PROLOG
"Uang memang bisa membeli banyak hal, tetapi tidak untuk kehadiran, tidak untuk cinta, dan tidak untuk kebahagiaan yang sesungguhnya."
***
Kalila ingat betul, bagaimana suasana rumah keluarganya sebelum malam itu terjadi. Kehidupan mereka, meskipun sederhana, selalu terasa hangat dan penuh kebahagiaan. Rumah mereka kecil, hanya ada dua kamar tidur, satu untuk orang tua dan satu lagi untuk Kalila dan adiknya. Dapur mereka sederhana, hanya cukup untuk memasak makanan sehari-hari. Setiap pagi, Ibu selalu bangun lebih awal, menyiapkan sarapan, dan memastikan seluruh anggota keluarga tidak kehilangan perhatian. Ayah juga tak pernah terlambat untuk bekerja, meskipun sering kali lelah sepulang kerja, senyumannya selalu ada untuk mereka. Semua terasa normal, seperti kebanyakan keluarga lainnya. Ibu dan Ayah sering bercanda, saling menggoda satu sama lain, dan selalu ada tawa di tengah-tengah kesibukan.
"Nanti kalau udah besar, Kalila mau jadi apa?" tanya Ayah di sela-sela waktu bersantai. Setiap hari Minggu, mereka punya agenda rutin, yaitu family time.
"Eum ... apa, ya? Kalila bingung."
Sambil menyuapi Idris, Ibu turut merespons, "Kalila boleh jadi apapun, selama itu bermanfaat untuk orang lain."
"Kalau gitu, Kalila mau jadi doraemon deh. kalau doraemon kan punya kantong ajaib buat bantu orang."
Secara tak terduga, Idris yang tampak sibuk dengan balonnya, ikut menimpali, "Idlis duda."
"Hah?" seru Kalila, ayah dan ibunya secara bersamaan.
"Idlis mau kayak dolaemon duda," jawabnya dengan polos.
"Ohhh ...," sahut mereka bersamaan, diiringi tawa renyah.
Sayangnya, menjalani kehidupan rumah tangga tidak cukup hanya dengan cinta . Sebab, suka tak suka, kondisi finansial turut memengaruhi kesejahteraan keluarga. Ayah dan Ibu, mereka sempat mengalami pertengkaran selama berbulan-bulan. Ya, ibu marah pada ayah. Menuntutnya untuk mencari pekerjaan tambahan guna mencukupi kehidupan sehari-hari.
Hingga saat sang ayah mencapai titik keberhasilannya saat memutuskan kembali bergelut di bidang arsitektur, nama ayah melejit. Ayah punya banyak klien dari berbagai perusahaan. Kehidupan keluarga Kalila berubah drastis. Mereka hidup mewah dan terpandang. Kalila masuk di sekolah elite dan ibu tidak lagi bekerja paruh waktu untuk mencari uang tambahan, serta kebutuhan gizi Idris terpenuhi dan membuatnya gemuk menggemaskan.
Namun ternyata, masalah tidak sampai di situ saja. Seiring berjalannya waktu, Kalila merasakan ada yang berbeda sejak sang ayah sibuk bekerja. Perubahan itu sangat halus, tetapi dia bisa merasakannya. Ibu yang dulu penuh semangat, sering tersenyum lebar, jadi jarang tersenyum. Di balik matanya yang biasanya penuh kehangatan, kini ada sebuah bayangan yang tidak bisa Kalila mengerti. Ayah, meskipun tetap memperlakukan Kalila dan Idris dengan penuh kasih sayang, tampak lebih sering diam. Kalila tentu tidak mau mengganggu meski sebetulnya dia dan Idris sangat merindukan pria itu. Lambat laun, rumah besarnya berubah seolah-olah menjadi ruangan kosong tak berpenghuni. Ibu jadi sering marah-marah hanya karena hal kecil. Idris jadi suka merengek ingin digendong ayah, yang seketika mendapat amarah dari ibu karena lelah mencari alasan.
Adik Kalila, Idris, yang dulu selalu ceria, mulai tampak lebih sering menempel pada ibu. Kalila pun mulai merasakan perubahan di dalam dirinya. Dia yang dulu selalu bisa berbicara dengan bebas dengan ibu, kini harus menjaga jarak. Ada kesunyian yang mengisi rumah mereka. Suasana yang dulunya penuh dengan tawa dan percakapan, kini hanya diisi oleh suara langkah kaki yang berat dan desahan kecil dari ibu yang tampak kelelahan.
Puncaknya adalah malam itu.
Hujan turun deras, menciptakan suara rintik yang menjadi obat tidur alami untuk Kalila. Namun, kali ini suara hujan tak mampu menghalau kegaduhan yang berasal dari ruang tamu. Kalila, gadis 12 tahun itu, duduk di sudut kamar sambil memeluk adiknya, Idris, yang baru berusia tiga tahun. Tubuh kecil Idris meringkuk dalam dekapannya, sementara Kalila mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan mengelus punggung sang adik.
"Doni, apa kamu sadar? Rumah ini besar, mewah, tapi kosong! Kamu nggak pernah ada di sini untuk kami!" Suara Rahma, ibunya, menggema penuh kemarahan.
"Rahma, aku kerja keras siang dan malam untuk keluarga ini! Semua yang kamu lihat sekarang—rumah ini, mobil, semua kemewahan ini—adalah hasil kerja kerasku!" balas Doni dengan suara tinggi, mencoba membela diri.
Kalila mengintip dari celah pintu kamar. Ayahnya berdiri di tengah ruang tamu yang megah, mengenakan kemeja mahal yang kusut karena hari yang panjang. Di hadapannya, Rahma berdiri dengan mata memerah, masih mengenakan daster yang biasa ia pakai di rumah.
"Apa gunanya semua ini kalau kamu nggak pernah ada? Aku nggak butuh rumah besar kalau suamiku bahkan nggak punya waktu untuk duduk bersama keluarga di meja makan!" Rahma melontarkan kata-katanya dengan penuh emosi.
Doni menghela napas panjang, mencoba meredam amarahnya. "Rahma, aku nggak punya pilihan. Kalau aku berhenti bekerja keras, apa kamu pikir semua ini akan tetap ada? Kamu mau anak-anak kita hidup tanpa masa depan?"
Rahma tertawa sinis, tapi air matanya mulai mengalir. "Masa depan? Kamu pikir uang bisa menggantikan kehadiranmu? Kalila bahkan hampir lupa bagaimana rasanya punya ayah di rumah. Idris ... dia bahkan nggak mengenalmu lagi, Doni."
"Ya, dan kamu juga mungkin lupa. Dulu saat gajiku kecil, kamu marah, kamu bilang aku enggak ada usaha. Kamu bilang, aku enggak kerja keras. Kamu bilang, aku pemalas. Kamu istriku, seharusnya kamu mendukungku, bukan cuma menuntut ini itu."
Hening kembali menyelimuti saat Doni kembali melanjutkan, "dan sekarang? Saat aku sudah membuktikan bahwa aku sudah berusaha sekeras yang kamu mau, kamu masih nggak terima juga. Setiap pilihan itu ada risikonya, Rahma. Seharusnya kamu tau itu. Kamu nggak pernah bersyukur. Kamu egois. Kamu selalu ingin dimengerti tanpa berusaha mengerti tentang suamimu sendiri."
Di balik pintu, Kalila menunduk. Setiap kalimat yang keluar dari mulut orang tuanya membuat sekujur tubuh Kalila gemetaran. Ia memeluk Idris lebih erat, berusaha menahan tangis.
"Aku melakukan ini semua demi anak-anak." Doni membanting tangan ke meja kaca, membuat suara keras yang membuat Idris tersentak.
"Kalau demi mereka, kenapa kamu nggak pernah mencoba pulang lebih awal? Kenapa kamu selalu memilih pekerjaanmu daripada kami? Kamu punya simpanan? Siapa dia? Secantik apa?" Rahma balas membentak.
Doni menatap Rahma dengan mata yang penuh kelelahan. "Ini soal tanggung jawab, Rahma. Kamu nggak akan pernah mengerti. Berhenti menuduh yang enggak-enggak. Kamu lihat baik-baik suamimu ini, apa nggak terlintas sedikit saja rasa kasihan? Aku cuma mau kamu sabar, sampai aku merasa kondisi finansial kita stabil. Aku cape, Rahma."
"Oh, begitu? Jadi selama ini aku nggak pernah ngertiin kamu, ya? Kamu pikir aku juga nggak cape harus menjelaskan kepada anak-anak kenapa ayah mereka nggak pernah ada di rumah?"
Doni mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seolah mencoba menahan sesuatu yang hampir meledak di dalam dirinya.
"Aku nggak bisa terus seperti ini, Doni," suara Rahma melemah, tapi nadanya tetap tegas. "Kalau kamu nggak bisa memilih kami, lebih baik kita berpisah."
Kata-kata itu membuat Kalila menahan napas. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
Doni terdiam, tatapannya berubah dingin. "Oh, ini yang kamu mau? Setelah semua ini, kamu meminta cerai?" tanyanya, suaranya rendah tapi penuh tekanan. Ada sedikit tawa di ujung, tawa yang kedengarannya sangat menyakitkan.
Rahma mengangguk, meski air mata terus mengalir di pipinya. "Aku lelah, Doni. Aku nggak mau anak-anak tumbuh dalam keluarga yang hanya terlihat utuh dari luar, tapi kosong di dalam."
Doni memalingkan wajah, menatap keluar jendela yang buram oleh hujan. "Ya, baiklah. sepertinya aku memang sudah gagal menjadi seorang suami dan ayah. Kalau begitu, aku pamit."
Tanpa menunggu jawaban, Doni berbalik dan berjalan menuju pintu. Ia sempat berhenti dengan pandangan tertuju pada kamar anak-anak, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya ia hanya menarik napas panjang dan melangkah pergi.
Pintu tertutup dengan suara keras, meninggalkan rumah yang kembali sunyi. Di dalam kamar, Kalila memeluk Idris yang mulai tertidur, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Hujan di luar terus mengguyur, mengiringi perasaan kehilangan yang baru saja hadir dalam hidupnya.
Sementara itu, Kalila memandangi sang ibu yang terduduk di lantai sambil menutupi wajahnya. Tubuhnya tampak bergetar diiringi isak tangis. Kalila ingin memeluknya, tetapi langkahnya terasa berat. Pada akhirnya, dia memilih untuk menidurkan Idris di atas kasur seraya memeluknya erat.
"Jangan tinggalin Kalila, ayah ..."
"Kalila."
"Kalila"
"Kalila!"
Kalila terkesiap, Pak Zidan berdiri di depan mejanya. "Maaf, ya, Pak." Kalila yang masih setengah sadar karena ketiduran terpaksa bangun untuk mencuci muka. Diliriknya jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, rupanya sudah pukul 11 malam. Suasana kafe sudah sepi, tersisa beberapa karyawan yang sedang bersiap-siap untuk pula.
"Kalila."
Kalila menoleh, lantas tersenyum sopan pada Pak Zidan, pemilik kafe tempatnya bekerja.
"Ya, Pak?"
"Senin sudah masuk sekolah, kan?"
"Iya, Pak. Sudah."
"Kalau gitu, mulai besok kerjanya sampai jam 9 malam aja, ya?"
"Kenapa, Pak? Saya sanggup kok sampai jam 11 malam. Tadi saya cuma nggak sengaja ketiduran, itupun baru kali ini. Maaf, ya, Pak? Saya janji, besok-besok saya nggak akan ketiduran lagi."
Pak Zidan tertawa mendengar nada panik Kalila. "Bukan karena itu, Kalila. Saya nggak masalah kamu ketiduran, toh memang sudah jam segini. Yang saya khawatirkan adalah keadaan kamu. Waktu istirahatmu sudah tersita banyak di sini. Sementara paginya kamu harus sekolah. kalau kamu pulang larut malam, yang ada kamu bisa terlambat masuk sekolah. Belum lagi kalau tugas sekolahmu menumpuk. Masalahnya jadi merembet ke mana-mana."
"Tapi .., Pak?"
"Kenapa? Gajimu nggak akan dipotong, tenang saja."
Kalila menghela napas lega. "Terima kasih banyak ya, Pak."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro