Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 1 | Tabrakan Kedua

Selamat membaca! ❤

"Di setiap kesempatan aku selalu bertanya. Apa pertemuan kita itu takdir?"

🎶 Just One Day - BTS

Hamparan pasir putih beserta kerang dengan batu kecil yang menyebar menghiasi pantai begitu indahnya. Semilir angin sore menyejukkan raga. Kicauan burung melintasi langit begitu memanjakan telinga. Hiasan pada langit sudah nampak dengan eloknya. Mata bulat dengan iris kecoklatan itu berbinar terpesona.

"Kak Elin, Kak Elin!"

Suara lucu itu memanggil sang pemilik surai kehitaman yang sedang terpaku kepada senja.

"Kenapa?" tanyanya kepada anak itu.

"Pakai kacamata Kak Elin!" perintahnya dengan gerakan menggemaskan.

Gadis itu menurut, lalu berkata, "Sudah. Terus mau ngapain?"

"Kejar Cika, Kak Elinn! Kalau Cika menang, Kak Elin harus beliin Cika boneka baru!" serunya dengan semangat.

Gadis itu tersenyum. "Oke, kalau kakak dapatin kamu, Cika enggak boleh makan yang manis-manis sampai gigi Cika sembuh."

"Okee!" balasnya dengan penuh semangat.

Tanpa aba-aba anak kecil berusia enam tahun itu mulai berlari dengan curangnya. Namun, dengan langkah sekecil itu, gadis ini dengan mudah menangkapnya.

"Awas, ya Cikaa! Kak Melina tangkap, loh!"

Suara gelak dan tawa terdengar dari pantai tersebut. Sore ini terasa begitu nikmat. Hingga gadis bernama Melina itu tak sadar menabrak seseorang dari belakang yang membuatnya ikut terjatuh di atas punggung orang itu. Saat orang itu meringis pelan, ia langsung tersadar dan kembali bangun. Melina melihat orang yang ditimpanya, dia adalah seorang lelaki.

Saat lelaki itu sudah berdiri,
Melina langsung meminta maaf. "Maaf, ya. Aku enggak sengaja sumpah nabrak kamu."

Lelaki itu tak menjawab, dia membersihkan wajah, pakaian, serta mulutnya yang kemasukan pasir. Saat selesai, dia menatap gadis berkacamata itu.

"Lain kali hati-hati. Untung gue baik orangnya," tegurnya.

Melina mengganguk. "Iya, Kak. Maaf."

"Jangan panggil, Kak. Nama gue Gealen," ujarnya memperkenalkan diri.

"A-aku, Melina," balasnya.

"Melina ...."

"Iya?" tanya Melina. Lelaki itu nampak terdiam beberapa saat sambil memandanginya kembali.

"Rambut lo jangan lupa dibersihin dari pasir." Sebelum Melina mengucap sepatah kata pun, lelaki itu berbalik pergi menuju bibir pantai.

"Kak, ayo pulang!!" seru Cika sambil menarik tangan kakaknya.

"Eh, iya," jawab Melina, lalu mengambil langkah pulang.

Dalam perjalanan pulang, Melina memikirkan kejadian tadi. Tak ada yang spesial sama sekali. Bahkan Melina merasa sangat malu.

"Cika masuk duluan, ya, Kak!"

Melina hanya mengiyakan. Dia pergi ke belakang rumahnya untuk melihat kolam ikan milik sang Ayah.

"Tarik napas, buang," ucapnya sambil memejamkan mata. Melina mengambil ponsel yang bergetar dari saku bajunya. Terlihat sahabatnya memberitahukan sesuatu lewat pesan.

Rena
[Besok kita ke sekolah barengan, ya. Jangan tinggalin gue!]

Melina
[Asal jangan jemput pas sama jam masuk.]

Rena
[Gue udah pasang alarm berturut-turut, biar nih mata bisa melek. Kalau gitu sampai jumpa besok, seyeng.]

Melina
[heem.]

Gadis berkacamata itu menarik napas lega, lalu masuk ke dalam rumah. Dia juga harus membersihkan tubuhnya. Besok pagi, orang tua Cika akan datang mengambil anaknya kembali. Karena mereka sibuk bekerja membuat Cika dititipkan di rumah Melina. Dia pun tak keberatan. Anak kecil itu mengisi rumahnya dengan keceriaan.

***

Pagi pun telah tiba. Mentari memunculkan cahayanya dengan malu-malu. Angin pagi datang menyerang dengan segar. Melina menyisir rambutnya dengan rapi, tak lupa memberi jepitan agar terkesan lebih rapi. Setelah selesai, dia ke bawah untuk sarapan. Orang tua Cika juga sudah datang dan ikut sarapan.

"Selamat pagii!" seru Melina dengan semangat dan ikut duduk bersama. Dia mengambil dua lembar roti dan mengolesinya dengan selai cokelat.

"Gimana sekolah kamu, Elin?" tanya Om Fandi-ayah Cika.

"Alhamdulilah lancar aja, Om," jawab Melina dengan senyuman.

"Kalau libur semester jangan lupa berkunjung ke Bali, ya, Nak. Nanti giliran Cika yang ajak jalan-jalan."

"Betul itu, kapan lagi coba kamu pergi ke Bali? Tahun lalu kamu enggak ikut kan? Nah, tahun ini harus ikut!" seru tante Cici yang sedang sibuk mengoleskan selai pada roti untuk Cika.

Sarapan kali ini terasa nikmat karena diselingi canda tawa. Hingga terdengar seseorang memanggil Melina di luar. Pasti Rena, batinnya.

Setelah kelar sarapan, Melina pamit untuk pergi ke sekolah. Tak lupa memberikan kecupan singkat di pipi Cika. Anak itu terlihat bahagia.

"Maaf Ren nunggu lama. Kamu yang boncengin aku kan?" tanya Melina.

"Ho'oh, lo kan males bawa motornya."

"Nanti jatuh di got, emang kamu mau?"

"Enggaklah! Gue itu harus wangi setiap waktu, bukan bau. Nanti enggak ada cowok yang ngedeketin," kata Rena menjelaskan, lalu memberikan helm yang ada di genggamannya kepada Melina.

"Memangnya Rena ada yang ngedeketin?" tanya Melina santai. Pertanyaan itu membuat Rena memegang dadanya seolah-olah sakit hati.

"Enggak ada, tapi yang namanya usaha enggak akan mengkhianati hasil. Kalau mau dapat cowok, harus tau cara ngerawat diri," ujarnya dengan penuh kasih sayang.

Melina mengganguk. "Kenapa harus gitu?"

Rena memutar kedua matanya malas. "Biar enggak dihina-hina orang. Lo juga kalau mau dapat cowok, ya, welcome kalau diajak kenalan. Jangan langsung di blok."

"Tapi kan itu orang asing. Kita enggak kenal."

Rena menjadi gemas sendiri. Ini dia salah satu sifat yang Rena suka tidak suka dari diri Melina. Polosnya kayak pengen nampol.

"Supaya enggak jadi orang asing ya kenalan dong, Lin. Lain kali kalau mau dapat cowok, jangan cuek-cuek."

"Punya pacar itu rasanya kayak gimana?"

Rena memejamkan matanya seolah sedang memikirkan kata yang tepat. Maklum, dengan sifat polos dan ketidaktahuan Melina soal cinta, cukup membuat Rena harus mengajari sahabatnya ini.

"Rasanya bahagia karena ada yang perhatiin, ada yang nemenin. Tetapi, semua itu tergantung lo jalin hubungan sama cowok kek apa."

"Rena bahagia enggak?"

Belum sempat Rena menjawab, pagar rumah Melina terbuka. Terlihat orang tua Melina dan Cika sedang bersiap untuk pergi. Mereka terkejut melihat gadis-gadis tersebut masih ada di depan rumah. Padahal sudah sedari tadi keluar.

"Kalian ngapain tinggal di situ? Emangnya enggak telat ke sekolahnya?" tanya Afta-Ayah Melina.

Rena dan Melina sontak menepuk jidat mereka dengan keras. Mereka langsung bergegas.

"Melina pergi dulu, dadah!"

Rena mengendarai motor tersebut dengan kecepatan penuh. Bahkan Melina yang sudah berpegangan dengan erat seakan diajak terbang oleh angin jalan.

"RENA BAWA MOTORNYA JANGAN KEBUT-KEBUT! KITA ENGGAK DIKEJAR POLISI, KOK!"

"INI DELAPAN MENIT LAGI GERBANG TUTUP. GUE ENGGAK PANDAI BUJUK SATPAM. LO DIEM AJA, OKE?"

Melina hanya pasrah saja. Bahkan untuk memperbaiki kacamatanya yang sudah melorot di hidung pun tak sempat. Setelah mengebut, mereka akhirnya sampai di sekolah. Tepat saat memarkir motor, bel masuk juga telah berbunyi.

"Syukurlah nyawa gue masih ada. Gue pikir keikut sama angin," ujar Rena sambil melepaskan helm-nya.

Melina masih terdiam. Rena seperti ingin mengajak dirinya mati bersama-sama.

"Makasih ya tumpangannya, Melina masuk kelas duluan."

"Ho'oh," balas Rena yang sibuk becermin.

Sedari Melina berjalan menuju kelasnya, terdengar suara tawa dari orang-orang yang dilewatinya. Apa karena penampilannya yang berantakan? Saat memikirkan itu, dia semakin menundukkan kepalanya. Hingga ... bugh.

Melina menabrak seseorang. Dia menaikkan pandangannya melihat siapa orang yang dia tabrak. Matanya membulat sempurna saat melihat orang itu. Gealen. Dia adalah Gealen.

Berarti mereka satu sekolah. Kenapa Melina baru melihat lelaki itu?

"Aku minta maaf. Aku enggak sengaja sumpah nabrak kamu," ucap Melina sambil menundukkan kepalanya.

Lelaki bertubuh tegap itu juga ikut terkejut. "Lo cewek senja kemarin kan? Maksudnya Malika," ucapnya menebak.

Melina tertawa kecil saat mendengar kata Malika. "Nama aku Melina," ujarnya.

"Ah, maksud gue itu. Lo ternyata hobi nabrak orang ya?" Saat mendengar itu, Melina langsung menunduk malu.

Lelaki bernama Gealen itu tertawa melihatnya. Sebelum dia melangkah pergi, Gealen memegang kepala Melina sambil berkata, "Helm-nya jangan lupa dilepas. Di kelas enggak ada razia jalanan."

Sesudah Gealen mengatakan itu, sontak Melina ikut memegang kepalanya. Dia pun memejamkan matanya malu. Pantas saja orang-orang menertawakannya.

"Elinn!"

Melina segera melepas helm-nya saat Rena datang. "Helm-nya kok lo bawa? Gue pikir ilang anjir."

"A-anu, aku lupa kalau masih pakai helm-nya," tutur Melina.
"Astaga. Sini helm-nya, biar gue yang nyimpen. Lo pergi aja ke kelas. Siapa tau gurunya udah masuk."

"Oke. Makasih ya, Ren."

"Santuy."

***

Bel istirahat telah berbunyi dengan merdunya. Para murid bernapas lega dan ingin segera menuntaskan rasa yang membuat perut mereka keroncongan. Melina merapikan bangkunya, lalu memasukkan buku serta alat tulis ke dalam tas. Bahaya jika dibiarkan saja di atas bangku. Yang ada malah langsung hilang.

"Lin," panggil Rena yang baru masuk ke kelas Melina. Wajahnya yang biasa terlihat judes seperti ingin menyantap orang yang menatapnya balik, kini nampak begitu lesu.

"Rena kelaparan? Sini titip ke Melina aja," tawar Melina yang khawatir dengan sahabatnya itu.

"Gue mau muntah," gumam Rena.

Melina menangkup kedua pipinya. Dia dengan cepat mengambil minyak telon di dalam tas, lalu memberikannya kepada Rena.

"Rena cepat olesin, atau mau ke UKS?"

"Gue enggak sakit. Cuma mual aja hirup aroma buku di perpustakaan. Enggak enak banget. Ngapain coba Bu Susi ngajar di perpus," gerutu Rena. Saat masuk ke dalam perpustakaan, aroma buku-buku yang bercampur begitu membuatnya mual. Bagi Rena, duduk berdiam diri di perpustakaan sama saja dengan membuat diri menjadi gila perlahan-lahan. Jauhkanlah dia dari itu semua ya Tuhan.

"Bau buku enak kok," tutur Melina.

"Bau kek tai ayam kok enak," cibir Rena. Melina yang mendengar itu tertawa.

"Udah, yuk, aku lapar." Melina menyeret gadis berwajah lesu itu dengan semangat.

Langit pagi ini tampak cerah. Melina tersenyum. Ah, jika dia membawa kameranya, dia ingin sekali memotret langit biru di sana. Sangat elok untuk diabadikan. Iris mata yang tadinya berfokus pada langit, kini turun ke arah siswa yang sedang bermain di lapangan. Suara teriakan siswi yang menyemangati terdengar begitu heboh.

Pandangan Melina tiba-tiba tertuju kepada lelaki yang juga sedang ikut bermain dengan menggunakan kaos hitamnya. Tatapan fokus lelaki itu membuat Melina melebarkan senyumannya.

"Horee!" seru Melina tiba-tiba saat melihat lelaki itu memasukkan bola basket ke dalam ring. Sorakan penonton juga terdengar. Padahal mereka cuma bermain biasa. Rena yang mendengar sahabatnya berseru sendiri lantas berhenti melangkah. Berarti sedari tadi gadis itu tak mendengar apa yang dia ucapkan.

"Melinaa!" teriak Rena kesal. Melina yang tidak sadar jika Rena tak berada di sampingnya pun langsung menoleh ke belakang.

"Kok berhenti? Mualnya datang lagi?" tanya Melina, lalu menghampiri Rena.

"Lo denger enggak apa yang gue omongin tadi?" tanya Rena.

"Denger, kamu panggil aku, Melina, kan?"

Rena memutar kedua bola matanya malas. "Bukan itu tau! Lo ngeliatin cowok itu main, ya?" tanyanya. Melina mengangguk.

"Lo suka sama dia?"

"Yang mana?" tanya Melina balik.

"Yang lagi minum, tuh. Pakai kaus hitam, iya kan? Hayo."

Melina yang mendengar itu menggeleng cepat. Dia cuma melihat Gealen, bukan suka. Titik!

"Aku enggak suka, cuma lihat doa-"

"Woi kaus item, temen gue suka sama lo!" teriak Rena dengan keras. Semua mata tertuju kepada mereka berdua. Melina pun langsung menghadap ke dinding pura-pura tak mengenal Rena. Padahal, wajahnya sudah memerah karena malu.

"Rena, mah!"

Rena tertawa dengan keras dan menarik tangan Melina menuju kantin.

***

Di lapangan sekolah, lelaki yang bermain basket itu sedang istirahat. Para gadis dengan gerak cepat berlomba-lomba memberikan air minum untuk lelaki tersebut.

"Ambil air minum aku aja!"

"Aku aja, Len!"

"Air minum gue yang bakal diambil sama Gealen, jauh-jauh lo sana!"

"Alasfa, air minum aku aja!"

Suara gaduh para gadis-gadis membuat lelaki yang istirahat itu sedikit terusik.

"Semuanya diam!" seru seorang lelaki berambut keriting. Suara yang tadinya gaduh, kini mulai mereda.

"Kita semua sudah punya air minum, jadi mending kalian bagi ke anak lain. Pergi sono," ujarnya dengan gaya mengusir. Para gadis itu pun tak terima dan menyorakkan kata, "Hu!".

"Gue mau ngasih ke Gealen, bukan ke lo. Jadi, enggak usah kegeeran!"

"Iya, tuh! Awas sana!"

Lelaki itu pun terdorong oleh para gadis yang ingin memberikan air minum kepada lelaki pilihan masing-masing.

Yang kegeeran saha anying, batin Vanora.

"Bener yang dikata Vanora. Gue udah ada air minum. Jadi kalian baginya ke lain aja," celetuk Gealen sambil memasang seragamnya yang terlapisi kaos hitam. Mata gadis-gadis tersebut berbinar. Mereka pun membubarkan diri dengan tertib.

"Lah, pas si Galon ngomong diturutin, cewek-cewek pada milih kasih," gerutu lelaki bernama Vanora tersebut.

"Iri? Bilang, Bos!" ejek seorang lelaki berambut hitam yang bernama Ferdan.

"Bacot, Perdan bacot."

"Ferdan anying, bukan Perdan."

"Oh, Ferdan anjing?"

"Enggak boleh ngomong kasar. Jangan dibiasain kalian berdua," tegur Ksatria. Lelaki itu menatap tajam kedua temannya.

"Ampun Bang, siap."

"Lu denger suara cewek tadi enggak? Yang teriak di lantai atas."

"Kira-kira kaus hitam siapa, ya?" Ferdan memejamkan matanya.

"ada Galon, Alasfa, sama Panta," ujar Vanora sambil mengedarkan pandangannya melihat siapa saja yang memakai kaus hitam.

Ksatria dengan tiba-tiba menjitak kepala lelaki itu. "Nih anak sering banget ubah-ubah nama orang."

"Ya maaf, Sat."

"Palingan si Venta. Dia kan paling keliatan," ungkap Ferdan yang tengah duduk santai.

"Gealen lah! Orang dia juga paling keliatan," balas Vanora.

"Ngapain lo semua nyebut nama gue?" tanya Venta yang tiba-tiba datang. Lelaki dengan rambut kecoklatan tersebut menenteng seragam sekolahnya di pundak bagian kiri.

"Cuma nyebut gua, enggak sampai dighibahin," sahut Vanora sambil mengelus dada.
"Ven, thanks udah mau main sama kelas kita. Kapan-kapan main lagi," ujar Ksatria sambil menepuk pundak lelaki itu.

"Lain kali mainnya jangan noob," cetus Gealen dengan tatapan tajamnya. Gealen dan Venta memang tidak terlalu akrab seperti teman-teman Gealen yang lain. Selain faktor kelas yang berbeda, mereka juga sering bersaing dan berdebat.

"Enggak usah sombong lo," balas Venta yang ikut membalas tatapan Gealen.

"Kalian berdua udah kayak anak kecil aje. Beruntung bukan rebutan cewek," lontar Ksatria.

"Ogah banget gue, Bang, rebutan cewek sama dia. Selera kita udah beda."

"Iya, selera lo rendahan," balas Gealen.

"Enggak apa-apa selera rendahan, yang penting enggak ditinggalin," sindir Venta dengan mengeluarkan smirk-nya.

"Sialan." Gealen yang terpancing pun langsung berdiri ingin menghajar Venta. Namun, dihalangi oleh Ferdan dan Vanora.

"Damai dong kalian ini, apa tidak berdosa?"

"Bacot lo semua, ayo pergi!" ajak Alasfa yang sudah malas mendengar perdebatan kedua lelaki itu. Mereka semua pun mengangguk dan mulai meninggalkan lapangan. Namun, tiba-tiba suara teriakan membuat langkah tersebut terhenti.

"Gealen gue suka sama lo!"

BERSAMBUNG

Halo:)
Thx yang udah baca. ❤

***

CatanFeli : 📃

Hufh! Akhirnya bab 1 sudah saya upload. Sumpah ya pas ngerevisi ini rasanya mau un-publis lagi. Doain semoga diriku teguh pada prinsip. 😣

Di bab ini tanpa berlama-lama saya udah kasih lihat para jajaran tokohnya, ya. Belum semuanya, sih, tapi yang nampak tadi sudah pasti ikut berperan besar dalam alur. 😋

Btw tadi pas baca ulang nama Venta dan Alasfa saya jadi mau buat cerita khusus mereka berdua. Dulu sudah ada gambarannya, sih, tapi ya cuma berdebu di draf. 😭

Apalagi dengan karakter Venta yang sebenarnya lebih dari yang kalian bayangkan saat baca cerita ini. Ada beberapa sifat dan scene yang dulu pengen saya masukin buat memperjelas karakternya tapi karena enggak sempet mikir dan bab yang aku tentuin udah disetor ya enggak jadi. 😆

Pan kapan kalau ada keajaiban saya buat, hohoho. Udah deh gitu aja kayaknya, see u in the next chapter guyss!!😈💞

Upload : 2 Januari 2021
Re-upload : 29 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro