Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Saat Remaja Kita Sering Bercanda

    Posong masih sama kayak terakhir kali aku ke sana bareng kakak tiriku—Kak Riya—yang nggak pernah mau dipanggil Mbak.

   Posong semakin bagus malah. Wisata lembah Sindoro yang terletak persis di kaki Gunung Sindoro ini sudah terinfrastruktur dengan baik.

     Melepas pandang dari lereng Sindoro, mata dan jiwa terasa teduh disuguhi hamparan alam yang asri. Terlihat jajaran hutan pinus, sawah, hingga kebun tembakau di antara lekuk bukit. Cuacanya sejuk berawan di ketinggian 1.823 meter di atas permukaan laut, memungkinkan untuk melihat sunset dan sunrise dengan angle yang bagus.

    Destinasi wisata ini menyediakan berbagai macam fasilitas, seperti tempat untuk melihat sunset dan sunrise, pesona keindahan alam, cakruk, wahana outdoor yang meliputi flying fox, area pendakian, outbond, trekking lembah dan gunung, juga taman bermain untuk anak kecil. Selain itu, ada juga beragam spot foto dan area perkemahan.

    Dulu, aku pernah kemah di sini sama Kak Riya. Bertiga, sama suami beliau juga.

   Dan sekarang, aku kembali menjejaki kaki di lembah ini bersama Liam, teman masa kecilku yang sedang membuang pandang pada cahaya keemasan di balik gunung, menyaksikan sang baskara mulai terbenam.

    "Sha? Tau nggak, kenapa aku ngajak kamu ke sini?" tanya Liam saat itu.

   "Buat temen gabut, 'kan?" balasku asal sambil menyeruput milkshake yang tadi kami beli di pinggir jalan.

   Liam tertawa. Dia sedang dalam mode kalem ternyata. "Ini buat ganti janji aku," dia menatapku dari samping hingga aku bisa melihat siluet wajahnya, "janji ngajak kamu keliling dunia."

   "Aku bahkan nggak mikir itu serius." Yah, siapa orang yang bakal nganggep perkataan Liam serius? Liam, loh. Orang yang nggak pernah serius. Kerjaannya bercanda mulu.

   Liam malah mendengus, merebut milkshake-ku dan meminumnya hingga tandas.

    Aku mengerucutkan bibir sekilas. Padahal lagi enak-enaknya. Main rebut aja.

    "Kalau suatu hari kita nggak bisa kayak gini lagi, inget aku terus ya, Sha?"

   Apa-apaan dia. Bahasannya mendadak serem. "Kalau makin malem, kamu makin gila, ya."

   "Aku serius." Liam menatapku, meremas wadah milkshake lalu melemparkannya ke tempat sampah.

   Tatapan itu, tatapan mata penuh keputusasaan yang nyaris sama seperti saat Liam mengikuti PON—Pekan Olahraga Nasional—saat kelas 11.

   Aku membuang muka.

    "Aku serius, Sha. Aku mau buat sebuah pengakuan," katanya satir.

   Perasaanku mulai nggak enak.

   "Sebenernya, waktu aku kalah di PON, itu karena kondisiku yang kurang fit."

   "Aku tau."

   Liam yang tadinya duduk di sampingku—menyaksikan sulur-sulur jingga menghiasi langit—mengiringi matahari terbenam berpindah ke depan, berjongkok di depanku.

    "Asma, 'kan?" tebakku kelu.

   Tapi Liam justru tersenyum, senyum yang membuatku ingin menangis. Padahal aku nggak tahu apa isi kepalanya sekarang. Tapi kupikir, di balik senyum itu, ada sejuta luka yang selama ini Liam sembunyikan.

   "Bukan, Sha. Bukan asma," tangan Liam menggenggam erat tanganku, "tapi kanker. Kanker paru-paru."

   "Kamu bercanda."

   "Aku serius. Aku nggak pernah seserius ini sama kamu. Kamu tahu itu."

   Aku menggeleng tak percaya. Liam pasti lagi ngelawak.

   "Awalnya kupikir aku kena asma, itu yang kubilang ke kamu juga. Tapi dua bulan setelah PON, aku sering kesusahan napas sampai demam, gampang capek, dan ada beberapa benjolan aneh di tubuh."

   Aku nggak mau natap Liam. Enggak akan. Karena bercandaannya ekstrem banget.

   Tapi Liam justru pindah tempat.

    "Aku sakit," katanya pilu, menyayat hati, "sakit banget, Sha. Nggak bisa sembuh. Dokter bilang udah telat kalau mau operasi."

   Jadi, dia serius?

   "Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?" tanyaku bergetar, bener-bener nggak berani natap mata Liam.

    "Karena aku nggak mau pandangan kamu ke aku berubah."

   "Udah ..., sekarang." Aku menunduk, berusaha untuk nggak nangis.

   Ya Tuhan, tolong, Liam pasti lagi bercanda. Iya, 'kan? Dia pasti lagi nge-prank. Helloooo. Di mana kameranya? Apa dia lagi buat konten youtube?

    Tapi nyatanya, saat itu, Liam nggak bercanda. Liam nggak nge-prank. Dia bahkan nggak lagi buat konten youtube.

    Berhentinya Liam dari segala hobinya kecuali nge-band itu ya karena penyakitnya. Semakin pucatnya kulit Liam itu ya karena penyakitnya. Turunnya berat badan Liam itu ya karena penyakitnya.

   Penyakitnya, penyakit yang menggerogoti tubuh Liam hingga seminggu setelah tour dadakan kami, Liam benar-benar meninggalkanku.

   Liam, teman masa kecilku, sahabatku, keluargaku, orang yang paling kupercayai, yang selalu kujadikan tempat berkeluh kesah sejak perceraian kedua orang tuaku yang sama-sama memilih menikah kembali—selalu berdebat soal hak asuh, pergi begitu saja, bahkan sebelum aku berani mengungkapkan kepadanya bahwa selama tujuh belas tahun aku hidup—hanya Liamlah yang aku percayai.

    Dan hanya Liam yang aku sukai.

   Sejak itu, sudut-sudut Kota Temanggung selalu mengingatkanku akan sosoknya. Sosok Liam, anak Bapak, seorang pria yang menjadi perokok berat setelah ditinggal mati istrinya, orang yang membuat Liam menjadi perokok pasif, orang yang mengajari Liam cara merokok sampai putranya menjadi perokok aktif. Dan Bapak, satu-satunya keluarga yang Liam punya, orang yang menangis paling keras di pemakaman Liam saat itu.

    Saat para petani tembakau menurunkan caping, berbondong-bondong pulang dari sawah karena hujan pertama di musim penghujan turun ke bumi—menyapa keringnya tanah—dan sudut hatiku yang telah lama basah.
   
   Yah, begitulah. Saat remaja kita sering bercanda. Selalu tertawa seakan keadaan baik-baik saja. Berusaha menutupi luka dengan derai tawa. Sesekali melawak saat kacaunya hati memberontak.

    Kalau ada yang kusesali selama mengenal Liam, penyesalanku cuma satu. Aku menyesal, nggak pernah melihat—atau sadar—di balik jenakanya Liam, dia sedang menahan rasa sakitnya sendirian. Aku menyesal, seharusnya Liam bisa membagi rasa sakit itu denganku. Tapi nyatanya enggak, sampai dia mengembuskan napas terakhir pun, Liam memilih berjuang sendirian.

    Benar-benar sendiri.

   Tanpa aku, sosok yang sering diajaknya bercanda. Sosok yang selalu melihat Liam tertawa.

   Padahal, konspirasi alam semesta nggak selucu itu. Lantas, selama ini, apa yang Liam tertawakan?



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro