Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

/10.(1)/: Purnama dan Toko Buku

/ P U R N A M A/🌝

Apa lo adalah jenis umat manusia yang percaya kalau perempuan dan belanja adalah sejenis kesatuan yang hakiki?

Tadinya, sih, gue percaya. Amat percaya malah karena semua cewek mulai dari yang galaknya ngalahin mak lampir kayak Kae sampai yang polos kayak Cella selalu punya sisi yang sama saat pergi ke sebuah toko. Cella dan Kae akan menjerit-jerit gak karuan saat melihat sebuah objek yang kata mereka "aduhhh, ucul bangettt!" dan langsung menyambarnya tanpa berpikir. Iya sih, cuma dilihat doang. Paling setelah melihat harga dari label yang ditempel di bawah benda, mereka akan langsung kicep dan meletakkannya ke tempat semula secara perlahan-lahan. Iya gue tahu, uang jajannya Kae itu dua kali lebih banyak daripada punya gue. Tapi pelitnya itu lho, k e b a n g e t a n. Dia bahkan pernah ngambil uang jajan gue diam-diam hanya untuk beli sekantung permen split rasa lemon yang akhirnya sama sekali gak gue makan. Mudah ditebak, mengambil sembarang benda karena alasan lucu hanya membuat uang jajan Kae terbuang sia-sia. Kalau ada pilihan, mungkin dia lebih memilih untuk pakai uang jajan gue buat beli semua barang yang dia inginkan.

Percayalah, punya kakak perempuan sejenis Kae adalah kesialan 99% dan berkah 1% yang turun dengan atas nama aliran darah.

Tapi, entah emang dasarnya perempuan atau apa, mereka akan kembali berkeliling, mengambil sembarang benda yang menurut mereka ucul dan kembali kicep saat melihat harganya. Saat itu terjadi, satu-satunya hal yang menjadi posko penyelamatan kaum laki-laki seperti gue dan Genza dari resiko pegal-pegal di mal adalah sebentuk kursi kecil yang menjelma jadi penyelamat hari. Tak jarang saat kursi penuh--diisi oleh kumpulan bapak-bapak yang kakinya gak kuat lagi mengikuti kemana istrinya hendak pergi--gue harus rela membagi 1 kursi kecil untuk dua orang. Gak nyaman memang, namun lebih baik daripada harus mengikhlaskan dompet gue pulang dengan diisi seekor lalat.

Saat gue berkata hendak pergi ke toko buku, gue amat yakin kalau Sabita--yang dari awal adalah jenis cewek aneh dan gak kelihatan punya gairah belanja--akan berjalan dengan diam tanpa memiliki niat untuk mampir ke toko manapun. Gue sudah sepenuhnya tahu, satu-satunya alasan kenapa Sabita mau menemani gue untuk menghabiskan sisa malam ke toko buku hanya untuk mendapatkan maaf yang amat gue pertahankan untuk gak gue beri. Dan saat itu gue yakin, Sabita tidak akan bertingkah bar-bar seperti yang dilakukan Kae atau Cella.

Tapi, yah. Memang yang namanya perempuan dasarnya sama aja.

Ini sudah kali kelima gue harus meneminya mengantri di 5 toko. Perlu gue akui, Sabita punya kemauan belanja yang err..agak berlebihan. Tidak seperti Kae, gadis itu tidak peduli dengan harga barang yang ia beli. Asalkan barang itu berwarna hitam, gadis itu akan membawanya ke kasir tanpa ragu.

Oh iya, gue lupa bilang. Selain punya kelakuan yang aneh, Sabita juga punya kesukaan yang aneh dengan warna. Jika Kae maupun Cella akan tertarik pada warna-warna seperti biru, kuning, sampai merah muda, Sabita punya kesukaan tidak wajar sama warna hitam. Gadis itu memang tidak menjerit histeris layaknya gadis-gadis awam saat melihat barang-barang yang ucul, namun sinar matanya menunjukkan ketertarikan yang gak bisa ia tutupi dengan kontrol emosi. Selain aneh, sekarang gue yakin kalau gadis itu juga punya bekal jadi mbah dukun.

"How about this shirt, Ra?"

Sabita kembali bertanya pada gue sembari mengangkat sebuah hanger dan menunjukkan kaos kepada gue, membuat kini genap dua belas pertanyaan yang dia ajukan hari ini.

"Biasa aja."

Saat gue bilang biasa aja, itu memang biasa aja. Cuma sebentuk kaos hitam dengan motif bulan sabit berukuran cukup besar di depan kaos. Benar-benar biasa saja. Setidaknya bagi gue, bukan bagi Sabita.

"Oke, saya akan beli yang ini."

Ya-ya-ya, terserah lo.

Selesai membayar kaos itu dari toko pakaian, Sabita kembali berjalan santai mengelilingi mal, dengan gue berjalan di sebelahnya. Gadis itu memandang sesekali ke arah beberapa toko yang lain, namun saat tidak melihat barang yang ia minati, Sabita mengabaikannya.

Saat gadis itu sibuk berjalan, gue diam-diam memperhatikannya dari samping. Tampak luar, gadis itu terlihat seperti gadis biasa, kecuali kesukaan anehnya dengan warna hitam juga kebiasaannya berkata serba baku membuat gue merasa sedang mengobrol dengan KBBI. Diluar semua itu, gadis itu benar-benar gadis biasa. Rambutnya dibiarkan tumbuh memanjang sampai ke batas pinggang. Sebagai seorang ballerina, menurut gue proporsi tubuhnya menjelaskan hal itu. Gadis itu punya tubuh yang ramping walaupun tingginya mungkin gak tinggi-tinggi amat, hanya sampai ke bahu gue. Kalau dilihat-lihat, Sabita itu manis. Serius. Diluar sikapnya yang agak abstrak dan kontrol emosinya yang luar biasa teratur, gue rasa dia bisa saja dikerubungi semua cowok di sekolah macam lalat yang baru menemukan makanan enak.

Tapi tentu saja gue gak akan suka sama cewek ini, oke. Kae sudah cukup sinting, jangan sampai hidup gue dipenuhi dengan cewek-cewek aneh lagi.

Terlalu sibuk dengan pikiran gue sendiri membuat gue tidak sadar kalau gadis itu kini kembali berhenti melangkah, membuat langkah gue juga ikut terhenti dengan sendirinya.

"Nah, itu toko buku."

Gue menengadahkan kepala ke arah sebuah papan yang bertuliskan nama jaringan toko buku terkenal tanah air, lalu menyunggingkan senyum tipis. Gue sebenarnya gak punya tujuan apapun untuk pergi ke toko buku. Tidak ada sama sekali. Saat Sabita bertanya gue akan membawanya kemana, jawaban itu keluar sendiri tanpa gue sadari.

Gue ingat, toko buku berarti banyak dalam hidup gue. Gue pertama kali melihat Papa bermain piano di depan toko buku. Saat itu secara kebetulan sebuah piano dibiarkan untuk dipajang di luar toko. Katanya hari itu salah satu brand alat musik terkenal dunia membiarkan semua orang yang berminat untuk memainkan piano itu. Persis seperti piano yang dibiarkan saja di dekat stasiun kereta bawah tanah di negara-negara eropa. Saat itu tentu saja gue sudah bosan dengan piano. Papa memainkannya setiap hari di rumah dan gue gak punya minat untuk mendekati piano itu.

Tentu saja Papa tidak pernah berkata tidak pada piano. Hari itu Papa mendekatinya, memainkan satu piece klasik yang gak gue ingat apa judulnya dan membuat keadaan mal hening sebentar. Suara riuh tepuk tangan terdengar saat Papa selesai bermain. Gue terperangah, menatap pada sekumpulan orang yang tersenyum melihat permainan piano Papa hari itu. Saat itu gue masih sangat muda. Gue hanya berpikir bagaimana hanya dengan bermain piano, Papa bisa membuat orang-orang kagum seperti itu? Tanpa banyak bicara dan tanpa banyak bertindak. Hanya menarikan jari-jarinya di tuts dan semua orang menatapnya dengan tatapan berbinar-binar. Bukankah itu keren?

"Kita bermain piano untuk membahagiakan orang-orang, Ra. Musik dibuat untuk itu."

Besoknya, gue merengek minta diajari Papa untuk memainkan piano. Gue terlihat seperti orang yang bermain piano hanya untuk mengundang decak kagum orang-orang? Ah, sayangnya tidak. Gue senang melihat orang lain senang. Tapi sayangnya, gue tidak suka berbicara maupun melakukan sesuatu yang merepotkan. Gue tidak suka berpidato maupun melakukan aksi akrobatik walaupun orang akan memberikan decak kagum yang serupa.

Tapi dengan piano, gue gak perlu melakukan apapun atau berbicara apapun. Orang lain mendengar bagaimana rangkaian nada yang gue buat dan dengan suatu cara yang sederhana orang lain akan senang.

Bukankah itu keren?

"Ra, bagaimana dengan ini?"

Suara Sabita membuat lamunan gue kembali buyar. Sibuk tenggelam dengan pikiran membuat gue secara tidak sadar sudah berdiri di dalam toko buku, tepatnya di rak peralatan alat tulis. Mudah ditebak, apa yang Sabita tunjukkan pada gue kali ini adalah alat tulis berwarna (lagi-lagi) hitam polos yang kini berbentuk sebuah sticky notes.

"Biasa aja."

"Kamu sudah mengulang dua kata itu sebanyak dua belas kali. Oh, tiga belas kali dengan yang barusan."

Gue berdecak. "Karena bagi gue semua yang lo tunjukkan itu biasa aja."

"Tidak suka warna hitam?"

"Gak."

Gadis itu terkekeh. "Kalau saya sangat suka warna hitam."

"Gue gak nanya."

"Saya tidak bicara dengan kamu." Sabita kembali tersenyum, sembari melirik pada petugas toko buku yang secara ajaib berada di sebelahnya. "Boleh saya melihat buku dengan kertas berwarna hitam?"

Mbak petugas toko itu langsung tersenyum sembari berjalan ke arah rak lain. Sabita mengikutinya dengan semangat, membuat gue mau gak mau harus mengikutinya juga. Kali ini, rak yang ditujunya berisi banyak buku catatan dengan motif sampul yang gue pastikan akan Kae teriaki dengan sebutan ucul. Sampulnya berwarna-warni, dengan motif yang beraneka macam mulai dari anak kucing, floral, serial kartun dan masih banyak lagi. Namun, Sabita sama sekali tidak tertarik dengan semua itu. Matanya hanya berbinar saat Mbak petugas toko tadi meraih buku bersampul hitam polos yang diambilnya dari rak terbawah.

Saat gue bilang warnanya hitam, artinya buku itu memang benar-benar hitam tanpa noda putih setitik kecil pun. Sampul sampai bagian kertasnya berwarna hitam, disatukan dengan benang yang mengikat semua kertas itu menjadi satu buku. Gak ada yang spesial dari buku itu kecuali ekspresi Sabita saat melihatnya persis seperti Thomas Alfa Edison saat melihat lampu percobaannya yang ke-9.996 berhasil menyala. Entah apa yang salah namun saat melihatnya, hati gue terasa menghangat.

"Whoah, it's beautiful." Sabita semakin merekahkan senyumnya sembari melihat buku serupa di rak terbawah. "Adakah yang mortifnya berbentuk bintang?"

Mbak petugas tadi berjongkok, mencoba mencari sesuai permintaan Sabita dan menemukan buku serupa dengan motif yang berbeda. Kali ini buku itu terlihat lebih cantik di mata gue. Warnanya biru gelap khas langit malam dihiasi dengan bintang-bintang yang kelihatan bercahaya. Sabita menerima buku itu lalu menatapnya antusias.

"Okay, I'll buy those book. Thanks."

Mbak petugas toko buku itu tersenyum, lalu memberi Sabita sebuah tas ukuran besar dan memasukkan dua buku itu ke dalamnya. Sabita tersenyum sekali lagi lalu segera berjalan ke kasir.

"Kamu bilang kamu mau ke toko buku." Sabita berbicara sembari berjalan dan mengamati isi rak per rak. "Kamu ingin membeli sesuatu? Buku pelajaran?"

"Gak ada yang perlu gue beli."

"Lalu?"

Gue mendengus. Gadis itu menjadi pribadi yang berbeda dibandingkan yang di sekolah. Sabita bertingkah seakan gue dan dia punya hubungan dekat dan hal itu membuat gue kurang nyaman. Apa ya namanya? SKSD? "Bayar aja belanjaan lo. Jangan peduliin urusan gue."

Gadis itu tidak terlihat tersinggung. Kontrol emosinya masih setenang biasanya dan setelahnya dia tidak bicara apapun pada gue. Gue kira, kegiatan kami di toko buku hari itu akan usai setelah Sabita pergi ke kasir dan membayar barangnya dengan sejumlah uang. Tapi tidak. Sebelum kami benar-benar sampai di kasir, gadis itu lebih dulu melirik penuh minat pada gantungan yang memajang aksesoris.

Ada berbagai macam barang yang digantung disana. Sejauh yang gue lihat ada ikat rambut, kostak pensil, topi, string bag, dan macam benda lain yang gak benar-benar gue perhatikan. Gue kira, Sabita akan membeli sebuah topi berwarna hitam yang terpajang di barisan depan mengingat bagaimana semua barang yang ia beli di 5 toko sebelumnya punya warna yang serupa. Namun justru perkiraan gue salah. Sabita tidak melihat topi itu, ia malah meraih sebuah gantungan kunci dan memperhatikannya dengan seksama.

Gue menatapnya heran. Gantungan itu berwarna merah jambu, bukan hitam. Bagaimana bisa sedetik yang lalu ia seperti bisa membeli apapun yang berwarna hitam di setiap toko dan sekarang ia beralih menjadi penyuka merah jambu?

Ah iya, dia gadis aneh. Apapun yang dia lakukan seharusnya tak perlu gue ambil pusing.

"Ah, yang ini bagus. Iya, kan?"

"Yang paling berwarna dibandingkan semua barang yang lo beli sebelumnya."

Gadis itu terkekeh, lalu memperhatikan gantungan kunci itu lagi. "Kamu tahu bentuk gantungan kunci ini?"

Gue lantas menjawab cepat, "Bulan sabit."

"Nah, that's my name."

Gue baru paham. Jika gue perhatikan, Sabita tidak benar-benar hanya membeli barang dengan warna hitam, justru lebih memilih yang berbentuk bulan sabit, serupa seperti motif kaos yang sebelumnya gadis itu beli.

"Kenapa harus bulan Sabit?"

Gadis itu tidak menjawab, lantas menyodorkan pergelangan tangannya yang baru gue sadari juga terajah sebuah tanda bulan sabit.

"Tato?"

"Nope. It's a birthmark." Sabita tersenyum saat melihat gue menatap tanda lahirnya kagum.

"Tanda lahir yang bagus dan secara kebetulan jadi nama lo."

"Ayah saya bilang kalau sebuah nama adalah sesuatu yang akan ada di darahmu seumur hidup." Sabita menatap tanda lahirnya sendiri dengan sorot mata yang gue kenali sebagai rasa bangga. "Kamu lihat? Letaknya ada di dekat nadi. Siapa tahu, darah saya bercahaya karena ada bulan sabit mengalir bersamanya."

Gadis itu tersenyum lagi, lalu berbalik dan mengamati gantungan kunci itu dalam diam dan meninggalkan gue dengan pikiran yang melayang ke suatu hal yang lain.

Gadis dengan bulan sabit di darahnya.

"Oke, Ra. Saya sudah selesai." Sabita memasukkan gantungan kunci itu ke dalam tas besar tadi dan menggendongnya di bahu. "Kamu yakin tidak mau membeli apapun? Saya akan ke kasir sekarang."

Gue tetap diam, namun sepertinya Sabita tidak membutuhkan jawaban gue karena tanpa menunggu gue menjawab, gadis itu lebih dulu pergi ke kasir dan membayar semua barangnya dengan sejumlah uang. Gue tetap diam, menunggunya membayar sembari melihat ke arah buku terbitan terbaru yang berjejer di depan toko ketika secara tiba-tiba gadis itu menyodorkan sesuatu untuk gue.

"Ini buat kamu."

Gue menatapnya sebentar, menyadari kalau gantungan kunci itu memiliki gambar bulan sebagai hiasannya. Gantungannya terbuat dari besi, dengan warna silver yang terlihat mengkilat. Gue gak yakin apa yang harusnya gur lakukan tapi sekejap, gue tahu otak gue menyukai gantungan kunci itu.

Karena itu adalah bulan purnama.

"Saya tahu nama kamu Purnama." Sabita memulai penjelasannya sembari kembali menyodorkan gantungan kunci itu lagi, memaksa gue menerimanya. "Itu sebabnya sekolah memberi kita tag nama."

"Ini buat gue?"

Sabita mengangguk sembari tersenyum. "Ucapan terima kasih karena mau menemani saya pergi kesini. Saya tahu kamu tidak suka mal, semua anak laki-laki selalu seperti itu. Tapi kamu tetap mengikuti saya kemana pun. Terima kasih."

Lidah gue kelu, tidak menyangka kalau Sabita memberi gue sebuah hadiah ketika gue terlalu banyak berkata sinis padanya sepanjang perjalanan di mal. Gue menatap gantungan kunci itu sekali lagi lalu seulas senyum tetap terbit di bibir gue. "Thanks."

"Sama-sama."

Sabita tersenyum lagi, lalu melangkah lebih dulu meninggalkan toko buku juga gue dengan kebisuan. Gue menatap sekali lagi ke arah gantungan kunci itu lalu menatap bergantian pada punggung Sabita yang menjauh. Seulas senyum gue tertarik saat melihatnya berbalik dan menyuruh gue mengikuti langkahnya lewat isyarat kibasan tangan.

"Ayo, Ra."

Gue lantas memasukkan gantungan kunci itu ke saku celana lalu berseru cepat. "Iya."

***

A/N: Part dua yaaa!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro