergap atau menahan marah yang hampir meluap.

"Geez, sebenarnya apa yang mereka lakukan disini? Suasananya terlalu ramai." Sabita berteriak di sela-sela kerumunan orang yang saling bersuara riuh-rendah.

"Seperti yang lo liat, mereka semua juga mau liat pengumuman baru." Gue berteriak lebih keras, khawatir suara gue tertelan dengan hiruk pikuk siswa yang saling bersahutan. Siswa yang sudah selesai melihat pengumuman mulai meninggalkan mading, namun tidak punya cukup celah agar Sabita bisa merangsek maju dan melihat isi pengumuman yang terpajang.

"Pura,"

"Hoy?!"

"Janji sama saya kamu tidak akan beritahu Ayah tentang ini."

Gue kebingungan. "Beritahu tentang ap--"

Gue belum lagi selesai melanjutkan kalimat ketika tiba-tiba Sabita melakukan sesuatu yang tidak gue duga. Dia--

"TOLONG MENEPI. SAYA MAU LEWAT!!"

--berteriak.

Mudah ditebak, suara teriakan Sabita mengambil alih suasana. Mendadak, mading berganti hening dan semua orang refleks menyingkir saat Sabita melenggang angkuh dengan wajah kesal membelah kerumunan hingga isi pengumuman benar-benar tepat ada di depan matanya.

Semua orang masih membeku, seakan terjebak dengan lingkaran waktu yang putus tepat saat gadis yang biasa bicara dengan suara serupa bisik itu kini berteriak keras. Beberapa orang bertahan dengan mulut menganga terkejut, atau sebagian lainnya hanya mengernyitkan dahi heran berusaha memastikan kalau gadis yang baru saja berteriak adalah gadis yang selama ini selalu mereka musuhi di kelas.

Gue tidak lagi terkejut. Sabita bukan sekali ini berteriak. Dia pernah berteriak pada gue untuk melepaskan cekalan tangannya tempo hari. Dan berteriak untuk kedua kalinya bukanlah sesuatu yang bisa gue tebak dari gadis seaneh Sabita.

"Pura, kamu mau berdiri saja disitu atau saya perlu menyeret kamu kesini?"

Masih hening, dan gue memilih untuk tidak melawan.

Gue berjalan pelan dan dibalut heran saat perlahan orang-orang juga menyingkir dari jalur langkah kaki gue dengan ekspresi yang sulit diterka. Gue tidak terlalu memikirkannya, hanya terus berjalan sampai berhenti tepat di samping Sabita yang membaca isi pengumuman dengan serius.

"Bukan hanya audisi pianis. Beberapa pemain alat musik lain juga melakukan audisi ulang." Sabita menyipitkan matanya, berusaha membaca pengumuman yang terpasang tinggi. "Itu sebab kenapa papan pengumuman ramai sekali."

Gue tidak menanggapi, ikut sibuk membaca pengumuman dan memfokuskannya ke arah syarat-syarat yang perlu dilunasi untuk ikut audisi.

Piece yang dimainkan berupa pilihan yang ditentukan panitia. Antara lain:

1. Gymnopédie No. 1
2. Sloavanic Dances, op. 72. No.2 in E Minor
3. Dance Of The Sugar Plum Fairy
4. Waltz Of The Flowers
5. Scarlatti Sonata in A major K.208

"Pilihan lagu klasiknya tidak sulit." Sabita menanggapi santai sembari melirik ke arah gue sekilas. "Saya rasa kamu bahkan menguasai semua lagu pilihan ini."

Gue mendengus pendek, lalu kembali memperhatikan syarat berikutnya.

Audisi pianis band klasik mengutamakan penghayatan, ketepatan tempo, dan penguasaan lagu yang dibawakan.

"Syarat yang tidak sulit sama sekali. Bisa diasah jika kamu kembali berlatih lebih keras setelah vakum bertahun-tahun."

Gue masih terdiam, berusaha membaca syarat dengan tulisan paling panjang dibanding yang lain.

Audisi pianis band klasik bukanlah penampilan solo. Calon pianis diwajibkan mengikutsertakan satu partner dari bidang seni pertunjukkan lain dan melakukan kolaborasi. (Bisa berupa alat musik lain atau seni pertunjukkan seperti menari, live orchestra, atau drama musikal.)

Gue lantas dibuat menghela napas panjang. Pianis? Dengan partner? Gue memijat batang hidung, merasa pening sebentar memikirkan partner macam apa lagi yang harus gue ajak kolaborasi.

Cella? Tentu saja tidak. Dia sudah dipilih menjadi pemain biola utama band klasik. Jadwal latihannya mungkin sudah cukup padat, tidak bisa gue tambahkan dengan jadwal latihan gue yang akan menambah waktu lama karena terlalu lama tidak bermain piano.

Genza? Tentu saja tidak. Selain bakat menjahili orang, dia tidak punya bakat lain selain berpotensi membuat gue mendapat nilai terendah di audisi band klasik nanti.

Kae? Ini luar biasa tidak. Walaupun Kae mahir bermain gitar klasik, membantu gue dengan senang hati adalah sebuah tindakan yang tidak akan ia lakukan semasa hidup. Kecuali jika gue menyogoknya dengan membeli saham Silver Queen, gue rasa Kae baru setuju.

Otak gue buntu, tidak menemukan jalan keluar lain selain nama yang gue sebut di atas. Selagi memutar otak, gue kembali dibuat menengadahkan kepala, meneliti ke arah deretan pilihan piece klasik yang ditentukan panitia audisi dan mata gue lantas tertancap pada 2 piece klasik yang ditulis berurutan.

2. Slavonic Dances, op. 72, No.2 in E Minor
3. Sugar From The Plum Fairy

Gue mengenal kedua piece klasik tersebut. Gue pernah beberapa kali memainkannya bersama Papa di waktu senggang. Kedua piece klasik itu cukup populer dan sering ditampilkan di TV untuk mengiringi--

Gue kontan dibuat melotot, menemukan sebuah nama lain di dalam tempurung kepala gue. Kepala gue tertoleh cepat, hanya untuk mendapati Sabita yang masih sibuk menelititi papan pengumuman sembari sesekali mengernyit heran.

"Sepertinya saya mengenal dua dari lagu pilihan itu." Sabita mengerutkan kening. "Tapi dimana, ya." Gue melotot, meraih kedua bahunya dan menatapnya dengan tatapan horor yang dibalas gadis itu dengan terbata. "Kamu... kenapa?"

Gue tidak menjawab.

Sabita kembali menoleh ke arah papan pengumuman.

Ia melebarkan matanya terkejut.

"Kamu tidak berpikir tentang itu, bukan?"

Gue terdiam.

Sabita terdiam.

Kami saling berpandangan.

Dan setelahnya gue tahu kalau kami memiliki pemikiran yang sama akan suatu hal.

***

/S A B I T A/ 🌙

"Tidak, Pura. Saya bilang saya tidak mau."

Itu adalah sebaris kalimat yang sudah aku ucapkan lebih dari 5 kali hari ini.

"Gue minta tolong banget, Sabita."

Dan itu adalah sebaris kalimat yang sudah Purnama ucapkan lebih dari 5 kali hari ini.

"Kamu keras kepala sekali, ya." Aku berdecak kesal, lantas kembali berjalan lebih cepat meninggalkan Purnama yang masih merengek di belakangku. "Kamu sudah mengulang kalimat itu berkali-kali dan kelihatannya saya tidak berminat mengubah jawaban."

Melihat aku berjalan lebih cepat, Purnama ikut mempercepat langkahnya. Dengan langkah kakinya yang panjang, hanya butuh waktu sebentar untuk Purnama kembali menyamai langkah kakiku. "Gue kan gak minta yang berat, Sa. Lo cuma perlu jadi partner gue sebagai balerina di audisi nanti."

Dan aku baru saja lupa berkata kalau penyebab dari semua ini adalah tentang audisi pianis band klasik yang diulang.

Sepulang sekolah, sejak kami selesai melihat pengumuman yang dipajang di mading, sejak Purnama meraih kedua bahuku lalu melotot sampai matanya seperti hendak keluar dari rongganya, sejak aku baru menyadari kalau dua dari piece klasik pilihan panitia adalah piece pengiring tari balet, Purnama tidak henti-hentinya merengek untuk mengajakku menjadi partnernya untuk audisi nanti.

Dan tentu saja tidak henti-hentinya mengikuti langkahku sejak bel pulang sekolah berbunyi.

Aku sebenarnya tidak keberatan, sama sekali tidak. Bunda selalu berpesan kalau ia menari untuk membahagiakan orang dan aku sepenuhnya setuju dengan hal itu. Namun, Ayah tidak mungkin satu pemikiran dengan kami. Sejak ancaman baru yang Ayah keluarkan beberapa hari yang lalu, aku menahan diri secara ekstra. Jika biasanya aku bisa dengan mudah mengikuti berbagai macam kompetisi yang Mrs. Jeanne tawarkan, sekarang satu-satunya tindakan yang bisa kulakukan adalah menggeleng tanda menolak.

Ayah memberiku waktu dan aku memanfaatkannya sebaik yang kumampu.

"Saya bilang saya tidak mau, Purnama." Aku kembali berdecak kesal. "Saya kira itu adalah sebuah jawaban yang cukup jelas."

"Lalu apa yang harus gue lakukan supaya lo mau?"

"Tidak ada."

"Gak ada?"

Aku mengangguk sekilas. "Tidak ada. Karena saya tidak mau dengan alasan yang tidak ada hubungannya sama kamu."

Purnama menghela napas panjang, kelihatan lelah membujukku. Lalu laki-laki itu tetap berjalan dalam diam sampai kami tiba di lobi tempat kami menunggu supir masing-masing. Aku duduk di sembarang kursi, menunggu Pak Yono meneleponku dan mengabari kalau mobilnya sudah tiba di depan gerbang.

"Sa."

Tanpa perlu menoleh, aku tahu itu suara Purnama. "Hm."

Purnama terdiam sebentar. "Mimpi lo ada dimana? Di seberang jalan atau di sisi jalan?"

Aku tidak berniat menoleh. "Saya tidak tahu."

"Kenapa gak tahu?"

"Karena saya rasa saya sudah tidak punya mimpi."

"Beneran gak punya?"

Aku menghela napas pendek, lalu menyahut dengan suara menyerupai bisik yang anehnya bisa Purnama dengar. "Atau sebenarnya punya tapi tidak bisa saya jadikan kenyataan."

Purnama mengulas senyum tipis. "Itu berarti mimpi lo ada di seberang jalan."

"Saya tidak mengerti."

Purnama tidak menjawab, namun ia berbalik badan dan menunjuk ke arah jalan raya di belakang kami. "Lo lihat zebra cross disana."

Entah karena apa, aku menuruti perintah Purnama. Aku menoleh sedikit, mendapati hanya keramaian yang terlihat dari jalur penyebrangan. Tidak ada yang menarik, atau lebih tepatnya tidak ada yang berhubungan dengan mimpi yang disebut Purnama.

"Saya tetap tidak mengerti."

"Karena gue belum menjelaskan." Purnama berdecak pendek. "Lo lihat orang yang menyebrang di satu sisi ke sisi yang lain atau sebaliknya?"

"Hm."

"Bayangkan mimpi lo ada di satu sisi dan lo ada di sisi lainnya." Purnama terdiam, sepertinya memberiku waktu untuk berpikir. "Apa jika mimpi lo dan lo menyebrang, apa lo bisa meraihnya?"

"Tidak." Aku menggeleng pelan. "Mimpi saya akan menyebrang ke satu sisi dan saya akan menyebrang ke sisi yang lain. Jalan raya kembali memisahkan kami."

"Itu yang gue maksud dengan mimpi di seberang jalan."

Aku mengangguk mengerti, lantas dibuat menoleh ke arah Purnama. "Bagaimana dengan kamu? Mimpi kamu ada dimana?"

"Mimpi gue ada di sisi jalan yang sama."

"Lalu, kenapa tidak kamu raih?"

"Karena gue terlalu sulit untuk melakukannya."

"Kenapa?"

"Karena mimpi itu tidak mau gue raih dan gue kehilangan tangan untuk meraihnya."

Aku bertanya bingung. "Tangan?"

"Hm, tangan yang dalam analogi berarti rasa percaya diri." Purnama terkekeh miris. "Atau lebih baik gue analogikan sebagai kesempatan."

Aku terdiam, begitu juga Purnama. Laki-laki itu tidak mengatakan apapun lagi, sibuk menatap kosong ke arah atap sekolah lalu berganti ke arah birunya langit cerah.

Namun aku tidak terdiam.

Aku menoleh ke arah jalan raya, menatap ke arah orang-orang yang menyebrang sesuai lampu penyebrangan yang berganti hijau.

Menatap ke arah mimpi milikku yang menyebrang.

Menatap ke arah mimpinya Purnama yang menolak untuk diraih.

Menatap ke arah Purnama yang kehilangan tangan untuk meraihnya.

Menatap ke arah diriku yang tak memiliki daya untuk meraih mimpiku sendiri.

Ting!

Bertepatan dengan gerakanku berbalik badan, ponselku berdenting singkat, menandakan ada pesan yang masuk.

From: Pak Yono.

Nona, saya sudah tiba di lobi.

"Pura."

Purnama tidak melepaskan pandangannya dari pucuk pohon yang bergoyang tertiup angin, namun bergumam singkat. "Hoy?"

"Saya rasa kamu perlu melakukan sesuatu."

"Untuk apa."

"Membuktikan kalau kamu pantas menjadi partner saya di audisi pianis band klasik nanti."

To: Pak Yono.

Bapak pulang saja dulu. Hari ini, saya ingin menjadi tangan bagi seseorang untuk meraih mimpinya.

***

"Ta-daa!"

"Ta-daa?"

Purnama bertanya heran setelah aku membuka pintu ruangan dengan kunci yang diberikan resepsionis pada kami selang sebentar setelah kami masuk ke studio musik. Setelah melewati perjalanan kaki singkat yang terasa panjang--karena kami bahkan tidak mengeluarkan satu kata pun sepanjang perjalanan--kami akhirnya tiba di tempat yang sudah aku tuju sejak memutuskan untuk menerima tawaran partner Purnama.

Laki-laki itu terlihat senang saat kubilang bersedia membantunya di audisi pianis nanti. Purnama terlihat amat antusias saat kubilang aku membutuhkan pembuktiannya untuk meyakinkanku menjadi partnernya. Namun, wajah berseri-seri itu hilang setelah kami masuk dan memutuskan menyewa sebuah rungan musik yang letaknya tak jauh dari pintu masuk.

"Lo membawa gue ke studio musik?"

"Tentu saja." Aku menjawab ragu. "Memangnya kamu tidak lihat spanduk yang sangat besar di depan sana?"

"Bukan." Purnama memutar bola matanya jengah. "Maksud gue buat apa?"

"Untuk apa? Tentu saja untuk bermain musik. Kamu kira apa yang semua orang lakukan untuk datang ke studio musik?"

"What-ever." Purnama mendengus singkat, lantas mendahului langkahku masuk ke studio.

Sudah lama sekali sejak aku datang ke studio musik. Berbeda dengan Bintang yang menganggap studio musik sebagai kamar ketiganya--setelah kamar tidur dan kamar perawatannya--aku lebih akrab dengan studio tari. Namun, bukan berarti aku tidak mengenali bagaimana studio musik terlihat.

Ruangan itu masih sama--berdasarkan ingatanku tentang studio musik bertahun-tahun silam. Yang aku rasakan ketika masuk ke ruangan adalah mendadak suara kami menjadi bergema--efek dari seluruh kain sejenis karpet dan busa yang menempel melapisi dinding ruangan sebagai pengedap suara. Ada berbagai macam jenis alat musik yang ada disana. Kebanyalan alat musik sederhana sekelas gitar atau biola, namun bukan berarti piano tidak termasuk salah satu dari alat musik yang tersedia.

Karena tepat sasaran, alat musik pertama yang Purnama sentuh adalah sebuah piano.

Aku tersenyum tipis, lalu memilih duduk di salah satu kursi kecil yang tersedia di dekat Purnama yang sibuk memperhatikan piano seperti sedang melihat karya seni. "Kamu kelihatannya lebih senang memperhatikannya seperti sebuah patung dibanding memainkannya, Purnama."

Purnama tersentak kaget saat aku berhasil menarik keluar lamunannya. Laki-laki itu terlihat ragu, namun tetap mengambil posisi nyaman di kursi piano. "Apa lo berpikir...gue benar-benar mampu?"

"Mampu apa? Mampu bermain piano?" Aku mendengus singkat. "Jika kamu memang ingin dipuji, tidak perlu mengajukan pertanyaan aneh seperti itu."

"Bukan. Maksud gue," Purnama terdiam, menghela napas singkat sebelum melanjutkan, "apa gue bisa kembali jadi pianis? Kembali setelah lama tidak berada disana? Bukankah rasanya akan jadi aneh?"

"Tidak akan ada yang tahu sebelum kamu mencobanya," kataku sembari berjalan menjauhi piano dan menatap menerawang ke arah jendela yang dibiarkan tidak bertirai.

"Dan apa yang lo lakukan disana."

"Saya mendengarkan."

"Mendengarkan?" Purnama mendengus singkat. "Lo lebih terlihat menghiraukan dibanding mendengarkan."

"Not everything you see look like what you see." Aku menyahut datar. "Saat saya bilang saya sedang mendengarkan, artinya memang begitu."

Purnama kelihatannya tidak mau berdebat lebih jauh. Ia memutuskan untuk berhenti bicara, membuat hening menelan kami dalam diam. Tanpa mengalihkan tatapanku dari seorang pria tua penjual air mineral di liar studio, aku tahu kalau di balik punggungku, laki-laki itu tengah dikepung ragu.

Bukankah semua orang juga begitu?

Mereka ragu sesaat, memiliki pilihan hidup yang bercabang, dan kebingungan untuk memilih mana yang terbaik. Bukankah Purnama juga begitu? Kebingungan karena menurutnya dia tidak pernah bisa kembali memiliki kesempatan menjadi pianis sedangkan kini ia dihadapkan dengan pilihan untuk meraih mimpinya yang berharga?

Tapi kenapa aku tidak begitu?

Kenapa aku tidak diberi pilihan?

Kenapa jalan hidupku seakan hanya berupa garis lurus yang tak pernah punya persimpangan?

Bukankah ini tidak adil?

Suara denting piano mulai mengisi ruang kosong di udara. Lembut mengalunkan piece klasik yang tidak begitu kutahu apa judulnya. Purnama memainkan pianonya dengan baik, walaupun sesekali berhenti mendadak atau tersendat-sendat karena jarinya lupa kemana harus menuju.

Purnama memainkan pianonya terlalu baik hingga sebuah fragmen buram di kepalaku kini melompat keluar.

"Kamu tahu, Pura. Ayah saya dulu juga gemar bermain piano."

Purnama tidak menjawab, entah karena haram hukumnya berhenti di tengah-tengah piece yang dimainkan atau karena ia lebih dari tahu kalau aku tak perlu dijawab.

Aku perlu didengarkan.

"Kami bisa melakukan duet setiap pagi. Ayah akan bermain piano dan Bunda akan menari." Suaraku mulai bergetar, lalu tatapan akan seorang pria penjual air mnineral juga mengabur. "Lalu, saya dan Bintang akan menonton pertunjukkan mereka sembari merekamnya. Bukankah itu menyenangkan?"

Masih tidak ada jawaban.

"Namun saat Bunda pergi, Ayah menaruh pianonya di gudang dan tak pernah memainkannya lagi." Setetes air mata mulai jatuh di pipiku. "Bukankah semuanya tidak adil?"

Purnama masih fokus dengan piece klasiknya yang hampir selesai. Meninggalkanku dengan kebisuan yang purna.

"Bukankah semuanya tidak adil?!" Aku mengulang sembari sesegukan. "Kenapa semua orang diberikan pilihan sedangkan aku tidak punya?! Kenapa Ayah bisa memilih mengubur semua hal tentang Bunda? Kenapa Bintang bisa memilih untuk hidup dengan semua kenangan tentang Bunda yang tak pernah hilang dari kepalanya?!" Aku tak kuasa lagi menahan tangis. Tubuhku luruh, terjatuh sembari mengusap air mataku yang kian menderas. "Kenapa aku tidak pernah diberi pilihan?!"

Aku tak kuasa lagi menahan segala emosiku. Semuanya tercampur aduk. Segalanya. Segalanya tentang Ayah, tentang Bunda, tentang Bintang, tentang balet, tentang mimpiku yang digerek menjauh.

Tentang sebuah dekapan yang tiba-tiba memelukku hangat.

Hari itu, aku tidak tahu pasti apa yang kemudian terjadi. Satu-satunya yang masih membekas di benakku adalah bagaimana Purnama kemudian menepuk punggungku pelan tanpa mengucapkan apapun.

Tanpa kata namun penuh makna.

Tanpa bicara namun penuh bara

Tanpa melakukan apapun namun hatiku menghangat.

Saat itu aku hanya tidak tahu, sebuah pesan masuk ke ponselku bertepatan dengan tangisku yang mengeras.

Pesan yang akan mengubah jalan hidupku kedepannya.

From: Mrs. Jeanne.

Https:// www.asiangrandprix.org.

Jakarta - Kejuaraan balet bergengsi bertaraf internasional Asian Grand Prix (AGP) 2018 menggelar kompetisi regional di 10 kota di Asia Pasifik. Kota Jakarta menjadi pembuka penyelenggaraan yang nantinya berlangsung akhir pekan ini pada 3-4 Maret 2018 di Taman Ismail Marzuki (TIM) dan pemenangnya akan mengikuti final internasional di Hongkong Agustus nanti...tap for more.

***

A/N: Huwala Humba!! (Salam ala Juki.)

Okay sodarah sodarah semua.. gue nulis draft ini di sekolah waktu temanz temanz gue lagi dipanggil nyanyi ke depan sama guru.

Jadi.. ya semoga chapter ini sama indahnya seperti suara gue saat dipanggil nyanyi ke depan :)

Okeh?

Jadi bagaimana chapter ini? Tell me!

Semoga menyenangkan :)

-Ceefje









Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro