Bab 1 - Masa Anak-Anak
[Author P.O.V]
Ini adalah masa lalu ....
Sebelum Sabila memutuskan untuk memakai hijab pada saat kelas 6 SD, dulunya dia itu sangat nakal di kelas. Dia terlalu usil pada teman-teman sekelasnya, sehingga membuat banyak yang tidak suka pada Sabila. Tetapi di balik itu semua, sebenarnya mereka sangat menyayangi Sabila. Bahkan, satu di antara teman sekelasnya yang bernama Manta itupun tahu bahwa gadis itu orangnya hiperaktif. Anak laki-laki itu tahu soal itu karena sejak TK-lah mereka mulai berteman, sehingga dia tahu segalanya soal Sabila.
"Woi, Sabila, hentikan!" seru Linda ketika mendapat gangguan fisik seperti sentuhan dari Sabila tersebut.
"Duh, Sabila, kau kenapa sih?" respon salah seorang teman sekelas lainnya.
"Hentikan! Sakit tau!" Kali ini responnya lebih ke respon jika dibeli gangguan fisik.
Begitulah respon dari teman-teman sekelasnya ketika mengetahui bahwa Sabila itu suka melakukan hal-hal yang usil sama teman-temannya itu. Dan semua itu dilakukan ... ketika dia tidak memakai kerudung, karena di sekolahnya, memang hampir kebanyakan dari siswa-siswinya tidak memakai kerudung, melainkan hanya sebagian kecil saja.
Ternyata, Sabila, Manta, dan teman-temannya bersekolah di suatu SD Negeri di kota mereka.
Ketika Sabila masih melanjutkan keusilannya itu, Manta ingin mengajaknya berbicara secara empat mata, "Sab, ngomong yuk!"
"Apa sih, Man?" sahut Sabila dengan emosinya. Maklum sih, anak kecil memang rada emosian. Apalagi, sebenarnya Sabila sudah memasuki masa dimana tanda-tanda keperempuanannya sudah nampak, dan pertama kali keluar pada waktu ulang tahunnya yang ke-10 alias kelas 4 SD.
"Bentar jaaa kok, Sab." Tanpa menunggu balasan dari gadis kecil itu, Manta langsung menarik tangannya Sabila menuju ke pojok lain dari kelas mereka.
"Apa kau tahu, kalau perlakuan itu sungguh tidak masuk akal?" pesan Manta langsung to the point pada si Sabila yang mulai menunjukkan raut muka yang masam.
"Kok kau seenaknya ngomong seperti itu sih?" sahut Sabila di balik mukanya yang masam alias kesal.
"Manta tahu kalau kau waktu itu ...." Tetapi akhirnya Manta tidak melanjutkan perkataannya lagi. Perkataannya dibiarkan menggantung di udara, sehingga Sabila menjadi kebingungan dan tidak mengerti maksud dari kata-kata anak laki-laki itu barusan.
"Apa?" Akhirnya Sabila hanya bisa mengucapkan satu kata saja pada Manta. Sejujurnya, gadis kecil itu tidak paham terhadap apa-apa yang diucapkan tadi.
"Kau dulu mengalami hal-hal yang sulit, bukan?" duga Manta kemudian. Sabila pun semakin emosi terhadap apa yang diucapkan barusan.
"Kau gila?! Maksudmu apa? Hal-hal sulit? Tidak masuk akal, Man!" Lama-kelamaan, Sabila semakin kesal dengan apa yang terjadi. Dia semakin tidak bisa menerima nasihat-nasihat yang disampaikan padanya.
"Mungkin saja kau lupa, Sab. Tapi, aku ingat semuanya, karena dulu ada yang menceritakan semuanya padaku. Dan dia memintaku untuk menjagamu selalu. Makanya aku berusaha untuk mengembalikanmu ke jalan yang benar. Kau memang hiperaktif, Sab, tapi hiperaktif bukanlah satu-satunya pintu masuk kepada perlakuan-perlakuan konyolmu."
"Kau masih kecil tapi pemikiranmu kayak orang dewasa, Man. Aku heran deh."
"Wajar kalau kau heran, Sab. Tapi, aku melakukan ini karena aku sebenarnya kasihan sama dirimu. Berusahalah untuk berubah, oke? Aku akan selalu berada di sisimu. Carilah jati dirimu yang sebenarnya, jangan seperti ini ya...." Setelah itu, Manta tidak berkata apa-apa lagi. Tanpa menunggu respon dari Sabila, Manta langsung membelakangi Sabila, dan akhirnya anak laki-laki itu pergi meninggalkan Sabila. Sabila yang melihatnya pun langsung merasakan perasaan yang sedikit aneh, antara marah dan juga sedih.
Sebenarnya, di dalam hati, Sabila menangis. Dia ingin berubah ke arah yang lebih baik. Tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya. Setelah dia berpikir bahwa dia benar-benar bersalah atas apa yang selama ini dia sendiri lakukan.
***
11.30 WIB, inilah waktunya bagi semua murid SD kelas 5 untuk pulang ke rumah masing-masing. Sebenarnya, masa-masanya di kelas 5 sudah mau berakhir, dan mereka akan menunggu keputusan dari wali kelas mereka, apakah mereka akan naik ke kelas 6 SD, atau justru tinggal kelas. Pasti ada 2 kemungkinan yang bertolak belakang di setiap jenjangnya. Kita lihat saja nanti, apakah Sabila pantas untuk naik kelas atau tidak.
***
Btw, maafkan jika alurnya agak loncat-loncat gitu... karena sebenarnya alur yang diceritakan itu lebih ke pada masa-masa lalunya secara singkat. – Author.
Hari itu adalah hari terakhir mereka memasuki jenjang kelas 5 SD ini. Jika mereka naik kelas, maka hari-hari mereka akan benar-benar berakhir di kelas 5. Tetapi jika mereka tinggal kelas, maka masa-masa di kelas 5 akan terulang kembali. Begitulah kehidupan anak-anak di jenjang Sekolah Dasar.
"Ampun ... aku takut nih .... Entah aku naik kelas atau tidak nanti."
"Ya Allah, optimis dong ... aku yakin kau naik kelas kok. Aku kan sudah tahu, kalau kau bakal mendapat peringkat satu lagi, sama seperti biasanya," sahut seorang teman sekelasnya, Linda, kepada Sabila.
Sabila memang orangnya hampir pesimis, tapi kadang bisa optimis. Dia kadang usil, kadang juga sangat baik. Begitulah, sikapnya labil saat ini. Tetapi, dia sekarang tidak demikian. Hanya untuk saat ini-lah, dia menunggu semua hasilnya dengan pasti, dan keputusan mengenai kenaikan kelas akan segera diumumkan, melalui wali kelasnya masing-masing di kelas masing-masing.
Di kelasnya Sabila sudah terdapat seorang wali kelas yang siap memberitahukan segalanya mengenai raport kenaikan kelas.
"Jadi, selamat pagi anak-anak...." Kemudian dibalas 'selamat pagi' juga oleh semua siswanya di kelas. "Jadi, kita akan menyaksikan bersama-sama, siapa yang pantas untuk meraih peringkat satu, dua, dan tiga di kelas. Mohon disimak ya, anak-anak," lanjut guru itu lagi. Diketahui, wali kelasnya Sabila itu bernama Bu Elly.
"Baik buuu...." Semua siswa serempak dalam mengatakan begitu pada Bu Elly.
Setelah beberapa saat mereka berbasa-basi, barulah mereka masuk ke dalam topik pembicaraan yang harusnya dibicarakan sejak tadi.
"Peringkat 3 di kelas VD jatuh kepadaaaa ...."
Beberapa siswa sudah tahu siapa yang pantas meraih peringkat tersebut, kemudian menjawab secara serempak, "Lindaaa, Bu!!!" Linda yang disebutkan namanya itupun hanya bisa tersenyum malu. Dia tetap rendah hati atas apa yang dikatakan teman-temannya tersebut.
"Linda! Tepuk tangan semuanya!" Seketika itulah, semua siswa yang hadir di kelas tersebut, termasuk Sabila pun bertepuk tangan secara meriah kepada Linda. Tidak disangka, Linda-lah yang meraih peringkat 3 tersebut.
"Oke, sekarang lanjut dulu ya. Ke peringkat 2."
"Nah, ini nih yang ditunggu-tunggu si Manta, benarkan?" tanya Sabila pada Manta, yang sekarang mereka itu duduk sebangku.
"Enak aja, aku tidak mungkin berada di peringkat 2, sis!" seru Manta dengan merendahkan dirinya. Ternyata benar saja dugaan dari Manta. Bukan dia yang berada di peringkat dua, tetapi ....
"Peringkat 2 adalah .... ARIS! SELAMAT!" lanjut Bu Elly tersebut. Seketika itulah semuanya yang ada di kelas bertepuk tangan pada cowok non muslim yang satu ini. Badannya lebih tinggi daripada Manta dan juga Sabila.
"Selamat, Aris!!!" seru Sabila kemudian, yang diikuti oleh teman-teman sekelasnya. Aris itupun hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan juga tersenyum malu.
"Baiklah. Ini yang akan ditunggu-tunggu oleh anak-anak sekalian. Kita akan menantikan, siapa yang bakal menjadi juara kelas pada semester dua ini!!!" seru Bu Elly yang tentu saja membuat seluruh siswa menjadi penasaran akan apa yang terjadi nantinya.
"Siapa ya kira-kira?" tanya Sabila yang sedang kebingungan, tetapi kebingungannya itu dianggap main-main saja oleh Manta. "Heh, jangan pura-pura bingung. Kau lah pasti yang meraih peringkat 1 itu, Sab. Jangan macam-macam kamu!" seru Manta ketika membicarakan soal peringkat 1 itu.
"Kok aku? Apa buktinya?" tanya Sabila lagi, pertanda bahwa ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Manta.
"Ya bisa dong. Sudah banyak yang tahu tentang dirimu. Jadi kau tidak perlu menyembunyikan apapun lagi. Terimalah kelebihanmu itu. Allah sudah memberikan segalanya padamu," ujar anak laki-laki itu lagi.
"Menurut anak-anak, siapakah yang akan meraih peringkat pertama ini?" tanya Bu Elly kepada seluruh siswanya, yang tentu saja mereka menjawab, "SABILA, BU!!!"
'Lah, kok aku?' batin Sabila dalam hati.
Akhirnya beberapa saat kemudian, Bu Elly membacakan hasilnya. "Baiklah. Jadi semua sepakat ya, bahwa kalian akan memilih Sabila sebagai juara kelas ini. Dan ternyata, yang meraih peringkat satu adalah ...."
Bukannya mereka kembali meneriakkan nama Sabila lagi, tapi suasana menjadi hening dan mereka menunggu hasil yang akan disampaikan Bu Elly, wali kelas mereka. Akhirnya, tibalah pada suatu nama yang bakal membuat seisi kelas menjadi heboh. "Sabila! Selamat ya, Nak!"
"Yeay!" Semua siswa yang hadir kecuali Sabila itupun bersorak gembira dan bertepuk tangan secara meriah kepada gadis yang seketika itulah menjadi primadona di kelas lima ini. Ya, itu kelas 5 SD. Masih SD.
Tetapi Sabila hanya tersenyum manis seraya berkata, "Alhamdulillah, terimakasih teman-teman." Ya, tidak ada kelakuan nakal setelah ia mendapat keberuntungan tersebut.
***
Di rumah, Sabila memberitahukan nasib baiknya kepada bundanya, tetapi topik tersebut segera dialihkan ke sesuatu yang penting.
"Nak, ayah dan bunda telah memutuskan sesuatu," ujar Bunda kepada gadis sulungnya seraya mengelus kepalanya Sabila.
"Apa, Bun?" tanya Sabila dengan raut wajah yang menunjukkan kebingungan itu.
"Ayah dan Bunda telah memesan tiket umroh. Jadi, kami berharap, Sabila bisa ikut bersama ayah dan bundamu. Semoga dengan umroh ini, kita bisa menjadi lebih baik ke depannya."
Tetapi, Sabila hanya terdiam ketika mendengar kata 'umroh'. Baginya, jika mereka pergi nanti, mereka akan meninggalkan kota mereka dalam waktu yang lama, bahkan selamanya. Akhirnya, tanpa jawaban yang dikeluarkan dari mulutnya Sabila, gadis kecil itu langsung pergi meninggalkan bundanya begitu saja.
To be Continued.
Mind to Vote and Comment?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro