
BAB 1 - Peran Ganda Kalila
Hari-hari setelah perceraian berjalan begitu lambat. Rumah yang dulu penuh dengan tawa dan kebersamaan kini terasa sunyi. Kalila, gadis remaja yang baru beranjak dewasa, merasa seperti berada di dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, ia masih ingin menikmati masa remajanya. Namun, di sisi lain, ia harus mengorbankan masa remajanya demi membantu sang ibu.
Sebetulnya, Kalila tidak pernah benar-benar dilatih untuk menggantikan sosok ibu yang kini lebih sering terperangkap dalam keheningan kamar tidur. Namun, keadaan memaksanya untuk belajar cepat. Idris masih kecil—baru berusia delapan tahun—dan seharusnya hidupnya dipenuhi dengan kegembiraan dan kebebasan. Namun, di bawah atap rumah mereka yang kini terasa semakin sempit, Idris lebih sering terdiam atau bertanya-tanya kenapa laki-laki yang bergelar "ayah" itu tidak pernah menampakkan batang hidungnya.
Kalila melihat keputusasaan di mata adiknya, meskipun Idris mencoba menyembunyikannya dengan tawa dan permainan yang terdengar lebih kaku daripada ceria. Ia sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskan situasi ini kepada Idris. Bagaimana ia bisa menjawab semua pertanyaan itu, ketika dirinya sendiri belum sepenuhnya memahami apa yang sebenarnya terjadi?
Seperti pagi ini, Kalila bangun lebih awal. Sebelum ibunya membuka mata, ia sudah menyiapkan sarapan untuk semua anggota keluarga. Tidak ada lagi suara Rahma yang berteriak, "Kalila, tolong bantu Ibu!" atau "Ayo cepat, nanti terlambat!" Kehidupan penuh energi seperti dulu seakan lenyap. Kini, rumah mereka dipenuhi kesunyian yang hampir selalu menenggelamkan segala jenis kebahagiaan.
Derap langkah kaki dari arah tangga mengalihkan fokus Kalila dari menu sarapan yang sedang ia susun di atas meja makan.
"Selamat pagi, Bu. Nyenyak tidurnya?" sapa Kalila seraya mempersilakan ibunya untuk duduk. Sementara itu, ia kembali ke dapur untuk membuatkan teh hangat dan susu untuk Idris.
"Yah, lumayan. Besok masuk sekolah?"
Tak lama kemudian, Kalila muncul sambil membawa teh hangat untuk ibunya. "Iya, Senin udah masuk sekolah. Jadi, kemungkinan Kalila mau ajak Idris belanja keperluan sekolah nanti. Idris minta sepatu baru soalnya."
"Oh, ya sudah. Nanti Ibu tambahin uangnya. Uangmu simpan aja buat bayar SPP."
Tiba-tiba, Idris muncul dari arah kamar sambil terteriak. "Ibu, ada kecoaaa!"
Raut wajah Rahma langsung berubah datar. dia langsung beranjak dari meja makan menuju kamar, melihat Idris yang berlarian sambil melempari apapun untuk mengusir kecoa tersebut.
"Idris!" Suara Rahma memenuhi ruangan. Sayangnya, Idris belum menghentikan aksinya.
" Kak Lila, Idris takut. Kecoanya nempel di baju Idris!" Idris terus berteriak histeris, sedangkan Rahma sudah mulai habis kesabarannya.
Belum sempat Kalila menghampiri Idris, Rahma sudah lebih dulu berteriak sambil melempar gelas di atas meja belajar Idris ke lantai.
Prang!
"Kalau kamu masih nggak mau diam juga, Ibu kurung seharian di kamar!"
"Ibu, jangan terlalu keras sama Idris," ucap Kalila seraya memeluk Idris. Dalam dekapannya, Idris menangis ketakutan sambil sesekali melihat ke arah ibunya.
"Kamu terlalu manjain Idris, makanya dia jadi seperti ini."
"Idris masih kecil, Bu."
"Ajarkan adik kamu, kasih tau ke dia kalau dunia ini keras, jangan jadi penakut." Usai mengatakan itu, Rahma langsung pergi.
"I-ibu ... Ibu marah ya, Kak? Maafin Idris."
"Ssttt ... udah, nggak apa-apa. Nanti minta maaf sama Ibu, ya?"
Kalila tahu ia harus menjaga Idris, terutama di saat-saat seperti ini. Kadang-kadang ia merasa dirinya yang lebih membutuhkan perlindungan, tetapi ia tidak bisa membiarkan adiknya merasa lebih hancur lagi. Ia sering berpikir, bagaimana rasanya menjadi seperti ibunya dulu—sosok yang memberikan kenyamanan dan kasih sayang tanpa batas. Namun, ia sadar bahwa dirinya bukan ibunya. Kalila hanyalah seorang kakak yang berusaha menutupi kekosongan yang ada, dan Idris adalah korban dari perceraian kedua orang tuanya.
"Sekarang kita sarapan, ya." Kalila menuntun Idris menuju meja makan. Di sana, sudah ada Rahma yang baru menyelesaikan sarapannya. dia tampak buru-buru ke kamarnya. Lalu, tak berselang lama ia kembali dengan menenteng tas, bersiap ke toko.
Kalila tersenyum lemah dan berbalik melihat adiknya yang sudah duduk di meja makan dengan wajah polos. "Yuk, sarapan," ucapnya sambil menaruh sepotong roti bakar dan segelas susu di depan Idris.
Idris menatap roti bakar itu dengan mata lebar, sebelum menggigitnya perlahan. Ada secercah keceriaan di wajahnya, setelah menangis tadi. Kalila bisa merasakan betapa beratnya hati adiknya, meskipun Idris tak pernah mengatakannya. Keceriaan itu lebih karena kebiasaan daripada semangat sejati.
"Ibu berangkat dulu," pamit Rahma. Kalila dan Idris secara bergantian menyalami tangan ibunya.
Setelah sang ibu pergi, Kalila mengajak Idris bermain di halaman belakang. di tangannya, Idris sudah membawa bola beserta mainan yang lain.
Kini, keduanya berdiri di tengah halaman belakang. Masih pukul delapan pagi, waktu yang sangat pas untuk berolahraga.
"Ayo, Idris! Siapa yang bisa mencetak gol pertama?" seru Kalila sambil menggenggam bola di kakinya. Idris tersenyum lebar, "Idris dong!"
Kalila menggigit bibirnya, berpura-pura berpikir. "Hmm... kalau gitu, kita buat peraturannya. Kalau Idris bisa lewatin Kakak tanpa tersentuh, Idris bisa gol! Tapi kalau Kakak yang menang, Idris harus bantu Kakak selesaiin tugas rumah nanti," tantang Kalila.
Idris mengangguk dengan semangat. "Deal!" dia berlari ke arah Kalila, berusaha mengecoh dengan gerakan cepat. "Awas, ya! Kakak nggak akan kasih kamu jalan!" Kalila berusaha menghentikannya sambil tertawa.
Ketika Idris menggiring bola melewati Kalila, dia berteriak, "Liat! Idris berhasil!" Kalila cepat berbalik dan berlari mengejarnya. "Eitsss ... tidak semudah itu! Ayo, liat siapa yang lebih cepet!"
Mereka berdua tercengang dan tawa riuh menggema di halaman, menciptakan momen indah yang penuh kegembiraan. "Tunggu, tunggu!" teriak Idris sambil berusaha menembakkan bola ke gawang yang mereka buat dari tirai hiasan. "Wah, ini gol terhebat yang pernah Idris lakuin!"
Kalila berlari ke arahnya, "Belum, baru satu kosong!"
Idris mengayunkan kakinya berjalan ke arah pohon mangga di dekatnya, lalu merebahkan dirinya di atas rumput. "Udah ah, Idris capek."
Kalila ikut merebahkan tubuhnya di samping Idris, lalu menolehkan kepalanya ke samping. Sudut bibirnya tertarik ke atas sambil memandangi wajah lelah sang adik. "Gimana, seru?" tanya Kalila, memastikan jika Idris benar-benar puas dengan permainan bola tadi.
Idris mengangguk cepat. "Seru, seru banget."
Kalila merasa lega mendengarnya. Setiap Minggu pagi, Kalila memang berjanji akan menciptakan momen yang lebih ceria untuk Idris. Mereka sering keluar ke halaman belakang, di mana Idris bermain bola, berlarian di rumput dengan tawa kecilnya yang tulus.
Idris tiba-tiba bertanya, "Kak Lila, kenapa Idris nggak punya ayah?"
Kalila tertegun oleh pertanyaan Idris. Belum sempat ia menjawab, Idris kembali melanjutkan, " Gimana caranya punya ayah seperti temen-temen? Idris bosen diantar Kakak terus, temen-temen Idris sekolahnya diantar ayahnya." Kini, posisinya menyamping, pandangannya beradu dalam kesedihan.
Pertanyaan itu membuat dada Kalila sesak. Ia menatap adiknya dengan wajah cemas, tetapi berusaha memberikan jawaban yang tidak menyakitkan.
"Jadi, Idris nggak suka diantar Kakak?" Kalila pura-pura merajuk.
"Bukan, bukan gitu. Idris suka kok diantar Kak Lila, apalagi kalau dapat uang saku. Tapi ... tapi ...."
Kalila menangkap keraguan di mata adiknya.
"Tapi, Idris pengen tau rasanya berangkat sekolah diantar ayah. Apa itu mungkin?"
"Kalila mendekatkan dirinya pada Idris. Dipeluknya sang adik sambil terus mengelus punggungnya agar Idris sedikit lebih tenang.
"Kalau gitu, Idris harus salat, ya? Berdoa semoga Idris bisa ketemu ayah."
"Idris boleh minta apa aja sama Allah?"
"Boleh dong."
Idris langsung memposisikan tangannya menengadah. Mulut mungilnya berucap dengan penuh harap, "Ya Allah, Idris pengin ketemu ayah. Boleh, ya? Sebentar aja nggak apa-apa kok."
"Udah berdoanya?" tanya Kalila.
Idris mengangguk pelan, meskipun matanya tampak penuh tanya. Namun, ia tidak bertanya lebih jauh.
"Kak Lila, ayo main bola lagi! Idris pasti bisa menang!" serunya tiba-tiba, mencoba mengalihkan pikirannya.
Kalila tersenyum dan mengangguk. "Ayo, tapi hati-hati. Jangan sampai jatuh."
Mereka pun kembali bermain bola, tertawa dan berlarian, seolah melupakan kenyataan bahwa rumah mereka kini terasa lebih sunyi dan kosong.
Namun, ketika malam tiba, Kalila kembali merasakan beban itu menekan. Ibunya yang sering mengurung diri di kamar membuatnya merasa semakin kesepian. Ia harus menjadi segalanya bagi Idris—pelindung, penghibur, bahkan pengganti ayah yang tak pernah datang.
Meski begitu, ada momen-momen yang menguatkan Kalila. Saat melihat Idris tertawa atau bercanda, ia merasa ada secercah harapan yang masuk ke dalam rumah mereka. Idris, dengan segala kepolosannya, adalah alasan Kalila bertahan.
Setiap kali melihat adiknya bermain dengan riang, Kalila tahu bahwa masih ada hal yang patut diperjuangkan. Meskipun hidup mereka berubah drastis, kebersamaan mereka tetap menjadi sesuatu yang tak tergantikan. Idris mungkin tidak sepenuhnya memahami apa yang terjadi, tetapi ia adalah pengingat bahwa, di tengah kekacauan ini, masih ada harapan yang harus mereka pertahankan bersama.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro