Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2 - Tahun SMA yang Menantang


Kalila turun dari sepeda motor saat jarum jam tepat mengarah pada angka tujuh. Nyaris saja ia terlambat di hari pertamanya masuk sekolah. Itu lantaran ia harus mengantar Idris ke sekolahnya yang berbeda arah. Kalila segera melepas helm-nya, lalu meletakkannya pada spion sepedan motor. Kakinya yang kecil terasa kokoh saat beradu dengan lantai koridor, meski ada gemuruh di dalam dadanya. Mata hitamnya mengamati keramaian di sekitarnya—siswa-siswi berlarian, sebagian dengan tawa riang, sebagian lagi sibuk membetulkan seragam mereka yang baru disetrika. Suasana awal semester baru terasa sejuk, penuh mimpi dan harapan, tetapi juga sedikit membingungkan untuk Kalila. Pasalnya, ia harus lebih ekstra lagi mengatur waktunya; untuk keluarga, sekolah, dan pekerjaan. Sebab sudah pasti, akan ada jam belajar tambahan dari sekolah untuk mempersiapkan ujian dengan maksimal. 

Di kejauhan, suara bel sepeda motor dan langkah kaki terdengar bersahutan. Kalila menarik napas dalam, mencoba mengusir keraguan yang mengintip di benaknya. Di satu sisi, ada rasa bangga yang menyelinap—ia telah sampai di titik ini, kelas 12, tahun terakhir sebelum lompatan besar ke masa depan. Namun, di sisi lain, pikirannya terusik oleh kekhawatiran; bisakah ia meyakinkan ibunya untuk mendukung impiannya? Untuk percaya bahwa beasiswa ke kampus favoritnya adalah tiket menuju kehidupan yang lebih baik, meski itu berarti meninggalkan zona nyaman mereka?

Angin pagi yang lembut mengibaskan ujung hijab Kalila, seolah memberinya dorongan untuk melangkah. Ia menggenggam erat tali ranselnya, mencoba menyalakan semangat yang sempat redup. Hari ini adalah awal yang baru, pikirnya, dan meski jalannya terasa berat, ia tahu bahwa ia harus terus maju.

"Dorrr!" Suara Nirmala memecah lamunannya. Sahabatnya itu melangkah lebih dulu, menghadang Kalila dengan senyum lebarnya. "Gimana liburannya? Sibuk apa? Sampai pesan sahabatmu ini dianggurin lebih dari seminggu?" tanya Nirmala beruntun, dengan ekspresi marah yang dibuat-buat.

Kalila tertawa kecil menanggapinya. "Maaf, ya ... Hari liburku biasa aja kok. Nggak ada yang spesial. Kamu sendiri gimana?"

"Seru banget! Aku sama keluarga sempat ke pantai. Kamu harus lihat fotonya!" Sambil terus melangkah, Nirmala membuka galeri di ponselnya dan menunjukkan foto-foto liburannya. Kalila mengangguk sambil tersenyum, meski pikirannya melayang ke hal lain.

"Wah, udah kebayang sih seseru apa perjalanannya. Ini ngecamp, ya?" komentar Kalila, matanya fokus pada foto di mana Nirmala dan keluarganya sedang menyantap makanan beralaskan tikar di depan tenda.

"Betul. Tapi cuma semalam, padahal penginnya tiga malam," sahut Nirmala, sangat terbaca dari mimik wajahnya jika gadis itu belum puas dengan liburannya.

"Dasar manusia kurang bersyukur," ucap Kalila seraya mencubit pelan lengan Nirmala.

Nirmala meringis sambil tertawa. Kini, keduanya telah sampai di depan kelas Kalila. "Nanti ke kantin bareng, ya?" pinta Nirmala.

"Enggak dulu deh. Aku mau ke perpustakaan aja," jawab Kalila pelan, tidak enak karena harus menolak ajakan Nirmala.

"Ohhh, aku ngerti. Kamu lagi mode hemat, ya? Tenang, tenang. Aku traktir mie ayam bakso di warungnya Mang Udin, ya? Habis itu baru deh kita ke perpustakaan. Soalnya nih, menurut penelitian, belajar dalam keadaan lapar tuh ilmunya nggak akan nyangkut di otak."

"Penelitiannya siapa?"

"Nggak tau sih, soalnya aku ngarang,"

"Gini nih kalau isi kamarnya cuma cowok fiksi, semua-semua cuma karangan," singgung Kalila, mengingat jika kamar Nirmala penuh dengan novel-novel romansa.

Nirmala tertawa. Keduanya terus mengobrol sampai satu per satu guru mulai masuk ke kelas, memisahkan mereka yang berbeda kelas.


***

Suasana perpuastakaan tampak sepi, hanya ada segelintir orang yang sedang fokus dengan dunianya masing-masing. Kalila dan Nirmala sengaja memilih tempat paling pojok. Alasannya tentu saja agar obrolan mereka tidak mengganggu yang lain.

"Jadi, selama libur kemarin, kamu bener-bener nggak ada waktu istirahat?" Nirmala menggelengkan kepala. Membayangkannya saja ia tidak sanggup, bagaimana dengan Kalila yang menjalankan langsung? 

"Ya, mau gimana lagi? Kalau nggak begini, kasian Ibu. tau sendiri kan biaya SPP kita lumayan besar. Sementara kalau cuma ngandalin hasil dari toko bunga, nggak akan cukup untuk nutup semua kebutuhan kami."

"Tapi kamu hebat banget tau, Kal. dengan masalah yang seberat ini, kamu masih bisa membagi senyuman untuk orang lain. Orang-orang mana tau, Kalila yang mukanya lempeng-lempeng aja ini, punya masalah yang rumit banget."

Kalila menghela napas. "Aku nggak sekuat yang kamu bayangin, Mal. Contohnya selama libur kemarin, hampir tiap malam aku overthinking. Aku berpikir, mungkin nggak ya, aku diterima beasiswa jurusan Psikologi di kampus favoritku? Mungkin nggak ya, dengan usahaku ini, aku bisa angkat derajat keluargaku?"

Nirmala menatap Kalila dengan penuh keyakinan. "Bisa! Pasti bisa. Aku yakin itu."

Kalila mengernyitkan kening. "Kenapa kamu yakin banget?"

"Karena aku tau kamu nggak gampang menyerah. Kamu lupa, ya? Allah mengubah nasib sesuai prasangka dan usaha kita. Dan aku lihat, usaha kamu ini udah mak-si-to-the-mal. Maksimal. Jadi, aku yakin seratus persen bahwa kamu akan berhasil nanti."

"Makasih ya, Mal. Jujur, keyakinan kamu ini buat aku makin semangat menjalani hari."

"Aaa ... Kalila. Aku terharu nih," seru Nirmala, ia langsung beringsut mendekati Kalila, dan memeluknya erat, mencoba mentransfer energinya agar sahabatnya yang satu ini bisa lebih kuat mempertahankan mim

Di sela-sela percakapan mereka, tiba-tiba Zayyan, teman sekelas Kalila yang dikenal pendiam, mendekati meja mereka. Kalila menoleh, sedikit terkejut.

"Kalila," panggil Zayyan dengan nada pelan, "boleh pinjam kartu perpus kamu, nggak? Aku mau pinjam buku ini, tapi lupa nggak bawa kartunya," ucapnya seraya menunjukkan buku yang ada pada tangannya.

"Oh, tentu. Sebentar," jawab Kalila seraya mengeluarkan kartu perpustakaan miliknya dari dalam dompet, lalu menyerahkannya pada Zayyan.

Zayyan menerima kartu itu, lalu pergi menuju meja staff perpustakaan. Selang beberapa menit, ia kembali menghampiri Kalila. "Terima kasih, ya."

Tanpa menunggu jawaban Kalila, Zayyan langsung enyah dari sana. Menyisakan Nirmala yang diam terpaku sambil memperhatikan punggung laki-laki itu yang kian jauh. Begitu sadar, ia menyenggol lengan Kalila sambil menunjuk Zayyan dengan dagunya. "Kamu nyium aroma parfum Zayyan nggak, sih? Wangi banget, jadi pengen cium lagi, orangnya."

Spontan, Kalila memukul pelan tangan Nirmala. "Ngawur!"

Nirmala tertawa, kembali berbicara, "Tapi ya, Kal. Memang jantungmu aman selama sekelas sama dia? Mukanya itu lho, gateng banget."

"Ya biasa aja. Kan mukanya nggak serem, ngapain harus degdeg-an?"

"Hishhh ... ya nggak gitu juga."

Percakapan itu terus berlanjut, hingga tak terasa bel sekolah telah berbunyi sebanyak tiga kali. Artinya, jam pulang telah tiba. Cukup menyenangkan, setidaknya selama sekolah pulang lebih cepat, ia bisa istirahat sebentar sebelum ke kafe untuk bekerja.


***

"Nih, es krim-nya."

Idris turun dari motor dengan semangat karena mendapat hadiah dari Kalila setelah berhasil menyelesaikan PR-nya tanpa adegan menangis.

"Yeay, terima kasih, Kak Lila yang paling cantik sedunia!" seru Idris seraya menerima es krim tersebut.

"Inget pesan Kakak, ya? Jangan ngerepotin ibu selama di toko."

"Siap, Bos!"

Usai menyalimi tangan kakaknya, Idris langsung berlari menuju toko bunga tempat Rahma-ibunya mengais rezeki.

Rahma menyambut dari pintu, di tangannya terdapat bunga segar yang hendak dirangkai. "Hati-hati," ucapnya seraya melambaikan tangan.

Kalila mengangguk, lalu merapalkan doa sebelum berangkat bekerja. Setelah itu, menoleh ke arah ibu dan adiknya yang masih berdiri di depan pintu seraya menekan klakson, lalu melaju pelan menyusuri jalan yang mulai padat pengendara dikarenakan bertepatan dengan jam pulang kerja.

Kalila ingat betul momen itu, satu tahun yang lalu. Saat itu, ia masih mengenakan seragam sekolah, berjalan kaki dari satu toko ke toko lainnya di sekitar rumah, menanyakan lowongan pekerjaan. Namun, hasilnya selalu sama—penolakan. Alasan mereka beragam, mulai dari minimnya pengalaman hingga usia Kalila yang dianggap terlalu muda untuk bekerja. Ia hanya mampu menawarkan janji untuk bekerja keras, tetapi janji saja tidak cukup untuk meyakinkan mereka.

Hingga pada suatu sore, Nirmala, sahabatnya, mengajaknya ke sebuah kafe kecil di sudut jalan untuk merayakan pertemanan mereka. Kafe itu tidak mencolok dari luar, hanya sebuah bangunan sederhana dengan papan nama kayu bertuliskan Cafe Harmoni yang catnya mulai pudar. Namun, begitu melangkah masuk, Kalila langsung merasakan suasana yang berbeda.

Lampu-lampu gantung berbentuk bohlam kecil menyala temaram, memancarkan cahaya keemasan yang menciptakan nuansa hangat. Dindingnya dihiasi dengan mural bergambar cangkir kopi yang mengepul, seolah menyambut setiap pelanggan dengan keramahan. Meja-meja kayu dengan ukiran sederhana tertata rapi, dilengkapi kursi-kursi empuk yang warnanya senada dengan lantai parket. Di salah satu sudut, ada rak kecil penuh buku, memberikan sentuhan intelektual pada tempat itu.

Aroma khas kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi manis kue kayu manis yang baru keluar dari oven, memenuhi udara. Beberapa pelanggan terlihat asyik berbincang, sementara yang lain sibuk dengan laptop atau buku mereka. Musik jazz lembut mengalun di latar, memberikan ketenangan yang menyenangkan.

Ketika Kalila melangkah ke dekat pintu masuk, pandangannya tertuju pada sebuah brosur kecil yang tertempel di papan pengumuman. Tulisan tangan yang rapi berbunyi, Dicari Pramusaji Paruh Waktu – Bergabunglah dengan Keluarga Cafe Harmoni. Kalila merasa seperti menemukan secercah harapan di tengah kesulitannya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menghampiri pemilik kafe, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, untuk memastikan apakah lowongan itu masih tersedia.

Momen itu menjadi awal perubahan besar dalam hidup Kalila. Kafe kecil yang sederhana itu bukan hanya tempat kerja, tetapi juga ruang di mana ia belajar tentang tanggung jawab, kerja keras, dan bagaimana menghadapi dunia dengan kepala tegak.

"Kalila, tolong ambil pesanan meja tiga, ya," kata David, kepala dapur, sambil memberikan senyuman ramah.

"Siap, Mas," jawab Kalila sambil mengambil buku catatan kecilnya. Dia melangkah menuju meja tiga, di mana seorang pelanggan tetap, Pak Arman, sudah duduk dengan laptopnya.

"Selamat sore, Pak Arman. Seperti biasa, kopi hitam tanpa gula?" tanya Kalila sopan.

Pak Arman mengangkat wajahnya dari layar laptop dan tersenyum. "Iya, seperti biasa. Terima kasih, Kalila."

Kalila mencatat pesanan itu dan kembali ke dapur untuk menyiapkannya. Di sela-sela kesibukan, pikirannya melayang ke rumah. Idris pasti sedang menunggu di rumah. Kalila tahu dia harus segera pulang setelah shift selesai untuk memastikan Idris tidak merasa kesepian.

Saat mengantarkan kopi ke meja Pak Arman, pria itu menatapnya sejenak. "Kamu kelihatan capek. Semua baik-baik saja?"

Kalila terdiam sejenak sebelum menjawab. "Ah, Bapak kebiasaan nih suka nebak-nebak. Saya nggak apa-apa kok, Pak. Cuma sedikit capek aja."

Pak Arman mengangguk sambil tersenyum bijak. "Jangan terlalu keras pada diri sendiri, ya. Kadang, istirahat itu juga penting."

"Terima kasih, Pak. Saya akan selalu ingat pesan ini," jawab Kalila dengan senyum kecil. Kata-kata itu terasa hangat, meski dia tahu tidak ada pilihan lain selain terus berjuang.

"Mana nih quotes hari ini? Kok saya nggak nemu sobekan kertas hari ini?" tanya Pak Arman sambil memutar-mutar piring berisi kentang goreng.

Kalila tersenyum sungkan. "Kertasnya habis, besok saya bakal stok yang banyak deh," ucapnya diiringi tawa kecil.

"Kalau gitu, saya lanjut layani yang lain dulu, ya, Pak. Selamat menikmati," pamitnya.

Di sela-sela melayani pelanggan, Kalila sering mendengar percakapan ringan di antara mereka. Ada yang berbicara tentang liburan, pekerjaan, atau rencana masa depan. Obrolan itu terasa seperti berasal dari dunia yang berbeda, dunia yang jauh dari kehidupannya yang penuh perjuangan.


***

Deru motor beradu dengan angin malam menemani perjalanan Kalila menuju rumah. Pukul sepuluh malam, dan jalan sudah tampak lengang. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya kuning redup, menciptakan bayangan panjang dari pepohonan di pinggir trotoar. Kalila mengendarai motor sedikit lebih cepat dari biasanya, mengingat sang ibu menunggunya di rumah. 

Di sepanjang jalan, toko-toko sudah tutup, kecuali satu warung kecil yang masih menyala, pemiliknya sibuk merapikan dagangan. Kalila sempat melirik ke dalam, namun tak berhenti. Ia tahu, semakin cepat ia sampai rumah, semakin cepat ia bisa beristirahat. Tapi langkahnya melambat ketika mendekati tikungan terakhir menuju rumahnya. Ada perasaan yang bercampur di dadanya—antara lega dan ragu.

Saat rumahnya mulai terlihat, Kalila berhenti sejenak di depan pagar kecil yang mulai berkarat. Rumah sederhana itu tampak tenang, hanya diterangi lampu teras yang remang-remang. Jendela ruang tamu tertutup rapat, tirainya tidak bergerak sedikit pun. Kalila menghela napas, menatap rumah itu dengan pandangan yang sulit ditebak. Rumah ini adalah tempat ia kembali setiap malam, tempat ia mencari perlindungan, namun juga tempat yang menyimpan banyak harapan dan tuntutan.

Ia meraih gagang pagar dengan tangan yang sedikit gemetar karena dingin, lalu mendorongnya perlahan agar tidak menimbulkan suara berisik. Malam semakin larut, dan langkahnya yang pelan menuju pintu depan adalah langkah menuju kenyataan yang menantinya di dalam. Begitu masuk ke rumah, ia mendapati ibunya duduk di ruang tamu dengan sebuah brosur di tangannya. Brosur itu terlihat familiar—brosur pendaftaran kuliah yang Kalila simpan di kamarnya.

"Ini apa, Kalila?" tanya Rahma dengan nada datar, sambil mengangkat brosur itu.

Kalila menelan ludah. "Itu ... brosur pendaftaran kuliah, Bu. Kalila cuma lihat-lihat."

Rahma berdiri, menatap Kalila dengan sorot mata yang sulit dibaca. "Kamu masih mikirin kuliah, ya?"

"Iya, Bu. Kalila pengin kuliah. Kalau dapat beasiswa, Kalila nggak akan terlalu membebani Ibu," jawab Kalila dengan suara pelan.

"Kalila," suara ibunya terdengar berat, "kamu tahu kondisi kita sekarang, kan? Biaya sekolah kamu aja udah susah. Ibu nggak mau kamu terlalu berharap. Lebih baik kamu fokus lulus SMA dulu."

"Tapi, Bu—"

"Kalila," potong ibunya, "ini bukan soal Ibu nggak mendukung. Tapi kita harus realistis, Kalila. Kuliah itu mahal, dan Ibu nggak mau kamu kecewa nanti."

Kalila terdiam, merasakan dadanya sesak. Dia tahu ibunya tidak bermaksud jahat, tapi kata-kata itu tetap menyakitkan. "Kalila cuma pengin coba, Bu. Siapa tau ada jalan."

Rahma menghela napas panjang. "Ibu ngerti. Tapi tolong, jangan terlalu memaksakan diri. Ibu nggak mau kamu kecewa."

Kalila mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh keraguan. Dia tahu perjuangannya belum selesai, dan Kalila harus mencari cara untuk mewujudkan mimpinya tanpa membebani ibunya lebih jauh. Entah mengapa, rasanya sedikit sakit ketika impian dipatahkan saat ia tengah berjuang sekeras-kerasnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro