Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10 - Sabila, Engkau itu ....

[Author P.O.V]

Sebelumnya, Sabila yang masih terbaring lemah di rumah sakit itu ditinggalkan oleh para jamaah lainnya yang sudah bersiap-siap untuk menunaikan ibadah umrah di Mekkah. Sabila masih dikabarkan mengalami koma dan menderita untuk sementara waktu. Ridho dan Tama adalah dua orang yang paling merasakan kesedihan yang mendalam atas kondisi buruknya Sabila. Setelah akhirnya Ridho diusir oleh ayahnya Sabila dari ruang ICU, kini dia juga harus bersiap-siap untuk berangkat ke Mekkah, meskipun pada akhirnya semangat ibadahnya berkurang sedikit karena hal tersebut.

Ketika semua jamaah umrah terkecuali Sabila telah sampai di Mekkah, mereka menunaikan ibadah umrah dengan tawaf mengelilingi Kakbah terlebih dahulu. Tetapi ... ada sesuatu yang unik karena di dalamnya ada seseorang yang menunaikan ibadah umrah dengan memakai baju dan jilbab yang serba putih—memang pakaian ihram itu berwarna putih, tidak berwarna lain, bukan?

Dan satu-satunya orang yang menyadari keberadaan gadis kecil itu adalah ... Ridho.

***

Ketika Ridho sedang ber-thawaf mengelilingi Kakbah selama tujuh kali, dia mengucapkan bacaan-bacaan ketika mengelilingi Kakbah meskipun dia melihat buku panduan haji dan umrah itu. Ya, mungkin saja dia masih kecil, atau mungkin dia ingin menghapal bacaan-bacaan itu tetapi tidak sempat atau lupa. Yang dia tahu hanyalah bacaan talbiyah, selebihnya dia melihat buku.

Di sebelah Ridho itu ada Tama juga. Jadi sebenarnya, Ridho belum melihat sesuatu yang mencurigakan pada saat mereka menunaikan ibadah thawaf. Tidak ada sebelumnya. Jadi, ibadah thawaf mereka begitu khusyuk karena tidak ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Semua pikiran tentang Sabila itu mereka lepaskan sejenak, dan waktu itu mereka hanya mengingat Allah semata. Mungkin sebentar lagi, Ridho dan Tama berubah ke arah yang lebih baik. Setelah selesai beribadah thawaf, mereka memutuskan untuk shalat sunnah tawaf dua rakaat di sekitar Kakbah, meskipun mereka itu awalnya hanya meniru para jamaah dewasa.

Tetapi situasi yang berbeda baru didapat oleh Ridho dan Tama ketika mereka menunaikan ibadah sa'i, yaitu jalan bolak-balik dari Shafa ke Marwah. Mungkin mereka awalnya menyadari bahwa Shafa dan Marwah itu adalah dua bukit berbeda yang biasanya berdiri tegak di luar ruangan, tetapi mereka salah, karena kedua bukit tersebut terletak di dalam ruangan, di Masjidil Haram.

Setelah Ridho, Tama, dan jamaah yang lainnya meminum air Zam-Zam yang diketahui membawa berkah bagi kehidupan mereka, akhirnya semua yang hadir di Mekkah ini menunaikan ibadah umrah selanjutnya yaitu sa'i. Dimulai dari bukit Shafa, mereka berjalan bersama-sama menuju bukit Marwah, kemudian balik lagi ke bukit Shafa, dan seterusnya hingga tujuh kali, meskipun mereka pada akhirnya sibuk dengan ibadahnya masing-masing.

Tetapi ketika mereka hampir menyelesaikan ibadah sa'i yang kemudian dilanjutkan dengan tahallul, ternyata ... Ridho melihat sesosok gadis kecil yang hanya terpaku memandang ke arah jamaah yang masih berlari-lari kecil dari bukit Shafa ke Marwah atau sebaliknya. Ya, Ridho melihat gadis kecil itu ketika dia hampir menuju ke bukit Marwah. Setelah sampai di bukit tersebut, ketika Ridho menatap gadis itu, dia justru berbalik membelakangi Ridho. Entah mengapa firasatnya Ridho menjadi tidak enak ketika memandang orang itu.

Namun akhirnya, Ridho memberanikan diri untuk bertanya kepada gadis kecil itu, "Ah ... kita kenalan yuk." Ridho mengatakan hal yang demikian sebelum akhirnya dia mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan gadis yang sedari tadi membelakanginya itu. Ya, waktunya lumayan lama juga untuk menunggu gadis itu berbalik lagi ke arahnya, tetapi tidak kunjung terjadi juga. Justru, gadis itu yang malah berkata pada Ridho, "Tidak perlu. Engkau tidak perlu tahu siapa aku."

"Se ... sebenarnya, apakah engkau jamaah umrah di sini? Aku lihat engkau memakai pakaian serba putih, tetapi bersih. Jadi ... aku suka memandangnya," kata Ridho dengan perasaan yang sedikit canggung pada gadis yang belum dikenalnya itu.

Gadis itu kemudian menjawab tanpa menoleh ke Ridho, "Ya."

Hanya satu kata saja sudah cukup membuat Ridho terkejut setengah mati. Biasanya ketika para jamaah umrah ingin berihram ke Mekkah 'kan harus pakai pakaian ihram yang biasa saja. Tetapi orang yang dilihat Ridho ini cukup berbeda namun unik karena pakaian putih yang gadis itu pakai sungguh indah sekali.

Ya, Ridho sungguh penasaran siapa gadis kecil itu. Langsung saja Ridho berkata pada gadis itu, "Tolong balikkan badanmu, teman, ah aku bingung mau manggil dirimu apa. Aku ingin berkenalan denganmu lebih dekat, siapa tahu kita bisa menjadi lebih dekat karena tujuan kita sama di sini, 'kan?"

Tanpa basa-basi, gadis kecil itu hanya mengangguk pelan kemudian membalikkan badannya kembali menghadap Ridho. Ternyata, anak lelaki itu terkejut setengah mati karena yang dia lihat secara dekat itu sekilas mirip dengan Sabila. Tidak ... tidak. Bukan mirip, tetapi gadis itu memang bernama Sabila, gadis yang pernah—maksudnya masih menjadi temannya Ridho itu. Tentu saja perasaannya Ridho itu antara terharu, senang, atau khawatir.

"Sa ... Sa ... Sabila?" ujar Ridho ketika memanggil nama 'Sabila' secara terbata-bata, pertanda bahwa lelaki itu tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Tetapi gadis kecil itu tidak membalas panggilan itu, melainkan hanya menunduk dan tidak melihat mukanya Ridho itu lagi. Seketika itulah Ridho kemudian melanjutkan perkataannya, "Sabila, kau sudah sembuh? Kau baru saja keluar dari rumah sakit?"

Lagi-lagi, Sabila tidak menjawab perkataan dari Ridho. Tidak ada respon sama sekali. Hening. Ya, tidak ada satupun kata yang terdengar dari mulut Sabila itu. Akhirnya, Ridho langsung mengeluarkan suatu jurus yang menandakan kerinduannya kepada Sabila. Dia langsung memeluk gadis kecil itu tanpa diduga-duga.

Tetapi masih saja gadis itu tidak merespon pelukannya, buktinya dia tidak membalas pelukan itu. Segera saja Ridho melepaskan pelukannya itu sambil menangis, lalu berkata, "Sabila, kau sudah lupa denganku? Ini aku, Ridho. Aku kangen padamu, Sab. Aku ingin kita bermain bersama-sama lagi. Kau lupa padaku, hah?"

"Maaf, aku harus pergi." Kemudian gadis kecil itu menghilang tanpa jejak di hadapannya Ridho.

Seketika itulah, tubuh tingginya Ridho langsung ambruk ke lantai, bukan pingsan, tetapi sengaja dia menjatuhkan dirinya, karena dia tidak mengerti dengan semua ini. Dari tadi anak lelaki itu memikirkan Sabila yang sedang terbaring lemah, kemudian tadi baru saja dia bertemu dengan sosok Sabila, tetapi gadis kecil itu sepertinya telah melupakannya dan sikapnya cuek pada Ridho.

Akhirnya, Ridho menangis histeris, menantikan kedatangan Sabila kembali, dan berharap semoga saja Sabila masih hidup sehingga dia tidak perlu meninggalkan Ridho untuk selamanya. Tetapi kemudian tangisannya Ridho terhenti setelah dia mendengar suatu perkataan seperti ini, "Jangan menangis, Nak."

***

Ketika para jamaah umrah sudah sampai di hotel setelah waktu Subuh usai, keluarganya Ridho, keluarganya Tama, dan si ustadz berkumpul bersama dalam satu ruangan yaitu di kamarnya si ustadz tersebut. Di situlah Ridho menceritakan apa yang dia temui barusan.

"Nak Ridho, ada apa? Apa yang terjadi padamu sebenarnya? Bisakah engkau menceritakan semuanya kepada kami?" tanya si ustadz ketika membuka pembicaraan di antara mereka bertujuh yang hadir tersebut.

Tetapi anak lelaki itu hanya terdiam seakan ada yang menghalanginya untuk berbicara apapun, apalagi soal Sabila. Maka dari itulah si ustadz tersebut bertanya kembali dengan pertanyaan yang sama, "Ada apa, Ridho?"

"Begini, Tadz ... aku bertemu dengan seorang gadis yang mirip dengan seorang jamaah kita yang bernama Sabila. Sikapnya dingin sekali, Tadz. Dia cuek padaku, seakan-akan tidak ada lagi suasana pertemanan di antara kami. Lantas aku harus bagaimana, Tadz?" Ridho menceritakan semuanya tentang kejadian itu. Lagipula, Ridho sebenarnya kangen pada Sabila, makanya dia seperti itu.

Si ustadz itupun kemudian berkata dengan lemah lembutnya kepada Ridho, "Sebenarnya, Sabila itu masih di rumah sakit. Orang yang engkau temui di bukit Marwah itu tadi adalah orang yang salah, dia hanyalah bayangan dari Sabila, agar engkau terkecoh. Pantasan saja dia cuek sekali padamu, sehingga engkau berpikir yang macam-macam tentangnya.

"Bagaimanapun juga, dia sebenarnya masih kangen padamu, kok. Tadi saya pergi ke rumah sakit tempat Sabila sekarang, dan ternyata dia memanggil namamu sebanyak beberapa kali, kemudian dia menggerakkan jari tangan kanannya yang diinfus itu. Tetapi kondisinya masih sama, dia lemas, masih dipasang masker oksigen, dan belum sadar sampai sekarang.

"Ridho, saya sarankan kamu untuk lebih banyak beristighfar padaNya, jangan memikirkan yang aneh-aneh dulu. Dia itu hanyalah bayangan saja, jangan diambil hati dan jangan dipikirkan. Lebih baik adik istirahat dulu sejenak, pasti lelah habis beribadah umrah di Masjidil Haram 'kan? Mungkin adik kelelahan sehingga memikirkan yang aneh-aneh tentang Sabila itu. Lebih baik berdoa untuk kesembuhannya, 'kan?"

Begitulah perkataan si ustadz yang panjang lebar itu, membuat semua yang hadir di kamar hotelnya itupun merasa terenyuh dan menyimak semua perkataan itu. Ridho itupun yang lebih lama mencerna perkataan-perkataan tersebut. Akhirnya, Ridho itupun kemudian langsung beranjak pergi dari kamarnya ustadz tersebut, entah kemana dia akan pergi dan tidak memperdulikan keluarganya dan juga Tama.

Barulah ketika menyadari bahwa pintu kamar si ustadz itu terbuka dan Ridho tidak ada lagi di kamar itu, ayahnya Ridho itu berkata, "Nak, oh Nak. Kemana dia pergi, ya?"

"Om, mungkin saja dia pergi ke rumah sakit tempat Sabila dirawat sekarang," sahut Tama kemudian. Seketika itu pula raut muka ayahnya Ridho itu langsung berubah, setelah itulah dia berkata, "Astaghfirullah. Dia 'kan tidak tahu dimana rumah sakit itu. Om minta tolong padamu, Tama. Tolong susul dia, bisa 'kan?" Akhirnya, ayahnya Tama itu meminta bantuan pada Tama.

Tama yang sudah menjadi anak lelaki yang pemberani itupun berkata, "Siap, Om. Beritahukan saya alamat rumah sakit itu."

Bukannya orang dewasa itu yang menjawab, melainkan si ustadz yang lebih dulu mengetahui keberadaannya Sabila. "Ini alamatnya, Tama. Jaga kertas itu dan jangan sampai hilang, ya. Mengerti?" Lalu, si ustadz tersebut memberikan secarik kertas berisi alamat dan nama rumah sakit yang sekarang itu. Tama akan segera menemui kakak kandungnya itu lagi.

Kemudian Tama itupun mengucapkan, "Terima kasih, Ustadz. Tama harus pergi menyusul Ridho dulu. Assalamu'alaikum." Kemudian si Tama itu beranjak pergi dari kamar itu dan langsung menyusul Ridho.

"Wa'alaikumussalam...."

***

Kini, Tama siap menyusul Ridho agar tidak tersesat di Mekkah.

To be Continued.

Mind to Vote and Comment?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro