Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

/12/: Sabita dan Marahnya Ayah

/S A B I T A/ 🌙

Semasa kecil, aku mengenali Ayah dengan cara yang tidak serupa seperti Bintang mengenalnya. Jika Bintang mengenal Ayah sebagai seorang pemimpin rumah tangga yang penuh perhatian hingga rela menemaninya hingga tertidur saat masa sulit hidup akibat penyakit yang dideritanya, hingga seorang ayah yang rela membagi waktunya untuk mengajarkan Bintang banyak hal ketika semua waktunya harus tersita dalam rumah, aku sering kali berpikir kalau Ayah tidak pernah sebaik itu denganku.

Berbanding terbalik dengan Bintang, Ayah sering kali bersikap lebih keras padaku. Melarangku banyak hal dan kadang kala bersikap dingin jika aku bertanya sesuatu padanya. Ayah orang yang sibuk. Perusahaan yang dirintis orang tuanya semasa muda sedang dalam masa berjayanya, membuat waktu Ayah terista banyak di kantor dan membawa tugas tambahan ke rumah.

Ayah sering kali marah saat aku masuk ke ruangannya tanpa permisi, hendak menunjukkan gambar yang baru kubuat tentang keluarga kecil kami yang utuh dan bahagia. Ayah selalu berkata ia sedang sibuk. Ia menyuruhku meletakkan gambar itu di atas meja belajar dan Ayah akan melihatnya nanti malam. Dengan bodohnya aku percaya, meninggalkan gambar itu di tempat yang Ayah inginkan dan jatuh tertidur sembari berharap ketika terbangun, aku akan melihat huruf A+ sebagai nilai yang Ayah berikan untuk gambar baruku. Namun itu tidak pernah terjadi. Gambarku akan berada di posisi yang sama, tidak berkurang satu senti pun dari letak awalnya, tidak bertambah satu titik kecil pun di gambar yang kubuat dengan susah payah. Beruntung, Bunda selalu membuatku lupa akan hal itu, memuji betapa bagusnya gambarku dan melupakan tentang bagaimana Ayah ingkar akan janjinya sendiri.

Hal itu tidak terjadi sekali maupun dua kali, melainkan berkali-kali hingga aku tidak sanggup menghitungnya. Hingga suatu malam, aku penasaran. Aku melakukan hal yang sama, menunjukkan gambar baruku pada Ayah, lalu ia menyuruhku menaruh gambarnya di meja, lalu menyuruhku untuk tidur. Namun tidak, aku tidak tertidur. Aku menunggunya datang, hingga jam merambat ke angka sembilan malam dan aku keluar dari kamarku. Aku melihat Ayah disana, di kamar sebelah. Di kamar milik Bintang. Sedang memuji betapa bagusnya puisi yang ia buat di sekolah. Sedang memuji betapa cantiknya karangan bunga sedotan yang ia berikan pada Ayah.

Sedangkan aku, di kamar yang lain, sedang menunggu ia datang dan memuji gambarku. Namun Ayah tidak pernah datang. Ayah justru datang dan memuji puisinya Bintang. Puisi yang sebenarnya aku buat karena Bintang sedang sakit saat tugas itu harus dikumpulkan. Aku mau menangis, mau memukul wajah Ayah karena tidak pernah datang memuji gambarku, mau mendorong Bintang karena ia terus saja mengambil Ayah dariku.

Namun aku tidak pernah melakukannya. Bintang sakit. Aku tidak. Bintang sekarat. Aku tidak. Bintang membutuhkan Ayah. Aku tidak. Bintang butuh perhatian Ayah. Aku tidak.

Bintang menggapai mimpinya. Aku tidak.

Dan sejak saat itu, entah aku sadari atau tidak, Ayah adalah Ayah bagi Bintang. Namun Ayah bukanlah Ayah untukku.

Namun, jika seseorang bertanya apa aku masih merasa iri saat melihat Bintang dan Ayah bersama? Terdengar jahat bagimu, namun aku tanpa ragu akan menjawab 'iya.'

Seperti hari ini, sepulang sekolah, aku kembali mampir ke kamar Bintang lebih dulu. Ingin bertanya kabarnya di rumah dan bertanya tentang bagaimana pelajaran yang ia dapat dari guru homeschoolingnya. Namun, setelah aku membuka pintu, aku merasakan kepalaku membeku. Bukan, itu bukan karena Bintang tengah asyik menonton sesuatu dari ponsel bercase gambar bintangnya. Bukan juga karena sprei yang biasanya bergambar bintang kini berganti menjadi sprei berwarna biru langit malam.

Melainkan karena stiker glow in the dark yang Bintang tempel di setiap sudut dindingnya, yang sering kali tanpa sadar aku lepas hingga hilang, yang dulu menyisakan banyak ruang kosong karena Bintang sering kali malas untuk memasangkan stiker yang baru setelah aku melepasnya, kini kembali memenuhi dinding. Hingga aku dibuat ternganga karena kini sepenuhnya dinding kamar Bintang dipenuhi dengan ratusan stiker yang menyala.

"Oh, kamu sudah pulang, Sabit." Aku tidak membalasnya, justru sibuk memperhatikan sekeliling kamarnya yang tambah indah. Bintang kelihatannya sadar aku tertarik karena setelahnya ia terkekeh sembari berkata, "Ini semua Ayah yang tempelkan. Tadi, Ayah kelupaan sesuatu dan datang ke kamarku. Ayah bilang stikernya mulai bertambah sedikit maka Ayah membeli yang baru dan menempelkannya sendiri. Keren, kan?"

Aku terdiam, mengulas senyum tipis, dan mengangguk enggan. Ayah masih bertingkah sama. Ia peduli dengan stiker kamar Bintang namun tidak peduli dengan kamarku. Ia tidak peduli saat aku berkata kalau aku ingin mengganti hiasan dream catcher yang sudah mulai usang dengan warna apa. Ayah tidak peduli padaku. Ia justru meluangkan waktu di tengah kesibukan kantornya dan memasangkan puluhan stiker di kamar Bintang seorang diri.

Bukankah...itu terdengar jahat?

"Oh iya, Ayah juga membelikanku stok novel baru." Bintang berkata sembari memamerkan beberapa novel yang masih terbungkus plastik. "Ayah bilang aku harus sering kali membaca beberapa karya penulis hebat agar suatu hari mimpiku menjadi penulis bisa tercapai."

Lihat. Bisakah aku percaya kalau Ayah adalah orang yang sama yang melarangku untuk meraih mimpiku sebagai balerina?

"Kenapa melamun, Sa? Menyukai kamarku? Mau bertukar kamar? Aku tidak keberatan sebenarnya."

Aku tersentak, lalu menggeleng samar. "Aku tertidur dengan kamar yang gelap, Sa. Aku tidak bisa tertidur jika kamarku terang seperti ini."

"Ah, kamu benar juga." Bintang berdecak, lalu kembali sibuk dengan ponselnya.

"What so interesting in your phone?" Aku berjalan menghampirinya dan menengok penasaran ke arah ponselnya.

"Gak ada. Hanya sedang menyukai beberapa vidio DIY. Kelihatannya menarik untuk dicoba namun aku malas mencari bahan-bahannya." Bintang menyangga kepalanya dengan satu tangan, lalu mulai berselancar mencari vidio menarik lainnya di Youtube. Bintang sibuk menscroll tampilan awal, berhenti sesekali saat melihat vidio yang dikiranya menarik, namun ia lewati saat ia tidak menemukan vidio yang ia inginkan.

"Nah, look at this vidio, Sa." Bintang menunjuk sebuah vidio dengan judul 'Mal Street Balerina.' Aku tak begitu tertarik sebenarnya, namun Bintang lebih dulu mengetuk opsi menonton, menampilkan vidio itu secara utuh sedari awal. Vidio itu biasa saja sebenarnya. Hanya rekaman amatir seseorang yang menampilkan seorang gadis muda menari balet di tengah keramaian mal. Aku belajar balet dalam kurun waktu yang lama, dan menurut penilaian sekilasku, gadis itu punya kemampuan balet yang mumpuni. Mungkin sudah belajar lebih dari 6 tahun di kursus balet yang berstandar internasional.

Entah kebetulan macam apa yang dunia berikan, namun selanjutnya Bintang bergumam pelan, "Hm, ini memang perasaanku saja atau memang penari ini terlihat tidak asing, ya."

"Hm, mana?" Aku memicingkan mata, mendekati layar ponsel. Ah iya, gadis itu terlihat pernah kulihat di suatu tempat yang tak begitu aku ingat. Aku terus berpikir. Melihat ke sekeliling keadaan vidio. Ke arah latar tempat menampilkan papan nama sebuah jaringan toko buku terkenal hingga seorang anak gadis yang terlihat seperti Luna. Aku memandang lagi ke--eh. Luna? Luna...Luna...Luna. Aku pernah mendengar nama itu di suatu tempat. Luna. Siapa Luna?

"Kalau aku sudah besar, aku mau jadi balerina hebat kayak kakak."

Aku melotot, lantas mendekatkan mataku lagi ke ponsel dan menutup mulut karena terkejut setelah mengenali wajah itu.

Seseorang pernah berkata kalau saudara kembar punya kemampuan telepati. Aku tidak begitu percaya, namun tepat setelah satu nama melintas di kepalaku, Bintang juga menatapku dengan tatapan yang mematikan.

"SABITA!" Bintang menjerit tertahan. "Ini kamu?!"

Aku terdiam, lalu mengangguk hampir tak kentara.

"A-astaga. Ayah sudah melarang kamu untuk tidak tampil sebagai balerina, kan?!" Bintang malah berseru panik. "Ayah akan mengeluarkan kamu dari kursus dan kamu gak akan pernah jadi balerina lagi!"

"Tenang, Bintang. Tenang."

"Bagaimana aku bisa tenang?!" Gadis itu mendengus geram lalu mulai bersikap panik lagi. "Vidio ini tersebar di Youtube. Semua orang bisa melihatnya. Ini hanya satu vidio dari ratusan juta vidio di Youtube. Namun menurutku, presentasenya hanya 30% jika Ayah--"

Ucapan Bintang terputus saat tiba-tiba pintu kamarnya didorong keras. Kami menoleh serempak dan serentak mengatupkan rahang saat mendapati seorang pria paruh baya berpostur badan tegap memandangku dengan tatapan tajam. Wajahnya tenang, namun sebagai orang yang tinggal bersamanya dalam satu rumah sepanjang hidupku, aku tahu ekspresi tenang itu berarti Ayah sedang marah. Aku menelan ludah gentar, semakin kalut saat Ayah memberi perintah padaku.

"Segera turun ke ruang keluarga, Sabita. Ada sesuatu yang harus Ayah bicarakan denganmu." Ayah tersenyum dingin, membuat tanganku tanpa sadar terkepal erat. "Sesuatu yang jelas akan kamu sukai."

Siapapun, tolong beri tahu aku sebenarnya apa yang Ayah maksud dengan apa yang aku sukai.

***

"Kamu terlihat takut, Sabita."

Ayah berkata sembari menyesap teh hangatnya dengan gerakan yang berkelas. Aku terus menunduk dalam-dalam, merasakan keringatku kini membeku karena pendingin udara membuat ruang keluarga terasa lebih mengintimidasi.

"Ti-tidak, Ayah." Suaraku bergetar karena gugup.

"Lalu, bagaimana dengan kamar barumu, Bintang?" Seperti menjadi orang yang berbeda, Ayah tersenyum hangat pada Bintang yang duduk tepat di sebelahku. "Ayah yakin kamu menyukai kamarmu yang akan menjadi lebih terang dibanding sebelumnya. Bukan begitu?"

Mata Bintang berbinar senang lalu berseru riang. "Iya, Ayah!" Lalu sadar akan intonasinya yang salah, Bintang berdeham lalu mengulang perkataannya dengan nada yang lebih tenang. "Iya, Ayah."

"Bagus, kalau begitu bisa kamu kembali ke kamar?" Ayah kembali tersenyum, menyesap tehnya kembali lalu menyambung tenang. "Ayah punya sesuatu yang harus dibicarakan dengan Sabita."

"Tidak. Aku mau mendengar apa yang Ayah bicarakan."

Aku kira, Ayah akan menggeleng, menyuruh Bintang kembali ke kamar dengan tegas. Atau bila perlu ia akan menguci kamar Bintang, mengantisipasi jika siapa tahu gadis itu tetap bersikeras keluar kamar dan menguping. Namun, alih-alih mendengar bentakan Ayah, aku justru melihat Ayah mengangguk mengizinkan. Aku mengerjapkan mata tidak percaya. Bukankah itu tidak adil?

Ayah tidak bicara lagi. Ia justru mengeluarkan ponsel dari saku jasnya yang mengkilat. Lalu tanpa banyak bicara, Ayah menyodorkan ponsel itu padaku, yang dengan tangan bergetar kuterima.

"Ayah rasa kamu perlu menjelaskan tentang vidio itu."

Tanpa perlu menontonnya, aku sudah tahu vidio itu pasti vidio yang sama yang Bintang tonton saat kumasuk ke kamarnya tadi. Namun agar tidak mengundang rasa curiga, aku tetap menontonnya sekilas. Aku memcingkan mata, merasa vidio itu berbeda dari yang kulihat tadi. Memang, sama-sama ada aku disana. Tetapi sudut pandang dari vidio yang diambil berbeda dari yang sebelumnya. Jangan bilang kalau rekaman itu bahkan tidak berjumlah satu? Ada banyak vidio serupa yang lainnya?!

"A-ada apa dengan vidio ini, Ayah?"

Ayah tersenyum lagi, kini dialiri sorot dingin yang hanya aku bisa melihatnya. "Ayah rasa kamu pasti tahu siapa gadis yang menari di tengah keramaian mal itu." Ayah meletakkan cangkir tehnya di atas meja, lantas melipat tangannya di atas pangkuan. "Ayah mengenalinya sebagai salah satu dari putri Ayah. Entah Sabita, atau Sabintang."

"Itu aku, Ayah."

"Itu aku, Ayah."

Aku dan Bintang saling berpandangan lalu serentak menunduk dalam, menghindari tatapan Ayah yang masih setenang permukaan danau. "Ayah rasa Ayah tidak pernah mengajarkan kalian untuk berbohong."

Aku spontan menatap Bintang yang balik menatapku ragu. Aku mengangguk pelan, memberi isyarat yang entah kenapa selalu bisa Bintang mengerti dengan baik. Bintang menunduk lebih dalam, lalu berkata hampir menyerupai bisik, "Maaf."

"Jadi benar itu kamu, Sabita?" Ayah menyimpulkan tanpa memberi Bintang waktu untuk kembali menengadah.

Bibirku bergetar, jariku memuntir satu sama lain. Cukup untuk menggambarkan kalau aku sedang gugup luar biasa. "Benar, A-ayah."

"Ayah sudah duga sebelumnya." Aku mendengar Ayah menghela napas, lalu kembali mengangkat cangkir teh itu dan meneguknya sedikit. "Apa kamu melupakan apa yang sudah Ayah bicarakan ratusan kali, Sabita?"

"Tentang apa?"

"Tentang hukuman macam apa yang Ayah biasa berikan jika kamu melanggar kesepakatan kita."

Aku menelan ludah gugup. "Itu tidak sengaja terjadi. Aku hanya ingin membantu--"

"Ayah tidak peduli."

"A-apa?"

"Ayah tidak peduli apapun alasannya." Pria paruh baya itu masih memasang wajah yang tenang. Namun sorot matanya dingin, membuatku tanpa sadar menahan napas. "Kamu sudah sepakat tidak akan bertindak terlalu jauh dalam menari. Ayah akan tetap ijinkan kamu ikut kursus tidak berguna itu namun kamu tidak boleh terkenal sebagai balerina. Kamu penerus perusahaan keluarga, Sabita. Kemampuanmu menari tidak akan membantu perusahaan Hadikarta sama sekali."

"Ayah!" Bintang berseru, hendak protes.

"Ayah tidak bicara denganmu, Bintang. Tetap diam dan jangan menyela." Ayah berbicara dengan tenang, namun mampu membuat Bintang bungkam tanpa diminta dua kali. "Setelah lulus sekolah, Ayah akan membinamu untuk mulai melihat-lihat keadaan kantor. Ayah akan mendaftarkanmu ke universitas terbaik dan akan memimpin perusahaan setelah Ayah pensiun."

"Tapi Ayah--"

"Ayah tidak menyuruhmu bicara!" Ayah berseru penuh penekanan, membuat aku tersentak kaget dan memilih untuk tetap diam, menahan air mata yang menggenang. "Ayah butuh penerus perusahaan, bukan seorang penari."

"Tapi Sabita bermimpi jadi balerina, Ayah." Bintang menyahut dengan nada bergetar, ia terlihat memahami apa yang aku rasakan. "Bukankah Bunda juga balerina? Bukankah Bunda juga suka menari. Bukankah Bunda--"

"Cukup!" Ayah menggeram murka. Wajahnya memerah dan matanya menatap kami lebih tajam. "Apa menjadi penari saja cukup? Apa pekerjaanmu jika pandai menari? Kamu akan jadi guru balet seperti gurumu?!" Untuk pertama kalinya Ayah membentakku. Mataku memanas, air mata hampir saja meluncur mulus jika aku tidak cepat-cepat menghapusnya. "Lalu tanya gurumu. Apa dia bisa punya perusahaan seperti kita? Apa anaknya bersekolah di sekolah terbaik seperti kita? Apa dia bisa makan enak seperti kita?! Apa dia bisa punya mobil mewah, rumah besar, dan kekuasaan?!"

Aku masih terdiam.

"Lalu jika aku tanya padanya apa dia hidup bahagia dengan meraih mimpinya, apa dia akan menjawab tidak?" Bintang membalas pernyataan Ayah dengan berani. Dia tahu benar, Ayah tidak mampu membentaknya. Dia tahu, penyakit yang dideritanya membuat Ayah rapuh.

"Apa kamu bisa bahagia jika kelaparan?" Ayah mengeraskan rahangnya. Emosi mulai membuat intonasi Ayah meninggi. Tangannya mencengkram sisi sofa dengan keras, sebentuk pengalihan rasa marah yang biasa aku lakukan. "Bukankah kita sekarang bahagia? Ayah ingin kalian bahagia seperti sekarang hingga seterusnya. Uang adalah segalanya di dunia ini, Bintang. Ayah terdengar sangat jahat namun perkataan itu benar sepenuhnya."

"Tapi Bunda bisa menari. Kenapa Sabita tidak?" Kali ini, Bintang kembali membelaku. Tangannya mengepal kuat. Sorot matanya marah dan menusuk. Rahangnya mengeras. Aku tidak pernah tahu Bintang bisa jadi semarah itu.

"Berhenti membandingkan dirimu dengan penari tidak berguna seperti Bundamu!" Ayah tertawa keras, namun matanya tetap berkaca-kaca, hampir menangis. "Kamu tahu kenapa Bundamu kecelakaan? Itu karena tarian tidak berguna itu! Kamu tahu kenapa dia meninggal? Karena dia bersikeras untuk melihatmu ikut kompetisi itu! Apa dia masih bisa hidup jika kamu dan Bundamu bukan penari? Tentu saja iya!"

"A-ayah.." bibirku bergetar. Air mataku tak bisa terbendung, layaknya hujan bulan Desember yang dingin. Dadaku terasa sesak. Aku menggigit bibir kuat-kuat, berusaha agar tidak lagi bergetar saat aku bicara. "Ma-maaf, Ayah. Ma-maaf."

"Maafmu tidak berguna disini." Ayah menatapku nyalang. "Ayah rasa kamu harusnya sudah cukup mengerti. Ayah akan mengurangi kesepakatan kita. Berhentilah menari sampai kamu lulus kelas 11."

"A-pa? Bukankah Ayah bi-bilang aku bisa berhenti saat lulus SMA?"

"Itu tadi sebelum Ayah rasa akan lebih baik jika kamu berpisah dengan balet lebih cepat dan mendalami praktik perusahaan Hadikarta lebih awal."

"A-ayah.."

Ayah berdecak. "Berhenti merengek, Sabita. Ayah mengajarkanmu untuk selalu menerima konsekuensi atas perbuatanmu sendiri. Benar begitu?"

Aku mengangguk terpatah. "I-iya."

"Bagus. Ayah akan biarkan kamu menari sampai kelulusan kelas 11. Kamu dilarang keras ikut kompetisi, atau menampilkan bakatmu seperti yang kamu lakukan di mal tempo hari." Ayah kini tersenyum, jenis senyum menakutkan yang hanya Ayah perlihatkan saat ia mengamcamku seperti saat ini. "Kamu jelas tahu konsekuensi apa lagi yang akan kamu terima jika melanggar kesepakatan, bukan."

"Ayah!" Bintang kembali berseru. Aku menatapnya hangat, lalu kembali mengangguk pelan. Sebuah isyarat. Isyarat yang hanya Bintang yang mengerti. Wajahnya melunak, lalu ia meunduk sama dalamnya seperti yang kulakukan sedari tadi.

"Apa Ayah bisa membuat kesepakatan sekarang?"

Bintang menoleh cepat ke arahku. Mata hitamnya yang bundar melotot ke arahku, menunjukkan beragam macam emosi yang intinya hanya tentang 'Jangan mengangguk.' Aku kembali menatap ke arah Ayah, ke arah pria paruh baya yang membelikan sepatu balet pertamaku. Kepada sosok ayah yang berjanji akan mengajakku ke pertunjukkan tarinya Bunda saat aku besar nanti.

Kepada sosok ayah yang sama dengan kepribadian yang tidak serupa.

Ayah mulai berdecak kesal karena tak kunjung mendapat jawaban. "Ayah tidak punya banyak waktu, Sabita."

Aku menari napas, memutus perdebatan yang dilakukan hati dan otakku yang tidak sejalan. Lalu, diiringi dengan suara detik jarum jam yang berganti, diiringi dengan sunyi yang pelan merambati keramik, diiringi suara robeknya sang hati, aku mengangguk terpatah. Sebuah anggukan yang entah harus kusesali atau justru harus kusyukuri.

"Iya, Ayah. Mari membuat kesepakatan."

***

A/N: Yos Wasappppp!!

Sedih ga bacanya? Gue sih ga sedih yak 😂 /tabok woee tabok.

Ayahnya Sabita itu ngeselin parah. Kayak si Oh Tae Ree di drakor Good Witch. Sumpah pengen gw bejek.

Etapi jangan dungz. Orang tua tidak boleh disakiti.

Okeh. Ceramahnya di skip dulu

Silahkan komen tentang chapter ini. Ada gangguan? Masalah? Typo? Kegajean yang hakiki? Ayo di sampaikan.

Semoga menyenangkan :)

-Ceefje

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro